• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS BERBASIS KECAKAPAN HIDUP DI BALAI REHABILITASI SOSIAL BINA KARYA DAN LARAS (RSBKL) YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS BERBASIS KECAKAPAN HIDUP DI BALAI REHABILITASI SOSIAL BINA KARYA DAN LARAS (RSBKL) YOGYAKARTA."

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

i

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS BERBASIS KECAKAPAN HIDUP DI BALAI REHABILITASI SOSIAL BINA

KARYA DAN LARAS (RSBKL)YOGYAKARTA

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh: Sutiyah NIM.13102241046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

(2)

ii

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS BERBASIS KECAKAPAN HIDUP DI BALAI REHABILITASI SOSIAL BINA

KARYA DAN LARAS (RSBKL)YOGYAKARTA Oleh:

Sutiyah NIM 13102241046

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) aspek-aspek pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dikembangkan oleh Balai RSBKL Yogyakarta, (2) mekanisme pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dilakukan oleh Balai RSBKL Yogyakarta dalam mencapai kemandirian, dan (3) faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus. Setting penelitian yakni aktivitas pemberdayaan gelandangan dan pengemis di Balai RSBKL Yogyakarta. Informan dalam penelitian ini adalah koordinator pekerja sosial, instruktur keterampilan olahan pangan, instruktur keterampilan menjahit, instruktur bimbingan agama Islam, instruktur bimbingan budi pekerti serta warga binaan. Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama yang dibantu dengan pedoman wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah pengumpulan data, reduksi, display dan penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan data yang digunakan yaitu triangulasi sumber.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) aspek-aspek pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dikembangkan oleh Balai RSBKL Yogyakarta meliputi aspek afektif, aspek kognitif, aspek pskikomotorik serta aspek konatif. (2) mekanisme pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dilakukan oleh Balai RSBKL Yogyakarta dalam rangka mencapai kemandirian antara lain melalui tahap penerimaan, proses penyadaran, proses peningkatan pengetahuan dan ketrampilan serta adanya tindak lanjut. (3) faktor pendukung pemberdayaan yaitu sarana dan prasarana yang memadai dan instruktur yang berpengalaman. Faktor penghambat pemberdayaan meliputi: kurangnya minat gelandangan dan pengemis pada beberapa kegiatan, motivasi untuk berubah masih kurang, proses masuknya gelandangan dan pengemis tidak bersamaan, tidak adanya silabus, pengawasan terhadap keikutsertaan warga binaan kurang maksimal.

(3)

iii

EMPOWERMENT THE HOMELESS AND BEGGARS BASED LIFE SKILLS AT BALAI REHABILITASI SOSIAL BINA KARYA DAN

LARAS (RSBKL) YOGYAKARTA

By: Sutiyah NIM 13102241046

ABSTRACT

This research aims to describe : (1) aspects of empowerment the homeless and beggars based life skills develoved by Balai RSBKL Yogyakarta, (2) empowerment mechanism the homeless and beggars based life skills at Balai RSBKL Yogyakarta, (3) Supporting and inhibiting factors of empowerment the homeless and beggars based life skills at Balai RSBKL Yogyakarta.

The research used qualitative approach kind case study. Setting the study is activity of empowerment the homeless and beggars based life skills at Balai RSBKL Yogyakarta. The informant research is social worker, instructure, and the homeless and beggars. In this research, researcher is the main instrument assisted with guidance interview, observation and documentasion. Analysis tecniques the data used data collection, reduction, display, and inference. Enggineering the validity of data used triangulation source.

The result of research show that: (1) aspects empowerment the homeless and beggars based life skills developed by Balai RSBKL Yogyakarta are affective, cognitive, psychomotoric and conative. (2) empowerment mechanism the homeless and beggars based skills inculde the acceptance phase, the proses of awarness, the increase knowledge and skill, and follow up. (3) supporting factor empowerment are the enabling means and infrastructure and an experinced instrutor. Supporting factors include a lack of interest and motivasion the homeless and beggars to some activity, enter phase not concurrent, nothing syllabus, and supervison less than maximum.

(4)

iv

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sutiyah

NIM : 13102241046

Program Studi : Pendidikan Luar Sekolah

Judul TAS : Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis Berbasis Kecakapan Hidup di Balai Rehabilitasi Sosia Bina Karya dan Laras (RSBKL) Yogyakarta.

Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Yogyakarta, 5 Juli 2017 Yang menyatakan,

Sutiyah

(5)

v

LEMBAR PERSETUJUAN

Tugas Akhir Skripsi dengan Judul

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS BERBASIS KECAKAPAN HIDUP DI BALAI REHABILITASI SOSIAL BINA

KARYA DAN LARAS (RSBKL)YOGYAKARTA

Disusun oleh: Sutiyah NIM.13102241046

Telah memenuhi syarat dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk dilaksanakan Ujian Akhir Tugas Akhir Skripsi bagi yang bersangkutan.

Yogyakarta, 5 Juli 2017

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Lutfi Wibawa, M.Pd

NIP. 19780821 200801 1 006

Disetujui,

Dosen Pembimbing

(6)

vi

LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Akhir Skripsi

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS BERBASIS KECAKAPAN HIDUP DI BALAI REHABILITASI SOSIAL BINA

KARYA DAN LARAS (RSBKL) YOGYAKARTA Disusun oleh:

Sutiyah NIM 13102241046

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Tugas Akhir Skripsi Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Yogyakarta

Pada tanggal 19 Juli 2017 TIM PENGUJI

Nama/Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Serafin Wisni S.,M.Si ... ... KetuaPenguji/Pembimbing

Hiryanto,M.Si ... ... Sekretaris

Dr.Rukiyati,M.Hum ... ... Penguji

Yogyakarta,... Fakultas Ilmu pendidikan

Dekan,

(7)

vii

PERSEMBAHAN Atas karunia Allah SWT

Aku persembahkan Karya Tulis ini Kepada:

1. Bapak dan ibu tercinta yang telah mencurahkan segenap kasih sayang serta do’a yang selalu mengiringi, sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya tulis ini. Terima kasih atas segala pengorbanan dan semangat yang telah diberikan.

2. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis Berbasis Kecakapan Hidup di Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya dan Laras (RSBKL) Yogyakarta” dapat disusun sesuai harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Hiryanto, M.Si dan Serafin Wisni Septiarti, M.Si selaku Dosen Pembimbing TAS yang telah banyak memberikan semangat, dorongan, dan bimbingan selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

2. Dr.Rukiyati, M.Hum selaku penguji yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif terhadap TAS ini

3. Lutfi Wibawa, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Dosen-dosen PLS serta staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya TAS ini 4. Dr. Haryanto, M.Pd selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah

memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi.

5. Drs.Rusdiyanto, M.M selaku Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya dan Laras yogyakarta yang telah memberi ijin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian Tugas Akhir Skripsi ini

6. Para Pekerja Sosial, instruktur, Staf Seksi Rehabilitasi, Staf TU dan warga binaan Balai RSBKL yang telah memberikan bantuan memperlancar pengambilan data selama proses penelitian

(9)

ix

8. Teman-teman PLS B 2013, khususnya Titis, Lisa, Zum, Iin, Nurul, Eni, dan rekan seperjuangan di kost: Wulan, Umi, Septi yang mendukung dari awal sampai akhir

9. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan di sini atas bantuannya selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi

Akhirnya, semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak di atas menjadi amalan yang bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan Tugas Akhir Skripsi ini menjadi informasi yang bermanfaat bagi pembaca atau pihak lain yang membutuhkan.

