• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA A.Kajian Teori

2. Gelandangan dan Pengemis a.Gelandangan a.Gelandangan

Istilah gelandangan berasal dari gelandang yang artinya yang selalu mengembara, yang berkelana. Onghikham dalam Mahasin (1986: 3) mendeskripsikan gelandangan sebagai orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak serta tidak memiliki tempat tinggal.

Sementara Menurut Dinas Sosial Provinsi Yogyakarta, Gelandangan adalah orang- orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Lain halnya Menurut Twikromo (1999: 6) gelandangan adalah “orang yang tidak tentu tempat tinggalnya, pekerjaannya dan arah tujuan kegiatannya“. semakin banyaknya gelandangan merupakan contoh yang ada

30

saat ini bahwa kecakapan hidup adalah faktor yang paling berpengaruh dan mendasari mengapa masalah sosial ini terjadi.

Menurut Murdiyanto (2012: 16-17) gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai mata pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gelandangan yaitu orang yang kehidupan sehari-harinya berada di jalanan serta tidak memiliki tempat tinggal. Dinas Sosial DIY telah menetapkan kriteria seseorang disebut sebagai gelandangan sebagai berikut:

1. Seseorang (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun

2. Tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar, 3. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri

4. Berperilaku kehidupan bebas/liar

5. Terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya

6. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas,

Sementara pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 kriteria gelandangan sebagai berikut: 1) Tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk; 2) Tidak memiliki tempat tinggal tetap; 3) Tidak memilki penghasilan yang tetap; 4) Tidak memiliki rencana mengenai masa depan anak. b. Pengertian Pengemis

Kata pengemis rupanya telah masuk salah satu kosa kata bahasa indonesia yang berasal dari kata dasar kemis (Kamis) bukan emis. Dahulu penguasa Kerajaan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang raja

31

bernama Pakubuwono X. Seorang raja yang sangat dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah kepada kaum tak punya terutama menjelang hari Jum’at khususnya pada hari Kamis sore.

Pada hari kamis tersebut, Raja Pakubuwono X keluar dari istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istananya menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alur-alur lor (alun-alun utara), rupanya di sepanjang jalan rakyatnya berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Mereka mengelu-elukan sembari menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada pemimpinnya.

Pada saat itu raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya berupa uang. Mungkin kegiatan yang dilakukan sang raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulunya yang juga seorang penguasa. Ternyata kebiasaan yang dilakukan setiap hari Kamis tersebut berlangsung terus-menerus. Dalam bahasa Jawa Kamis dibaca kemis, maka lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah di hari kemis. Istilah ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah di hari kemis) dan orang yang melakukannya disebut dengan nama pengemis (pengharap berkah pada hari kemis).

Menurut Dinas Sosial Yogyakarta, pengemis adalah orang-orang yang dapat penghasilan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai alasan

32

untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Adapun seseorang dikatakan sebagai seorang pengemis, jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Seseorang (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.

2) Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-pura sakit, merintih, dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.

3) Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya (Dinas Sosial Yogyakarta, 2016 diakses pada http://dinsos.jogjaprov.go.id/jenis-jenis-pmks/).

Sementara pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 disebutkan bahwa kriteria pengemis sebagai berikut: 1) Mata pencaharian tergantung dari belas kasihan orang lain, 2) Berpenampilan kumuh dan compang- camping, 3) Berada di tempat-tempat yang strategis, dan 4) Memanfaatkan sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain

Jika diklasifikasikan lagi, menurut Dimas (2013: 5-6), pengemis sendiri terbagi atas 2 macam tipe yakni :

1) Pengemis miskin materi

Pengemis miskin materi merupakan pengemis yang melakukan kegiatan mengemis dikarenakan adanya keterbatasan yang ada yakni keterbatasan materi uang dan harta .

2) Pengemis miskin mental

Berbeda dengan pengemis miskin materi, bahwa pengemis miskin mental merupakan pengemis yang sebenarnya memiliki harta namun karena sikap

33

malasnya yang menimbulkan sikap mental yang tidak baik. (Dimas, 2013: 5- 6).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pengemis. Menurut Dimas (2013: 7-20) faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pengemis diantaranya:

1) Merantau dengan modal nekad 2) Malas berusaha

3) Cacat fisik

4) Biaya pendidikan yang mahal 5) Tidak adanya lapangan pekerjaan 6) Tradisi yang turun temurun 7) Mengemis daripada menganggur 8) Harga kebutuhan poko yang mahal 9) Terlilit masalah ekonomi yang akut 10)Disuruh orang tua

Berbicara mengenai gelandangan dan pengemis erat kaitannya dengan kemiskinan. Penduduk miskin memiliki keterkaitannya mengenai tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat kesehatan dan gizi serta produktivitas kerja.

