• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN. penelitian ini. Berikut adalah beberapa hasil penelitian yang dijadikan sebagai referensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KERANGKA PEMIKIRAN. penelitian ini. Berikut adalah beberapa hasil penelitian yang dijadikan sebagai referensi"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

12

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu sangat penting sebagai bahan acuan atau tinjauan pustaka yang membantu peneliti dalam merumuskan asumsi dasar, untuk dapat mengananalisa penelitian ini. Berikut adalah beberapa hasil penelitian yang dijadikan sebagai referensi peneliti tentang pola maupun perilaku komunikasi antarbudaya.

a) Penelitian yang dilakukan oleh Yiska Mardolina

Judul "Pola Komunikasi Lintas Budaya Mahasiswa Asing dengan Mahasiswa Lokal di Universitas Hasanudin". Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Untuk mengategorisasikan pola komunikasi lintas budaya yang dilakukan oleh mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dalam berkomunikasi di kampus; (2) Untuk mengkategorisasikan faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dalam berkomunikasi di kampus. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori Anxienty/Uncertainty Management (AUM). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada awalnya perbedaan budaya khususnya bahasa menjadi tantangan tersendiri baik bagi mahasiswa asing maupun mahasiswa lokal dalam berkomunikasi sehingga pola komunikasi lintas budaya yang terjadi antara mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal dalam berkomunikasi di kampus sangat berliku-liku dan mengalami kesulitan. Namun seiring berjalannya waktu,

(2)

13

interaksi keduanya berangsur-angsur membaik. Selain itu, kebutuhan sosial sebagai manusia untuk berinteraksi dan berkomunikasi menjadi faktor pendukung yang mendorong keduanya agar selalu terlibat dalam percakapan. Hal seperti faktor pendukung dan penghambat dalam penelitian tersebut, penulis dapat jadikan sebagai refrensi untuk melakukan penelitian ini. Adapun relevansi dari penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah hal tersebut sesuai dengan tujuan dari penelitian penulis yang dimana penulis ingin mengetahui apa saja hambatan dalam berkomunikasi yang dialami oleh mahasiswa asing selama di Indonesia.

b) Penelitian yang dilakukan oleh Sangra Juliano dan Melly Maulin

Penelitian ini berjudul “Pola adaptasi dan kejutan budaya pada mahasiswa asing.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mahasiswa asing mengalami dan menghadapi tahapan-tahapan kejutan budaya dan hambatan utama dalam proses adaptasi mahasiswa asing selama menempuh studi di International Program Unikom. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Komunikasi Antarbudaya dan Adaptasi Budaya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat informan (mahasiswa asing) mengalami dan menghadapi tahapan-tahapan kejutan budaya yang berbeda-beda baik dari fase bulan madu fase krisis , fase penyembuhan, dan fase penyesuaian. Hambatan utama dalam proses adaptasi mahasiswa asing selama menempuh studi di International Program Unikom adalah perbedaan penggunaan dan penguasaan bahasa sedangkan hambatan lainnya adalah perbedaan sifat dan karakter dari mahasiswa para

(3)

14

mahasiswa asing, perbedaan keyakinan dan usia yang melahirkan perbedaan umum seperti perbedaan gaya pakaian, motivasi, minat, hobby, dan lainnya yang mengganggu efektifitas komunikasi. Secara garis besar disimpulkan bahwa komunikasi menjadi bagian penting dalam pola adaptasi mahasiswa asing, khususnya pada saat mahasiswa asing saling berinteraksi dengan cara-cara dan kebiasaan yang mereka pahami. Adapun relevansi dari penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah setiap mahasiswa asing yang datang ke Indonesia pasti mengalami gegar budaya dimana mahasiswa asing pasti akan mengalami berbagai fase selama tinggal di Indonesia. Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa informan-informan juga akan merasakan dan mengatakan bahwa mereka juga mengalami fase bulan madu, fase krisis, fase penyembuhan, dan fase penyesuaian.

c). Penelitian yang dilakukan oleh Fiameta Rizki

Penelitian ini berjudul “Adaptasi mahasiswa asing di Universitas Padjadjaran.” Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat motif mahasiswa warganegara Malaysia memilih kuliah di Indonesia khususnya di Universitas Padjadjaran, Bandung. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah karena kualitas pendidikan yang baik, budaya yang tidak terlalu berbeda. Selain itu biaya yang murah, dan adanya dorongan dari pihak keluarga, ditunjang dengan beasiswa dari pemerintah Malaysia menjadikan perguruan tinggi di Indonesia menjadi salah satu pilihan prioritas dari mahasiswa Malaysia. Perubahan konsep diri mahasiswa Malaysia terjadi secara bertahap seiring dengan interaksi informan dengan lingkungannya. Pola komunikasi dengan komunitas bersifat dinamis non formal dan menjalin komunikasi secara

(4)

15

berkesinambungan karena memiliki perasaan yang sama sedangkan pola komunikasi dengan mahasiswa Indonesia berlangsung secara dialogis formal dan sering terjadi kesalahan dalam pemaknaan makna. Adapun relevansi dari penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah adanya pola komunikasi mahasiswa asing dengan mahasiswa Indonesia sangatlah berbeda, terutama mahasiswa asing yang berasal dari negara Eropa. Perbedaan tersebut dilihat dari bahasa verbal dan bahasa non verbalnya.

Dari ketiga penelitian terdahulu di atas, kesemuanya berhubungan dengan masalah yang ditemui mahasiswa asing dalam berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia yang berbeda bahasa dan budaya. Dengan demikian ketiga penelitian ini sangat relevan dengan penelitian yang penulis lakukan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 2.1.

Penelitian terdahulu No Nama Yiska Mardolina

(Universitas Hasanudin)

Sangra Juliano dan Melly Maulin (Unikom)

Fiameta Rizki (Universitas Padjajaran) 1 Judul Pola Komunikasi

Lintas Budaya Mahasiswa Asing dengan Mahasiswa Lokal di Universitas Hasanudin

Pola Adaptasi dan Kejutan Budaya Pada Mahasiswa Asing

Adaptasi Mahasiswa Asing di Universitas Padjajaran

2 Tujuan

Penelitian

- Melihat pola komunikasi lintas budaya antara

mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal - Melihat

faktor-faktor yang menjadi penghambat komunikasi

- Mengetahui tahapan- tahapan yang dialami oleh mahasiswa asing dari fase-fase tersebut - Mengetahui

hambatan- hambatan dalam proses adaptasi.

- Melihat motif mahasiswa Malaysia yang memilih kuliah di Indonesia

3 Teori/Konsep Axienty/Uncertainty - Komunikasi - Komunikasi

(5)

16

Management Antarbudaya

- Adaptasi Budaya

Antarbudaya - Konsep diri 4 Metodologi Penelitian yang

bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi

Penelitian ini menggunakan

kualitatif yang bersifat deskriptif

5 Hasil Temuan Adanya perbedaan budaya dan bahasa diawal yang menjadi tantangan tersendiri, namun seiring berjalannya waktu, interaksi keduanya membaik.

- Para informan mengalami tahapan kejutan budaya dari fase

honeymoon, fase krisis, fase

penyembuhan dan fase penyesuaian.

- Hambatan- hambatan:

perbedaan dan

penggunaan bahasa, sifat dan karakter, keyakinan dan usia - Komunikasi

menjadi bagian

penting dalam pola adaptasi mahasiswa asing.

Ingin kuliah di Indonesia karena:

- Biaya murah - Kualitas

pendidikan yang baik - Dorongan dari

pihak keluarga - Ditunjang

dengan beasiswa - Pola

komunikasi yang bersifat dinamis dan berkesinambun gan karena memiliki persamaan - Pola

komunikasi dengan mahasiswa Indonesia berlangsung secara dialogis formal

- Sering terjadi kesalahan pemaknaan makna.