Yogyakarta, 5 Juli 2017 Penulis,

Sutiyah

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ... ii

ABSTRACT ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN ... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Fokus Masalah ... 9

D.Rumusan Masalah... 9

E. Tujuan ... 10

F. Manfaat ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 12

1. Pemberdayaan ... 12

a. Pengertian Pemberdayaan ... 12

b. Tujuan pemberdayaan ... 15

c. Ciri- ciri Pemberdayaan ... 16

d. Tahap- tahap Pemberdayaan ... 17

e. Sasaran Pemberdayaan ... 23

f. Pendekatan Pemberdayaan ... 24

g. Agen Pemberdayaan ... 27

h. Prinsip Pemberdayaan ... 27

i. Faktor yang mempengaruhi pemberdayaan ... 28

2. Gelandangan dan Pengemis ... 29

a. Gelandangan ... 29

b. Pengemis ... 30

3. Pendidikan Luar Sekolah ... 36

a. Konsep Pendidikan Luar Sekolah ... 36

b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah ... 37

c. Ciri- ciri Pendidikan Luar Sekolah ... 38

d. Asas Pendidikan Luar Sekolah ... 39

(11)

xi

4. Pendidikan Kecakapan Hidup ... 40

a. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup ... 40

b. Ciri- ciri Pendidikan Kecakapan Hidup ... 43

c. Manfaat Pendidikan Kecakapan Hidup ... 44

d. Tujuan Pendidikan Kecakapan Hidup ... 44

e. Jenis Kecakapan Hidup ... 45

B. Penelitian Relevan ... 45

C. Alur Berpikir ... 46

D. Pertanyaan Penelitian ... 49

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 50

B. Subjek Penelitian ... 51

C. Setting Penelitian ... 54

D. Teknik Pengumpulan Data ... 54

E. Teknik Analisis Data ... 57

F. Keabsahan data ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 60

1. Deskripsi Balai RSBKL ... 60

2. Hasil Penelitian ... 70

a. Aspek-aspek pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dikembangkan oleh Balai RSBKL Yogyakarta ... 70

b. Mekanisme pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dilakukan oleh Balai RSBKL Yogyakarta dalam mencapai kemandirian ... 85

c. Faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup ... 91

B. Pembahasan ... 96

1. Aspek-aspek pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dikembangkan oleh Balai RSBKL Yogyakarta ... 96

2. Mekanisme pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dilakukan oleh Balai RSBKL Yogyakarta dalam mencapai kemandirian ... 85

3. Faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup ... 107

C. Keterbatasan Penelitian ... 108

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 109

(12)

xii

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jumlah Gelandangan, Pengemis dan Pemulung tahun

2012-2016 ... 3

Tabel 2. Tahapan Pemberdayaan ... 19

Tabel 3. Data Subjek Penelitian ... 52

Tabel 4. Jadwal Kegiatan ... 67

Tabel 5. Data Warga Binaan di Balai RSBKL Yogyakarta Jalur Rujukan ... 68

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Alur Berpikir ... 48

Gambar 2. Struktur Organisasi Balai RSBKL ... 63

Gambar 3. Mekanismen Balai RSBKL Yogyakarta dalam Memberikan Pelayanan ... 85

Gambar 4. Kegiatan membuat kue lumpur ... 163

Gambar 5. Hasil dari kegiatan olahan pangan ... 163

Gambar 6. Kegiatan bimbingan budi pekerti ... 163

Gambar 7. Kegiatan bimbingan agama islam ... 163

Gambar 8. Kegiatan menanam kacang tanah ... 163

Gambar 9. Kegiatan mengolah tanah ... 163

Gambar 10. Kegiatan membuat sprei ... 165

Gambar 11. Kegiatan membuat batako ... 165

Gambar 12. Hasil ketrampilan pertukangan batu ... 165

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pedoman pengambilan Data ... 117

Lampiran 2. Catatan Lapanngan ... 122

Lampiran 3. Transkrip Wawancara ... 134

Lampiran 4. Reduksi, Display dan kesimpulan ... 153

Lampiran 5. Dokumentasi ... 163

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Yogyakarta pada tahun 2015 penduduk yang berusia di atas 15 tahun yang bekerja sebanyak 1.891.218. Jumlah tersebut pada kenyataannya baru sebanyak 6385 pekerja laki-laki dan 7080 pekerja perempuan yang terdaftar sebagai pekerja. Sementara kemungkinan sisanya belum memiliki pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan (yogyakarta.bps.go.id diakses pada tanggal 11 November 2016).

(17)

2

perkembangan teknologi berakibat tenaga kerja manusia digantikan oleh tenaga mesin dikarenakan lebih efektif dan efisien. Tingkat pendidikan juga dapat menyebabkan terjadinya pengangguran. Seseorang yang berpendidikan rendah memiliki peluang yang sedikit dalam memperoleh pekerjaan dan situasi perekonomian indonesia juga menyebabkan pengangguran berkaitan dengan kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah.

(18)

3

Tabel 1. Jumlah Gelandangan, Pengemis dan Pemulung Tahun 2012- 2016

No. PMKS Tahun

2012 2013 2014 2015 2016

1. Gelandangan 161 121 83 82 171

2. Pengemis 199 221 190 170 150

3. Pemulung 116 126 167 256 450

Sumber: (www.dinsosjogja.go.id diakses pada 27 Apri 2017)

Menurut data dari Dinas Sosial DIY, pada tahun 2012 jumlah gelandangan sebanyak 161 orang, jumlah pengemis sebanyak 199 orang dan jumlah pemulung sebanyak 116 orang. Pada tahun 2013 jumlah gelandangan mengalami penurunan menjadi 121, jumlah pengemis menjadi 221, dan jumlah pemulung menjadi 126. Sementara pada tahun 2014, jumlah gelandangan sebanyak 83, jumlah pengemis menjadi 190, dan pemulung sebanyak 167. Kemudian pada tahun 2015, jumlah gelandangan menjadi 82, jumlah pengemis sebanyak 170 orang dan jumlah pemulung menjadi 256 orang. Sementara pada tahun 2016, jumlah gelandangan sebanyak 171 orang, pengemis sebanyak 150 orang dan pemulung sebanyak 450 orang. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa gelandangan mengalami kenaikan sebanyak 5,2%, pengemis mengalami penurunan sebanyak 32,6% dan pemulung mengalami kenaikan sebanyak 74,2% dari tahun 2012-2016.

(19)

4

Kenaikan jumlah gelandangan dan pengemis tersebut dikarenakan pada bulan tersebut umat islam sedang memperbanyak sedekah, yang kemudian keadaan tersebut dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mengemis khususnya di masjid-masjid.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis diantaranya merantau dengan modal nekad, malas berusaha, cacat fisik, biaya pendidikan yang mahal, tidak adanya lapangan pekerjaan, tradisi yang turun-temurun, serta mengemis daripada menganggur (Dimas, 2013: 7- 14). Seseorang yang merantau dengan modal nekad akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dikarenakan tidak memiliki bekal dan informasi yang cukup mencari pekerjaan. Sementara orang yang malas cenderung menerima keadaan tanpa adanya suatu keinginan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Segelintir orang cacatpun memanfaatkan keterbatasan fisiknya untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Dan tradisi turun- temurun mengemis dan mengegelandang yang diwariskan oleh orang tua kepada anaknya menjadikan fenomena menggelandang dan mengemis tetap ada di negera ini.

(20)

5

gelandangan memberikan kesan buruk di mata tamu-tamu agung dari negara asing.

