• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gencatan Senjata?

Israel dengan Palestina melakukan gencatan senjata mulai Jumat (21/5/2021) pukul 2.00 waktu setempat, menyusul pertempuran selama sebelas hari. Tak kurang dari 250 orang tewas dalam pertempuran tersebut, lebih dari 10.000 orang terluka, dan lebih dari 75.000 orang mengungsi. Gencatan senjata ini merupakan kemenangan besar Palestina, khususnya saya militer Hamas Al-Qassam karena berhasil membungkam kesombongan Israel setelah negeri penjajah itu dilindungi Iron Dome yang diharapkan mampu menangkis setiap serangan musuh.

Juru bicara Al-Qassam Abu Ubaidah menyatakan, Hamas telah menjalani peperangan dengan terhormat dengan segenap kesadaran mewakili seluruh umat Islam. Kita berhasil menghinakan Israel dan tentaranya. Kita telah persiapkan serangan roket denga kekuatan sangat besar. Tapi Hamas memenuhi seruan negara-negara Arab agar menerima gencatan senjata dan menunda serangan besar-besaran ke Israel,” katanya.

Dikatakan, Al-Qassam menyerang Israel lagi secara besar-besaran atau tidak tergantung kepatuhan Israel terhadap gencatan yang terus

42 mereka pantau. Kaum elite Israel dihadapkan

pada ujian sebenarnya, untuk terus bertempur menggempur Palestina atau menghentikannya. Bagi Hamas, syarat gencatan senjata adalah Israel harus berhenti menistakan Al-Aqsha, menghentikan kejahatan di Syaikh Jarrah dan membebaskan semua tahanan yang ditangkap Israel. Jika tidak, Hamas bersiap masuk dalam perang yang lebih besar.

Yang menjadi masalah, mengapa Israel secara sepihak memaksakan gencatan senjata? Gencatan senjata ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh Amerika Serikat dan sekutunya Uni Eropa. Di satu sisi, Barat (AS dan Eropa) saat ini sedang sibuk menyiapkan Perang Asia Pasifik di Laut Cina Selatan, namun di sisi lain, mereka harus menolong “anak kandungnya” di Timur Tengah. Mereka tidak rela Israel kalah, tapi mereka ora kober membantunya secara fisik. Maka mencermati berjalannya peperangan yang menunjukkan Israel mungkin mengalami kekalahan, Barat kemudian melakukan diplomasi ke negara-negara Teluk agar membujuk Hamas untuk menerima gencatan senjata ini.

Eksistensi Israel tidak bisa dilepaskan dari perlindungan Amerika Serikat dan Uni Eropa, baik berupa persenjataan, diplomasi pada

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), maupun diplomasi masyarakat dunia, khususnya negara di Timur Tengah. Alat utama sistem persenjataan (Alutsista) Israel saat ini memang sangat lengkap dan modern. Kalau hanya melumpuhkan atau memusnahkan Palestina, Israel mungkin tidak mengalami kesulitan. Persoalannya, Amerika dan Eropa sedang fokus menyiapkan perang Asia Pasifik di Laut Cina Selatan menghadari Republik Rakyat Tiongkok.

Musuh tradisional negara kapitalis seperti Amerika dan Eropa adalah negara komunis. Tapi sejak musuh tradisionalnya, Uni Soviet runtuh tahun 1990, AS dan sekutunya berusaha menaklukkan musuh ideologisnya yaitu negara-negara Muslim di Timur Tengah dengan sandi perang, “War against terrorism.” Maka ditaklukkanlah Taliban di Afganistan tahun 2001, menyusul kemudian penyerbuan terhadap Irak tahun 2003.

Sebagai polisi dunia, Amerika berambisi menaklukkan seluruh negara di Timur Tengah, setidaknya menguasai empat negara, yaitu Afganistan, Irak, Iran, dan Suriah. Tapi baru menguasai dua negara, napas mereka terengah-engah. Secara politik, AS dan sekutunya memang mengendalikan Afganistan dan Irak,

43 tapi tak kunjung berhasil menguasai sumber

daya yang menjadi tujuan utama hegemoni mereka. Minyak dan tambang yang ingin dikuasai Barat justru tetap dikuasai para pejuang Muslim. Sementara biaya perang terus berjalan.

Biaya tinggi untuk berperang di Timur Tengah inilah secara perlahan menggerogoti

budget AS dan negara-negara di Eropa. Di satu

sisi, perang di Afganistan dan Irak tak kunjung selesai, di sisi lain, mereka berambisi menaklukkan seluruh negara Arab. Itulah sebabnya, AS memicu terjadinya Arab Springs, dengan memberikan dukungan kepada oposisi untuk mengganti pemimpin lama. Sebagian besar berhasil, tapi sebagian gagal, bahkan Suriah hancur tanpa berkesudahan.

Asyik dengan war againsts terrorsime di negara Teluk, sampai AS dan Eropa lupa bahwa musuh tradisionalnya yaitu komunis Cina sudah besar. Perkembangan alutsista RRC mengalami kemajuan sangat pesat, demikian juga perdagangan Negeri Tirai Bambu itu sudah menguasai dunia. Itulah sebabnya, tentara Barat secara perlahan meninggalkan Timur Tengah. Bahkan, Presiden Joe Biden berusaha memperbaiki komunikasinya dengan negara-negara Muslim.

