• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media Informasi, Komunikasi, Edukasi dan Dakwah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Media Informasi, Komunikasi, Edukasi dan Dakwah"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

1

Media Informasi, Komunikasi, Edukasi dan Dakwah

(2)

2

Titik Balik

Majalah El-Wathoni diterbitkan oleh Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI) bersama Ikatan Alumni

Madrasah Wathoniyah Islamiyah (Ikapmawi).

DEWAN REDAKSI

Janan Asifudin; Marwan Marghoni; Praptono; Tulus, Tasman Hamami; K.H. Sutardjo; K.H. Adnan Rois; Kepala

MA; Kepala MTs……….

DEWAN PAKAR

Musaddad Markum; Munasir; Misbahul Munir ………. PEMIMPIN PERUSAHAAN ……….. PEMIMPIN REDAKSI Wakhudin REDAKTUR PELAKSANA

Inayah Rohmaniyah; Sugeng P. Syahrie; Faozan….

REDAKTUR

………..

WARTAWAN/KONTRIBUTOR

Seluruh warga MWI

TATA LETAK

………

ALAMAT REDAKSI

Kampus MWI Telengrejo, Kebarongan, Kec. Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah 53194 E-mail:

Telp. Situs:

Majalah El-Wathoni menerima tulisan berupa opini, feature, berita, dan informasi apa pun yang berkaitan dengan Madrasah Wathoniyah Islamiyah beserta para alumninya, serta berkaitan dengan dakwah Islamiyah.

Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan berusia 150 tahun 2028, sebab MWI lahir tahun 1878. Usia MWI lebih tua ketimbang Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama. Persoalannya, apa yang telah dihasilkan MWI dalam usia satu setengah abad itu? Sebagai lembaga pendidikan, output MWI adalah lulusan. Ribuan, puluhan ribu, bahkan ratusan ribu alumni MWI tersebar di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Profesi alumni MWI sangat beragam. Mereka menjadi petani, peda-gang, PNS atau ASN, pegawai swasta, guru, dosen, dokter, perawat, lawyer, dan sebagainya. Tapi apa pun profesinya, lulusan MWI pada umumnya bersikap religius. Bahkan sebagian besar dari mereka adalah pendakwah baik pada masyarakat local, regional, bahkan nasional. Kekayaan MWI terbesar adalah menghasilkan SDM yang mempu-nyai kualitas keagamaan dan intelektual yang relatif bagus. Pondok pesantren yang mengajarkan kitab utama Fathul Majid sudah cukup memberikan foundasi minimal bagi kehidupan bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara. Pertanyaannya, dalam usia menjelang 150 ta-hun, apa yang dimiliki MWI? Akankah terus survive di era Revolusi In-dustri 4.0 yang serba smart? Kekayaan harta MWI memang tidak se-banding dengan SDM yang telah dilahirkannya.

Memang MWI mempunyai aset berupa tanah bernilai miliaran ru-piah, termasuk tanah dan bangunan di sekitar Kampus Telengrejo, Desa Kebarongan. Tapi jumlah itu jauh di bawah lembaga sejenis misalnya Pondok Pesantren Darussalam Gontor, baik yang di Ponorogo maupun di Mantingan. Apalagi saat ini lahir banyak pondok pesantren modern yang relatif baru dengan aset puluhan bahkan ratusan miliar. Dilihat dari kepemilikan harta, MWI semakin tidak bernilai.

Uang dan harta benda memang tidak segala-galanya. Tapi segala macam kebutuhan hidup memerlukan uang dan harta. Lihatlah, As-rama Putri (Astri) yang relatif bagus dibangun dengan uang. Demikian juga Asrama Putra (Astra) yang sedang diperjuangkan untuk dibangun juga memerlukan pembiayaan milian rupiah.

MWI adalah seperti kaum sufi yang tidak memikirkan duniawi. Ia ha-nya selalu mahabbah menumbuhkan rasa cinta kepada Allah SWT. Ka-rena cinta kepada Sang Khaliq inilah merupakan nilai tertinggi, tak ha-nya di dunia, bahkan sampai ke kehidupan akhirat. MWI ikhlas hidup dalam keadaan apa pun, dan akan tetap hidup selagi masih mempunyai rasa cinta kepada Allah SWT dan Rasulnya.

Menjembatani kebutuhan dunia dan akhirat inilah perlunya “kaum Samurai” turun gunung. Samurai atau dalam bahasa Jepang disebut

bushi adalah bangsawan militer abad pertengahan dan awal-modern

Jepang. Nilai Samurai inilah yang mempersatukan bangsa Jepeng bah-kan mampu mengantarbah-kan negeri Matahari Terbit itu menjadi bangsa modern.

“Kaum Samurai” ala MWI adalah para alumni. Melalui Ikapmawi yang dipimpin Praptono Zamzam, M.A. diharapkan MWI bisa bangkit dalam usianya ke-150 tahun. Caranya? Ikapmawi tidak akan melakukan intervensi kepada Yayasan Pomesmawi. Pomesmawi sudah berjalan sesuai dengan track-nya. Biarkan Ikapmawi mengambil jalannya sen-diri memakmurkan Islam dan menyejahterakan MWI beserta alum-ninya. Membangun News Room El-Wathoni merupakan momentum awal bagi titik balik MWI Berjaya.

(3)

3

Dari Kebarongan

Untuk Warga Global

Ketua Umum Ikatan Alumni Madrasah Watho-niyah Islamiyah H. Praptono Zamzam, M.A. menjelaskan, Pondok Pesantren MWI Keba-rongan yang berada di bawah naunganYayasan Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Isla-miyah atau biasa disingkat Yayasan Pomes-mawi. Yayasan ini merupakan lembaga pendi-dikan keagamaan Islam bercorak pesantren. “Sebagai lembaga pendidikan pesantren yang mandiri, Pondok Pesantren MWI hingga saat ini tidak tergabung ke dalam jaringan lem-baga pendidikan sejenis sehingga di dalam mengomunikasikan jati dirinya dilaksanakan secara mandiri. Dalam konteks inilah Pondok Pesantren MWI dirasa perlu menerbitkan media komunikasi dalam bentuk news room.

Maka, pembangunan newsroom ini bertu-juan sebagai media informasi, komunikasi, edu-kasi dan dakwah, baik untuk kalangan internal maupun eksternal.

Menurut mantan Kepala Bidang Haji pada Konsulat Jenderal RI di Jeddah Arab Saudi ini, yang dimaksud kalangan internal adalah para santri, ustadz, orang tua santri, alumni, serta

masyarakat sekitar pondok pesantren. Semen-tara yang dimaksud kalangan eksternal adalah lembaga pendidikan sejenis, lembaga pemerin-tah, organisasi sosial pendidikan dan kema-syarakatan, serta masyarakat pada umumnya. Praptono menjelaskan, pembangunan News-room MWI dimulai dari penerbitan majalah El-Wathoni dengan maksud untuk membangun budaya gemar membaca dan menulis di ka-langan santri, alumni, orang tua santri dan juga para simpatisan pesantren.

“Kita ingin mengembangkan nilai kebaikan Islam. Kita ingin menjelaskan tentang kerukun-an intern umat Islam; Kerukunkerukun-an kerukun-antar umat Islam; Kerukunan antar umat Islam dengan pe-merintah; dan kita ingin mengedukasi dan ber-dakwah Islam sesuai Alquran dan As-Sunnah,” ujar mantan Kepala Biro Keuangan Kementeri-an Agama ini.