Keberadaaan gelandangan dan pengemis merupakan salah satu masalah sosial yang perlu ditangani. Oleh karenanya perlu suatu upaya untuk mengurangi keberdaan gelandangan dan pengemis. Gelandangan dan pengemis merupakan bagian dari masyarakat yang membutuhkan bantuan. Bukan bantuan berupa uang, tetapi berupa pendidikan dan keterampilan. Himbauan gerakan anti memberi kepada masyarakat merupakan salah satu bentuk penyadaran bahwa bantuan yang diperlukan gelandangan dan pengemis bukan berupa uang.

(21)

6

Menindaklanjuti UU No. 11 Tahun 2009, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Peraturan Daerah No 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis, pada pasal 10 dijelaskan bahwa rehabilitasi sosial dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis daerah yang menjalankan fungsi dan tugasnya di bidang sosial. Salah satu tempat rehabilitasi sosial yang disediakan oleh pihak Kementrian Sosial DIY adalah Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya dan Laras Yogyakarta yang berlokasi di jalan sidomulyo, kecamatan tegalrejo, Yogyakarta. Balai Rehabilatasi Sosial Bina Karya dan Laras (RSBKL) Yogyakarta sebagai lembaga pelayanan teknis yang melakukan penangangan masalah gelandangan, pengemis dan eks psikotik.

Mengacu pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 1 Tahun 2014, bahwa Balai RSBKL dalam menangangi masalah gelandangan dan pengemis melalui program bimbingan. Program Bimbingan tersebut antara lain bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial serta bimbingan keterampilan. Bimbingan mental meliputi bimbingan agama, bimbingan nasionalisme dan bimbingan agama. Bimbingan fisik meliputi bimbingan olahraga, bimbingan hidup sehat sehari- hari dan pelayanan kesehatan. Bimbingan sosial meliputi konseling, life skill dan pelayanan pekerja sosial. Bimbingan keterampilan meliputi pertukangan, pertanian, menjahit, kewirausahaan serta home industri.

(22)

7

memberikan keterampilan bagi gelandangan dan pengemis. Diharapkan setelah mengikuti program tersebut, gelandangan dan pengemis dapat mempergunakan keterampilanya untuk memperbaiki kehidupannya sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dengan meninggalkan pekerjaan yang dulu.

Tujuan dari program bimbingan di Balai RSBKL Yogyakarta sejalan dengan tujuan pemberdayaan, dimana menurut Sulistyani (2004: 80) tujuan dari pemberdayaan adalah membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Untuk mencapai kemandirian tersebut diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka masyarakat secara bertahap untuk memperoleh kemampuan tersebut. Menurut Kindervatter dalam Anwar (2007: 77) menjelaskan bahwa pemberdayaan bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik, sehingga pada akhirnya ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat. Dalam penelitian yang berjudul “Program Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis melalui Pendidikan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta“ oleh Ariya Akbarian tahun 2015 menunjukkan bahwa dampak dari program pendidikan kecakapan hidup sangat baik karena warga binaan dikirim transmigrasi ke Kalimantan, dengan begitu warga binaan dapat meninggalkan pekerjaannya yang dulu.

(23)

8

(24)

9 B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi masalahnya sebagai berikut :

1. Jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan menimbulkan pengangguran.

2. Adanya peningkatan jumlah pengangguran yang menimbulkan berbagai masalah.

3. Adanya peningkatan jumlah gelandangan dan pengemis yang terjadi dari tahun 2012- 2016.

4. Gelandangan dan pengemis perlu diberdayakan.

5. Tingkat kehadiran warga binaan di Balai RSBKL pada kegiatan bimbingan belum maksimal.

6. Ada warga binaan yang mengikuti kegiatan sekedar menggugurkan kewajiban. C.Fokus Masalah

(25)

10 D.Rumusan Masalah

Dari penjabaran masalah di atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut :

1. Apa saja aspek-aspek pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dikembangkan oleh Balai RSBKL Yogyakarta?

2. Bagaimana mekanisme pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dilakukan oleh Balai RSBKL Yogyakarta dalam rangka mencapai kemandirian?

3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup di Balai RSBKL Yogyakarta ?

E.Tujuan

Dari rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini untuk :

1. Mendeskripsikan aspek-aspek pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup yang dikembangkan oleh Balai RSBKL Yogyakarta. 2. Mendeskripsikan mekanisme pemberdayaan gelandangan dan pengemis

berbasis kecakapan hidup yang dilakukan oleh Balai RSBKL Yogyakarta dalam rangka mencapai kemandirian.

(26)

11 F. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat menambah ilmu dan pengalaman mengenai pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup.

b. Dapat menjadi referensi tambahan atau bahan kajian mengenai pemberdayaan gelandangan dan pengemis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak penyelenggara Balai RSBKL Yogyakarta, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan saran bagi pelaksanaan pemberdayaan gelandangan dan pengemis berbasis kecakapan hidup.

(27)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A.Kajian Teori

1. Pemberdayaan

a. Pengertian Pemberdayaan

Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.

Pemberdayaan sebagai suatu proses merujuk pada sebuah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus. Oleh karenanya, pemberdayaan dilakukan melalui beberapa tahap. Menurut Sulistyani (2004: 77)

Pengertian “ proses “ menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah- langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun pratice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap- perilaku sadar dan kecakapan- keterampilan yang baik.

Proses pemberdayaan bukan sekedar mengubah masyarakat tetapi membangun individu menjadi lebih mandiri Menurut Slamet dalam Anwas (2014: 49 ), menekankan bahwa:

(28)

13

mampu bekerja sama, tahu sebagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil risiko, mampu mencari dan menangkap informasi serta mampu bertindak sesuai inisiatif.

Pemberdayaan bukan juga sebagai proses membangun dan memperbaiki kehidupan tetapi juga proses menyadarkan akan kemampuan seseorang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kindervatter dalam Anwar (2007: 77), pemberdayaan merupakan proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik, sehingga pada akhirnya ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat.

Pemberdayaan dalam pelaksanaannya, membantu masyarakat untuk mengenali kekuatan yang dimiliki baik secara fisik maupun nonfisik sebagaimana yang dijelaskan oleh Herawati, dkk (2011: 13) bahwa:

“pemberdayaan merupakan suatu proses untuk memampukan atau membuat berdaya orang miskin yang memiliki beberapa keterbatasan dan ketidakberuntungan di dalam kehidupannya sehingga mereka memiliki kekuatan/kekuasaan baik secara fisik, material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama dan intelektual.”

(29)

14

sosial. Perubahan tersebut yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Lain halnya dengan Ife dalam Suharto (2010: 59) bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan sekedar menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan kilen atas:

1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan.

2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginan

3) Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan 4) Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan

mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan.

5) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan.

6) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi , distribusi dan pertukaran barang dan jasa

7) Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.

(30)

15

individu yang meliputi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap menjadi lebih baik.

b. Tujuan pemberdayaan

Menurut Sulistyani (2004: 80-81), tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Lebih lanjut perlu ditelusuri apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai suatu masyarakat yang mandiri.

Sementara menurut Suharto (2010: 60) Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil).