6 Perbedaan Penelitian Penulis Dengan Penelitian Terdahulu

Penelitian ini hanya melihat Pola

Komunikasi Lintas Budaya Mahasiswa Asing dengan Mahasiswa Lokal di Universitas

Hasanudin dan tidak membahasa

bagaimana dampaknya jika

Penelitian ini hanya ingin melihat konteks tahapan fase-fase gegar budaya saja namun tidak melihat dari sisi kompetensi komunikasi

antarbudayanya, sedangkan penelitian peneliti mencakup fase gegar budaya

Penelitian ini membahas soal Mahasiswa asal Malaysia yang ingin kuliah di Indonesia, hal yang diangkat adalah pendidikan dan pola komunikasi dengan mahasiswa Indonesia, sedangkan penelitian peneliti

(6)

17

mahasiswa asing tidak memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya Ssedangkan penelitian peneliti melihat segi hambatan dan kompetensi komunikasi antarbudaya bagi mahasiswa asing.

dan bagaimana mahasiswa asing mengatasi masalah gegar budaya serta bagaimana

dampaknya apabila mereka tidak

memiliki kompetensi komunikasi

antarbudaya

mencakup fase gegar budaya dan bagaimana mahasiswa asing mengatasi masalah gegar budaya serta bagaimana

dampaknya apabila mereka tidak memiliki kompetensi

komunikasi antarbudaya

1.2 Teori atau konsep-konsep yang digunakan

Pada bagian ini penulis akan mencantumkan teori dan konsep-konsep yang berkaitan.

Dengan penelitian yang penulis lakukan. Adapun teori yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu, Teori Gegar Budaya, dan Teori Kompetensi Komunikasi Antarbudaya.

2.2.1 Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi dan kebudayaan eksistensinya saling berkaitan. Suatu budaya dapat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi penerus melalui komunikasi. Komunikasi berfungsi sebagai alat penyebaran tradisi dan nilai-nilai budaya. Pada sisi lain, cara orang berkomunikasi dipengaruhi oleh budaya yang di anut (Shoelhi, 2015:40). Komunikasi dapat memengaruhi budaya dan kebalikannya, untuk menunjang hal tersebut dibutuhkan adanya adaptasi budaya yang bertujuan untuk menyamakan antara sikap dan kebiasaan yang dilakukan individu sehari-hari dengan budaya di lingkungannya. Komunikasi antarbudaya didefinisikan menurut Stella Ting-Toomey dan Leeva C. Chung (2012) adalah :

“Intercultural communication is defined as the symbolic exchange process whereby individuals from two (or more) different cultural communities negotiate shared meanings in an interactive situation.” (2012).

(7)

18

Komunikasi antarbudaya didefinisikan sebagai proses pertukaran simbolis dimana individu dari dua (atau lebih) komunitas budaya yang berbeda menegosiasikan makna bersama dalam situasi interaktif. Ada yang menarik dari definisi Ting-Toomey di atas, bahwa komunikasi antarbudaya memerlukan empat unsur yakni dua orang (atau dua kelompok), dari budaya yang berbeda, dalam interaksi, dan yang menegosiasikan makna umum. Unsur yang keempat menggarisbawahi pentingnya tidak hanya mencoba berkomunikasi tetapi juga untuk memahami, hal ini terasa lebih sulit dan rumit. Sedangkan Definisi komunikasi antarbudaya menurut Gudykunst (2003) adalah: “Intercultural communication involves communication between people from different cultures” (Gudykunst, 2003). Komunikasi antarbudaya

melibatkan komunikasi antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Sementara, Samovar et.al (2009) menggambarkan situasi komunikasi antarbudaya sebagai berikut:

“Intercultural communication occurs whenever a person from one culture sends a message to be processed by a person from a different culture.”

(Samovar et.al., 2009).

Komunikasi antarbudaya terjadi setiap kali seseorang dari satu budaya mengirimkan pesan untuk diproses oleh orang dari budaya yang berbeda. Dalam Prinsip komunikasi yang dikemukakan Deddy Mulyana (2004) seperti dikutip Suryani (2013, h.23) dinyatakan bahwa semakin mirip latar belakang sosial-budaya semakin efektiflah komunikasi. Sementara dua budaya yang berbeda membawa begitu banyak perbedaan, berbeda nilai, norma, sikap, perilaku, dan banyak hal lainnya. Sehingga wajarlah kalau dikatakan semakin besar perbedaan semakin sulit untuk menciptakan komunikasi efektif.

Banyak faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kita dalam pergaulan, salah satunya adalah sukarnya kita dalam berkomunikasi. Demikian halnya saat interaksi lintas kultural berlangsung, tidak sedikit distorsi, kesewenangan memaknai, menjamur menjadi konflik kultural karena ketidak serempakan makna antara pengirim dan penerima (Putra, 2015, h.81). Jika adaptasi budaya gagal dilakukan maka akan timbul gegar

(8)

19

budaya atau culture shock. Gegar budaya terjadi ketika komunikator yang berkomunikasi dengan komunikan yang belum pernah dikenal dan dalam lingkungan yang asing.

Komunikasi dan budaya memiliki hubungan timbal balik, komunikasi mempengaruhi budaya dan budaya juga mempengaruhi komunikasi. Budaya dapat mempengaruhi proses dimana seseorang mempersepsi suatu realitas. Semua komunitas dalam semua tempat selalu memanifestasikan atau mewujudnyatakan apa yang menjadi pandangan mereka terhadap realitas melalui budaya. Sebaliknya pula, komunikasi membantu kita dalam mengkreasikan realitas budaya dari suatu komunitas (Martin dan Nakayama, 2003, h.86).

Dengan belajar memahami komunikasi antarbudaya berarti memahami realitas budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi. Seseorang dapat melihat bahwa proses perhatian komunikasi dan kebudayaan yang terletak pada variasi langkah dan cara berkomunikasi yang melintasi komunitas atau kelompok manusia. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi manusia (Liliweri, 2003) dalam Suryani (2013, h.30). Sementara, menurut Young Yun Kim (2001) seperti dikutip oleh Lee (2017, h.335-352), asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda.

Jadi komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana partisipan yang berbeda latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung.

(9)

20

2.2.2 Fungsi Komunikasi Antarbudaya

Fungsi komunikasi antarbudaya menurut Liliweri (2003) yang dikutip oleh (Lagu, 2016, h.56) terbagi menjadi dua bagian yaitu fungsi pribadi dan fungsi sosial.

a. Fungsi Pribadi

Fungsi pribadi adalah fungsi komunikasi yang tunjukkan melalui perilaku komuikasi yang bersumber dari seorang individu.

1) Menyatakan Identitas Sosial

Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas diri maupun identitas sosial.

Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal dan non verbal. Dari perilaku berbahasa itulah dapat diketahui identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan seseorang. Misalnya Pak Jago adalah orang Jawa, oleh karena itu dia menyatakan identitasnya dengan bahasa Jawa.

2) Menyatakan Integrasi Sosial

Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap megakui perbedan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur.

3) Menambah Pengetahuan

Seringkali komunikasi antarpribadi maupun komunikasi antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan.

4) Melepaskan Diri/Jalan Keluar

Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah-masalah yang sedang kita hadapi.

(10)

21

2.2.3 Faktor Pendukung Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi sendiri bukanlah sesuatu yang hampa. Komunikasi terjadi karena dikelilingi oleh banyak hal. Menurut Gudykunst dan Kim dalam Dedy Mulyana (2016, h.170) disebutkan, tentang empat hal yang mempengaruhi kita dalam berkomunikasi, yaitu: budaya, sosio budaya, psiko budaya dan lingkungan. Budaya sangat berkaitan erat dengan komunikasi. Sebagaimana dikatakan Edward T Hall bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Budaya sangat menentukan bagaimana cara kita berkomunikasi dengan orang lain, baik dengan orang yang berbudaya sama maupun dengan orang budayanya berbeda, Oleh karena itu, dengan pemahaman terhadap orang yang berbeda budaya maka komunikasi lebih efektif sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai.

(Suryani,2013, h. 91-100) .