Dunia internasional

Bagi MWI, mengembangkan media ternyata

bukan hal baru, bahkan saat ini sudah mema-suki jaringan media internasional. MWI yang

Warga Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan meluncurkan

Newsroom El-Wathoni, Mei 2021. Sistem informasi model terbaru ini

diharapkan menjadi media komunikasi internal Madrasah Wathoniyah

Islamiyah (MWI) Kebarongan, Banyumas maupun MWI Karangduwur,

Kebumen, beserta para alumninya. Bahkan, media yang menggabungkan

antara media cetak, internet, televisi dan radio ini diharapkan mampu

mengekspresikan dakwah warga MWI dalam kehidupan bermasyarakat.

(4)

4 didirikan K.H. Muhammad Habib bersama

sau-dara dan para sahabatnya di kini berusia 143 tahun (1878-2021).

Bermula dari komunikasi “sederhana” pada saat pondok pesantren ini didirikan oleh K.H. Muhammad Habib dan para pejuang pada tahun 1878, mereka masih berkomunikasi dengan ca-ra pembicaca-raan secaca-ra langsung (tatap muka). Komunikasi mereka masih jauh dari komuni-kasi antar-bangsa. Meski demikian, komunikomuni-kasi K.H. Muhammad Habib bersama sahabat se-perjuangannya itu merupakan cikal bakal dalam jaringan internasional. Karena, K.H. Muham-mad Habib Al-‘Aththas (Alatas), menurut sejumlah sumber, bukan penduduk asli Hindia Belandia (Indonesia) tetapi utusan misi dakwah dari Mekah ke berbagai negara. Fenomena dakwah seperti ini sudah lama dilakukan Ra-sulullah saw dalam penugasannya kepada para sahabat untuk berdawah ke berbagai negara. Komunikasi dengan cara “sederhana” (ber-tatap muka) yang dominan dalam dakwah (pengajian) itu terus dilakukan K.H. Muham-mad Habib bersama sahabatnya hingga akhir hayat pendiri pondok tersebut. Pada generasi berikutnya, di era K.H. Abdullah Zawawi (1911-1942), komunikasi di MWI memasuki era baru dengan “turba” ke saudara seimannya di di Kebarongan.Pemimpin Sarekat Islam (SI), Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto, yang memimpin SI sejak berdirinya pada tahun 1912 hingga akhir hayatnya dalam usia 52 tahun (1882-1934) mengunjungi desa ini.

HOS Tjokroaminoto “turba” ke Desa Keba-rongan, di samping membawa sejumlah penga-jar anggota SI, juga untuk menggalang kekom-pakan umat Islam di berbagai daerah di Hindia Belanda (Indonesia) terutama untuk melawan penjajahan Kolonial Belanda menuju

kemer-dekaan Indonesia. Media massa, Majalah

Oe-toesan Hindia milik SI digunakan oleh HOS

Tjokroaminoto sebagai salah satu sarana untuk mewujudkannya, hal ini tertuang dalam Buku

Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers.

Dengan demikian, media cetak, Majalah

Oetoesan Hindia, yang diterbitkan pada tahun

1912 di Surabaya yang dipimpin HOS Tjokro-aminto itu “diduga kuat” memberitakan keber-adaan Pondok Pesantren MWI Kebarongan, karena majalah ini selalu memberitakan ber-bagai kegiatan HOS Tjokroaminoto. Majalah

Oetoesan Hindia ini juga memasuki jaringan

media internasional melalui Pemerintah Ko-lonial Belanda yang selalu mengawasi kegia-tannya.

Di samping masuknya media massa, Maja-lah Oetoesan Hindia ke PP MWI Kebarongan melalui kegiatan HOS Tjokroaminoto, seorang pengajar di MWI bernama Ibnu Zawawi ber-langganan Majalah Al-Fatah terbitan Mesir menjelang tahun 1940, bahkan dia sering menulis artikel di Majalah tersebut. Bisa jadi, pemunculan majalah Al-Fatah di PP MWI Kebarongan merupakan kontak dua pihak anta-ra pihak PP MWI dengan media internasional sekalipun dalam skala terbatas.

Era Kemerdekaan

Ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan

Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Desa Kebarongan, tempat PP MWI Ke-barongan berada, tak begitu lama mulai meng-alami kemajuan di berbagai segi kehidupan, khususnya di media massanya.

Ketika proklamasi kemerdekaan RI diku-mandangkan di Jakarta, media massa pada umumnya dalam pengawasan ketat pemerintah kolonial Jepang yang belum mau hengkang dari

(5)

5 bumi Indonesia. Banyak media cetak yang

di-berangus kecuali sedikit dari mereka, di anta-ranya: suratkabar Asia Raya (Jakarta), Soeara

Asia (Surabaya), dan Tjahaja di Bandung

(http://aartreya.com). Namun, pemberangusan terhadap media massa semakin hilang sejalan dengan semakin kuatnya posisi Republik Indo-nesia di dunia internasional.

Di samping, majalah Al-Fatah (Mesir) te-lah memasuki Desa Kebarongan sebelum ke-merdekaan, Desa ini juga mulai kemasukan media massa (surat kabar) terbitan Yogyakarta bernama Kedaulatan Rakjat, yang terbit per-tama kali 27 September 1945.

Media cetak berupa surat kabar maupun majalah yang mulai bermunculan di era kemer-dekaan Indonesia masih kurang dimanfaatkan pada tahun 1940-an oleh penduduk Desa Keba-rongan, khususnya oleh warga PP MWI. Bisa jadi kurang memanfaatkannya, karena lokasi desa ini yang jauh dari keramaian kota, serta jauh dari tempat terbitnya berbagai macam surat kabar dan majalah yang cukup sulit transportasinya.

Menurut Kolonel (Purn) Achmad Al-Chamdany (86), yang pernah belajar di MWI

pada tahun 1950-an, berbagai surat kabar dan majalah pada tahun itu telah masuk ke Desa Ke-barongan, khususnya ke PP MWI. Di antara-nya, Suratkabar Abadi, Keng Po, dan

Kedaulat-an Rakyat. Adapun majalah di Kedaulat-antarKedaulat-anya: PKedaulat-an- Pan-dji Masjarakat, Gembira, dan Terang Bulan.

Juga, penerbitan luar negeri diperoleh melalui sejumlah kedutaan, dan cara para santri men-dapatkannya dengan cara meminta “nomor per-kenalan” penerbitan tersebut.

Pada tahun 1950-an, Desa Kebarongan, yang dipimpin Lurah Soekardi (Alm) kesukan media elektronik, radio. Radio yang ma-suk desa ini ada dua model: radio yang meng-gunakan batere, dan radio yang mengmeng-gunakan panas lampu minyak tanah sebagai pengganti batere. Lampu dan radio terpisah yang dihu-bungkan dengan kabel, radio ini bernama Radio

Aladin.

H. Sabilillah Makom, S.H., mantan diplo-mat asli Kebarongan bercerita, ketika masih sekolah di Sekolah Rakjat (SR) tahun 1950-an terdapat tiga orang Kebarongan yang mempu-nyai radio: dua orang di kompleks PP MWI dan satu lainnya di Dukuh Pringtali.

(6)

6 Melalui radio, penduduk Kebarongan,

khususnya Keluarga Besar PP MWI dapat ber-komunikasi dengan dunia internasional. Na-mun, komunikasinya hanya satu arah sebagai pendengar siaran berita dari berbagai negara, terutama negara Timur Tengah yang berbahasa Arab, bahasa yang banyak digunakan di pesantren ini.

Memasuki tahun 1960-an, penduduk Desa Kebarongan khususnya warga PP MWI lebih menonjol dalam memanfaatkan media massa untuk berbagai kepentingannya, baik kepen-tingan kelompok maupun kepenkepen-tingan per-seorangan. Media cetak yang sering muncul di Kebarongan saat itu adalah: Majalah Pandji

Masjarakat, Suratkabar Abadi, dan Suratkabar Kedaulatan Rakjat.