(31)

16

afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemberdayaan adalah membantu masyarakat untuk hidup lebih mandiri dalam aspek kognitif, afektif, psikomotor, konatif sehingga daya yang dimiliki dapat digunakan semaksimal mungkin.

c. Ciri- ciri dalam proses pemberdayaan

Pemberdayaan sebagai proses memiliki beberapa ciri dalam pelaksanaannya. Menurut Kindervatter dalam Kamil (2011: 57-58), ada beberapa ciri mendasar yang dapat diidentifikasi dalam proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal yang meliputi:

1) Pembentukan kelompok kecil yang dapat dilakukan berdasarkan umur yang sama, minat yang sama dan kesukarelaan. Pemberdayaan menekankan pada kebersamaan langkah yang memungkinkan kelompok dapat berkembang.

2) Pemberian tanggung jawab kepada warga belajar ini sudah melibatkan dalam kegiatan perencanaan, penyusunan program sampai evaluasi program yang sudah dilaksanakan.

3) Kepemimpinan kelompok dipegang warga belajar. Semua kegiatan diatur oleh kelompok, sehingga semua warga belajar memiliki tanggung jawab dalam setiap kegiatan.

4) Agen, tutor, guru sebagai pendidik berperan sebagai fasilitator

5) Proses pengampilan keputusan untuk setiap kegiatan harus berdasarkan musyawarah bersama atau hasil pemungutan suara. 6) Adanya kesamaan pandang dan langkah di dalam mencapai tujuan

tertentu

7) Metode yang digunakan harus dipilih dan dapat menumbuhkan rasa percaya diri bagi warga belajar

(32)

17 d. Tahap-tahap pemberdayaan

Pemberdayaan sebagai sebuah proses dalam pelaksanakaanya memiliki beberapa tahap yang harus dilalui agar tujuan pemberdayaan dapat tercapai.Tahap-tahap yang harus dilalui dalam pemberdayaan antara lain:

1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,

kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan

3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistyani, 2004 : 82-84)

Pada tahap pertama pihak pemberdaya/aktor/pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Sentuhan penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu, dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

(33)

18

partisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut atau objek pembangunan saja, belum mampu menjadi subjek dalam pembangunan.

Kemandirian akan ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat pada kondisi seperti ini seringkali didudukkan sebagai subjek pembangunan atau pemeran utama. Pemerintah tinggal menjadi fasilitator saja.

Sementara menurut Kamil (2011: 58), langkah-langkah dalam proses pemberdayaan masyrakat adalah sebagai berikut:

1) Setiap warga belajar dilatih untuk mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi.

2) Warga belajar dilatih atau diberikian berbagai macam keterampilan sebagai jawaban atas kebutuhan dan masalah yang dihadapi

3) Warga belajar dibina untuk selalu suka bekerja sama dalam memcahkan masalah.

(34)
[image:34.595.114.532.152.423.2]

19

Tabel 2. Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitudes, practice dengan pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif Tahapan afektif Tahapan kognitif Tahapan

psikomotorik

Tahapan konatif Belum merasa sadar

dan peduli

Belum memiliki wawasan

pengetahuan

Belum memiliki keterampilan dasar

Tidak berperilaku membangun

Tumbuh rasa

kesadaran dan kepedulian Menguasai pengetahuan dasar Menguasai keterampilan dasar Bersedia terlibat dalam pembangunan Memupuk semangat

kesadaran dan kepedulian Mengembangkan pengetahuan dasar Mengembangkan keterampilan dasar Berinisiatif untuk mengambil peran dalam pembangunan Membutuhkan

kemandirian

Mendalami

pengetahuan pada tingkat yang lebih tinggi

Memperkaya variasi keterampilan

Berposisi secara mandiri untuk

membangun diri dan lingkungan ( Sulistyani, 2004: 84-85)

Tabel tersebut memberikan taksonomi secara jelas bagaimana peningkatan afeksi, kognisi, psikomotorik, dan konatif dalam suatu pembangunan masyarakat. Masyarakat akan berproses secara bertahap dalam waktu yang tidak singkat. Kadang-kadang dari suatu tahapan perubahan ke tahapan berikutnya butuh pengorbanan waktu yang lama. Dengan demikian proses pemberdayaan masyarakat hendaknya memperhatikan tahap demi tahap. Apabila perubahan dipaksakan justru akan menimbulkan bumerang bagi pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri.

(35)

20

konasi akan berbanding lurus satu sama lain. Jika seseorang/masyarakat berada pada tahap pertama afeksi, maka logikanya aspek kognitif, psikomotorik dan konasi juga berada pada tahap pertama. Dan jika seseorang/masyarakat berada pada tahap kedua afeksinya, maka begitu pula kondisi kognitif, psikomotorik serta konasinya, dst. Meskipun begitu taksonomi demikian tidak berlaku mutlak, karena seringkali di dalam menghadapi kasus-kasus di masyarakat, kadang- kadang antar aspek tidak berjalan seiring.

Pada suatu kondisi kesadaran afeksi yang tinggi belum disertai realitas perilaku yang sepadan. Atau pada posisi kognitif yang tinggi ternyata tidak disertai oleh kesadaran afeksi, atau tidak diimbangi oleh penguasaan keterampilan. Dengan demikian maka pengetahuan tersebut tidak dapat diimplementasikan karena instrumen keterampilan belum dimiliki. Mengingat ternyata kejadian atau fenomena dalam masyarakat tidak selalu berbanding mengikuti garis lurus, maka treatment di dalam pemberdayaan masyarakat juga harus didasarkan pada kasus yang dijumpai.

Dalam rangka mencapai tujuan pemberdayaan, Menurut Cholisin (2011: 2-5) ada 2 strategi/kegiatan yang dapat diupayakan untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat yaitu 1) menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi, 2) program pembangunan pedesaan.

(36)

21

dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan sehingga memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang (enabling).

Sementara upaya yang dilakukan dalam memperkuat daya yaitu meningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan serta akses ke dalam sumber- sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Dengan demikian upaya yang perlu dilakukan yaitu menyediakan sarana dan prasarana yang dapat dijangkau oleh masyarakat lapisan paling bawah.

Upaya yang dilakukan dalam rangka melindungi yaitu memberikan perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah. Melindungi bukan berarti mengisolasi/menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengkerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Menurut Usman (2012: 40- 47) strategi pembangunan pedesaan dapat dilakukan melalui 4 program yaitu (1) pembangunan pertanian, (2) industrialisasi pedesaan, (3) pembangunan masyarakat desa terpadu dan (4) strategi pusat pertumbuhan.

(37)

22

sangat strategis, karena tidak hanya diperlukan untuk mencukupi kebutuhan pangan, tetapi sekaligus juga untuk memenuhi kebutuhan dasar industri kecil dan kerumahtanggaan, serta untuk menghasilkan produk pertanian ekspor yang dibutuhkan oleh negara maju.

Sementara program industrialisasi pedesaan memiliki tujuan untuk mengembangkan industri kecil dan kerajinan. Industrialisasi pedesaan merupakan alternatif yang sangat strategis bagi upaya menjawab persoalan semakin sempitnya rata-rata kepemilikan dan penguasaan lahan di pedesaan serta keterbatasan elastisitas tenaga kerja. Prospek program ini diyakini cukup cerah antara lain karena alasan-alasan sebagai berikut: (a) persyaratan dan keterampilan yang dibutuhkan tidak terlalu sukar, (b) kebutuhan investasi terjangkau oleh sebagain besar anggota masyarakat, (c) bahan baku mudah didapat atau tersedia di desa sendiri sehingga biaya produksi dapat ditekan, dan (d) dapat dikerjakan secara komplementer dengan kegiatan produktif lainnya (sambil bertani).

(38)

23

mendukung pembangunan pedesaan, serta membangun kelembagaan yang dapat melakukan koordinasi.