Komunikasi antarbudaya (KAB) adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa ras, etnis, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Sebagaimana Alo Liliweri (2009:12-13) mengatakan KAB sebagai interaksi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memilki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.

Menurut Liliweri (2004, h.12-14) Budaya dalam komunikasi antarbudaya tidak hanya terbatas pada adat-istiadat, tari-tarian ataupun hasil kesenian lainnya. Budaya dalam komunikasi antarbudaya adalah yang mewujud pada aspek material kebudayaan atau kebudayaan dalam bentuk bendabenda kongkret dan aspek non-materia yaitu kebudayaan dalam bentuk kaidahkaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan untuk mengatur hubungan yang lebih luas termasuk agama, ideologi, kesenian dan semua unsur yang merupakan ekspresi jiwa manusia.

(11)

22

Faktor-faktor pendukung Komunikasi Antarbudaya menurut Shihabudin (2011, h.25) adalah:

a. Penguasaan Bahasa

Kita ketahui bersama bahwa bahasa merupakan sarana dasar komunikasi. Baik komunikator maupun audience (penerima informasi) harus menguasai bahasa yang digunakan dalam suatu proses komunikasi agar pesan yang disampaikan bisa dimegerti dan mendapatkan respon sesuai yang diharapkan. Jika komunikator dan audience tidak menguasai bahasa yang sama, maka proses komunikasi akan menjadi lebih panjang karena harus menggunakan media perantara yang bisa menghubungkan bahasa keduanya atau yang lebih dikenal sebagai translator (penerjemah).

b. Sarana Komunikasi

Sarana yang dimaksud disini adalah suatu alat penunjang dalam berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal. Kemajuan tekhnologi 48 telah menghadirkan berbagai macam sarana komunikasi sehingga proses komunikasi menjadi lebih mudah. Semenjak ditemukannya berbagai media komunikasi yang lebih baik selain direct verbal (papyrus di Mesir serta kertas dari Cina), maka komunikasi bisa disampaikan secara tidak langsung walau jarak cukup jauh dengan tulisan atau surat. Semenjak penemuan sarana komunikasi elektrik yang lebih canggih lagi (televisi, radio, pager, telepon genggam dan internet) maka jangkauan komunikasi menjadi sangat luas dan tentu saja hal ini sangat membantu dalam penyebaran informasi. Dengan semakin baiknya koneksi internet dewasa ini, maka komunikasi semakin lancar.

c. Kemampuan Berpikir

Kemampuan berpikir (kecerdasan) pelaku komunikasi baik komunikator maupun audience sangat mempengaruhi kelancaran komunikasi. Jika intelektualitas si pemberi pesan lebih tinggi dari pada penerima pesan, maka si pemberi pesan harus berusaha menjelaskan.

Untuk itu diperlukan kemampuan berpikir yang baik agar proses komunikasi bisa menjadi

(12)

23

lebih baik dan efektif serta mengena pada tujuan yang diharapkan. Begitu juga dalam berkomunikasi secara tidak langsung misalnya menulis artikel maupun buku, sangat dibutuhkan kemampuan berpikir yang baik sehingga penulis bisa menyampaikan pesannya dengan baik dan mudah dimengerti oleh pembacanya. Demikian juga halnya dengan pembaca, kemampuan berpikirnya harus luas sehingga tujuan penulis tercapai.

d. Lingkungan yang baik

Lingkungan yang baik juga menjadi salah satu faktor penunjang dalam berkomunikasi.

Komunikasi yang dilakukan di suatu lingkungan yang tenang bisa lebih dipahami dengan baik dibandingkan dengan komunikasi yang dilakukan di tempat bising/berisik.

Komunikasi dilingkungan kampus perguruan tinggi tentu saja berbeda dengan komunikasi yang dilakukan ditempat yang penuh dengan keramaian yaitu dipasar, konser musik maupun tempat keramaian yang lainnya.

2.2.4 Hambatan Komunikasi Antarbudaya

Menurut Shoelhi (2015, h.17-18) Untuk mencapai sasaran sebagaimana yang telah diuraikan, komunikasi sering mengalami berbagai hambatan. Hambatan dalam komunikasi antarbudaya bersumber dari tiga faktor , yaitu faktor psikologis, ekologis dan faktor mekanis.

Faktor psikologis berkaitan dengan kondisi kejiwaan seseorang yang mempengaruhi baik secara positif maupun negatif terhadap jalannya komunikasi. Faktor ekologis berkaitan dengan kekuatankekutan eksternal yang mempengarhi peserta komunikasi, seperti perbedaan sosial ekonomi atau kondisi lingkungan seperti riuh, bising, hujan, petir dan faktor alam lain yang mempengaruhi terjadinya komunikasi. Sedangkan faktor mekanis berkaitan dengan media atau tehnologi yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti pertemuan, festival, telekonferensi, chat, dan sebagainya.

(13)

24

Menurut Larry A. Samovar dan Richard A. Porter (2001) dalam Daryanto (2011, h.79) menjelaskan jika ada 8 hambatan potensial yang terjadi pada komunikasi antar budaya:

1. Mencari Kemiripan

Manusia cenderung mencari kedekatan dengan orang yang memiliki kesamaan dalam penampilan, kebiasaan, dan sifat. Manusia juga memiliki kecenderungan alami untuk memilih topik pembicaraan yang sama-sama disukai oleh keduanya jika ia bertemu dengan seseorang yang baru. Jika hal ini terjadi pada konteks komunikasi antar budaya maka keterkaitan antara kecenderungan seseorang untuk mencari teman dengan kepribadian yang sama dengan dirinya harus jelas, namun kebudayaan telah memberi pengikutnya sebuah pola- pola komunikasi yang seringkali berbeda dengan pola dari kelompok budaya lain. Manusia cenderung menganggap tempat terbaik dalam pergaulan adalah bersama kelompok kelompok yang satu paham atau keyakinan dengan mereka, masalah yang bias muncul dari kenyaman tersebut adalah tersisihnya orang-orang yang tidak memiliki kesamaan atau bukan bagian dari kelompok tersebut. Masih seringkali terjadi, seseorang mengalami kesulitan untuk menerima perbedaan budaya dan lebih memilih untuk menutup diri dari orang-orang dengan budaya yang berbeda, hal seperti ini adalah salah satu alasan mengapa bias dari kesamaan dapat menjadi masalah komunikasi yang pontensial.

2. Pengurangan Ketidakpastian

Pada saat seseorang bertemu dengan orang yang asing, hal utama yang akan dilakukan oleh keduanya adalah mengurangi ketidakpastian, atau meningkatkan kemampuan untuk memprediksi tingkah laku dari lawan komunikasinya. Jika kemampuan untuk “memprediksi hal yang yang akan dilakukan atau hal yang mungkin terjadi berikutnya” menurun, maka ketidakpastian pasti akan meningkat. Ketidakpastian dapat menjadi salah satu dari segala hal yang mengganggu berlangsungnya komunikasi antar budaya. Pertama, ada beberapa

(14)

25

pertanyaan yang berhubungan dengan perilaku yang berurusan dengan bagaimana seseorang harus bersikap saat dihadapkan dengan situasi tertentu dan orang-orang tertentu, beberapa kebingungan akan cara berperilaku yang diakibatkan oleh ketidakpastian dapat mengakibatkan stress. Kedua, ada beberapa rangkaian dari pertanyaan kognitif yang membawa perasaan tidak pasti dan menghambat kemampuan memprediksi. Komunikasi adalah alat yang sangat penting yang digunakan untuk mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan pengetahuan pada lawan komunikasinya, namun bagaimanapun membuat prediksi yang pasti dan mengumpulkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian adalah hal yang sulit ketika seseorang dihadapkan dengan orang lain dengan kebudayaan yang berbeda, saat seseorang tersebut gagal dalam memahami arti dari perilaku yang ditampilkan, maka ia akan kesulitan dalam menggunakan perilaku itu untuk mendefinisikan sebuah situasi dan mengurangi ketidakpastia, saat hal itu terjadi seseorang bisa menjadi merasa tertekan.