Pada awal tahun 1970-an, Kebarongan dipimpin Lurah H. Munji Munir. Komunikasi melalui media cetak maupun elektronik ter-utama bagi warga PP MWI semakin meningkat. Di samping surat kabar, majalah, radio, juga bertambah televisi (TV). Berbagai macam surat kabar dan majalah dibeli penduduk desa, khu-susnya warga PP MWI. Penduduk mulai ber-langganan surat kabar Pelita, Kompas, Sinar

Harapan, Suara Karya, dll. Mereka juga

ber-langganan majalah Panji Masyarakat, Intisari,

Kiblat, dll.

Warga Kebarongan juga berlangganan me-dia cetak yang diterbitkan kampus, termasuk yang dibawa mahasiswa asal Kebarongan yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Di anta-ranya, Majalah Al-Jami’ah, yang diterbitkan In-stitut Agama Islam Negeri (IAIN/UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Majalah Arena, yang diterbitkan Dewan Mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.

Majalah Wathony

Berkaitan dengan perkembangan media elektronik, khususnya TV, yang merupakan media baru, pemilik pertamaadalah H. Zaenal Abidin, 30 Oktober 1974. Pak Zaenal memper-silakan tetangganya menonton tayangan TV-nya, yang antenenya disambung dengan bambu sangat tinggi.

TV-nya yang pada saat itu masih hitam pu-tih yang menyiarkan perebutan gelar juara tinju kelas berat dunia antara juara bertahan, George Foreman (25) melawan penantangnya, Muham-mad Ali (32), yang kembali ke ring tinju setelah

selesai proses hukuman karena menolak ditu-gaskan pemerintah Amerika Serikat untuk ter-jun ke medan perang di Vietnam.

Pertarungan tinju waktu itu diselenggara-kan dan ditayangdiselenggara-kan ke seluruh dunia dari Kin-shasa (Zaire) di TV, yang di antaranya disaksi-kan penduduk Kebarongan. Pertandingan dime-nangkan Muhammad Ali, mualaf yang beribu kulit putih dan berayah kulit hitam sebagaimana mantan Presiden Amerika Serikat (AS, 2009--2017), Barack Obama.

Pertengahan tahun 1970-1980, PP MWI Kebarongan memiliki majalah sendiri yang diterbitkan alumninya di Jakarta yang diberi nama majalah Wathony, sebuah nama yang diambil dari nama pesantren Madrasah “Wa-thoni”--yah Islamiyah.

Sejumlah nama alumni MWI yang me-nerbitka di antaranya, Pak Muhadjir Markoem, Pak Masfuddin, Pak Muhammad Yusuf (Alm), Pak Sugeng Supriyadi (Alm), Pak Tulus Sas-trowijoyo, dan Pak Musaddad Markoem. Akti-vis MWI lainnya yang ikut menyemangati di antaranya, Pak Faesol Muslim yang saat itu bekerja di IPPF (International Planned Paren-thood Federation) di Kuala Lumpur (Malaysia). Komunikasi di antara penerbit dengan Pak Faesol dilakukan dengan baik, sehingga maja-lah Wathony dapat terbit dengan lancar.

Majalah Wathony di samping berisi berba-gai masalah ke-Islaman di dalam negeri, khu-susnya yang menyangkut PP MWI, juga me-muat berbagai masalah internasional, khusus-nya berkaitan dengan dunia Islam. Dengan demikian, majalah Wathony milik PP MWI ini secara langsung maupun tidak langsung telah memasuki jaringan media internasional.

Pada tahun 1974-1984, penduduk Desa Ke-barongan, terutama warga PP MWI juga menyaksikan sesama alumni melalui layar TV ketika Dirjen Haji, (Mayjen) H. Burhani Tjo-krohandoko (Alm) dalam berbagai acara dita-yangkan di Televisi Republik Indonesia (TVRI). Di akhir tahun 1980-an, atau pada awal tahun 1990-an, alat komunikasi yang di-gunakan masyarakat, semakin canggih dengan pemasangan telefon rumah. Pemasangan tele-fon di masa Lurah Pak H. Sarwan itu lebih memudahkan berkomunikasi dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun baik di dalam negeri maupun ke manca negara.

(7)

7 Dua alumnus MWI, Pak Sulthon bin Abdul

Hadi dan Pak Zaenul Musthofa bin Adnan Rois juga mempunyai media elektronik berupa

Ra-dio Salafy untuk menunjang berbagai kegiatan

dakwah di Pesantren Ibnu Taimiyah di Sum-piuh (Banyumas) yang mulai mengudara pada tahun 1999.

Menjelang tahun 2000, alumnus MWI yang memimpin Ponpes Ma’had Imam Bukhori, Pak Ahmas Faiz bin ‘Asifuddin menerbitkan Maja-lah As-Sunnah. MajaMaja-lah yang bermarkas di Surakarta ini hingga kini masih terbit dan ber-oplah ribuan dan tersedia khususnya di toko buku di berbagai daerah di Indonesia.

Era Media Sosial

Sekitar tahun 2000, masyarakat Desa Keba-rongan, khususnya Keluarga Besar PP MWI lebih meningkat lagi kecanggihannya dalam berkomunikasi, yakni dengan media elektronik, telefon seluler. Melalui gadget, masyarakat ter-utama para santri PP MWI semakin canggih sehingga semakin leluasa berkomunikasi secara dua arah kapan pun dan di mana pun.

Menjelang tahun 2010, Majalah Wathony, yang intinya sama dengan Majalah Wathony

sebelumnya, terbit kembali. Kali ini terbit di PP MWI Kebarongan. Penerbitannya merupakan upaya menghidupkan kembali majalah setelah sekian lama tidak terbit di Jakarta karena berbagai kendala.

Sekalipun Majalah Wathony yang terbit di Kebarongan ini berhenti hingga kini setelah berjalan selama beberapa tahun dan kini belum terbit kembali, namun majalah ini telah meng-abadikan sejumlah tulisan penting, khususnya yang ditulis oleh para pengajar yang (tergolong) terbaik di antaranya Ustadz H. Fata Mukmin, Lc, MA (Alm), dan Ustadz Drs. H. Aris Bae-dhowi, MA (Alm).

Perkembangan media elektronik berupa telefon seluler menjadikan masyarakat Keba-rongan, yang pada saat itu dipimpin Lurah Pak Ahmad Siasat (Alm) semakin canggih. Para santri yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Isla-miyah (Ikapmawi) yang kini di bawah kepe-mimpinan Drs. H. Praptono Zamzam, M.Sc. banyak memanfaatkan telefon seluler dengan berbagai jenis operasinya.

Menurut Brilio.net, 10 macam media sosial yang paling sering digunakan oleh penduduk

(8)

8 Indonesia adalah: WhattsApp, Youtube,

Face-book, Instagram, Line, BBM, Twitter, Google, Facebook Messenger, dan Linkedin. Namun,

yang digunakan Ikapmawi adalah WhattsApp

(WA Ikapmawi Pusat) untuk ber-komunikasi

guna menyelesaikan berbagai masalah pondok dengan sesamanya.

PP MWI Kebarongan juga ditayangkan di Ensiklopedia dunia maya, Wikipedia berjudul:

Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Isla-miyah Kebarongan. Di samping itu, banyak

foto maupun tulisan yang mengkait dengan PP MWI ini dalam tayangan internet, yang oto-matis tayangan tentang MWI bisa diakses dari mana pun.