Strategi pusat pertumbuhan dilakukan guna mengatasi masalah ruang pengembangan ekonomi yang lebih luas. Cara yang ditempuh adalah membangun atau mengembangkan sebuah pasar di dekat desa. Pasar ini difungsikan sebagai pusat penampungan hasil produksi desa, sekaligus sebagai pusat informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehendak konsumen dan kemampuan produsen.

Dari uraian di atas, maka dalam proses pemberdayaan yaitu adanya kesadaran tiap individu atas ketidakberdayaannya, yang selanjutnya kondisi tersebut menimbulkan suatu upaya untuk memperbaiki sehingga kehidupannya dapat berubah menjadi lebih baik.

e. Sasaran pemberdayaan

Perlu dipikirkan siapa yang sesungguhnya menjadi sasaran pemberdayaan. Schaumacher memiliki pandangan pemberdayaan sebagai suatu bagian dari masyarakat miskin dengan tidak harus menghilangkan ketimpangan struktural lebih dahulu. Masyarakat miskin sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun, dengan demikian memberikan “kail jauh lebih tepat

daripada memberikan ikan”. Disamping itu NGO merupakan agen yang

(39)

24

mengetengahkan ada tiga pilar yang harus dipertemukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, swasta, dan masyarakat yang hendaknya menjalin hubungan kemitraan yang selaras (Sulistyani, 2004: 90).

Sementara menurut Suharto (2010: 60) beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah/tidak berdaya antara lain:

1) Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.

2) Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.

3) Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan atau keluarga.

f. Pendekatan Pemberdayaan

1) Pemberdayaan sebagai sudut pandang konfliktual

(40)

25

2) Pemberdayaan sebagai sudut pandang Positive- sum

Pada pendekatan ini proses pemberdayaan dari pihak yang berkuasa kepada pihak yang lemah justru akan memperkuat daya pihak yang pertama. Dengan demikian tidak terjadi kekhawatiran seperti pada pendekatan yang pertama. Pemberi daya akan memperoleh manfaat positif berupa peningkatan daya apabila melakukan proses pemberdayaan.

(41)

26

kampanye, aksi sosial, lobi, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat, merupakan beberapa strategi dalam pendekatan ini.

Lebih lanjut Kamil (2011: 55-58), bahwa ada 4 bagian karakteristik dasar dalam proses pemberdayaan masyarakat yang sangat erat kaitannya dengan pendididikan nonformal. Karakteristik tersebut antara lain:

1) Pengorganisasian masyarakat, ialah karakteristik yang mengarah pada tujuan untuk mengaktifkan masyarakat dalam usaha meningkatkan dan mengubah keadaan sosial ekonomi mereka.

2) Kolaborasi dan pengelolaan diri, yaitu pendekatan dengan sistem penyamarataan atau pembagian wewenang di dalam hubungan kerja atau di dalam kegiatan. Karena itu perlu ada struktur organisasi yang mendukung dan memperkecil adanya perbedaan status serta perlu adanya pembagian peranan.

3) Pendekatan partisipatif, yaitu pendekatan yang menekankan pada keterlibatan setiap anggota dalam keseluruhan kegiatan, perlunya melibatkan para pemimpin serta tenaga ahli setempat.

4) Pendekatan yang menekankan pada terciptanya situasi yang memungkinkan warga belajar tumbuh dan berkembang serta memiliki motivasi untuk ikut berperan.

g. Agen Pemberdayaan

(42)

27 h. Prinsip Pemberdayaan

Pemberdayaan ditujukan agar sasaran mampu meningkatkan kualitas kehidupannya untuk berdaya, memiliki daya saing dan mandiri. Maka dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan prinsip-prinsip pemberdayaan. Prinsip-prinsip pemberdayaan antara lain sebagai berikut:

1) Pemberdayaan dilakukan dengan cara demokratis dan menghindari unsur paksaan.

2) Kegiatan pemberdayaan didasarkan pada kebutuhan, masalah dan potensi klien/sasaran.

3) Sasaran pemberdayaan adalah sebagai subjek atau pelaku dalam pemberdayaan.

4) Pemberdayaan berarti menumbuhkan kembali nilai, budaya, dan kearifan-kearifan lokal yang memiliki nilai luhur dalam masyarakat. 5) Pemberdayaan merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu,

sehingga dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

6) Kegiatan pendampingan atau pembinaan perlu dilakukan secara bijaksana, bertahap, dan berkesinambungan.

7) Pemberdayaan tidak bisa dilakukan dari salah satu aspek saja, tetapi perlu dilakukan secara holistik terhadap semua aspek kehidupan yang ada di dalam masyarakat.

8) Pemberdayaan perlu dilakukan terhadap kaum perempuan terutama remaja dan ibu-ibu muda sebagai potensi besar dalam mendongkrak kualitas kehidupan keluarga dan pengentasan kemiskinan.

9) Pemberdayaan dilakukan agar masyarakat memiliki kebiasaan untuk terus belajar, belajar sepanjang hayat.

10)Pemberdayaan perlu memperhatikan adanya keberagaman budaya. 11)Pemberdayaan diarahkan untuk menggerakkan partisipasi aktif individu

dan masyarakat seluas-luasnya.

12)Sasaran dalam pemberdayaan perlu ditumbuhkan jiwa kewirausahaan sebagai bekal menuju kemandiriaan.

13)Agen pemberdayaan atau petugas yang melaksanakan pemberdayaan perlu memiliki kemampuan yang cukup.

(43)

28

Sementara menurut Tri (2008: 11-12) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip pemberdayaan sebagai berikut :

1) Pembangunan yang dilakukan dilaksanakan harus bersifat lokal. 2) Lebih mengutamakan aksi sosial.

3) Menggunakan pendekatan organisasi komunitas/kemasyarakatan. 4) Adanya kesamaan dalam kedudukan kerja.

5) Menggunakan pendekatan partisipasi, para anggota kelompok sebagai objek.

6) Usaha kesejahteraan sosial untuk keadilan. i. Faktor yang mempengaruhi pemberdayaan

Pemberdayaan sebagai suatu proses pemberian pengetahuan dan keterampilan dengan tujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Oleh karenanya pendidikan merupakan bagian dari sebuah pemberdayaan. Dalam pendidikan terdapat komponen-komponen pendidikan yang mempengaruhi proses pendidikan. Adapun komponen-komponen pendidikan tersebut meliputi: peserta didik, pendidik, isi pendidikan, metode pendidikan, alat pendidikan serta lingkungan pendidikan (Siswoyo, 2013: 72- 73).

(44)

29

alat. Sementara dari komponen pendidikan yang berpengaruh antara lain lingkungan fisik, budaya, dan sosial.

Komponen-komponen pendidikan tersebut saling berkaitan untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika salah satu komponen pendidikan tidak ada/kondisi tidak baik maka proses pembelajaran menjadi kurang lancar. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembelajaran perlu memperhatikan komponen-komponen pendidikan agar dalam mencapai tujuan dapat berjalan lancar/tidak ada kendala yang berarti.

2. Gelandangan dan Pengemis a. Gelandangan

Istilah gelandangan berasal dari gelandang yang artinya yang selalu mengembara, yang berkelana. Onghikham dalam Mahasin (1986: 3) mendeskripsikan gelandangan sebagai orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak serta tidak memiliki tempat tinggal.

Sementara Menurut Dinas Sosial Provinsi Yogyakarta, Gelandangan adalah orang- orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Lain halnya Menurut Twikromo (1999: 6) gelandangan adalah “orang

(45)

30

saat ini bahwa kecakapan hidup adalah faktor yang paling berpengaruh dan mendasari mengapa masalah sosial ini terjadi.