3. Stereotip

Porter & Samovar (1991:280) dalam Zikargae (2013) mendefiniskan stereotip sebagai:

Persepsi atau kepercayaan yang kita pegang terhadap suatu kelompok atau individu berdasarkan sikap atau opini yang kita bangun sebelumnya. Stereotip bukanlah sifat yang dibawa dari lahir, namun stereotip adalah sesuatu yang dipelajari dari berbagai cara, stereotype juga dapat dibangun melalui kontak- kontak pribadi yang terbatas, dan juga stereotip dapat dipelajari melalui bagaimana media massa mempresentasikan suatu budaya.”

Efek berbahaya dari stereotip terhadap komunikasi antarbudaya telah dijelaskan secara jelas oleh N.J. Adler yang dikutip oleh Porter dan Samovar (2010, h.268) kedalam buku Communication between Cultures sebagai berikut:

Stereotype menjadi kontraproduktif saat kita menempatkan seseorang pada kelompok yang salah, saat kita salah dalam memahami norma suatu kelompok, saat kita secara tidak sopan mengevaluasi suatu kelompok atau kategori, saat kita bingung antara stereotype dengan gambaran dari individu tertentu dan saat kita gagal untuk mengubah stereotip berdasarkan observasi yang aktual.”

(15)

26

4. Prasangka

Dalam konteks interpersonal dan antarbudaya, prasangka seringkali memuat berbagai tingkatan permusuhan. Levin, seperti yang dikutip oleh Porter dan Samovar (2010, h. 295), mempercayai jika prasangka berhubungan dengan:

Perasaan negatif, kepercayaan, dan kecenderungan bertindak atau perilaku mendiskriminasi yang muncul dan bertentangan dengan manusia berdasarkan kebijakan status yang mereka tempati atau yang dianggap mereka tempati sebagai bagian dari kelompok minoritas”.

Menurut A. Samovar, E. Porter, R. Mcdaniel, (2010, h.312) bahwa prasangka terjadi ketika seseorang memiliki generalisasi terhadap sekelompok orang atau hal-hal, sering kali didasarkan pada sedikit atau tidak adanya pengalaman faktual. Prasangka dapat menjadi postif (menyukai kelompok tertentu atau suatu hal) atau negatif. Sama halnya dengan stereotype, prasangka adalah sesuatu yang dipelajari. Untuk beberapa orang, prasangka menawarkan sebuah “perasaan yang menganggap dirinya unggul” atau “perasaan yang menggap dirinya berkuasa”. Beberapa cara seseorang mengungkapkan prasangka dapat menuntun orang tersebut pada perilaku kekerasan fisik untuk melawan orang-orang diluar kelompok.

5. Rasisme

Rasisme adalah perpanjangan dari prasangka, rasisme mengacu kepada perasaan yang meyakini jika salah satu kategori ras ditakdirkan untuk menjadi lebih unggul dari ras lainnya.

Yang perlu ditanamkan kepada orang-orang adalah, hal-hal yang membedakan sekelompok manusia adalah kebudayaannya, bukan keturunan bilogis maupun ras. Rasisme tetap menjadi halangan yang utama terhadap suksesnya komunikasi antarbudaya.

(16)

27

6. Kekuasaan

Akar dari prasangka dan rasisme adalah hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan.

Kekuasaan adalah kemampuan unutk mengontrol apa yang terjadi untuk menyebabkan sesuatu yang diinginkan untuk terjadi, dan untuk menghalangi sesuatu yang tidak diinginkan untuk terjadi, masalah yang dapat ditimbulkan adalah kekuasaan biasanya tidak hanya mengontrol kehidupan si penguasa, namun juga mengontrol kehidupan orang lain. Dalam ranah komunikasi antarbudaya, kekuasaan dapat diperlihatkan dengan berbagai cara. Pada komunikasi antarbudaya, jumlah kekuasaan yang dimiliki atau tidak dimiliki seseorang mempengaruhi kepada siapa orang itu berbicara, apa yang dibicarakan oleh orang tersebut, dan seberapa banyak kontrol yang diperlukan saat ia berbicara. Ada bermacam-macam cara manusia di dunia mengekspresikan kekuatan yang dimilikinya, yang tentu saja bentuk-bentuk ekspresi tersebut berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Pada saat terjadinya interaksi antarbudaya, keasadaran para pelaku komunikasi terhadap pendekatan satu sama lain terhadap kekuasaana adalah hal yang penting.

7. Gegar Budaya

Gegar budaya disebabkan oleh kecemasan yang dihasilkan dari hilangnya tanda-tanda familiar & simbol-simbol dari hubungan sosial. Gegar budaya akan dialami oleh orang-orang

yang harus melakukan kontak langsung dengan anggota dari kelompok budaya lain. Bagi banyak orang, gegar budaya dapat ditandai dengan depresi, reaksi fisik yang serius (pusing atau mual), kemarahan, mudah marah, atau agresi terhadap budaya baru, semua reaksi tersebut dapat menghambat terjadinya komunikasi antarbudaya. Namun, gegar budaya tidak saja memberi dampak negatif, ada juga dampak positif yang dihasilkan dari gegar budaya yaitu kesempatan pada seseorang untuk mempelajari dirinya sendiri dan diwaktu yang sama ia juga mempelajari budaya lain.

(17)

28

8. Etnosentrisme

Nanda dan Warms dalam Porter dan Samovar (2010, h. 315) menawarkan sebuah penjelasan kontemporer mengenai etnosentrisme, yaitu sbb:

Gagasan jika budaya milik seseorang lebih unggul daripada budaya lain, dan budaya lain harus diukur berdasarkan sejauh mana mereka hidup berdasarkan standar budaya pengukur. Seseorang menjadi etnosentris jika orang itu melihat budaya lain melalui pandangan sempit tentang budaya atau posisi sosial yang ia miliki.”

Jika digunakan untuk menjauhi maupun memberikan alasan untuk menghina orang lain dan juga digunakan untuk menolak perubahan, etnosentrime dapat menjadi kondisi yang negatif dan menjadi sesuatu yang merusak. Etnosentris dapat mengakibatkan pengasingan budaya minoritas dari budaya dominan atau satu kelompok dari kelompok lain.

Sementara itu, menurut Soelhi (2015, h.17-18) menyatakan bahwa hambatan dalam komunikasi antarbudaya bersumber dari tiga faktor, yaitu faktor psikologis, ekologis dan faktor mekanis. Faktor psikologis berkaitan dengan kondisi kejiwaan seseorang yang mempengaruhi baik secara positif maupun negatif terhadap jalannya komunikasi. Faktor ekologis berkaitan dengan kekuatankekutan eksternal yang mempengarhi peserta komunikasi, seperti perbedaan sosial ekonomi atau kondisi lingkungan seperti riuh, bising, hujan, petir dan faktor alam lain yang mempengaruhi terjadinya komunikasi. Sedangkan faktor mekanis berkaitan dengan media atau teknologi yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti pertemuan, festival, telekonferensi, chat, dan sebagainya. Disamping ketiga hambatan tersebut, hambatan yang berupa perbedaan budaya sangat besar dalam mempengaruhi terjadinya komunikasi antara komunikator dan komunikan.

Menurut Purwasito dalam Soelhi, (2015, h.172), hambatan yang bersumber pada perbedaan kebudayaan lebih menonjol pada faktor heterofili sehingga komunikasi tidak berjalan lancar. Tujuan komunikasi akan lebih lancar apabila partisipan komunikasi

(18)

29

mempunyai persamaan (homofili). Hambatan-hambatan dalam komunikasi yang berkaitan dengan faktor budaya dapat dikategorikan sebagai berikut :

a) Etnosentrisme

Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Dalam etnosentrisme sebuah komunitas menganggap budaya superior dibanding budaya lain. Peserta komunikasi yang berbeda budaya dapat menggagalkan komunikasi.

b) Stereotip

Menurut Samovar, Porter dan McDaniel (2010, h.203) Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan masyarakat berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat.