Berkaitan dengan Youtube, Ustadz K.H. Fata Mukmin (Alm) merupakan salah seorang pemimpin potensial yang sempat menggunakan media social ini untuk berdakwah sebelum meninggal pada tahu 1912. Namun pada saat itu belum ada alat komunikasi WhatsApp (WA). Begitu juga, anggota Keluarga Besar PP MWI kini semakin banyak yang menggunakan ber-bagai macam media elektronik gadget dengan berbagai sistem operasinya.

Wathony dan Dunia Islam

Merdeka.com memberitakan, ada enam

perusahaan milik taipan Yahudi menguasai sekitar 96 persen media sejagat. Keenam perusahaan ini adalah AOL Time Warner, The

Walt Disney Co., Bertelsmann AG, Viacom, News Corporation, dan Viendi Universal.

Penguasaan Yahudi terhadap media interna-sional, khususnya terhadap media dunia Islam untuk kepentingannya, pihak Yahudi melalui medianya terus berupaya membentuk opini masyarakat internasional agar mau khususnya mengakui negara Israel yang didirikan di tanah Pelestina dan mengembangkannya di berbagai seginya.

Media besar seperti: TV internasional

Ca-ble News Network (CNN, AS), kantor berita

internasional United Press International (UPI,

AS), Kantor Berita internasional Reuters (Ing-gris), Majalah internasional Time (AS), Radio international The Voice of America (VoA) adalah sebagian kecil dari media besar inter-nasional yang dalam genggaman Yahudi.

Sebagai perbandingan dengan media dunia Islam yang cukup berpengaruh di dunia Islam: Kantor Berita Middle East News Agency

(MENA) dan Suratkabar Al-Akhbar (رابخلاا(—

keduanya milik Mesir, Radio Pakistan , Kantor Berita Saudi Press Agency (SPA), Kantor Berita

Bernama milik Malaysia, Kantor Berita Antara

milik Indonesia, bahkan Kantor Berita

Inter-national Islamic News Agency (IINA) milik The Organization of Islamic Cooperation

(sebelumnya: Conference/OIC) atau

Organi-sasi Kerjasama (sebelumnya: Konperensi) Islam (OKI), yang beranggota puluhan negara

mayoritas Muslim, bahwa berita media dunia Islam ini tertinggal dari media Barat dalam perebutan pembentukan opini internasional. Hal ini tampak pada pertukaran dan peredaran berita dalam jaringan internasional (internet).

Ketertinggalan media dunia Islam dari media Barat ada guyonan di kalangan pers. Febri (bukan nama asli) penasaran mengapa media dunia Islam selalu tertinggal dari media Barat dalam perebutan pembentukan opini in-ternasional? Ketika Febri mendapatkan kesem-patan meliput even internasional bersama se-jumlah wartawan media Barat, dia pun me-manfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya un-tuk “curi-curi lihat” cara kerja mereka.

Ternyata mereka tak tampak letih bekerja keras non-stop dari pagi hari hingga larut ma-lam. Hasil “curi lihat”-nya, di samping per-alatan media mereka serba canggih, makanan mereka pun terjamin sehingga tak mudah letih dan loyo seperti dirinya dan kawan2-nya.

Media PP MWI adalah bagian kecil dari media dunia Islam, yang sudah lama tertinggal dari media Barat dalam perebutan pembentukan opini internasional. Berkaitan dengan ini PP MWI berusaha membenahi dirinya di berbagai seginya, termasuk medianya (M. Zuhair)

(9)

9

Menyongsong Milad ke-150 Tahun MWI

Mensyukuri Nikmat

Gaya Jepang

Oleh Wakhudin, alumni MWI angkatan 1983. Bangsa Jepang dikenal beragama Shinto, menyembah Dewa Matahari. Tapi pada kenyataannya, mereka mempraktikkan banyak agama. Saat lahir, anak Jepang biasanya dibaptis. Sepanjang hidupnya memang menyembah Dewa Matahari. Tapi di rumah, mereka sembahyang di Wihara seperti orang Budha. Saat meninggal dunia, mayat orang Jepang dibakar seperti orang Hindu.

Orang Jepang tidak berakidah Islam, tidak bersyahadat, apalagi shalat. Tapi perilaku kehidupan sehari-hari banyak yang Islami. Mereka hidup sangat disiplin, kerja keras, bersih, dan berbagai perilaku Islami lainnya. Salah satu perilaku Islami orang Jepang adalah suka mensyukuri nikmat. Artinya, mereka menerima pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa berupa potensi alam seadanya, tapi memanfaatkannya secara maksimal.

(10)

10 Salah satu contohnya adalah Bunga Sakura.

Bunga ini menurut kacamata bangsa Indonesia biasa saja, bunganya warna putih, tidak terlalu berwarna-warni. Mirip pohon Kamboja, bahkan Kamboja lebih bervariasi bunganya. Pohon semacam Sakura banyak tumbuh di Indonesia, mungkin lebih dari lima, bahkan lebih dari sepuluh. Tapi semua tak ada yang dianggap istimewa.

Bunga Sakura bagi bangsa Jepang sangat istimewa. Sebab, tidak banyak pohon yang tumbuh di sana. Meskipun bunganya biasa saja, tapi pohonnya aleman (manja). Pohon ini hanya berbunga setahun sekali. Setelah mekar dalam seminggu, bunganya kemudian rontok. Masyarakat menunggu setahun ke depan untuk melihat Sakura mekar kembali. Pohon ini mati di saat musim dingin, tertimpa salju. Maka, orang Jepang menyelimuti pohon Sakura dengan karung goni agar hangat dan tumbuh kembali setelah musim dingin berlalu.

Maka begitu pohon Sakura mekar, masyarakat Jepang menyambutnya dengan suka cita. Banyak keluarga membawa makanan dari rumah untuk bohtraman di bawah pohon Sakura ini. Mereka menyanyi dan menari di bawah bunga ini. Dengan gitar, satu orang atau

satu keluarga bernyanyi. Kegembiraan mereka mirip umat Islam merayakan Idulfitri.

Saya pernah bertemu Komunitas Pendidikan di sebuah prefektur (kabupaten) di Osaka. Mereka biasanya menyuguhi tamu istimewa dengan minuman yang terbuat dari bunga Sakura yang tersaji dalam cangkir. Sebagaimana citranya yang indah mempesona, minuman bunga Sakura terbayang segar seperti minuman strowberi (Supaya lebih segar, cara membacanya seperti orang Bule mengucapkan

srowwberry). Setelah saya cicipi, ternyata beuh, letek leder seperti air laut. Untung hanya

cangkir kecil, sehingga saya bisa menghabiskannya, meskipun jeleh. Meskipun tak enak sama sekali, tapi itulah cara orang Jepang menyuguhi tamu yang dianggap terhormat.

Selesai bertemu dengan Komunitas Pendidikan di Osaka, kami diajak “jalan-jalan ”ke mana lagi kalau bukan ke kebun Sakura yang menjadi kebanggan mereka. Kebetulan, kami tiba di Osaka saat bunga Sakura baru mekar. Kata mereka, kami sangat beruntung, karena datang tepat waktu. Sebab, masyarakat Jepang sendiri berlama-lama menunggu bunga

(11)

11 Sakura mekar. Sementara kami, begitu datang

langsung disambut Sakura bermekaran.