Menurut Murdiyanto (2012: 16-17) gelandangan adalah orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai mata pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gelandangan yaitu orang yang kehidupan sehari-harinya berada di jalanan serta tidak memiliki tempat tinggal. Dinas Sosial DIY telah menetapkan kriteria seseorang disebut sebagai gelandangan sebagai berikut:

1. Seseorang (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun

2. Tinggal di sembarang tempat dan hidup mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya di kota-kota besar, 3. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri

4. Berperilaku kehidupan bebas/liar

5. Terlepas dari norma kehidupan masyarakat pada umumnya

6. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas,

Sementara pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 kriteria gelandangan sebagai berikut: 1) Tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk; 2) Tidak memiliki tempat tinggal tetap; 3) Tidak memilki penghasilan yang tetap; 4) Tidak memiliki rencana mengenai masa depan anak. b. Pengertian Pengemis

(46)

31

bernama Pakubuwono X. Seorang raja yang sangat dermawan serta gemar membagi-bagikan sedekah kepada kaum tak punya terutama menjelang hari Jum’at khususnya pada hari Kamis sore.

Pada hari kamis tersebut, Raja Pakubuwono X keluar dari istananya untuk melihat-lihat keadaan rakyatnya, dari istananya menuju Masjid Agung. Perjalanan dari gerbang istana menuju Masjid Agung ditempuh dengan berjalan kaki yang tentunya melewati alur-alur lor (alun-alun utara), rupanya di sepanjang jalan rakyatnya berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Mereka mengelu-elukan sembari menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada pemimpinnya.

Pada saat itu raja tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bersedekah dan langsung diberikan kepada rakyatnya berupa uang. Mungkin kegiatan yang dilakukan sang raja merupakan warisan yang dilakukan oleh pendahulunya yang juga seorang penguasa. Ternyata kebiasaan yang dilakukan setiap hari Kamis tersebut berlangsung terus-menerus. Dalam bahasa Jawa Kamis dibaca kemis, maka lahirlah sebutan orang yang mengharapkan berkah di hari kemis. Istilah ngemis (kata ganti untuk sebutan pengharap berkah di hari kemis) dan orang yang melakukannya disebut dengan nama pengemis (pengharap berkah pada hari kemis).

(47)

32

untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Adapun seseorang dikatakan sebagai seorang pengemis, jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Seseorang (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun Meminta-minta di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.

2) Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-pura sakit, merintih, dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk organisasi tertentu.

3) Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada umumnya (Dinas Sosial Yogyakarta, 2016 diakses pada http://dinsos.jogjaprov.go.id/jenis-jenis-pmks/).

Sementara pada Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2014 disebutkan bahwa kriteria pengemis sebagai berikut: 1) Mata pencaharian tergantung dari belas kasihan orang lain, 2) Berpenampilan kumuh dan compang- camping, 3) Berada di tempat-tempat yang strategis, dan 4) Memanfaatkan sesama untuk merangsang belas kasihan orang lain

Jika diklasifikasikan lagi, menurut Dimas (2013: 5-6), pengemis sendiri terbagi atas 2 macam tipe yakni :

1) Pengemis miskin materi

Pengemis miskin materi merupakan pengemis yang melakukan kegiatan mengemis dikarenakan adanya keterbatasan yang ada yakni keterbatasan materi uang dan harta .

2) Pengemis miskin mental

(48)

33

malasnya yang menimbulkan sikap mental yang tidak baik. (Dimas, 2013: 5- 6).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pengemis. Menurut Dimas (2013: 7-20) faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pengemis diantaranya:

1) Merantau dengan modal nekad 2) Malas berusaha

3) Cacat fisik

4) Biaya pendidikan yang mahal 5) Tidak adanya lapangan pekerjaan 6) Tradisi yang turun temurun 7) Mengemis daripada menganggur 8) Harga kebutuhan poko yang mahal 9) Terlilit masalah ekonomi yang akut 10)Disuruh orang tua

Berbicara mengenai gelandangan dan pengemis erat kaitannya dengan kemiskinan. Penduduk miskin memiliki keterkaitannya mengenai tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat kesehatan dan gizi serta produktivitas kerja.

(49)

34

munculnya 2 golongan yakni kelompok pemiliki tanah dan kelompok tidak memiliki tanah (Soetrisno, 1997 : 16).

Lain halnya dengan Chambers dalam Soetrisno (1997: 18-19) bahwa kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor yang disebut ketidakberuntungan yang saling terkait satu dengan yang lain. Ada lima “ketidakberuntungan” yang melingkari kehidupan orang miskin diantaranya :

1) Kemiskinan (poverty)

2) Fisik yang lemah (physical weakness) 3) Kerentanan (vulnerability)

4) Keterisolasian (isolation) 5) Ketidakberdayaan (powerless)

Orang miskin memiliki tanda-tanda sebagai berikut diantaranya dari segi ekonomi, tingkat pendapatan yang tidak menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan hidup. Fasilitas rumah yang kurang memadai untuk dihuni misalnya ketersediaan MCK, perlengkapan dan lain- lain.

Kelemahan fisik orang miskin disebabkan adanya ketergantungan yang tinggi pada salah satu anggota keluarga yang berfungsi sebagai pencari nafkah. Akibat ketergantungan yang tinggi menyebabkan anggota keluarga miskin secara fisik lemah sebagai akibat dari interaksi dari berbagai penyakit dan rendahnya gizi.

(50)

35

mendadak. Akibatnya, sering menjual apapun yang dimilki atau berhutang kepada tetangga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ketidakberuntungan yang keempat yaitu keterasingan. Orang miskin memiliki keterbatasan dalam akses terhadap sumber-sumber informasi sehingga mereka semakin menjadi objek pergunjingan.

Ketidakberdayaan merupakan ketidakberuntungan yang terakhir bagi orang miskin. Orang miskin tidak berdaya untuk melawan orang-orang yang sering mengeksploitasi mereka/rentenir. Mereka juga tidak berdaya jika dihadapkan oleh aparat polisi yang melakukan penertiban lingkungan.

Dalam rangka menanggulangi masalah kesejahteraan sosial, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Sosial melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial yang diwujudkan dalam program kesejahteraan sosial (prokesos). Adapun sasaran dari program tersebut adalah penduduk miskin yang menyandang masalah kesejahteraan sosial yang meliputi penyandang cacat, penduduk usia lanjut, anak terlantar, anak yatim piatu, penduduk terasing, anak jalanan, pemulung, gelandangan serta fakir miskin lainnya. Adapun prokesos meliputi program-program sebagai berikut:

1) Program Rehabilitasi Penyandang Cacat

2) Program Pembinaan Kesejahteraan Lanjut Usia

3) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar, Anak Jalanan, dan Pemulung

4) Program Bantuan Kesejahteraan Fakir Miskin

5) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing 6) Program Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh

7) Program Peningkatan Peranan Wanita Bidang Kesejahteraan Sosial 8) Program Pembinaan Karang Taruna (Departemen Penerangan RI, 1999

(51)

36 3. Pendidikan Luar Sekolah

a. Konsep Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan dimulai dari manusia lahir sampai manusia meninggal. Pendidikan terbagi atas 3 jalur yakni jalur formal, jalur nonformal serta jalur informal. Menurut Kamil (2011: 14), pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang dalam proses penyelenggaraanya memiliki sistem yang terlembagakan, yang di dalamnya mengandung makna bahwa setiap pengembangan pendidikan nonformal perlu perencanan program yang matang, melalui kurikulum, isi program, sarana, prasarana, sasaran, sumber belajar, serta faktor lain yang tidak dapat dipisahkan.

