TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke 1. Definisi
2.1.6. Gejala Klinis
Tabel 2.1. Perbedaan gejala stroke hemoragik dan stroke iskemik
Gejala Klinis Stroke Hemoragik Stroke Iskemik
PIS PSA
Gelaja defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan SIS (Stroke Impact
Scale) sebelumnya
Amat jarang - + / biasa
Permulaan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari) Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/tidak ada Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak, kecuali lesi
di batang otak Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang
sebentar
Dapat hilang
Kaku kuduk Jarang Bisa ada pada
permulaan
Tidak ada Hemiparesis Sering sejak
awal
Tidak ada Sring dari awal Deviasi mata Bisa ada Tidak ada Mungkin ada
Gangguan bicara Sering Jarang Sering
Likuor Dering
berdarah
Selalu berdarah
Jernih Perdarahan Subhialoid Tidak ada Bisa ada Tidak ada Paresis/gangguan N III - Mungkin ada -
Menurut Price & Wilson (2006) tanda dan gejala penyakit stroke adalah kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai pada salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda atau kesulitan melihat pada satu atau kedua mata, pusing dan pingsan, nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas, bicara tidak jelas (pelo), sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat, tidak mampu mengenali bagian dari tubuh, ketidakseimbangan dan terjatuh, dan hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.
2.1.7. Diagnosis
Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia 1999 mengemukakan bahwa diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Bustan, 2000; Arif, 2000; Wibowo, 2001).
1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri, keluarga yang mengerti tentang penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit, misalnya waktu kejadian, penyakit lain yang diderita, faktor-faktor risiko yang menyertai stroke.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik umum (yaitu pemeriksaan tingkat kesadaran, tekanan darah, denyut nadi, suhu, anemia, paru dan jantung), pemeriksaan
3. Pemeriksaan Penunjang
Kemajuan teknologi kedokteran memberi kemudahan untuk membedakan antara stroke hemoragik dan stroke iskemik diantaranya : Computerized Tomography scanning (CT Scan), Cerebral angiografi, Elektroensefalografi (EEG), Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan laboratorium dan lainnya.
2.1.8. Penatalaksanaan
Harsono (2000) membedakan penatalaksanan stroke ke dalam tahap akut dan paska tahap akut, yang meliputi :
1. Tahap akut (hari ke 0 – 14 setelah onset penyakit)
Pada tahap akut ini sasaran pengobatan yaitu menyelamatkan neuron yang cedera agar tidak terjadi nekrosis, serta agar proses patologis lainnya yang menyertai tidak mengganggu / mengancam fungsi otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah keotak adekuat dengan pemeliharaan beberapa fungsi diantaranya respirasi yang harus dijaga agar tetap bersih dan bebas dari benda asing. Fungsi jantung harus tetap dipertahankan, bila perlu lakukan pemantauan jantung dengan EKG. Tekanan darah juga harus tetap dipertahankan pada tingkat yang optimal agar tidak menurunkan perfusi otak. Kadar gula darah yang tinggi pada tahap akut, tidak diturunkan dengan drastis.
penurunan kesadaran, maka keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa darah harus dipantau dengan ketat. Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan aliran darah dan metabolisme otak diantaranya adalah obat-obatan anti edema seperti gliserol 10% dan kortikosteroid. Selain itu pada stroke iskemik digunakan obat anti agregasi trombosit dan antikoagulansia.Untuk stroke hemorragik, pengobatan perdarahan otak ditujukan untuk hemostasis.
2. Tahap paska akut / tahap rehabilitasi
Setelah tahap akut berlalu, sasaran pengobatan dititik beratkan pada tindakan rehabilitasi penderita dan pencegahan terjadinya stroke berulang. Rehabilitasi yang dilakukan bertujuan untuk pemulihan keadaan dan mengurangi derajat ketidakmampuan. Ini dilakukan dengan pendekatan memulihkan keterampilan lama, untuk anggota tubuh yang lumpuh, memperkenalkan sekaligus melatih keterampilan baru untuk anggota tubuh yang tidak mengalami kelumpuhan, memperoleh kembali hal – hal atau kapasitas yang telah hilang dan diluar kelumpuhan, serta mempengaruhi sikap penderita, keluarga dan therapeutic team. Menurut Donnan et all (2007), ada 4 penatalaksanaan fase akut untuk memperbaiki prognosis penderita stroke yakni perawatan pada stroke unit, pemberian aspirin, hemicraniektomi, dan penggunaan trombolisis. Agen trombolitik menunjukkan peran yang utama dalam penatalaksanaan stroke. Trombolitik digunakan untuk memicu tingkat rekanalisasi endogen sehingga terjadi reperfusi jaringan. Diantara agen trombolitik tissue plasminogen activator (tPA) 0,9 mg/kgBB intravena yang paling banyak digunakan untuk trombolisis.
