Menurut Bhattacharya (1972), gelombang irregular ditandai sebagai berikut 1. Permukaan gelombang merupakan permukaan yang tidak beraturan, sangat kompleks dan sulit untuk digambarkan secara matematis karena ketidaklinierannya, tiga dimensi dan mempunyai bentuk yang acak, dimana suatu deret gelombang mempunyai tinggi dan periode yang berbeda.
2. Permukaan gelombang yang tidak beraturan selalu berubah dari waktu ke waktu dan bervariasi dari tempat ke tempat, tergantung dari kecepatan angin
Dengan :
ΞΆ = Elevasi gelombang
ΞΆa = Amplitude gelombang semu (apparent wave amplitude) H = Tinggi gelombang semu (apparent wave height)
Tr = Periode lintas nol semu (apparent zero closing period) Tc = Periode semu (apparent period)
Pengukuran gelombang acak dapat dilakukan dengan dua metode yaitu zero upcrossing method dan zero downcrossing method. Pada zero upcrossing method hal pertama yang perlu dilakukan adalah menetapkan titik nol, dimana titik nol ini adalah elevasi rerata dari permukaan air berdasarkan fluktuasi muka air pada waktu pencatatan. Pemberian tanda titik perpotongan antara kurva naik dan garis nol, kemudian titik tersebut ditetapkan sebagai awal dari satu gelombang. Jarak
17 antar kedua tititk tersebut adalah periode gelombang pertama (T1). Sedangkan jarak vertikal antara titik tertinggi dan terendah diantara kedua titik tersebut adalah tinggi gelombang pertama (H1). Selanjutnya dilakukan penelusuran lagi untuk mendapatkan gelombang kedua, ketiga dan seterusnya. Metode zero downcrossing mempunyai prosedur yang sama, tetapi titik yang dicatat adalah pertemuan antara kurva turun dan garis nol (Triatmodjo, 1999).
Gelombang irreguler tidak dapat didefinisikan menurut pola atau bentuknya, tetapi menurut energi total dari semua gelombang yang membentuknya (Bhattacharya, 1972).
πΈπ = βπΈπ
...
(2.8) atau dalam bentuk lain :πΈπ = 1 2β π g βΞΎ ππ
...
(2.9)Dengan :
ET = energi total (joule/m)
Ei = energi masing-masing gelombang sinusoidal (joule/m) Ο = densitas air laut (kg/m3)
g = percepatan grafitasi (m/s2) ΞΎ ππ = amplitudo gelombang (m)
Sehingga gelombang di laut dapat dinyatakan menurut distribusi energi terhadap frekuensi gelombang, panjang gelombang, dan periode gelombang. Distribusi energi gelombang menurut frekuesinya disebut spektrum gelombang.
18 Gambar 2.12 Gelombang acak merupakan superposisi gelombang regular dalam
jumlah β (Pierson dan Denis,1953) 2.2.5 Spektra JONSWAP
Spektra parameter tunggal yang sering digunakan adalah model Pierson-Moskowitz (P-M, 1964), yang berdasarkan pada parameter kecepatan angin. Selain itu terdapat beberapa spektra parameter ganda yang biasa digunakan seperti bretschneider (1969), International Ship Stucture Congress (1964), International Towing Tank Conference (1966, 1969, 1972) serta spektra gelombang Joint North Sea Wave Project atau lebih dikenal dengan istilah JONSWAP. Spektra ini diturunkan untuk kondisi perairan laut utara dan akan lebih sesuai apabila diterapkan untuk perairan tertutup atau di daerah kepulauan (Hasselmen, 1973).