Sementara menurut Rahman (1989: 20), pendidikan luar sekolah sebagai salah satu alternatif dalam usaha untuk menciptakan pemerataan pendidikan, dengan menyajikan program-program pendidikan yang fleksibel dan berdasarkan dengan kebutuhan.

Menurut UNESCO dalam Julia Preece (2009: 3) non formal education is .... based on an integrated approach that takes into account all the factors

influencing the opportunities and life chances of different populations groups,

and the role played by education systems themselves in the process of social

inclusion and and coherension ....it is learning embedded in planned,

organised and sustained education activities that are outside formal education

(52)

37

Pendidikan luar sekolah dapat dikemukakan bahwa pendidikan yang memiliki tujuan dan kegiatan yang terorganisir, diselenggrakan di lingkungan masyarakat dan lembaga-lembaga untuk melayani kebutuhan belajar khusus para peserta didik (Sudjana, 2004: 23).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang melayani kebutuhan belajar yang belum terpenuhi oleh pendidikan formal dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah

Tilaar dalam Marzuki (2012: 108) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah anatara lain yaitu menciptakan subjek pembangunan yang: a) mampu melihat sekitar, melihart masalah- masalah hidup sehari-hari, melihat potensi-potensi yang ada baik sosial maupun fisik; dan b) mampu serta terampil memanfaatkan potensi yang ada dalam diri, kelompok, masyarakatnya dan lingkungan fisiknya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan masyarakatnya.

Santoso S. Hamijoyo menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah yaitu supaya individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggung jawab menjadi pendorong ke arah kemajuan, gemar berpartisipasi, memperbaiki kehidupan mereka (Marzuki, 2012: 106).

(53)

38

do not have access to formal schooling or need specific life skills and

knowledge to overcome different obstacles.

Sementara menurut Sudjana (2004: 37-38) tujuan dari pendidikan luar sekolah dibedakan menjadi 2 yakni tujuan antara dan tujuan akhir. Tujuan antara beruapa keluaran (output) yang mencakup kuantitas dan kualitas lulusan yang disertai adanya perubahan perilaku. Perubahan perilaku tersebut mencakup aspek kognitif, afektif, psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar mereka. Sedangkan tujuan akhir pendidikan luar sekolah yaitu pengaruh (outcome) yang meliputi: a) perubahan kesejahteraan hidup lulusan yang ditandai dengan perolehan pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan, pendidikan dan penampilan diri, b) membelajarkan orang lain terhadap hasil belajar yang telah dimiliki dan dirasakan manfaatnya oleh lulusan, c) peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial dan atau pembangunan masyarakat, dalam wujud partisipasi buah pikiran, tenaga, harta dan dana.

c. Ciri- ciri Pendidikan Luar Sekolah

Menurut Joesoef (1986: 72-73), ciri-ciri pendidikan luar sekolah antara lain :

1) Tidak dibagi atas jenjang

2) Waktu penyampaian program lebih pendek 3) Usia siswa tidak harus sama

4) Siswa berorientasi studi jangka pendek, praktis agar segera menerapkan hasil pendidikan dalam praktik kerja

5) Materi pelajaran bersifat praktis dan khusus

(54)

39

7) Penghargaan dalam bentuk ijazah atau sebagainya kurang memegang peranan penting.

d. Asas Pendidikan Luar Sekolah

Menurut Joesoef (1986: 80-81) dalam pelaksanaan, pendidikan luar sekolah menerapkan asas di antaranya: 1) Asas inovasi; 2) Asas penentuan dan perumusan tujuan pendidikan luar sekolah; 3) Asas perencanaan dan pengembangan program pendidikan luar sekolah. Asas inovasi berarti bahwa setiap penyelenggaraan pendidikan nonformal harus merupakan kegiatan bagi si terdidik dan merupakan hal yang diperlukan/dibutuhkan. Penentuan dan perumusan tujuan merupakan langkah yang terpenting dan pertama yang harus dikerjakan bagi pendidikan non formal. Perumusan tujuan dapat membantu kompetensi apa yang harus dikuasai agar tujuan program dapat tercapai. Dalam perencanaan harus bersifat komprehensif, integral, memperhitungkan aspek-aspek kuantitatif dan kualitatif serta harus memperhitungkan sumber-sumber yang ada atau dapat diadakan agar program dapat berjalan efektif dan efisien . e. Sifat Pendidikan Luar Sekolah

Dalam pelaksanaan pendidikan luar sekolah tentu berbeda dengan pendidikan formal. Menurut Joesoef (1986: 84-85) sifat pendidikan luar sekolah adalah sebagai berikut :

1) Pendidikan non formal lebih fleksibel

2) Pendidikan non formal mungkin lebih efektif dan efisien untuk bidang pelajaran tertentu

3) Bersifat quick yielding

(55)

40

Pendidikan luar sekolah bersifat fleksibel dalam arti tidak ada syarat- syarat yang ketat dalam segi pelaksanaan pembelajaran maupun yang lainnya. Pendidikan luar sekolah bersifat efektif karena program pendidikan luar seolah bisa spesifik sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat- syarat secara ketat. Pendidikan luar sekolah bersifat quick yielding artinya dalam waktu yang singkat dapat digunakan untuk melatih tenaga kerja yang dibutuhkan, terutama untuk memperoleh tenaga yang memiliki kecakapan. Pendidikan nonformal sangat instrumental artinya pendidikan bersifat luwes, mudah dan murah serta dapat menghasilkan dalam waktu yang relatif singkat dapat digunakan untuk melatih tenaga kerja yang dibutuhkan, terutama untuk memperoleh tenaga yang memiliki kecakapan.

4. Pendidikan Kecakapan Hidup a. Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup

Konsep life skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup atau bekerja. Life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Menurut Satori dalam Anwar (2012: 20) Life skills

(56)

41

mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat kerja menggunakan teknologi.

Menurut Anwar (2012: 20), program kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Life skills ini memiliki cakupan lebih luas, berinteraksi antara pengetahuan yang diyakini sebagai unsur penting dalam hidup lebih mandiri.

Menurut Tim Broad Based Education (Depdiknas, 2001: 9) kecakapan hidup (life skills) adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Pada konsepnya, kecakapan hidup terdiri dari dua jenis yaitu kecakapan hidup generik (general life skills) dan kecakapan hidup spesifik. Setiap jenis kecakapan di atas dapat dibagi menjadi sub kecakapan. Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan personal meliputi kecakapan mengenal diri (self awarness skills) dan kecakapan berfikir (thinking skills). Kecakapan hidup

spesifik terdiri atas kecakapan akademik dan kecakapan vokasional.

(57)

42

dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya.

Kecakapan rasional mencakup antara lain: kecakapan menggali dan menemukan informasi, kecakapan memecahkan masalah secara kreatif, untuk membelajarkan masyarakat, perlu adanya dorongan dari pihak luar atau pengkondisian untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri masing- masing individu, dalam arti bahwa keterampilan yang diberikan harus dilandasi oleh keterampilan belajar.

Kecakapan akademik (academic skills) yang sering kali disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir rasional masih bersifat umum, kecakapan akademik sudah lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat akademik/keilmuan. Kecakapan akademik mencakup anatara lain kecakapan melakukan identifikasi variabel dan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomena tertentu (identifiying variables and describing relationship among them), merumuskan hipotesis

terhadap suatu rangkaian kejadian (constucting hypothese), serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan sesuatu gagasan atau keingintahuan (designing and implementing a research).