Satu-satunya obat yang diakui FDA sebagai standar ini adalah r-TPA (recombinant-Tissue Plasminogen Activator) yang diberikan pada penderita stroke iskemik akut dengan syarat-syarat tertentu baik intravena maupun intra arterial sebelum kurang dari 3 jam setelah awitan (onset) stroke. Diharapkan dengan pengobatan ini, terjadi penghancuran trombus dan reperfusi jaringan otak dan perubahan ireversibel pada otak yag terkena, terutama daerah penumbra (Misbach, 2011).
Berdasarkan Guideline Stroke PERDOSSI 2007, syarat pemberian tPA adalah hanya diberikan pada 3 jam pertama sejak serangan, tidak ada tanda perdarahan pada CT scan, tidak ada serangan stroke maupun trauma pada 3 bulan terakhir dan tekanan darah sistolik < 185 mmHg sedangkan menurut The European Cooperative Acute
Stroke Study (ECASS) III trial tahun 2008, penggunaan trombolitik
dalam 4,5 jam masih bermanfaat dan aman. Namun studi meta analisis terhadap tPA, penggunaan tPA ada 90 menit pertama dua kali lebih bermanfaat dibandingkan pada 3 jam pertama sejak serangan. Penggunaan tPA bukan tanpa risiko. Perdarahan, angioedema, dan
sistemic embolism dilaporkan menjadi risiko dari penggunaan tPA.
Penanganan stroke hemoragik dapat bersifat medik atau bedah tergantung keadaan dan syarat yang diperlukan untuk masing-masing jenis terapi. Penanganan medik fase akut dilakukan pada penderita stroke hemoragik dengan menurunkan tekanan darah sistemik yang tinggi dengan obat-obat anti hipertensi yang biasanya kerja cepat untuk mecapai tekanan darah pre morbid atau diturunkan kira-kira 20% dari tekanan darah waktu masuk rumah sakit. Jika keadaan penderita cukup berat karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang drisertai dengan deteriorasi intubasi, hiperventilasi terkontrol dan pemantauan diuresis. Untuk perawatan ini mungkin memerlukan perawatan ICU (Misbach, 2011).
2.1.9. Prognosis
Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan neurologis (fungsi saraf otak) dan pemulihan fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional). Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak pada area penumbra yang berada di sekitar area infark yang sesungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya kembali sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan pemulihan neurologis yang terjadi (Wirawan, 2009).
Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam 3-6 bulan pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang optimal (Wirawan, 2009).
Resolusi diaschisis telah juga dikemukakan sebagai suatu mekanisme potensial pemulihan. Terminologi diaschisis dikemukakan oleh Von Monakow (1996) sebagai konsep bahwa kerusakan pada satu area otak dapat membuat tidak hanya efek lokal tetapi juga efek pada daerah otak yang berjauhan yang dihubungkan dengan fungsi akibat lesi primernya.
Kusumoputro S (1995) mengartikan plastisitas sebagai kemampuan struktur otak dan fungsi yang terkait untuk tetap berkembang karena adanya suatu stimulus. Stimulasi sensoris mengubah struktur dan fungsi bagian otak tertentu. Dengan stimulasi lingkungan tersebut terjadi pertumbuhan jaringan dendrit sel dan terjadilah koneksi antar sel neuron yang lebih banyak.
Dahulu dianggap bahwa plastisitas otak hanya terjadi pada masa perkembangan otak anak. Sejak tahun 1974 Creschwind mengajukan bahwa otak dewasa dapat terjadi plastisitas otak. Otak dewasa yang mengalami kelainan dapat pulih dalam waktu tertentu. Perubahan plastisitas mungkin melibatkan perubahan fungsi dan struktur pada jaringan neuron, beberapa terjadi secara cepat (dalam beberapa menit atau jam) dan plastisitas jangka panjang menunjukan keterlibatan ekspresi gen dan perubahan morfologi neuron (Gusev, 2003).
Penyelidikan pada Cornell Medical Center New York menunjukkan bahwa dari 107 pasien, kesembuhan (dalam arti masih dapat hidup mandiri) terbanyak pada usia antara 51 dan 70 tahun. Di atas rentang usia tersebut (71-80 tahun) dan di bawahnya (40 sampai dengan 50 tahun kesembuhan lebih sedikit. Angka kematian 21%, 15% terjadi dalam bulan pertama, 19% setelah 3 bulan (Widiastuti, 2000).
Pengobatan terjadi baik pada mortalitas dan morbiditas. Dari tahun 1965 sampai tahun 1974 penurunan angka kematian karena stroke 2,4% perahun. Selama 5 tahun berikutnya lebih menurun lagi, sampai 5,9% per tahun (Widiastuti, 2000).
Indsidens dan mortalitas dapat berbeda dari negara yang satu dengan yang lain: ini dapat oleh karena diagnosis yang tidak akurat, utamanya diagnosis ke dalam subtipe, dan pola pelaporan yang berbeda. Harus diingat kemungkinan adanya perubahan subtipe Cerebrovascular
Disease (CVD), dan adanya pergeseran rata-rata usia penderita dengan
BAB 1
PENDAHULUAN