Pada penelitian ini akan menggunakan spektra JONSWAP. Spektra JONSWAP dikemukakan Hasselman (1973) berdasarkan data yang diambil di perairan bagian barat Denmark untuk membuat model spektrum gelombang, dimana model tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
π (π) = πΌπ2πβ5ππ₯π [β125 (π
19 π0 = 2π(π/α΄π0)(π₯0)β0.33
x0 = ππ₯/α΄π02 π02 = 0.161 g/Hs
2.2.6 Refleksi Gelombang
Refleksi gelombang terjadi ketika gelombang datang mengenai atau membentur suatu rintangan sehingga kemudian dipantulkan sebagian atau seluruhnya. Tinjauan refleksi gelombang sangat penting untuk diketahui dalam perencanaan bangunan pantai, sehingga akan didapatkan keadaan perairan yang relatif tenang pada pelabuhan atau pantai. Oleh karena itu bangunan pemecah gelombang yang baik adalah dapat menyerap energi gelombang secara optimal.
Besar kemampuan suatu bangunan pemecah gelombang untuk memantulkan gelombang dapat diketahui melalui koefisien refleksi. Koefisien refleksi adalah perbandingan antara tinggi gelombang refleksi (Hr) dan tinggi gelombang datang (Hi).
Jika suatu gelombang mengenai benda yang menghalangi laju gelombang tersebut, maka bisa dipastikan gelombang tersebut mengalami apa yang disebut refleksi dan transmisi. Demikian juga halnya pada gelombang yang mengenai suatu struktur pelindung pantai. Refleksi gelombang secara sederhana bisa diartikan sebagai besar gelombang yang terpantulkan oleh struktur pelindung dibandingkan dengan besar nilai gelombang datang. Sehingga, bila dirumuskan ke dalam bentuk matematis, koefisien refleksi menjadi:
πΎπ =π»π
π»π/π΄π
π΄π ... (2.11) dimana:
Kr = Koefisien refleksi gelombang Hi = Tinggi gelombang datang Hr = Tinggi gelombang refleksi Ar = Amplitudo gelombang refleksi Ai = Amplitudo gelombang datang
20 Pada pengujian di laboraturium, yang menjadi acuan dalam penelitian koefisien refleksi yang terjadi adalah karakteristik gelombang yang terjadi akibat adanya struktur. Goda (1985) menemukan metode yang menggunakan teknik perubahan Fourier. Pada penelitian yang dilakukan oleh Goda (1985) digunakan 2 probe yang nantinya digunakan untuk merekam data gelombang datang dan gelombang yang terefleksi oleh struktur. Jarak probe yang digunakan untuk merekam gelombang yang datang minimal satu kali panjang gelombang untuk pengujian dengan menggunakan gelombang irreguler dan 0.2 kali panjang gelombang untuk pengujian dengan menggunakan gelombang reguler. Hal tersebut dilakukan supaya probe yang digunakan untuk merekam gelombang yang datang tidak terpengaruh oleh gelombang yang terefleksi oleh struktur. Persamaan yang bisa menggambarkan kejadian refleksi gelombang yang terjadi di laboraturium saat pengujian dilakukan adalah :
ππ = πππππ (ππ₯ β ππ‘ + ππ) ... (2.12) ππ = πππππ (ππ₯ β ππ‘ + ππ) ... (2.13) Dengan i dan r yang menjelaskan gelombang insiden dan gelombang refleksi. Bila diasumsikan profil terekam di dua tempat yaitu pada :
x1 = x
21 Gambar 2.13. Sketsa perhitungan refleksi gelobang (Goda, 1985)
Sehingga didapatkan persamaan baru yaitu sebagai berikut :
π1 = (ππ+ ππ)π₯=π₯1= π΄1cos ππ‘ + π½1sin ππ‘ ... (2.14) π2 = (ππ + ππ)π₯=π₯2 = π΄2cos ππ‘ + π½2sin ππ‘ ... (2.15) dimana :
π΄1 = ππcos ππ + ππcos π π ... (2.16) π½1 = ππsin ππ + ππsin π π ... (2.17) π΄2 = ππcos(πΞπ + ππ) + ππcos(πΞπ + ππ) ... (2.18) π½2 = ππsin(πΞπ + ππ) β ππsin(πΞπ + ππ) ... (2.19) ππ = ππ₯1+ ππ ... (2.20) ππ = ππ₯1+ ππ ... (2.21) Karena variabel ππ, ππ,ππ, dan ππ tidak diketahui maka digunakan eliminiasi untuk keempat variabel tersebut,sehingga akan didapatkan persamaan seperti dibawah ini:
π
π=
βπΎ1+πΎ2(2|sin πβπ|) ... (2.16
π
π=
βπΎ3+πΎ4(2|sin πβπ|) ... (2.17)
22
2.2.7 Analisis Dimensi
Persamaan dikatakan berdimensi homogen jika dimensi setiap suku dari suatu persamaan adalah identik/sama. Jumlah variabel dari suatu persamaan dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu
ο· Metode Rayleigh
ο· Metode Buckingham (phitheorem)
ο· Metode Matrik
Hubungan antara parameter model dapat diekspresikan dalam bilangan tak berdimensi yang menggambarkan hasil penelitian berupa grafik hubungan antara parameter tak berdimensi. Hal ini berlaku jika variabel saling berpengaruh pada kondisi fisik tidak dapat diidentifikasi.