Stereotip mampu menghambat komunikasi antarbudaya. Orang yang bersikap strereotip cenderung menempatkan orang di luar kelompoknya sebagai out group.

c) Prasangka

Prasangka pada dasarnya adalah cara pandang atau perilaku seseorang terhadap orang lain secara negatif. Itu sebabnya prasangka sangat potensial menimbulkan kesalahpahaman daripada kesepahaman berkomunikasi. Prasangka dapat menghambat komunikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih menyenangkan daripada interaksi dengan orang tak dikenal.

d) Perbedaan pola pikir

Pola pikir berkaitan dengan pencarian kebenaran yang mengandalkan rasionalitas. Pola pikir seseorang atau kelompok orang berbeda satu sama lain sebagai akibat pengalaman dan acuan yang digunakan. Pola pikir sangat berpengaruh terhadap reaksi, rangsangan, dan tanggapan individu dalam berkomunikasi dengan individu yang berasal dari budaya lain.

(19)

30

e) Faktor Bahasa

Bahasa sebagai alat komunikasi sering menjadi hambatan utama dalam komunikasi ketika para peserta komunikasi tidak memiliki persamaan bahasa. Bahasa bukan hanya berupa bahasa verbal namun juga bahasa nonverbal. Seringkali terjadi miskomunikasi karena orang salah menginterpretasikan bahasa nonverbal seseorang.

f) Faktor sintaksis dan semantik

Hambatan semantik dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Pertama, adanya pengertian konotatif atau denotatif. Kedua, adanya perbedaan makna dan pengertian untuk kata atau istilah yang sama sebagai akibat aspek psikologis. Ketiga, komunikator salah mengucapkan kata-kata karena tergesa-gesa.

g) Gegar budaya Gegar

Menurut Purwasito (2003, h.178) dalam Shoelhi, (2015, h.172) Gegar budaya adalah disorientasi psikologis yang dialami seseorang ketika seseorang bergerak dalam periode tertentu ke dalam sebuah lingkungan budaya yang berbeda dari budaya mereka sendiri.

Berada di tengah lingkungan yang berbeda budaya menyebabkan seseorang salah tingkah sehingga menyebabkan komunikasi tidak efektif dan terhambat.

Gudykunst dan Kim (1992, h.33) dalam Ridwan, (2016, h.109) mengilustrasikan sebuah model komunikasi antarbudaya (gambar 1) yang menunjukkan bahwa proses penyandian dan penyandian balik pesan dalam interaksi antar individu beda budaya dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang terdiri dari: (1) Faktor budaya, berhubungan dengan nilai, norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi manusia yang meliputi pandangan dunia (agama), bahasa, dan sikap terhadap orang lain yang dipengaruhi oleh budaya individu atau budaya kolektif; (2) Faktor sosiobudaya, menyangkut proses penataan sosial (social ordering process) yang berkembang berdasarkan interaksi dengan

(20)

31

orang lain, ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu, misalnya pola outgroup dan ingroup, konsep diri, ekspek-tasi peran, dan defenisi hubungan antar pribadi; (3) Faktor psikobudaya, mencakup proses penataan pribadi (personal ordering process) yang memberi stabilitas pada proses psikologis, misalnya: stereotip, etnosentrisme

dan prasangka; (4) Faktor lingkungan meliputi: lingkungan fisik atau ruang dan wilayah komunikasi, lingkungan situasi dan kondisi atau latar dan tujuan interaksi, lingkungan aturan dan norma atau kesepakatan sosial yang menjadi aturan main sosial, lingkungan psikologi meliputi persepsi tentang kebebasan pribadi, penggunaan waktu dan interaksi lingkungan yang potensial, seperti ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1.

Model KAB Gudykunst dan Kim

Sumber : Gudykunst dan Yu Kim (1993). dalam (Ridwan, 2016, h.109)

2.3 Teori terkait Komunikasi Antarbudaya

Menurut Samovar dan Porter (2010, h. 279-283), komunikasi antarbudaya terjadi bila komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) adalah

Message/Feedback

Message/Feedback Environmental

Influences

Environmental Influences

(21)

32

anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang disebabkan perbedaan kebudayaan.

Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya. Porter dan Samovar memperkenalkan model komunikasi antarbudaya sebagai berikut:

Gambar 2.2

Model Komunikasi Antarbudaya (samovar & Porter 2010)

Sumber: Samovar & Porter (2010)

Gambar ini menunjukkan adanya tiga budaya yang berbeda yang diwakili oleh tiga bentuk geometrik yang berbeda. Bentuk budaya A dan budaya B hampir serupa, namun lain dengan budaya C yang bentuknya jauh berbeda. Dalam setiap budaya ada bentuk lain individu yang agak serupa dengan bentuk budaya itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk

Budaya C

Budaya A Budaya B

(22)

33

budaya yang mempengaruhinya. Ini menggambarkan adanya pengaruh‐pengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu dan sekalipun budaya itu dominan dalam mempengaruhi individu, orang‐orang dalam suatu budaya pun memiliki sifat‐sifat yang berbeda.

2.3.1. Gegar Budaya

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan gegar budaya

diperkenalkan pertama kali oleh antropolog, Kalvero Oberg pada tahun 1960. Menurut Kalvero Oberg dalam Larry A. Samovar, Porter dan McDaniel (2010, h.476) definisi kejutan budaya adalah:

“Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Tanda dan petunjuk ini terdiri atas ribuan cara di mana kita mengorientasikan diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana memberikan petunjuk, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana untuk tidak berespon. Petunjuk ini, dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan atau kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan pikiran efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyak tidak kita sadari”

Menurut Oberg dalam Dayakisni (2012, h.265) menggambarkan bahwa gegar budaya adalah respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Istilah ini menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau sesuai. Pada awalnya definisi gegar budaya cenderung pada kondisi gangguan mental. Bowlby dalam Dayakisni (2012, h. 266) menggambarkan bahwa kondisi ini sama seperti dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan, sehingga dapat dikatakan mirip dengan kondisi seseorang ketika kehilangan orang yang dicintai. Ketika kita masuk dan

(23)

34

mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ gegar budaya (Littlejohn, dalam Mulyana, 2006, h.125)

Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, berbagai konsep tentang gegar budaya berkembang untuk memperluas definisi ini, seperti dikemukakan oleh Adler (1975) dan Pedersen (1995, 1970) dalam Abbasian and Sharifi, (2013). Menurut Adler (1975) yang dikutip oleh Abbasian and Sharifi (2013) mengemukakan bahwa gegar budaya merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan akan ditipu, dilukai ataupun diacuhkan. Gegar budaya merupakan sebuah fenomena emosional yang disebabkan oleh terjadinya disorientasi pada kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas atau disonan ( Hayqal, 2011).

Edward Hall dalam bukunya yang berjudul Silent Language (1959) dalam Hayqal, 2011) mendeskripsikan Gegar Budaya adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing.

Konsep Gegar Budaya yang diperkenalkan oleh Oberg (1960) yang kemudian disempurnakan oleh Furnham dan Bochner (1970) menunjukkan bahwa Gegar Budaya terjadi biasanya dipicu oleh salah satu atau lebih dari tiga penyebab berikut ini, yaitu: 1) Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-

hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh (gestur), ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu. 2) Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa

(24)

35

adalah penyebab jelas dari gangguan ini. 3) Krisis identitas dengan pergi keluar daerahnya seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya (Dayakisni, 2012: 265).

Edward Hall dalam Hayqal (2011) mendeskripsikan gegar budaya adalah gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing. Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, banyak konsep tentang gegar budaya untuk memperluas definisi ini. Adler (dalam Abbasian and Sharifi, 2013) mengemukakan bahwa gegar budaya merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutan akan di tipu, dilukai ataupun diacuhkan. Gegar budaya merupakan sebuah fenomena emosional yang disebabkan oleh terjadinya disorientasi pada kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas (Stella, dalam Hayqal, 2011). Menurut Kim seperti dikutip oleh Abbasian & Sharifi, (2013) dinyatakan bahwa gegar budaya adalah proses generik yang muncul setiap kali komponen sistem hidup tidak cukup memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru. Selanjutnya gegar budaya adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh orang-orang ketika mereka bepergian atau pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru (Odera, dalam Niam, 2009).