Amerika lebih berkonsentrasi menghadapi RRC ketimbang bercokol di Arab. Negeri Paman Sam itu bahkan bersitegang melakukan perang dagang dengan Cina. Akibat anggarannya terkuras di Timur Tengah, Amerika terengah-engah menghadapi RRC

44 yang memang jago dagang. Tak puas dengan

perang dagang, AS dan Cina bertekad melakukan duel fisik di Laut Cina Selatan. Kedua belah pihak dengan sekutu masing-masing sudah mengerahkan seluruh kekuatan yang dimiliki disertai kapal induk yang digunakan sebagai basis penyerangan. Perang Asia Pasifik ini hanya tinggal menunggu komando atasan masing-masing. Triger apa pun dapat memicu perang dengan persenjataan

super-modern ini. Tapi perang di Laut Cina Selatan belum dimulai, keburu konflik di Palestina meledak.

Apakah ada pengaruh perang Asia Pasifik terhadap konflik di Timur Tengah? Sangat berpengaruh. Hengkangnya AS dan sekutunya dari Timur Tengah menyebabkan politik di negara-negara Muslim relatif adem. Arab Saudi yang selama ini digambarkan selalu bersaing dengan Iran cenderung berdamai. Negara Suni

45 dengan Syiah memang bersaing, tapi mereka

tak harus berkonflik.

Semakin berkurangnya dukungan militer Amerika terhadap Arab Saudi menyebabkan Raja Salman dan Pangeran Muhammad mengambil jalan berdamai dengan rival-rivalnya. Tak ada yang menyangka, Saudi berinvestasi di Iran. Bukan tidak berkonflik, tapi mereka bahkan membangun kerja sama.

Arab Saudi dengan Turki tak lagi berebut pengaruh, tapi keduanya saling bergandengan tangan. Dukungan Saudi terhadap Palestina dilakukan tidak secara vulgar, tapi sangat berhati-hati. Dukungan tidak langsung diberikan kepada warga Palestina atau Hamas, melainkan melalui pihak kedua atau ketiga. Yang jelas, negara-negara di Timur Tengah semakin kondusif mempertahankan kota suci ketiga umat Islam.

46 Amerika dan Eropa tidak lepas tangan pada

konflik Israel-Palestina. Tapi mereka hanya memasok senjata kepada Israel, tanpa kehadiran tentara secara fisik. Para diplomat Barat juga terus melakukan pendekatan dengan negara yang selama ini menjadi aliansinya. Tapi semua upaya mereka tak seefektif seperti saat tentara AS masih bercokol di Timur Tengah. Sebaliknya, persatuan dan kesatuan di antara negara Muslim semakin terjalin dengan baik.

Apalagi jika tentara Turki sudah turun di sekitar Israel-Palestina. Presiden Turki Recep Tayib Erdogan sempat sesumbar akan menjadikan Israel seperti Nagorno Karabakh. Nagorno Karabakh adalah sebuah wilayah milik Azerbaijan yang diduduki Armenia selama sekitar 20 tahun. Berkat bantuan Turki, pasukan Azerbaijan mampu mengusir pasukan

Armenia hanya dalam tempo kurang dari seminggu.

Yang sangat mencengangkan dunia dalam perang di Nagorno Karabakh adalah, Turki mempertontonkan kecanggihan alutsista buatannya yang sangat canggih dan sangat akurat. Meskipun medan tempur sangat sulit, namun drone Turki mampu menghajar kendaraan tempur Armenia dengan sangat akurat. Senjata yang sama akan digunakan Turki untuk menyerang Israel. Sejauh ini, Turki akan bekerja sama dengan Yordania agar memberikan ruang bagi Ankara untuk ikut terjun dalam Perang di Timur Tengah.

Perang awal antara Israel dengan Hamas memang tidak seimbang. Begitu banyak korban manusia maupun harta pada pihak Palestina. Sebaliknya, roket Hamas banyak yang

47 dimentahkan oleh Iron Dome Israel. Tapi

perang tak sekadar senjata dan korban, melainkan juga menyangkut mental. Bangsa Palestina tak punya pilihan, mati atau melawan. Diam pun mereka diserang dan dibunuh Israel. Sementara mental Israel hanyalah menang, menang, dan menang. Maka ketika satu, dua, atau tiga roket Hamas mengenai sasaran, mereka panik. Ketika roket setiap hari menghantam mereka, Israel mengalami frustrasi. Apalagi kalau seluruh negara Muslim bersatu mengepung Israel, bisa jadi tahun ini menjadi sejarah baru hengkangnya Israel dari tanah Palestina.

Yang luar biasa dalam konflik Palestina-Israel kali ini adalah peran Indonesia. Dalam voting yang dilaksanakan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Senin (17/5/2021), dengan pertanyaan, “Apakah genosida yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina harus dihentikan?”, Indonesia menjawab, “no”. Padahal, mayoritas negara-negara di dunia menyatakan, “yes”.

Indonesia satu barisan dengan negara-negara komunis seperti Korea Utara, Republik Rakyat China. (Wakhudin)

49

Asal Mula

Dokumen terkait