2.2.8 Pemodelan Fisik
Pemodelan fisik dapat dikatakan sebagai percobaan yang dilakukan dengan membuat bentuk model yang sama dengan prototipenya atau menggunakan model yang lebih kecil dengan kesebangunan atau similaritas yang cukup memadai.
Pemodelan fisik dilakukan apabila fenomena dari permasalahan yang ada pada prototipe sulit untuk diperoleh karena berbagai keterbatasan. Keuntungan digunakan pemodelan fisik ini antara lain :
1. Dalam pemodelan fisik, persamaan yang dipakai tanpa menyederhanakan asumsi yang biasanya digunakan untuk model analitis atau model numerik.
2. Dari segi biaya untuk pengumpula data, adanya model dalam skala kecil akan mempermudah pencatatan data dan pengurangan biaya, bila
23 dibandingkan dengan pengumpulan data lapangan tentu lebih sulit dan mahal juga pengukuran data lapangan yang simultan sulit dicapai.
Penggunaan model fisik sampai saat ini masih merupakan alternatif metode terbaik untuk meneliti. Pengujian fisik ini dapat menyediakan data yang akurat, tetapi biasanya memuat variabel alam yang dapat menyebabkan kesulitan dalam interpretasi data. Hasil visualisasi tersebut mungkin merupakan hal yang tidak bisa dihasilkan secara teoritis atau dengan menggunakan perhitungan komputer (Hughes, 1993)
A. Sebangun Geometrik
Sebangun geometrik dipenuhi apabila bentuk model dan prototipe sebangun. Hal ini menyatakan ukuran panjang antara model dan prototipe harus sebanding, jika skala model diberi notasi nL maka persamaan akan menjadi sebagai berikut (Hughes, 1993)
ππΏ = πΏπ
B. Sebangun Kinematik
Sebangun kinematik dipenuhi apabila aliran pada model dan prototipe sebangun. Menandakan bahwa kecepatan aliran di titik-titik yang sama pada model dan prototipe mempunyai arah yang sama dan sebanding.
Berdasarkan kesebangunan kinematik dapat diberikan nilai-nilai skala : Skala Waktu :
π
π=
ππππ ... (2.23)
24
Hughes (1993), menyatakan bahwa pada bangunan pantai proses fisik yang terjadi dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Gaya-gaya tersebut meliputi gaya inersia, gaya tekan, gaya berat, gaya gesek dan gaya tegangan permukaan.