Munculnya kemiskinan dalam suatu masyarakat berkait dengan budaya dan ketidakadilan. Menurut para ahli ilmu sosial bahwa kemiskinan yang muncul berkait dengan budaya yaitu kemiskinan yang timbul akibat sikap etos kerja yang rendah, malas dan perilaku hidup yang konsumtif. Sementara kemiskinan yang berkait dengan ketidakadilan merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh suatu ketidakadilan dalam kepemilikan faktor produksi dalam masyarakat. Kepemelikikan faktor produksi yang tidak merata mengakibatkan

34

munculnya 2 golongan yakni kelompok pemiliki tanah dan kelompok tidak memiliki tanah (Soetrisno, 1997 : 16).

Lain halnya dengan Chambers dalam Soetrisno (1997: 18-19) bahwa kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor yang disebut ketidakberuntungan yang saling terkait satu dengan yang lain. Ada lima “ketidakberuntungan” yang melingkari kehidupan orang miskin diantaranya :

1) Kemiskinan (poverty)

2) Fisik yang lemah (physical weakness) 3) Kerentanan (vulnerability)

4) Keterisolasian (isolation) 5) Ketidakberdayaan (powerless)

Orang miskin memiliki tanda-tanda sebagai berikut diantaranya dari segi ekonomi, tingkat pendapatan yang tidak menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan hidup. Fasilitas rumah yang kurang memadai untuk dihuni misalnya ketersediaan MCK, perlengkapan dan lain- lain.

Kelemahan fisik orang miskin disebabkan adanya ketergantungan yang tinggi pada salah satu anggota keluarga yang berfungsi sebagai pencari nafkah. Akibat ketergantungan yang tinggi menyebabkan anggota keluarga miskin secara fisik lemah sebagai akibat dari interaksi dari berbagai penyakit dan rendahnya gizi.

Ketidakberuntungan yang ketiga yaitu kerentanan. Orang miskin rentan dalam menghadapi situasi yang darurat. Mereka tidak memiliki cadangan berupa uang yang cukup untuk menghadapi kondisi yang terjadi secara

35

mendadak. Akibatnya, sering menjual apapun yang dimilki atau berhutang kepada tetangga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketidakberuntungan yang keempat yaitu keterasingan. Orang miskin memiliki keterbatasan dalam akses terhadap sumber-sumber informasi sehingga mereka semakin menjadi objek pergunjingan.

Ketidakberdayaan merupakan ketidakberuntungan yang terakhir bagi orang miskin. Orang miskin tidak berdaya untuk melawan orang-orang yang sering mengeksploitasi mereka/rentenir. Mereka juga tidak berdaya jika dihadapkan oleh aparat polisi yang melakukan penertiban lingkungan.

Dalam rangka menanggulangi masalah kesejahteraan sosial, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Sosial melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial yang diwujudkan dalam program kesejahteraan sosial (prokesos). Adapun sasaran dari program tersebut adalah penduduk miskin yang menyandang masalah kesejahteraan sosial yang meliputi penyandang cacat, penduduk usia lanjut, anak terlantar, anak yatim piatu, penduduk terasing, anak jalanan, pemulung, gelandangan serta fakir miskin lainnya. Adapun prokesos meliputi program-program sebagai berikut:

1) Program Rehabilitasi Penyandang Cacat

2) Program Pembinaan Kesejahteraan Lanjut Usia

3) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar, Anak Jalanan, dan Pemulung

4) Program Bantuan Kesejahteraan Fakir Miskin

5) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing 6) Program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh

7) Program Peningkatan Peranan Wanita Bidang Kesejahteraan Sosial 8) Program Pembinaan Karang Taruna (Departemen Penerangan RI, 1999

36 3. Pendidikan Luar Sekolah

a. Konsep Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan dimulai dari manusia lahir sampai manusia meninggal. Pendidikan terbagi atas 3 jalur yakni jalur formal, jalur nonformal serta jalur informal. Menurut Kamil (2011: 14), pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang dalam proses penyelenggaraanya memiliki sistem yang terlembagakan, yang di dalamnya mengandung makna bahwa setiap pengembangan pendidikan nonformal perlu perencanan program yang matang, melalui kurikulum, isi program, sarana, prasarana, sasaran, sumber belajar, serta faktor lain yang tidak dapat dipisahkan.

Sementara menurut Rahman (1989: 20), pendidikan luar sekolah sebagai salah satu alternatif dalam usaha untuk menciptakan pemerataan pendidikan, dengan menyajikan program-program pendidikan yang fleksibel dan berdasarkan dengan kebutuhan.

Menurut UNESCO dalam Julia Preece (2009: 3) non formal education is .... based on an integrated approach that takes into account all the factors influencing the opportunities and life chances of different populations groups, and the role played by education systems themselves in the process of social inclusion and and coherension ....it is learning embedded in planned, organised and sustained education activities that are outside formal education institution, responding to education neeed for all persons of all ages.