Setelah puas menikmati pemandangan kebun Sakura, beberapa laki-laki memisahkan diri dari rombongan. Mereka berjalan kaki cukup jauh, sekitar 100 meter. Saya mencoba membuntuti meraka, apa gerangan yang akan mereka lakukan? Ternyata hanya mau merokok. Mereka saling bertukar rokok dan saling menyalakan api. Mengapa mereka harus berjalan kaki cukup jauh? Itu dia, karena mereka sangat berhati-hati dan menghargai bunga Sakura. Mereka tidak mau, jangan sampai, gara-gara asap rokok, bunga Sakura itu rontok.

Selesai dari Osaka, saya diajak ke sebuah prefektur di Kobe untuk mengunjungi pengurus Osaka in The World. Lagi-lagi, saya dibuat tersadar dengan perilaku masyarakat Jepang dalam menghargai pohon Sakura. Setelah turun dari stasiun kereta api, kami diajak berjalan kaki sepanjang sungai sekitar dua kilometer. Di sebelah kiri dan kanan sungai terdapat pohon Sakura yang sedang mekar. Sembari berjalan kaki itulah, orang Jepang menikmati pemandangan bunga Sakura itu.

Mensyukuri nikmat

Cara orang Jepang memperlakukan pohon Sakura itukah yang disebut mensyukuri nikmat. Orang Jepang tidak mengeluh dengan kelangkaan berbagai macam pohon seperti yang tumbuh di Indonesia atau Malaysia. Mereka hanya memiliki pohon Sakura, tapi mereka mensyukurinya dalam ekspresi yang sangat bahagia dengan tanaman yang ada. Sementara bangsa Indonesia yang memiliki aneka ragam tanaman mestinya berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu kali lipat lebih bersyukur dibandingkan bangsa Jepang. Bukankah Allah SWT berfirman, “

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Q.S. Ibrahim: 7).

Korea juga termasuk bangsa yang “ mensyukuri nikmat.” Seperti tetangganya Jepang, Korea juga tidak terlalu banyak memiliki sumber daya alam. Hanya dengan

(12)

12 memilik ginseng, Korea sangat percaya diri.

Mereka berhasil melakukan propaganda bahwa ginseng adalah tumbuhan yang mampu menimbulkan gairah kehidupan.

Benarkah demikian, tidak penting benar atau tidak. Yang penting adalah bagaimana bangsa itu “mensyukuri nikmat” memiliki ginseng, percaya diri, dan menjadikannya sebagai ikon negerinya. Dengan bunga Sakura, Jepang dikenal dengan Negeri Sakura, dengan ginseng, Korea disebut sebagai Negeri Ginseng. Lalu Indonesia harus disebut negeri apa? Negeri Tempe, Negeri Mendoan? Negeri Pempek Membangun jati diri bangsa itulah yang sangat penting bagi Indonesia. Membangun jati diri diawali dari rasa syukur kita kepad Zat Yang Maha Pencipta atas apa pun yang dianugerahkan kepada kita. Bahwa Allah SWT banyak menumbuhsuburkan jengkol dan petai, misalnya, mengapa tidak kita manfaatkan jengkol dan petai sebagai ikon bangsa? Jengkol dan petai bisa menjadi center of excellence. Setidaknya, kita bisa menjadikan petai dan jengkol menjadi komoditas yang menguntungkan rakyat.

Persoalannya, tinggal bagaimana bangsa Indonesia melakukan propaganda bahwa jengkol dan petai adalah sebuah komoditas khas Indonesia yang menjadi kebanggaan seluruh anak bangsa. Pernah beredar video yeng menjelaskan hasil penelitian bahwa jengkol berkhasiat 10 kali lipat lebih baik dari kemoterapi. Tapi video itu lepas begitu saja, tidak diikuti dengan budidaya jengkol yang lebih massif dan seksama.

Berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang mengatakan bahwa, “ Mengonsumsi sebutir apel sama dengan menghindari kunjungan sekali ke dokter.” Artinya, mengonsumsi apel itu sehat dan menyehatkan. Slogan Amerika Serikat tentang apel kemudian diikuti dengan membanjirkan apel New York ke seluruh dunia. Belajar dari rasa syukur bangsa Jepang, dan negara-negara maju dalam menjual komoditas mereka, diperlukan tim yang secara komprehensif dan simultan antara yang memproduksi, marketing, propaganda, dan berbagai sektor yang terkait. Inilah yang diperlukan bangsa Indonesia.

(13)

13

Agen perubahan di MWI

Madrasah Wathoniyah Islamiyah (MWI) sebagai lembaga pendidikan Islam mestinya mampu mengaktualisasikan nilai syukur kepada Allah SWT dengan realitas kehidupan di sekitar. Sebagai satuan pendidikan yang berusia hampir 150 tahun, MWI seharusnya semakin tajam dalam mengaktualisasikan nilai agama dalam kehidupan kemasyarakatan. Kehidupan ukhrawi memang sangat penting, tapi MWI harus memiliki kemampuan menerjemahkan agama ke dalam kehidupan duniawi, termasuk dalam kehidupan ekonomi.

Toh hidup di akhirat merupakan hasil dari

kehidupan dunia, mengapa tidak memperbaiki dunia agar akhirat juga baik.

Bukankah semua Muslim berdoa, “Ya Allah,

berikan kami kebaikan kehidupan di dunia, dan juga berikan kebaikan dalam kehidupan akhirat.” Artinya, kehidupan dunia dan akhirat

merupakan dua hal yang terpisah. Satu dengan yang lain saling berkaitan. Bahkan, akhirat merupakan ngunduh woh ing pakerti kehidupan dunia. Di dunia tempat kita menanam, di akhirat kita memanen. Lahir adalah ekspresi batin. Supaya batiniahnya bagus, maka perbaiki pula lahirnya.

Sebagai daerah yang gemah ripah loh

jinawi, MWI harus mampu menerjemahkan

berkah dan rahmat Allah itu dalam wujud duniwi yang menyejahterakan dan membahagiakan. Mempelajari agama adalah wajib, bahkan super-wajib. Tapi mempelajari masalah dunia tidaklah terlarang. Menggabungkan antara pelajaran ukhrawi dengan duniawi bisa menjadi inovasi dan kreativitas yang dapat menarik perhatian masyarakat.

Perhatikan bagaimana pondok pesantren yang baru muncul, kemudian tumbuh dan berkembang pesat. Pada umumnya, mereka menggabungkan antara belajar kehidupan ukhrawi sekaligus duniawi. Mereka mempelajari Alquran, sekaligus menghafalnya, tapi mereka menguasai teknologi informasi tingkat tinggi.

Pesantren di Ciwidey, Bandung Selatan, misalnya, memanfaatkan ladang milik pesantren untuk menanam sayur-sayuran. Sayur-sayuran ini kemudian dikirim ke kota untuk dijual di berbagai swalayan. Selain belajar agama, santri mempunyai keterampilan mengolah tanah untuk menanam sayuran, memberikan pupuk, menyemprot hama, sampai dengan packaging untuk dikirim ke pasar. Bagi santri MWI, belajar Tauhid adalah wajib, karena Tauhid adalah ruh pesantren Kebarongan ini. Tauhid dilengkapi dengan

(14)

14 Tafsir, Hadist, Fiqh, Faraidh, Mahfudzat,

Nahwu, Sharaf, dan sebagainya. Pertanyaannya, apakah selain belajar agama, santri tak boleh mempelajari ilmu yang bersifat duniawi? Jawabannya, tentu boleh. Kalau demikian, mengapa santri tidak belajar berternak secara modern, baik kambing, sapi, ayam, itik, dan lain-lain.