Dalam penelitian ini kriteria kesebangunan yang harus dipenuhi adalah kriteria sebangun dinamik menurut kondisi bilangan froude. Bilangan froude dapat diekspresikan dengan rasio antara gaya inersia dengan gaya gravitasi.
g = percepatan gravitasi π = viskositas dinamik π = tegangan permukaan E = modulus Elastisitas
25 Kesebangunan dinamik dapat diekspresikan sebagai perbandingan gaya-gaya tersebut diatas sebagai bilangan tek berdimensi dan dinyatakan dalam kriteria-kriteria sebagai berikut Rasio antara gaya gravitasi dan gaya inersia pada model dan prototipe harus sama, karena kedua gaya tersebut memiliki peranan yang penting didalam pemodelan, yang dinyatakan sebagai berikut:
ππΉπ =
ππ’(ππΏ)0,5
= 1 ...
(2.31)2.2.9 Tinjauan Bentuk Hexagonal
Bentuk hexagon merupakan sebuah bentuk yang mendekati bentuk lingkaran dan memiliki rasio tepi yang rendah. Bentuk hexagon juga hampir menyerupai bentuk dari lambung kapal. Dimana lambung kapal menyediakan daya apung yang dapat mencegah kapal tenggelam. Dengan bentuk hexagonal ini, kapasitas ruang rongga udaranya akan jauh lebih besar dari pada bentuk segitiga maupun persegi panjang. Sehingga dengan rongga udara yang besar maka memiliki daya apung (buoyancy) yang jauh lebih besar pula. Hexagonal juga memiliki perimeter yang lebih rendah jika dibandingkan dengan persegi empat dimana area yang dimiliki sama. Gambar 2.14 dibawah ini merupakan salah satu rancangan dari
26 konfigurasi hexagonal floating breakwater yang akan diteliti dalam penelitian ini.
Hal menarik dengan bentuk hexaganal ini yaitu memiliki variasi susunan bentuk yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan bentuk-bentuk floating breakwater lainnya, seperti bentuk ponton maupun persegi.
Gambar 2.14 Model dengan bentuk hexagonal
27
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian
Proses dalam menyelesaikan tugas akhir ini akan ditunjukkan dalam diagram alir sebagai berikut :
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian
Studi Literatur
Mengumpulkan refrensi mengenai floating breakwater, refleksi gelombang, serta bahan bahan yang dibutuhkan dalam pengerjaan tugas akhir ini
Pelaksanaan Percobaan
Pelaksanaan model floating breakwater dengan variasi konfigurasi breakwater dan variasi beban gelombang
Persiapan Percobaan
ο· Perancangan model
ο· Desain eksperimen model
ο· Pengecekan kesiapan peralatan laboratorium
Penyusunan Model
Penyusunan model floating breakwater dan penempatan ke dalam wave flume
Analisis Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan
Selesai
28 Gambar 3.2 Diagram alir percobaan
Mulai
Desain model eksperimen
Cetak model eksperimen
Kalibrasi probe
Input tinggi gelombang, periode gelombang, dan spektrum yang digunakan
Eksperimen Ganti Variasi
Analisis Data Penyusunan konfigurasi
Pengukuran jarak probe
Pemasangan model dan probe
29 Prosedur Penelitian
3.2.1 Studi Literatur
Pada tahap penelitian ini hal yang akan dilakukan adalah mengumpulkan informasi mengenai floating breakwater, pemodelan fisik, dan perhitungan koefisien refleksi dari jurnal, penelitian tugas akhir, dan referensi-referensi lainnya.
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemahaman mengenai apa yang akan dilakukan pada penelitian nanti. Dari studi literatur ini dapat disusun suatu rancangan penelitian dan metode pelaksanaan penelitian untuk mecapai tujuan yang diinginkan
3.2.2 Persiapan percobaan
A. Perancangan model floating breakwater
Dalam merancang model fisik floating breakwater harus dilakukan semaksimal mungkin agar bisa mewakili karakteristik dari prototype yang sebenarnya. Perancangan model fisik perlu memperhatikan beberapa hal yang meliputi skala pajang dan berat
Tabel 3.1 Perencanaan skala model untuk prototype Dimensi Model (cm) Skala Prototipe (cm)
Panjang 4 1:10 40
Lebar 4 1:10 40
Tinggi 4 1:10 40
B. Desain eksperimen model
Desain pengujian model ini dilakukan agar peneliti mempunyai gambaran yang akan dilakukan sehingga dalam melakukan percobaan di Laboratorium Energi Laut dan Bawah Air dapat dilakukan dengan baik dan memperoleh hasil yang maksimal.