Untuk mahasiswa internasional, komponen pengaruh kejutan budaya muncul dalam studi yang menunjukkan perubahan kehidupan akulturasi berkorelasi dengan tekanan psikologis (Searle & Ward, 1990; Ward & Kennedy, 1993a, 1993b) seperti dikutip oleh Yamashita & Tanaka (2010). Hampir semua mahasiswa internasional menghadapi serangkaian stresor akulturasi, termasuk hambatan bahasa, lingkungan pendidikan, situasi sosial budaya diskriminasi, kesepian, dan stresor gaya hidup atau praktis (Smith & Khawaja, 2011). Lin dan Yi (1997) dalam Alavi dan Mansor (2011) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan situasi sosial budaya antara lain kesulitan akomodasi yang sesuai, kesulitan

(25)

36

finansial, kesulitan dalam makanan dan kebiasaan-kebiasaan cara makan yang berbeda, tuntutan akademis yang tinggi serta tantangan untuk menyesuaikan diri pada budaya baru juga membuat proses mahasiswa asing dalam menyesuaikan diri menjadi lebih rapuh dan beresiko.

Sementara itu Pedersen, Neighbors, Larimer, & Lee (2011) mengemukakan bahwa kesulitan adaptasi yang dihadapi oleh para mahasiswa asing dapat dilihat dari enam aspek dalam Sojourner Adjustment Measure, yang tergolong ke dalam faktor positif dan faktor negatif dari penyesuaian diri. Faktor positif antara lain adalah interaksi sosial dengan masyarakat di negara tujuan, pemahaman budaya dan partisipasi di negara tujuan, pengembangan dan penggunaan bahasa negara tujuan, serta identifikasi budaya negara tujuan. Sedangkan faktor negatif antara lain adalah interaksi sosial dengan sesama individu dari negara asal dan homesickness. Menurut Furnham (dalam Tillburg & Vingerhoets, 2005:

20) yang dikutip oleh Istanto dan Engry (2019) homesickness muncul sebagai pemikiran yang kuat tentang rumah, perasaan untuk selalu ingin pulang ke rumah, kesedihan yang mendalam untuk rumah, dan adanya perasaan tidak nyaman yang dimiliki saat berada di tempat yang baru. Berdasarkan beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa homesickness merupakan suatu distress atau perasaan tidak nyaman yang dapat terjadi karena individu berpisah dari lingkungan tempat tinggalnya serta ditandai dengan emosi negatif, dialaminya pemikiran yang kuat tentang rumah serta gejala somatik. Reaksi yang ditimbulkan dalam individu terhadap perbedaan budaya dan culture shock (Andani, 2017:23) dapat dilihat pada gambar berikut ini.

(26)

37

Gambar 2.3

Reaksi yang ditimbulkan individu terhadap perbedaan budaya

Sumber : Andani (2017: 23)

Kejutan budaya juga dapat dipengaruhi oleh faktor sewaktu. Larry A. Samovar dkk.

(2010) menuliskan fase-fase kejutan budaya yang digambarkan dalam bentuk kurva U, sehingga disebut U – Curve, yaitu :

1) Fase optimistic atau honeymoon, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.

2) Masalah kultural atau culture shock, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru, dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis dalam gegar budaya. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustrasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.

3) Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Pada fase recovery, stres yang dirasakan sudah mulai berkurang. Usaha adaptasi yang dilakukan sudah mulai tampak hasilnya. Kegiatan rutin pun sudah bukan menjadi masalah lagi bagi mereka. Setelah itu, masuk pada fase

Rasa ingin tahu terhadap budaya baru Kurangnya

nafsu makan Tekanan

Mental Hilangnya

rasa percaya diri

Home Sickness

(27)

38

adaptation atau adaptasi. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.

4) Fase penyesuaian atau adjustment, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya seperti nilai-nilai, adab khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain

Gambar 2.4 U Curve

Sumber: Samovar dan Richard Edwin (2010:169) Sumber: Larry A. Samovar dkk (2010)

Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Selain fase – fase di atas, kejutan budaya dapat terjadi terulang ketika seseorang kembali pulang ke asalnya. Dirinya akan merindukan suasana lingkungan, budaya, dan teman – temanya di budaya yang lain. Ketika hal ini terjadi, maka dirinya akan kembali mengalami empat fase penyesuaian tersebut dan terjadilah kurva – W yang merupakan gabungan dari dua kurva – U. Mereka akan mengalami putaran lain dari culture shock, yang dikenal dengan Reverse Culture Shock atau Re-entry Culture Shock, kali

ini dalam budaya asli mereka. Contohnya seperti mahasiswa yang kembali dari belajar di luar negeri, mereka akan memiliki perpektif yang berbeda dan melihat dunia dengan perspektif yang berbeda pula. Mahasiswa banyak yang mengeluh bahwa mengomunikasikan

Recovery

Adjustment

(28)

39

pengalaman mereka di luar negeri kepada teman dan keluarga mereka, sering sulit dilakukan.

Inilah yang kemudian terjadi dalam tahapan Kurva W (Oberg, 1960) dalam Dayakisni (2012).

Gambar 2.5 W Curve

Sumber : Oberg (1960) dalam Dayakisni (2012)

Dari teori diatas dapat terindikasi bahwa teori gegar budaya sangat berkaitan dengan orang yang menginjak daerah yang baru pertama kali dikunjungi yang membuat mereka sering mengalami kecemasan, gelisah dan ketidaknyamanan saat memasuki lingkungan baru atau bertemu dengan orang-orang baru.

2.3.2 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Menurut Porter dan McDaniel (2010, h. 460-461) Kompetensi merupakan sebuah kemampuan, perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Komunikator yang kompeten merupakan seseorang yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dengan anggota dari latar belakang linguistik-kultural yang berbeda.

Seseorang dapat berinteraksi dengan baik jika memiliki motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup, kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas dan memiliki karakter.

(29)

40

Menurut Chen & Starosta (1996) dalam Luthfia (2011, h.850) Sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan semakin menyepitnya dunia dan adanya saling ketergantungan global, maka pemahaman antar budaya dan kemampuan berkomunikasi antar budaya menjadi sangat penting. Hanya melalui komunikasi antar budaya yang kompeten, orang dari budaya yang berbeda dapat berkomunikasi dengan efektif dan layak serta dapat memahami satu sama lain di dalam masyarakat global.

Kompetensi komunikasi antarbudaya sangat diperlukan di era globalisasi di mana orang dengan latar belakang budaya dan etnis yang berbeda semakin sering melakukan kontak face to face. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Kompetensi Komunikasi Antarbudaya yang dikemukakan oleh Samovar, Porter dan Mc.Daniel (2010), dan Chen dan Starosta (1996) karena ketiga teori ini sangat sesuai dengan penelitian ini.

2.3.3 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Menurut Spitzberg dalam Samovar, Porter, McDaniel (2010, h.446) menjelaskan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah “perilaku yang efektif dalam suatu konteks tertentu.” Seorang komunikator yang kompeten memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara efektif sesuai dengan anggota dari budaya yang memiliki latar belakang linguistik-kultural. Menurut Samovar, Porter dan Mc.Daniel (2010, h.447), menyebutkan terdapat lima komponen kompetensi komunikasi antarbudaya, yakni: motivasi, pengetahuan, keterampilan, sensitivitas dan karakter.