Pondok Pesantren MWI semakin menarik bagi masyarakat manakala santrinya bertauhid kuat, mampu berbicara dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggris, dan terampil berdakwah. Di samping itu, mereka mampu berwirausaha, mampu mandiri manakala kembali ke masyarakat. Bahkan mereka mampu menjadi penggerak masyarakat untuk membuat peternakan modern, budidaya aneka macam ikan khas Indonesia untuk meningkatkan ketahanan pangan menggunakan teknologi tepat guna, dan sebagainya.

MWI memiliki aset berupa tanah. Jadikan sebagian tanah sebagai laboratorium bagi santri untuk belajar bertani secara modern. Mengapa tidak, santri menguasai sistem pertanian model hidroponik dan greenhouse? Dengan demikian, santri memiliki alternatif, selain berdakwah

billisan bisa juga berdakwah melalui jalur

ekonomi, melalui jalur pertanian, jalur peternakan, dan berbagai jalur yang lebih spesifik.

Ilmu tentang teknologi tepat guna saat ini tersebar luas. Bahkan belajar dari Youtube pun memungkinkan seseorang profesional. Tapi MWI bias sesekali mendatangkan pakar pertanian, pakar

peter-nakan, pakar teknologi yang bias membantu santri melakukan

trans-fer of technology. Para

ilmuwan pasti bangga diajak MWI bersama santri membangun ke-bun jeruk modern, membangun kebun buah yang mewah menggunakan teknologi hidroponik maupun

green house.

Dalam urusan duniawi, MWI tidaklah salah jika belajar kepada Jepang. Bagi

negeri Sakura, papringan pun dikelola secara profesional. Pohon Bambu Betung ditata sedemikian rupa sehingga menjadi begitu indah dipandang mata. Jika sebagian tanah MWI dijadikan kebun bambu dengan manajemen yang bagus, sangatlah mudah mengundang masyarakat untuk datang dan selfie dengan membayar Rp 5.000 - Rp 10.000. Berwisata ke kebun bambu, menjadi sebuah alternatif yang menyenangkan.

Di samping mendapatkan income dari menjual pemandangan yang indah, MWI juga bisa mengambil manfaat dari rebungnya, anak bambu. Rebung atau bung bisa dimasak menjadi menu mewah yang tak kalah dengan makanan tradisional lain. Tidaklah salah jika sebagian karyawan ditugaskan untuk mengelola kantin atau rumah makan dengan menu khusus, Gulai Rebung.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, menghadapi usia 150 tahun, MWI perlu melakukan perenungan. MWI saatnya melakukan penataan diri, untuk memadukan kehidupan ukhrawi dengan duniawi. Sumber daya manusia bisa berasal dari alumni yang menyebar di seluruh Nusantara, bahkan di luar negeri, tapi bisa juga berkolaborasi dengan lembaga di dalam negeri. Barter ilmu pengetahuan bisa dilakukan dengan mereka sangat terbuka luas. Tinggal bagaimana kita membuka diri, bagaimana mereka mendapatkan ilmu dari kita, dan kita juga mendapatkan ilmu dari mereka. Wallahu

(15)

15

Gembira sekali saya bisa berangkat ke Jepang,

pada tanggal 1 Oktober 2017 sebagai utusan Pondok

Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (PP

MWI) Kebarongan, Kemranjen, Banyumas, Jawa

Tengah atas undangan Kedutaan Besar Jepang di

Indonesia yang bekerja sama dengan Pusat

Peng-kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Membawa misi, “Studi Banding” selama 10 hari, saya

seperti pejabat pemerintah melancong ke Negeri

Sakura. “Hallo Jepang, saya datang....”

Pergi ke Jepang, bagi saya, tak

sekadar berwisata, tapi punya misi

sangat penting, yaitu mempertajam

iklim belajar-mengajar di Pondok Pesan

tren MWI. Kebetulan saya mempunyai posisi

penting di pesantren ini. Sehingga berbagai nilai

yang bagus tentang Jepang bisa saya laksanakan

di pesantren MWI.

Saya adalah cucu salah seorang kiai MWI

Kebarongan, yaitu K.H. Marghoni Mas’ud dari anak

pertamanya Ibu Hj. Marmah Marghoni yang menikah

dengan Bapak Wakhid Hasyim. KH Marghoni adalah

kiai angkatan VI yang hidup antara tahun 1980-1988.

Itulah sebabnya, saya lahir dan tumbuh di lingkungan

pesantren yang dekat dengan agama.

(16)

16 Setelah tamat Sekolah Dasar, tentu saya

belajar di pesantren MWI ini (1983-1989) un-tuk menempuh tingkat Tsanawiyah dan Aliyah. Saya meneruskan kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogya-karta mengambil Program Studi Kebudayaa Islam (SKI) pada Fakultas Adab selesai 1995.

Dua tahun setelah tamat kuliah, saya di-panggil pulang ke MWI dan mulai mengajar di pesantren almamater dengan mengampu mata pelajaran Sejarah dan Geografi pada tingkat Aliyah. Mulai tahun 2014-2018, saya mendapat amanah menjadi Ketua Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial (IIS) dengan membimbing sekitar 255 santri. Mulai tahun 2019 sampai sekarang dipercaya menjadi Wakil Ketua Madrasah bi-dang Kehumasan. Dan mulai Juli 2020, amanah pun bertambah sebagai Musrif ‘Am Asrama Putri “Khadijah” dan “Aisyah “ yang mengelola 175 santriwati. Posisi ini memungkinkan bagi saya melakukan treatment bagi santri MWI, baik menyangkut kebijakan maupun pelaksa-naan belajar-mengajar di lapangan

Belajar dari Jepang

Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (PP MWI) pertama kali didirikan tahun 1878 oleh K.H. Muhammad Habib bin Nur Hamdani. Hingga saat ini, Pesantren Keba-rongan sudah mengalami kepemimpinan yang ke-12. Pesantren yang berlokasi di Grumbul Teleng RT 1 RW 7, Desa Kebarongan, Keca-matan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah ini berada di bawah naungan Yayasan Pondok Masjid Madrasah Wathoniyah Islamiyah (Pomesmawi) dengan akta notaris Ny. Gati Sudardjo S.H. Purwokerto Nomor 25 tanggal 24 Desember 1993. Selain pondok, Yayasan Pomesmawi mengelola mas-jid, wakaf, alumni dan dakwah, serta ekonomi. Terdapat tiga jenjang pendidikan di MWI, yaitu: Madrasah Ibtidaiyah (MI); Madrasah Tsanawiyah (MTs); dan Madrasah Aliyah (MA). MWI didukung empat asrama untuk menampung santri yang berasal dari luar Desa Kebarongan. Dua asrama putra (Asrama Umar bin Khattab dan Asrama Abu Bakar Ash-Shidiq) dan dua asrama putri (Asrama Aisyah dan Asrama Khadijah).

Pesantren Kebarongan mempelajari ilmu agama seperti, Tauhid, Nahwu, Sharaf, Fiqih, Faraid, dan lain-lain. Semua dianggap penting, tapi Tauhid menjadi mata pelajaran utama. Di

samping itu, Pesantren Kebarongan juga meng-ajarkan Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indone-sia dan lainnya. Pesantren ini mengadopsi kuri-kulum Kementerian Agama yakni Akidah Akh-lak, Alquran, Hadits, Sejarah Kebudayaan Is-lam, dan lain-lain. MWI memadukan tiga kurikulum sehingga disebut sebagai Kurikulum 3 in 1, yaitu kurikulum pesantren, kurikulum Kementerian Agama dan Kurikulum Kemente-rikan Pendidikan dan Kebudayaan.