30 Gambar 3.3 Ukuran dimensi permodelan fisik dalam cm, tampak atas
Model yang nantinya akan diuji disusun dengan variasi tinggi gelombang (H), periode gelombang (T). Pengujian ini akan dilakukan dengan gelombang irreguler satu kali untuk setiap variasi
Tabel 3.2 Skenario Gelombang yang Digunakan dalam Uji Model Fisik Kedalaman
C. Pengecekan kesiapan peralatan laboratorium flume tank
Dalam persiapan percobaan ini perlu diketahui bahwa jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental, dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti dengan mengacu pada literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Persiapan percobaan yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah pengecekan alat laboratorium. Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan dan Energi Laut, Departemen Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS. Sebelum melakukan penelitian perlu diperhatikan dan diketahui fasilitas laboratorium yang akan digunakan
31 misalnya seperti flume tank, komputer, wave probe, pengecekan wave generator dan absorber. Berikut dibawah ini fasilitas laboratorium yang digunakan :
ο· Wave Flume
Wave flume yang digunakan yang digunakan memiliki ukuran panjang 20m, tinggi 2.3m, dan lebar 2m. Seperti pada gambar 3.4.
Gambar 3.4 Wave Flume
ο· Wave Probe
Wave probe adalah alat untuk mengukur tinggi gelombang, apabila alat tersebut tercelup air maka elektroda akan mengukur konduktivitas air.
Konduktivitas tersebut berubah secara proporsional sesuai dengan variasi perubahan elevasi muka air. Dalam penelitian ini digunakan 2 wave probe yang dipasang didepan struktur. Wave probe dikalibrasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian. untuk menjadi acuan pencatatan hasil running.
Gambar 3.5 Wave Probe
32
ο· Wave Generator
Wave generator adalah alat yang digunakan untuk membangkitkan gelombang buatan dalam wave flume. Wave generator pada laboratorium Laboratorium Energi dan Lingkungan Laut pada kolam gelombang (flume tank) Departemen Teknik Kelautan dapat membangkitkan gelombang reguler dan gelombang irreguler.
Gambar 3.6 Wave generator
ο· Komputer Kendali
Komputer kendali yang digunakan dalam pengujian terdapat 2 buah komputer, dimana satu komputer digunakan untuk merekam data dari wave probe seperti terlihat pada Gambar 3.7 Sedangkan komputer lainnya digunakan untuk pengatur ketinggian dan periode gelombang yang akan dibangkitkan oleh wave generator seperti terlihat pada Gambar 3.8.