1. Motivasi

Merupakan hal yang logis dan alami untuk mengasumsikan bahwa seseorang termotivasi untuk berinteraksi dengan orang yang dekat dengannya baik secara fisik dan emosional. Walaupun hal ini merupakan reaksi normal, hal ini kadang menjauhkan orang tersebut untuk memahami pengalaman orang-orang. Motivasi

(30)

41

dalam hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya berarti harus memiliki keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasi. Jadi, sebagai komunikator yang penuh motivasi, harus menunjukkan ketertarikan, berusaha untuk berbicara serta mengerti, dan menawarkan bantuan. Motivasi, yaitu keinginan untuk berkomitmen dalam hubungan, keinginan untuk belajar tentang diri pribadi dan orang lain dan berusaha untuk fleksibel. Motivasi adalah dimensi terpenting dalam komponen individual. Motivasi itu dapat berupa kebutuhan seseorang terhadap suatu informasi. Namun karena kebutuhan setiap individu berbeda-beda, jadi setiap individu memiliki kombinasi kebutuhan dan hal itu menentukan kekuatan motivasi seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Selanjutnya harus menunjukkan bahwa ingin berhubungan dengan orang lain dalam level personal dan memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang- orang dari budaya yang berbeda. Supaya komunikasi antarbudaya sukses, harus dimotivasi untuk maju melintasi batas pribadi anda dan berusaha mempelajari pengalaman orang-orang yang bukan bagian dari kehidupan anda sehari- hari. Seperti yang diingatkan oleh antropolog Jane Goodall, “Bahaya terbesar bagi masa depan kita adalah keapatisan.” (Samovar, Porter, Mc Daniel, 2010, h.461).

2. Pengetahuan

Menurut Samovar, Porter, Mc Daniel (2010, h.461) Komponen Pengetahuan dalam kompetensi komunikasi antarbudaya berarti bahwa perlu menyadari dan memahami peraturan, norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan. Misalnya, perlunya pengetahuan ini seperti yang diaplikasikan pada dunia medis dijelaskan oleh Luckmann, “Perawat yang tidak mengetahui perbedaan budaya beresiko salah mengerti usaha pasien untuk berkomunikasi.

Sebagai akibatnya, pasien mungkin tidak menerima perawatan yang seharusnya.”

(31)

42

Morreale, Spitzberg, dan Barge mengindikasikan bahwa seseorang memerlukan dua jenis pengetahuan supaya lebih kompeten yaitu pengetahuan konten dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan konten meliputi pengetahuan mengenai topik apa, kata-kata, arti, terkait kebahasaan, verbal dan nonverbal dan seterusnya yang dibutuhkan dalam suatu situasi. Pengetahuan procedural merujuk pada pengetahuan mengenai bagaimana membuat, merencanakan, dan menunjukkan pengetahuan konten dalam situasi tertentu. Perlu kedua jenis pengetahuan dalam rangka menentukan strategi komunikasi yang tepat, protokol apa yang pantas, dan kebiasaan budaya apa yang perlu diamati.

3. Kemampuan

Sebagai komunikator antarbudaya yang kompeten harus dapat mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan serta mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan untuk mencapai tujuan. Smith dan Bond menjelaskan poin ini ketika mereka mengindikasikan kemampuan tersebut perlu diadaptasi dalam peraturan interaksi yang pantas dalam budaya tuan rumah.

Sebenarnya setiap orang telah mempelajari kemampuan ini dalam hidupnya, sehingga dapat berkomunikasi dengan anggota budaya mereka sendiri. Harus disadari, bagaimanapun, bahwa kemampuan komunikasi yang sukses dengan suatu kelompok mungkin tidak pantas bagi budaya yang lain (Samovar, Porter, Mc Daniel, 2010, h.462).

4. Sensitivitas

Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi yang sensitif satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan dalam suatu interaksi.

Sensitivitas, menurut Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya lain, terbuka pada perbedaan, dan

(32)

43

merasa nyaman dengan yang lain. Pencer-Roberts dan McGovern menambahkan bahwa komunikator yang sensitif memiliki rasa toleransi terhadap ambiguitas. Hal ini berarti bahwa ketika melihat suatu kebiasaan dan perilaku yang aneh dan tidak biasa, tidak akan merasa bingung karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi atau menentang perilaku dan kebiasaan tersebut. Hal ini mengarah pada pemikiran lain oleh Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya yang percaya bahwa komunikator yang sensitif harus lebih toleran terhadap orang lain dan budaya lain serta mengembangkan perasaan allophila, yaitu menyukai yang lain dan perilaku yang menginspirasi (Samovar, Porter, Mcdaniel, 2010, h.462).

5. Karakter

Menurut P.B. Fitzwater (dalam Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010, h.463), bahwa karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya, adalah bagaimana Anda melaksanakan pilihan tersebut ketika Anda berinteraksi dengan orang yang berbeda budayanya. Sifat yang diasosiasikan dengan karakter adalah apakah mereka dapat dipercaya atau tidak (Samovar, Porter, dan Mc.Daniel, 2010:463). Sifat kadang diasosiasikan dengan orang yang terpercaya adalah kejujuran, penghargaan, kewajaran, dan kemampuan untuk mekakukan pilihan yang tepat, dan juga kehormatan, altruisme (sifat mementingkan kepentingan orang lain), ketulusan, dan niat baik.

2.3.4 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Menurut Chen & Starosta (1996) kompetensi komunikasi antarbudaya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan interaktan dalam memahami, menghargai, menoleransi dan mengintegrasikan perbedaan budaya, sehingga mereka siap menjadi menjadi anggota masyarakat dunia. Model ini menyajikan sebuah proses transformasional dari saling ketergantungan simetris yang dapat dijelaskan melalui tiga perspektif:

(33)

44

1. Affective, atau sensitivitas antarbudaya;

2. Cognitive, atau kesadaran antarbudaya; dan 3. Behavioural, atau kecakapan antarbudaya.

Ketiga perspektif ini sama-sama penting, tidak dapat dipisahkan dan membentuk gambaran yang holistik dari kompetensi komunikasi antarbudaya.

Perspektif sensitivitas antarbudaya (affective) berfokus pada emosi personal atau perubahan perasaan yang disebabkan oleh situasi, orang dan lingkungan tertentu (Triandis dalam Chen & Starosta, 2014). Menurut Bennett (1984, 1986) dalam Chen (2010, h.1), sensitifitas antar budaya adalah proses yang terus dibangun di mana seseorang dapat mengubah diri mereka dari tahap etnosentris menuju tahap etnorelatif. Empat atribut personal yang membangun perspektif ini adalah: (1) self-concept (konsep diri), cara seseorang memandang dirinya; (2) open-mindedness (berpikiran terbuka); (3) non-judmental attitudes, tidak berprasangka buruk; (4) social relaxation, kemampuan untuk mengungkap hanya sedikit kecemasan emosi dalam komunikasi antarbudaya.

Perspektif kesadaran antarbudaya (cognitive) menekankan pada perubahan pemikiran seseorang tentang suatu lingkungan melalui pemahaman perbedaan-perbedaan karakteristik dari budaya dirinya dan orang lain. Di antaranya yaitu, (1) self-awareness atau self- monitoring, kesadaran diri; (2) cultural awareness, kesadaran budaya. Pengetahuan

antarbudaya (intercultural awareness) yang merupakan aspek kognitif dari kompetensi komunikasi antarbudaya menekankan pada pemikiran individu tentang lingkungan malalui pemahaman karakteristik yang membedakan budayanya dan budaya orang lain.

Perspektif perilaku, ialah kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel serta pandai dalam menggunakan keahlian kognitif dan afektif yang dimilikinya. Perspektif ini menekankan pada bagaimana untuk bertindak secara efektif di dalam interaksi antar budaya.

Kecakapan antar budaya (intercultural adroitness) bertalian erat dengan ketrampilan

(34)

45

berkomunikasi. Hal ini meliputi perilaku verbal dan non-verbal yang memberikan interaksi yang efektif. Atribut-atribut yang membangun perspektif ini adalah: (1) Message skills, kemampuan untuk menggunakan bahasa orang lain; (2) Appropriate self-disclosure, pengungkapan diri yang layak; (3) Behavioral flexibility, kemampuan untuk memilih perilaku yang layak dalam konteks dan situasi yang berbeda; (4) Interaction management, kemampuan untuk berbicara dalam percakapan dan untuk memulai dan menghentikan pembicaraan secara layak; (5) Social skills, empati.