Kecakapan vokasional (vocational skills) sering kali disebut dengan “kecakapan kejuruan“ artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang

(58)

43

kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, dan kecakapan akademik serta kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah- pisah, atau tidak terpisah secara ekslusif. Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.

b. Ciri-ciri Pendidikan Kecakapan Hidup

Menurut Depdiknas dalam (Anwar, 2012: 21) ciri- ciri pembelajaran life skills adalah (1) terjadi proses identifikasi kebutuhan belajar, (2) terjadi proses

penyadaran untuk belajar bersama, (3) terjadi keselarasan kegiatan belajar untuk mengembangkan diri, belajar, usaha mandiri, usaha bersama, (4) terjadi proses penguasaan kecakapan personal, sosial, vokasional, akademik, manajerial, kewirausahaan, (5) terjadi proses pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan benar, menghasilkan produk bermutu, (6) terjadi proses interaksi saling belajar dari ahli, (7) terjadi proses penilaian kompetensi dan (8) terjadi pendampingan teknis untuk bekerja atau membentuk usaha bersama.

c. Tujuan pendidikan berbasis kecakapan hidup

Life skills merupakan suatu upaya menjembatani kesenjangan antara

(59)

44

pembelajaran yang belum sesuai dengan kondisi nyata masyarakat setempat (Anwar, 2012: 32). Dengan demikian tujuan dari life skills yaitu mengembangkan potensi seseorang yang guna meningkatkan kualitas diri. d. Manfaat pendidikan berbasis kecakapan hidup

Pendidikan berbasis kecakapan hidup dapat membekali seseorang untuk dapat menghadapi tantangan dalam kehidupannya. Menurut Ditjen PLSP (2003: 5), manfaat program pendidikan kecakapan hidup adalah memberikan bekal untuk menghadapi dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan, baik secara pribadi, warga masayarakat dan warga negara yang mandiri. Dengan demikian akan dirasakan adalah :

a) Meningkatkan kesempatan kerja

b) Mencegah urbanisasi yang tidak bermanfaat c) Meningkatkan pendapatan asli daerah

d) Memperkuat pelaksanaan otonomi daerah melalui peningkatan sumber daya manusia

e) Terwujudnya keadilan pendidikan bagi masyarakat miskin dan kurang mampu.

Sementara menurut Anwar (2012: 21-22) pada dasarnya life skills membantu peserta didik dalam mengembangkan kemampuan belajar (learning how to learn), menghilangkan kebiasaan dan pola pikir yang tidak tepat

(60)

45

Dengan demikian manfaat pendidikan berbasis kecakapan hidup yaitu membantu seseorang untuk dapat memecahkan persolan kehidupannya dengan kemampuan yang dimiliki.

e. Jenis kecakapan hidup

Departemen Pendidikan Nasional dalam Anwar (2012, 28) membagi life skills (kecakapan hidup) membagi menjadi empat jenis yaitu:

1) Kecakapan personal (personal skills) yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awarness) dan kecakapan berpikir rasional (social skills)

2) Kecakapan sosial (social skills)

3) Kecakapan akademik (academic skills) 4) Kecakapan vokasional (vocational skills) B.Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Ariya Akbarian (2015) yang berjudul “Program Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis (GEPENG) melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills) di Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses pelaksanaan pemberdayaan gelandangan dan pengemis di Panti Sosial Bina Karya dengan bimbingan keterampilan dengan mengutamakan praktik dan dampak dari program tersebut sangat baik bagi warga binaan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Rina Rohmaniyati (2016) yang berjudul “Pemberdayaan Gelandangan dan Pengemis melalui Usaha Ekonomi Prduktif (UEP) di Lembaga Sosial Hafara Bantul, DIY”. Hasil penelitian menunjukkan

(61)

46

perikanan berupa ikan lele, dan pertanian berupa buah-buahan, sayuran, dan tanaman obat yang diperjual belikan dan dikonsumsi. Dari kegiatan tersebut warga binaan gepeng mendapatkan bagi hasil. Dampak dari kegiatan tersebut warga binaan mendapat keterampilan, dapat menabung serta tidak kembali ke jalanan.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Estri Aulia (2016) yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan Warga Binaan Sosial A melalui Keterampilan

Menjahit di Panti Sosial Bina Karya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak dari program menjahit dapat menambah pengetahuan dan keterampilan serta mengubah keadaan ekonomi karena setelah selesai mengikuti program tersebut mereka disalurkan ke perusahaan-perusahaan konveksi maupun membuka usaha sendiri.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Kesi Wijayanti (2011) dengan judul penelitian “Model Pemberdayaan Masyarakat“. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada

2 pola cara yang mengarah pada peningkatan keberdayaan masyarakat. (1) pola yang terdiri dari 2 tahapan untuk keberdayaan, (2) pola yang menunjukkan bahwa untuk meningkatkan keberdayaan diperlukan tiga tahapan proses aktivitas.

C. Alur Berpikir

(62)

47

gelandangan dan pengemis. Salah satunya dunia pendidikan formal yang belum mampu membuat perubahan hidup.

Balai Rehabilitasi Sosial Bina Karya dan Laras Yogyakarta sebagai salah satu lembaga pelayanan teknis yang menangangi masalah gelandangan, pengemis dan eks psikotik yang bertugas menangani masalah tersebut. Dalam upaya menangani masalah gelandangan dan pengemis dilakukan beberapa bimbingan yang mencakup bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan. Bimbingan yang dilaksanakan bertujuan menjadikan gelandangan dan pengemis menjadi lebih mandiri. Kema

Gambar

Tabel 1. Jumlah Gelandangan, Pengemis dan Pemulung Tahun
Tabel 2. Tahapan Pemberdayaan Knowledge, Attitudes, practice dengan pendekatan aspek afektif, kognitif, psikomotorik dan konatif
Gambar 1. Alur  Berpikir
Tabel 3. Data Subjek Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) Faktor 1 dinamakan “Kualitas Kepemimpinan” karena variabel yang mewakili faktor ini dapat memperlihatkan kualitas kepemimpinan dalam hal keteladanan, balas jasa,

This article adds significant knowledge to previous studies of news media coverage of climate change by analyzing news articles published during 2007 in the two dedicated online

Sebuah persentasi pengetahuan eksternal yang informal disertai dengan interpretasi yang dapat secara langsung membangun working (tacit) knowledge meskipun penggunaan

Dengan inI kami mengundang Saudara untuk mengikuti Pembuktian Kualifikasi Pekerjaan Konsultan dengan Sistem Seleksi Sederhana untuk :. Pengawasan

NIDN/NAMA DOSEN/BID ILMU JAFUNG/GOLRU/TMMD PEND./UMUR/MK GRUP KETERANGAN CATATAN SISTEM PENGUSULAN.. 62 - 62 - Sistem Sertifikasi Pendidik untuk Dosen

Pelaksanaan praktik residensi juga memberikan kesempatan untuk menerapkan peran sebagai pengelola yaitu dengan melaksanakan manajemen keperawatan dengan metoda tim,

Seperti pestisida nabati pada umumnya, pestisida nabati EBM mempunyai beberapa keunggulan, seperti (1) relatif murah dan aman terhadap lingkungan, (2) tidak

(i) Dengan menggunakan aktor dan kelas yang dicadangkan, serta kelas-kelas lain yang sesuai, rekabentuk rajah jujukan bagi senario menyewa video.. Using suitable actors and