33 Gambar 3.7 Komputer untuk merekam data wave probe
Gambar 3.8 Komputer untuk mengatur ketinggian dan periode gelombang
3.2.3 Penyusunan model
Menempatkan dan menyusun model floating breakwater kedalam wave flume sedemikian rupa agar dapat dilaksanakan running percobaan floating breakwater. Model yang tempatkan di wave flume diuji dengan variasi tinggi gelombang, periode, konfigurasi, dan jarak probe 2 dengan struktur agar dapat mengetahui besar koefisien refleksi gelombang
34 Gambar 3.9 Konfigurasi bentuk hexagonal flooating breakwater
Konfigurasi 1
Konfigurasi 2 Gelombang
datang
Gelombang datang
32 cm
38.5 cm
35 Penempatan wave probe dalam analisis refleksi merupakan hal yang paling penting. Penempatan wave probe 1 mengacu pada persamaan goda yaitu:
πΏ =ππ‘2
2π tanh (2ππ
πΏπ) ... (3.1) πΏπ =ππ‘2
2π ... (3.2)
Tabel 3.3 Perhitungan penempatan wave probe 1 Periode (s) Panjang gelombang (cm)
1.1 187.36
1.3 254.2
1.5 321.93
Penempatan wave probe 1 (gelombang datang) berdasarkan penelitian Goda (1985) letak wave probe satu minimal adalah satu kali panjang gelombang dari ujung struktur. Hal ini dilakukan supaya wave probe satu tidak terpengaruh oleh gelombang refleksi. Pada pengujian kali ini periode terbesar yang digunakan adalah 1.5s. Sehingga untuk menentukan panjang gelombang digunakan periode 1.5s. Pada perhitungan tabel 3.3 didapatkan panjang gelombang pada periode 1.5s adalah 321.93cm. Sehingga untuk memenuhi syarat peletakkan probe 1 dan mempermudah peletakkan, digunakan jarak 350 cm di depan struktur. Pada skenario 1 wave probe 2 diletakkan sejauh 100m dari ujung struktur. Sedangkan pada skenario 2 wave probe 2 diletakkan sejauh 150cm dari ujung struktur
36 Gambar 3.10 Peletakan wave probe 1 pada wave flume
Skenario 1
37 Gambar 3.11 Skenario variasi peletakan wave probe
3.2.4 Pelaksanaan Percobaan
Setelah model terpasang pada flume tank, maka pengujian bisa dilakukan sesuai dengan desain eksperimen model yang telah ditentukan sebelumnya. Data yang dimasukkan meliputi beban gelombang (periode gelombang dan tinggi gelombang) di komputer kendali. Gelombang yang dibangkitkan merupakan gelombang irregular. Pengujian ini dilakukan satu kali untuk setiap bentuk konfigurasi dengan tinggi gelombang, periode gelombang, dan variasi jarak antara probe 2 dengan sturktur. Skenario pengujian model floating breakwater ini disajikan pada tabel 3.4
Tabel 3.4 Skenario percobaan pertama dan kedua Konfigurasi Kedalaman
Perairan(cm)
38 3.2.5 Analisis Hasil Percobaan
Data yang didapatkan dari hasil pengujian laboratorium akan diolah dengan rumus perhitungan yang sesuai dengan penelitian ini, untuk memperoleh koefisien refleksi (Kr) dari masing masing variasi beban gelombang. Hasil perhitungan akan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. Untuk penjelasan secara detailnya akan ditampilkan pada sub bab 4.1.3
3.2.6 Kesimpulan
Dari hasil analisis akan diperoleh nilai koefisien refleksi yang nantinya akan dibandingkan dengan variasi masing masing untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Konfigurasi yang terbaik adalah konfigurasi yang mempunyai nilai koefisien refleksi (Kr) tertinggi. Selain itu peneliti akan memberikan saran untuk penelitian yang akan dilakukan kedepannya
39
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis Data 4.1.1 Analisis Dimensi
Analisis dimensi pada pemodelan fisik dilakukan untuk mempermudah proses analisis data dari hasil percobaan. Hasil dari analisis dimensi adalah bilangan tak berdimensi yang nantinya dijadikan sebagai acuan dalam penggambaran grafik hasil percobaan. Pada analisis refleksi dipengaruhi beberapa parameter, yaitu:
π
= [ Hi , Hr , T , g, ]Tabel 4.1 Parameter yang mempengaruhi koefisien refleksi
Symbol Parameter Dimensi
Hr Tinggi Gelombang Refleksi (cm) L
Hi Tinggi Gelombang Datang (cm) L
T Periode Gelombang (sec) T
G Percepatan Gravitasi Bumi (m/s2) L T-2
Dengan menggunakan metode Buckingham diperoleh bilangan tak berdimensi yaitu:
π»π
π»π
= π [
π»πππ2
]
... (4.1)πΎπ = [π»π
π»π] = π ( π»π
ππ2) ... (4.2)
40 4.1.2 Kalibrasi Probe
Setelah melakukan uji laboratorium, didapatkan data dari hasil rekaman wave probe selama berlangsungnya percobaan. Data yang didapat oleh software Water Tide Meter berupa data kapasitansi dengan satuan milimeter.Durasi percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah selama 3 menit dengan 25 data/detik, sehingga data yang diperoleh adalah 4500 data dalam waktu 3 menit.