Jumlah santri saat sebanyak 1.468 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang sosial ekonomi yang sangat bera-gam. Pesantren ini memiliki tenaga pendidik dan kependidikan sebanyak 127 orang. Kegiat-an ekstrakurikuler yKegiat-ang dikembKegiat-angkKegiat-an pun beragam seperti Pramuka, Palang Merah Rema-ja (PMR), Hadrah, Marching Band, Patroli Ke-amanan Sekolah (PKS), Bela diri, dan seba-gainya. Semua kegiatan berada di bawah naungan Ikatan Pelajar Madrasah Wathoniyah Islamiyah (Ipmawi) atau Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS).

Amaliah Dakwah (Amda), Malam Bina Iman dan Takwa (Mabit) dan Bazar merupakan program utama tahunan pondok pesantren ini. Amda diselenggarakan setiap Ramadhan sela-ma satu minggu dengan tujuan untuk mengapli-kasikan ilmu yang diperoleh santri di madrasah. Para santri berdakwah kepada masyarakat di

(17)

17 luar Kecamatan Kemranjen, dengan cara ikut

pangajaran pada Taman Pendidikan Alquran (TPQ), khutbah Jumat, ceramah keagamaan, dan bakti sosial.

Malam Bina Iman dan Takwa (Mabit) dise-lenggarakan untuk melatih santri terbiasa melaksanakan ibadah wajib dan sunah secara disiplin. Kegiatan ini diutamakan bagi santri yang tidak bermukim di asrama. Mereka melak-sanakan shalat berjamaah di masjid, tadarus Alquran, menghafal Alquran, praktik merawat jenazah, retorika, dan lain sebagainya.

Sedangkan bazar dilaksanakan sebagai pro-gram tahunan setelah santri selesai melaksana-kan ujian (imtihan) semester gasal. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi santri untuk belajar berwirausaha, guna mempraktikkan mata pelajaran ekonomi. Di samping itu, kegiatan ini dimaksudkan untuk membangun sikap kerja sama yang baik di antara para santri.

Asrama putra dan putri juga memiliki pro-gram tahunan, tengah tahun dan harian. Pro-gram tahunan asrama berupa Peringatan Hari Besar Islam dan Nasional dengan mengadakan

berbagai macam lomba dari bidang akademik hingga lomba hiburan, dan rihlah. Sementara program tengah tahunan dilaksanakan dengan menyelenggarakan ujian tahfidz. Sedangkan program harian dilaksanakan dengan kegiatan shalat wajib, shalat sunah secara berjamaah, berpuasa sunah, kajian Islam, setoran tahfidz, dan praktik berbahasa Arab dan Inggris. Bagi saya, Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga ke Merauke merupakan negara yang kaya raya, baik kekayaan hayati maupun nonhayati. Potensi kekayaannya berasal dari laut, udara, darat, maupun perut bumi. Tapi se-bagian besar kekayaan itu tidak termanfaatkan secara maksimal, bahkan bisa disebut mubazir. Hutan yang menjadi sumber kehidupan, bahkan menjadi paru-paru dunia, dirambah dan dibabat secara ilegal. Hasilnya tidak masuk ke kas negara, melainkan masuk ke kantung cu-kong. Rakyat hanya kebagian sengsara dan nes-tapa. Bagian hilir di sekitar hutan terkena banjir di musim penghujan dan terkena asap di musim kemarau saat para perambah hutan membakar lahan.

(18)

18 Demikian pula kekayaan alam berupa

tam-bang. Sejauh ini belum bermanfaat secara mak-simal bagi rakyat banyak, melainkan menjadi “bancakan” bagi investor. Negara hanya keba-gian fee amat sedikit, selebihnya menjadi rebut-an negara luar. Kekayarebut-an laut kurrebut-ang lebih sa-ma, lebih dieksploitasi untuk keuntungan cu-kong ketimbang memakmurkan nelayan. Sek-tor pertanian juga setali tiga uang. Kebijakan pemerintah lebih memihak kepada importir produk pertanian ketimbang memperkuat peta-ni. Nyaris seluruh sektor kehidupan di Indo-nesia mubazir.

Kalau pola kehidupan bangsa Indonesia ber-jalan seperti ini tanpa ada perubahan kultur serta perubahan kebijakan, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama seluruh sumber daya tersebut habis. Tanda-tanda itu sudah di depan mata. Indonesia yang subur makmur, gemah

ripah lohjinawi, berubah menjadi negara dan

bangsa yang termiskin di dunia. Ironis. Bangsa Indonesia seperti mengalami mimpi buruk. Memutus fakta buruk ini, negara harus mela-kukan rekayasa sosial (social engeneering) de-ngan menghidupkan etos kerja yang berkeba-likan dari kemubaziran. Nilai yang paling tepat mengubah etos ini adalah efisiensi dan produk-tivitas. Negara dengan dibantu swasta harus ba-hu membaba-hu menyosialisasikan kehidupan yang efektif dan efisien, baik dalam bentuk slo-gan, propaganda, dan lebih substantif dalam bentuk implementasi kehidupan.

Menghidupkan gerakan efisiensi dan pro-duktivitas, ada baiknya bangsa Indonesia bela-jar dari bangsa Jepang. Masyarakat dari negeri Sakura itu memiliki etos yang luar biasa dalam soal efisiensi tersebut. Mereka adalah bangsa yang “anti-muda” anti hal yang mubazir. Ja-ngankan menyangkut kekayaan alam, bahkan hanya ukuran gerakan dalam bela diri, Jepang memperkuat seluruh gerakan yang efektif, dan membuang setiap gerakan muda, atau gerakan yang tidak bermanfaat. Itulah sebabnya, bela diri asal Jepang seperti Karate tidak terlalu banyak kembangan seperti Kung Fu Cina atau Silat milik bangsa Indonesia.

Kisah menggelikan sempat dimuat

Kompa-siana sebagai berikut. Serombongan pebisnis

dari Indonesia datang ke Tokyo, membicarakan kelanjutan rencana pinjaman modal kerja de-ngan mitranya dari Jepang. Tim dari Indonesia datang ke pertemuan jamuan dengan serom-bongan tim seperti mau mengadakan lamaran alias bejibun. Selain timnya banyak, mereka menginap di hotel mewah dan menyewa mobil

mahal untuk menunjukkan “kemampuan finan-sial”-nya. Sementara counterpart-nya dari Je-pang, yang notabene sebagai penyandang dana hanya diwakili beberapa orang. Mereka datang ke tempat pertemuan naik densha (kereta api bawah tanah) yang dilanjutkan dengan jalan kaki ke tempat tujuan.

Secara konkret, bangsa Indonesia pada umumnya dan Madrasah Wathoniyah Islami-yah khususnya harus secara spesifik mempe-lajari nilai budaya Jepang seperti anti boros, lingkungan yang bersih, budaya antre dan ter-tib. MWI perlu melakukan benchmarking, me-nyerap nilai budaya Jepang yang baik dan relevan dengan lingkungan pesantren, kemu-dian menyusun konsep implementasinya dalam kurikulum yang diimplementasikan dalam akti-vitas sehari-hari. Tidak semua nilai Jepang harus diserap, hanya yang relevan tentu saja. Jepang, sekali lagi, adalah kiblat terbaik bagi banyak pesantren di Indonesia untuk belajar soal etos kerja yang efisiensi dan produktif. Lihatlah, mereka mampu memanfaatkan setiap jengkal tanah dan ruang. Saking efisiennya, se-bagian warga Jepang membuat satu ruang kecil untuk tempat tidur. Tapi tempat yang sempit itu dalam waktu yang singkat dapat disulap men-jadi ruang keluarga, ruang tamu, dan berbagai tempat lain.