Dalam menelaah perspektif ini akan digunakan konsep-konsep Edward T. Hall membedakan tipe komunikasi antar budaya dalam low dan high context culture. Menurut Edward Hall dalam Liliweri (2009) budaya konteks tinggi, ditandai dengan penyajian pesan komunikasi tidak secara eksplisit, tidak fokus ke persoalan, terlalu banyak basa-basi.

Singkatnya, tidak mengungkapkan secara terbuka apa yang menjadi masalah. Sebaliknya, budaya konteks rendah, cenderung menyajikan pesan secara eksplisit, bicara langsung, lugas dan berterus terang. Berbagai penelitian menunjukkan, berbagai kelompok budaya atau etnis di Indonesia. Budaya, menurut Geert Hofstede, perbedaan-perbedaan budaya, merupakan

”the collective programming of the mind which distinguishes the member of one human group from another” (Anna Ruttger, 2018). Pada high-context cultures sebagian besar informasi dalam konteks fisik atau diinternalisasikan di dalam orang-orang yang berinteraksi.

Sangat sedikit informasi yang berupa pesan-pesan verbal. Pada low-contextt cultures sebagian besar informasi berupa pesan-pesan verbal. Jepang, Korea dan negara-negara Asia lainnya merupakan high-context cultures. Amerika Serikat, Jerman, Swiss dan negara Eropa Barat lainnya adalah low-context cultures.

Individu yang termasuk dalam high-context culture lebih menyukai penyampaian pesan secara non verbal dengan cara yang tidak langsung. Untuk memahami pesan dalam masyarakat high-context culture satu sama lain perlu melibatkan jaringan konteks yang luas

(35)

46

dan erat misalnya keluarga, teman, kolega. Berbeda dari masyarakat high-context culture, suatu informasi bagi masyarakat low-context culture hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu secara pribadi. Pada komunikasi low-context, pesan disampaikan melalui pernyataan- pernyataan atau simbol-simbol yang jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami makna. Dalam komunikasi low-context, situasi dan perilaku-perilaku non verbal sifatnya relatif kurang penting, demikian juga masyarakat tipe ini sangat jarang melibatkan suatu pesan dengan subjek dari jaringan informasi yang luas. Karena itu, untuk memahami suatu pesan, mereka mengantisipasinya dengan cara meminta berbagai informasi terperinci yang mendukung pesan tersebut seperti dinyatakan dalam Sarah-Jane Pill (2009, h.27) dalam Sugiastuti (2018, h.9). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat dari negara- negara low context culture cenderung lebih bersifat individualis sementara high context culture cenderung lebih kolektif. Hofstede (2011, h.193) menjelaskan perbedaan dari budaya

individualis dan kolektif. Individu dalam budaya kolektif memperhatikan kesejahteraan dari in- group, meletakkan tujuan dari kelompok dahulu diatas tujuan pribadi dan perilaku mereka

diatur oleh norma sosial daripada sikap pribadi. Individu sejak lahir bergabung dalam kohesivitas kelompok yang kuat dan keluarga besar. Sedangkan, individu dalam budaya individualis lebih fokus pada tujuan personal dibandingkan kelompok dan berperilaku sesuai dengan sikap mereka daripada norma dalam masyarakat.

Menurut Chen (2014, h.10) individu yang kompeten dalam konteks antarbudaya harus memiliki kapasitas, antara lain: mengetahui nilai-nilai budayanya sendiri dan orang lain, menunjukkan perasaan positif, menghargai, dan bahkan menerima perbedaan- perbedaan budaya serta mampu bertingkah laku dengan pantas dan sesuai dalam konteks interaksi antarbudaya. Chen (2014, h.12) juga mengemukakan bahwa sensitifitas antabudaya merupakan konsep yang dinamis. Seseorang yang memiliki sensitifitas

(36)

47

antabudaya harus mempunyai keinginan memotivasi diri sendiri untuk memahami, menghargai, dan menerima perbedaan budaya.

Berikut adalah tabel yang memerinci aspek-aspek dalam teori kompetensi komunikasi antarbudaya dari Samovar, Porter dan Mc.Daniel (2010, h.20) dan Chen dan Starosta (2014, h.354):

Tabel 2.2

Aspek-aspek dalam Kompetensi Komunikasi Antarbudaya menurut Samovar,Porter dan Mc.Daniel (2010) dan Chen & Starosta (2014)

Samovar, Porter, Mc.Daniel (2010) Chen & Starosta (2014) 1. Motivation (motivasi)

a. Memiliki keinginan pribadi untuk meningkatkan kemampuan b. komunikasi

c. b. Menunjukkan ketertarikan

c. Keinginan untuk berkomitmen dalam hubungan dalam level personal dan memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang dari budaya berbeda

d. Keinginan untuk belajar tentang diri pribadi dan orang lain

e. e. Berusaha untuk fleksibel

f. Mempelajari pengalaman orang-orang yang bukan bagian dari kehidupan kita sehari- hari.

Affective (sensitivitas antarbudaya) a. Emosi personal atau perubahan perasaan

yang disebabkan oleh situasi, orang dan lingkungan tertentu

b. Mengubah diri dari tahap etnosentris menuju tahap etnorelatif.

Empat atribut personal yang membangun perspektif ini

(1) self-concept (konsep diri)

(2) open-mindedness (berpikiran terbuka) (3) non-judmental attitudes (tidak

berprasangka buruk)

(4) social relaxation (kemampuan mengungkap hanya sedikit kecemasan)

2. Knowledge (pengetahuan)

a. Menyadari dan memahami peraturan, norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan.

b. Memahami 2 jenis pengetahuan supaya lebih kompeten yaitu pengetahuan konten (terkait kebahasaan: verbal dan nonverbal) dan pengetahuan procedural (mengenai bagaimana membuat, merencanakan, dan menunjukkan pengetahuan konten dalam situasi tertentu)

Cognitive (kesadaran antarbudaya) Menekankan pada perubahan pemikiran seseorang tentang suatu lingkungan melalui pemahaman perbedaan-perbedaan karakteristik dari budaya dirinya dan orang lain. Di antaranya yaitu,

a. self-awareness atau self-monitoring, kesadaran diri

b. cultural awareness, kesadaran budaya c. intercultural awareness, pengetahuan

antarbudaya

3. Skills (keterampilan) a. Mendengar,

Behavioural

(kecakapan antarbudaya)

Referensi

Dokumen terkait

Jakarta - Diam-diam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rupanya sudah menyadap percakapan Sindu Malik Pribadi dan sejumlah nama lain yang diduga terlibat dalam kasus dugaan

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tri Tunggal Maha Kudus, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus karena atas berkat, hikmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat

Selanjutnya RKPD Minahasa Tenggara tahun 2017 disusun dengan berpedoman pada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)

Diharapkan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Berau dapat menerapkan Protokol Kesehatan menerapkan sebagaimana berikut:.. Tidak melakukan aktifitas di luar rumah jika

Dalam suatu penyalahgunaan narkoba secara tidak langsung menimbulkan korban. Untuk mengatasi korban penyalahgunaan narkoba perlu dilakukan tindakan-tindakan yang baik agar

Versi POP3 saat ini berkembang pesat sehingga beberapa administrator dapat mengkonfigurasi protokol untuk email di server pada jangka waktu tertentu, sehingga memungkinkan

Dari kondisi diatas tersebut bahwa perkembangan yang terjadi dikawasan pariwisata Pantai Bolihutuo berdampak terhadap sosial ekonomi masyarakat lebih bersifat positif, dengan

Adapun perbedaan yang ada pada penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan ini, bahwasanya penelitian terdahulu ini membahas tentang bagaimana