Sebelum pengujian dilaksanakan, dilakukan kalibrasi wave probe dan wave generator terlebih dahulu. Kalibrasi wave probe dilakukan untuk menentukan batas atas dan batas akhir yang mampu ditangkap oleh wave probe. Sedangkan untuk kalibrasi wave generator dilakukan untuk mengetahui korelasi antara tinggi gelombang yang di masukkan (input) pada komputer kontrol dengan tinggi gelombang yang terbaca pada wave probe (output). Setelah kalibrasi dilakukan didapatkan nilai berupa satuan kapasitas pada probe yang nantinya akan di input pada software bawaan dari probe. Adapun nilai kapasitor minimum hingga maksimum pada setiap probe ditunjukkan pada Gambar 4.1; Gambar 4.2 ; Gambar 4.3 dan Tabel 4.2; Tabel 4.3; Tabel 4.4
Gambar 4.1 Hasil kalibrasi wave probe Tabel 4.2 Hasil kalibrasi wave probe Nilai Kapasitor Probe 1 Probe 2
Minimum 1851 1861
Maksimum 3565 3573
41 Tabel 4.3 Hasil kalibrasi probe 1
Probe 1
Gambar 4.2 Hasil kalibrasi wave probe 1
0
42 Tabel 4.4 Hasil kalibrasi probe 2
Probe 2
Gambar 4.3 Hasil kalibrasi wave probe 2
0
43 Tabel 4.5. Nilai persamaan linier dan regresi pada kalibrasi wave probe
Probe Persamaan linier hasil uji lab Regresi data hasil uji lab
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
Probe 1 y = 21.458x + 1849.3
y = 21.392x +
1828.7 RΒ² = 0.9999 RΒ² = 0.9996 Probe 2 y = 21.41x +
1861.9
y = 21.377x +
1841.6 RΒ² = 0.9996 RΒ² = 0.9999
4.1.3 Analisis data
Pada gambar 4.4 ditunjukan contoh hasil data yang diperoleh setelah melakukan pengujian di wave flume. Pada kolom A berisi keterangan waktu saat pengambilan data. Pada kolom C sampai E menunjukkan tinggi gelombang yang tercatat oleh wave probe dengan satuan milimeter.
Pada gambar 4.4 terlihat bahwa digunakan 3 probe, namun dalam analisis ini data yang digunakan adalah data yang tercatat pada probe channel 2 dan channel 3. Dimana probe channel 2 merekam data gelombang datang, dan probe channel 3 merekam data gelombang yang terefleksi
Gambar 4.4 Data hasil rekaman wave probe
44 Data dari probe channel 2 dan 3 ini kemudian dihitung nilai koefisien refleksinya dengan menggunakan persamaan Goda dan Suzuki. Persamaan ini merupakan persamaan yang didapatkan pada percobaan refleksi gelombang yang dilakukan oleh Goda dan Suzuki dengan menggunakan metode two wave gauges.
Prinsip perhitungan nilai koefisien refleksi dengan menggunakan persamaan Goda dan Suzuki adalah dengan membandingkan amplitudo gelombang datang dan amplitudo gelombang refleksi. Nilai dari amplitudo gelombang datang dan amplitudo gelombang refleksi didapatkan dengan mengolah data yang terekam oleh wave probe dengan menggunakan bantuan software MATLAB. Setelah didapatkan nilai amplitudo gelombang datang dan amplitudo gelombang refleksi, kemudian perhitungan koefisien refleksi dapat dilakukan.