37

Pendidikan luar sekolah dapat dikemukakan bahwa pendidikan yang memiliki tujuan dan kegiatan yang terorganisir, diselenggrakan di lingkungan masyarakat dan lembaga-lembaga untuk melayani kebutuhan belajar khusus para peserta didik (Sudjana, 2004: 23).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang melayani kebutuhan belajar yang belum terpenuhi oleh pendidikan formal dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah

Tilaar dalam Marzuki (2012: 108) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah anatara lain yaitu menciptakan subjek pembangunan yang: a) mampu melihat sekitar, melihart masalah- masalah hidup sehari-hari, melihat potensi-potensi yang ada baik sosial maupun fisik; dan b) mampu serta terampil memanfaatkan potensi yang ada dalam diri, kelompok, masyarakatnya dan lingkungan fisiknya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan masyarakatnya.

Santoso S. Hamijoyo menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah yaitu supaya individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggung jawab menjadi pendorong ke arah kemajuan, gemar berpartisipasi, memperbaiki kehidupan mereka (Marzuki, 2012: 106).

Menurut UNESCO dalam Julia Preece (2009: 3) The purpose of non formal education is to provide alternative learning opportunities for those who

38

do not have access to formal schooling or need specific life skills and knowledge to overcome different obstacles.

Sementara menurut Sudjana (2004: 37-38) tujuan dari pendidikan luar sekolah dibedakan menjadi 2 yakni tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan antara beruapa keluaran (output) yang mencakup kuantitas dan kualitas lulusan yang disertai adanya perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Sedangkan tujuan akhir pendidikan luar sekolah yaitu pengaruh (outcome) yang meliputi: a) perubahan kesejahteraan hidup lulusan yang ditandai dengan perolehan pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan, pendidikan dan penampilan diri, b) membelajarkan orang lain terhadap hasil belajar yang telah dimiliki dan dirasakan manfaatnya oleh lulusan, c) peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial dan atau pembangunan masyarakat, dalam wujud partisipasi buah pikiran, tenaga, harta dan dana.

c. Ciri- ciri Pendidikan Luar Sekolah

Menurut Joesoef (1986: 72-73), ciri-ciri pendidikan luar sekolah antara lain :

1) Tidak dibagi atas jenjang

2) Waktu penyampaian program lebih pendek 3) Usia siswa tidak harus sama

4) Siswa berorientasi studi jangka pendek, praktis agar segera menerapkan hasil pendidikan dalam praktik kerja

5) Materi pelajaran bersifat praktis dan khusus

39

7) Penghargaan dalam bentuk ijazah atau sebagainya kurang memegang peranan penting.

d. Asas Pendidikan Luar Sekolah

Menurut Joesoef (1986: 80-81) dalam pelaksanaan, pendidikan luar sekolah menerapkan asas di antaranya: 1) Asas inovasi; 2) Asas penentuan dan perumusan tujuan pendidikan luar sekolah; 3) Asas perencanaan dan pengembangan program pendidikan luar sekolah. Asas inovasi berarti bahwa setiap penyelenggaraan pendidikan nonformal harus merupakan kegiatan bagi si terdidik dan merupakan hal yang diperlukan/dibutuhkan. Penentuan dan perumusan tujuan merupakan langkah yang terpenting dan pertama yang harus dikerjakan bagi pendidikan non formal. Perumusan tujuan dapat membantu kompetensi apa yang harus dikuasai agar tujuan program dapat tercapai. Dalam perencanaan harus bersifat komprehensif, integral, memperhitungkan aspek-aspek kuantitatif dan kualitatif serta harus memperhitungkan sumber-sumber yang ada atau dapat diadakan agar program dapat berjalan efektif dan efisien . e. Sifat Pendidikan Luar Sekolah

Dalam pelaksanaan pendidikan luar sekolah tentu berbeda dengan pendidikan formal. Menurut Joesoef (1986: 84-85) sifat pendidikan luar sekolah adalah sebagai berikut :

1) Pendidikan non formal lebih fleksibel

2) Pendidikan non formal mungkin lebih efektif dan efisien untuk bidang pelajaran tertentu

3) Bersifat quick yielding

40

Pendidikan luar sekolah bersifat fleksibel dalam arti tidak ada syarat- syarat yang ketat dalam segi pelaksanaan pembelajaran maupun yang lainnya. Pendidikan luar sekolah bersifat efektif karena program pendidikan luar seolah bisa spesifik sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat- syarat secara ketat. Pendidikan luar sekolah bersifat quick yielding artinya dalam waktu yang singkat dapat digunakan untuk melatih tenaga kerja yang dibutuhkan, terutama untuk memperoleh tenaga yang memiliki kecakapan. Pendidikan nonformal sangat instrumental artinya pendidikan bersifat luwes, mudah dan murah serta dapat menghasilkan dalam waktu yang relatif singkat dapat digunakan untuk melatih tenaga kerja yang dibutuhkan, terutama untuk memperoleh tenaga yang memiliki kecakapan.

4. Pendidikan Kecakapan Hidup