Gambar 4.5 Diagram alir analisis refleksi Analisis Grafik
4.2.1 Hubungan Koefisien Refleksi dengan Wave Steepness
Setelah melakukan percobaan dengan menggunakan variasi tinggi gelombang (H), periode gelombang (T), maka diperoleh titik penyebaran nilai koefisien refleksi. Pada Hs/gTp2 rendah pada jarak 100cm di depan struktur, diperoleh nilai Kr hampir sama antara konfigurasi 1 dan konfigurasi 2. Kondisi ini akan meningkat secara signifikan dengan bertambahnya Hs/gTp2. Sebagaimana
Input Data Hasil Percobaan
Persamaan Goda
45 ditunjukkan pada gambar 4.6. Sedangkan pada jarak 150cm di depan struktur juga didapatkan nilai Kr yang mengalami peningkatan secara signifikan dengan bertambahnya Hs/gTp2. Akan tetapi pada konfigurasi 2 diperoleh sedikit penurunan bila dibandingkan dengan konfigurasi 1. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.7
Gambar 4.6 Perbandingan wave steepness dan koefisien refleksi pada skenario 1 dengan jarak probe 100 cm di depan struktur
Gambar 4.7 Perbandingan wave steepness dan koefisien refleksi pada skenario 2 dengan jarak probe 150 cm di depan struktur
0.10 0.30 0.50 0.70 0.90
0.001 0.003 0.005 0.007 0.009 0.011 0.013 0.015 0.017
Kr
0.001 0.003 0.005 0.007 0.009 0.011 0.013 0.015 0.017
Kr
Hs/gTp2 Konfigurasi 1 Konfigurasi 2
46 Tabel 4.6 Nilai persamaan log dan regresi pada paremeter Kr dengan Hs/gTp2 Skenario Probe Konfigurasi Persamaan Log Regresi
1 1 y = 0.3042ln(x) + 2.1612 0.8987
2 y = 0.221ln(x) + 1.672 0.8004
2 1 y = 0.3324ln(x) + 2.043 0.8644
2 y = 0.208ln(x) + 1.4398 0.8172
Nilai regresi yang hampir mendekati 1 menandakan persamaan log yang diperoleh memiliki keakuratan yang lebih baik
4.2.2 Hubungan Jarak Probe dengan Koefisien Refleksi
Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa semakin dekat jarak probe dengan struktur maka akan didapatkan nilai koefisien refleksi yang semakin besar.
Koefisien refleksi mengalami kenaikan hingga 20 %. Sebagaimana terlihat pada gambar 4.9. Semakin besarnya koefisien refleksi menandakan bahwa gelombang yang terefleksi oleh struktur juga semakin besar. Tinggi gelombang refleksi yang besar ini nantinya dapat menyebabkan resonansi yang terjadi semakin besar pula.
Sehingga dapat membahayakan kapal kapal yang mendekati breakwater
Gambar 4.8 Perbandingan jarak probe dan koefisien refleksi
Tabel 4.7 Nilai persamaan log dan regresi pada paremeter Kr dengan Hs/gTp2
Skenario Probe Persamaan Log Regresi
1 y = 0.2921ln(x) + 2.0601 0.887
0.001 0.003 0.005 0.007 0.009 0.011 0.013 0.015 0.017
Kr
Hs/gTp2 Skenario 1 Skenario 2k
47 4.2.3 Perbandingan Koefisien Refleksi Hasil Pengujian dengan Penelitian
Terdahulu
Penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk membandingkan hasil pengujian yang dilakukan di Laboratorium Energi Laut dan Bawah Air β ITS adalah hasil penelitian dari Mani (1991). Perbandingan koefisien refleksi dengan wave steepness yang diperoleh pada pengujian kali ini memiliki kemiripan dengan hasil
Penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk membandingkan hasil pengujian yang dilakukan di Laboratorium Energi Laut dan Bawah Air β ITS adalah hasil penelitian dari Mani (1991). Perbandingan koefisien refleksi dengan wave steepness yang diperoleh pada pengujian kali ini memiliki kemiripan dengan hasil