(19)

19 Memang kondisi ini bertolak dari

keterpak-saan akibat semua serba mahal. Itulah sebab-nya, sekali lagi, tidak semua nilai dari Jepang diserap ke Indonesia. Salah satu yang perlu dibuang adalah kehidupan yang serba mahal itu. Tapi kehidupan yang serba efisiennya bisa diangkat.

Waktu kerja masyarakat Jepang yang men-capai 14 jam sehari juga bisa diteladani. Mereka memulai kerja dengan melakukan olah raga, kemudian membersihkan tempat kerja, meja-kursi serta lingkungan sekitar menjadi tradisi bagus. Semua kondisi pra kerja dilakukan di luar jam kerja. Bayangkan, kerja dalam rentang waktu yang lama, dengan menghilangkan pem-borosan, mengantarkan bangsa Jepang menjadi pemenang dalam bisnis mutakhir. MWI khu-susnya dan bangsa Indonesia pada umumnya layak belajar ke mereka.

MWI pantas belajar tentang kultur etos kerja dari Jepang. Belajar dari Negeri Sakura tentang etos kerja itu itu kemudian dapat diformulasi-kan ke dalam kultur dan etos kerja di ling-kungan pesantren. Dengan belajar dari Jepang, memungkinkan bagi MWI berjalan efisien dan efektif, sehingga memungkinkan MWI menjadi pesantren terbaik yang dapat diteladani.

Terus Berubah

Banyak perubahan signifikan pada Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah se-belum melakukan studi banding ke Jepang de-ngan sesudahnya. Sebelum ada kunjude-ngan ke negeri sakura itu, Pesantren Kebarongan secara internal keadaannya sebagai berikut:

a. PP MWI tidak memiliki kegiatan literasi sebelum pembelajar;

b. Belajar hanya dilakukan di dalam ruang kelas;

c. Warga pesantren kurang peduli terhadap kebersihan dan kerapian ruang kelas, kamar asrama dan lingkungan;

d. Warga pesantren kurang disiplin dalam pemanfaatan waktu sehingga berdampak pada efektivitas kegiatan belajar-mengajar. Sementara secara eksternal, kondisi PP MWI sebagai berikut:

a. MWI tidak memiliki kerja sama dengan universitas yang menjamin diterimanya san-tri setelah menyelesaikan jenjang pendidik-an di madrasah;

b. Tidak ada kontribusi berupa materi maupun tenaga dari pihak internal untuk disalurkan kepada para korban bencana alam;

c. Tidak mengenal budaya Jepang, di mana nilainya sangat baik untuk diterapkan dalam kehidupan pesantren sehari-hari;

d. Tidak mempunyai referensi tentang Jepang, selain sejaraha menjajah Indonesia yang menjadikan persepsi tidak baik bagi warga pesantren khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya;

e. Kurangnya relasi dengan berbagai institusi, sehingga tidak ada kunjungan dari berbagai berbagai lain, termasuk diplomat Jepang ke pesantren;

f. Tidak terjalinnya komunikasi antara santri dengan masyarakat Jepang;

(20)

20 g. Santri tidak ikut berpartisipasi dalam

kun-jungan ke Expo Pendidikan yang diseleng-garakan Kedubes Jepang di Jakarta;

h. Santri dan warga pesantren tidak tertarik mengetahui informasi tentang Jepang dan melanjutkan studi ke Negeri Sakura itu. Sepulang studi banding dari Jepang, saya melakukan berbagai upaya dengan merancang berbagai kegiatan, melakukan pendekatan den-gan Yayasan Pomesmawi, berdiskusi denden-gan sesama guru di lingkungan MWI dan melaku-kan sosialisai dengan para santri. Maka, MWI pun secara perlahan mengalami perubahan. Kini, kondisi pesantren menunjukkan dampak perubahan baik individu, institusi maupun pengambilan kebijakan.

Secara internal, Pesantren MWI mengalami perubahan sebagai berikut:

a. Terdapat kegiatan literasi santri sebelum be-lajar selama 15 menit di pagi hari dengan

membaca buku ilmu pengetahuan dan mem-baca Alquran;

b. Kegiatan belajar-mengajar kerap diseleng-garakan di luar ruang kelas, seperti di alam terbuka dengan diajak ke sawah, ke pinggir sungai, di perpustakan atau di serambi mas-jid, disesuakan dengan materi yang diajar-kan;

c. Warga pesantren semakin peduli terhadap kebersihan dan kerapihan ruang belajar, kamar tidur serta lingkungannya, seperti dalam merapikan tempat tidur, merapikan meja kursi ruang kelas, menata sandal dan sepatu di rak;

d. Warga pesantren lebih disiplin dalam me-manfaatkan waktu. Misalnya, santri yang terlambat masuk kelas 15 menit setelah kegiatan belajar-mengajar dimulai, dilarang masuk mengikuti pelajaran pada jam pela-jaran tersebut sampai tanda bel berbunyi ganti pelajaran. Santri yang dianggap tidak

(21)

21 hadir (ghaib) di jurnal pembelajaran

dike-nakan point pada nilai kedisiplinan. Dan santri yang terlambat atau sengaja tidak ikut shalat berjamaah dikenakan hukuman berupa membaca AlQuran 1 juz.

Secara eksternal, PP MWI juga mengalami perubahan sebagai berikut:

a. PP MWI sekarang menjalin kerja sama de-ngan universitas dede-ngan menandatade-ngani MoU atas bantuan Prof. Suyoto Ph.D. yang merupakan salah seorang dosen di Kanada University of International Studies (KUIS) di Chiba, Tokyo. Caranya, mengirim santri yatim dan du’afa yang berprestasi baik untuk melanjutkan pendidikan di universitas swasta maupun negeri dengan beasiswa dari univertas maupun pemerintah. Saat ini terdapat lima santri yang sudah dikirim melalui program kerja sama, yaitu atas nama (1) Susanti (STIE Malangkucecwara) Malang, Program Studi Management; (2) Faizul Amal (UMS) Surakarta Program Studi Teknik Industri; (3) Suci Sifa’un Jannah (STIE Malangkucecwara) Malang Program Studi Managemen; (4) Kurotun A’yun (STKIP) Ponorogo, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesian; (5) Shofiur Rosidah (STKIP) Ponorogo Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia;

b. PP MWI menggalang dana dari santri, wali santri dan para ustadz untuk disalurkan ke-pada para korban bencana alam;

c. Melaksanakan kerja bakti bersama-sama yang merupakan kebiasaan masyarakat Je-pang. Aktivitas ini dilakukan sepekan seka-li, saat ada mata pelajaran yang kosong. Dan juga memberikan sosialisasi tentang bagai-mana kebiasaan masyarakat Jepang serta menjelaskan kecanggihan teknologi yang mereka miliki kepada para santri, para us-tadz dan masyrakat;

d. Mengenalkan bahasa, huruf, budaya dan agama masyarakat jepang. Dalam hal ini, Perpustakaan MWI menyediakan kamus dan berbagai buku tentang Jepang dengan segala pernak perniknya;

e. PP MWI mengudang Mr. Kota Nagagome, salah seorang diplomat yang bekerja di Kementerian Luar Negeri yang sedang menempuh pendidikan S2 Program Studi Ilmu Sosial Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogjakarta untuk memberi-kan motivasi belajar kepada para santri;

f. Santri mengunjungi STIE Malangkucec-wara, Malang di mana ada program

Inter-nasional Studies Program (ISP) sebagai

tempat belajar bahasa, budaya dan jelajah sejarah bagi para mahasiswa dari berbagai negara, di antaranya dari negara Jepang; g. Mengunjungi expo pendidikan dan

meng-ikuti sosialisasi promosi universitas yang diselenggarakan Jepang;

h. Warga pesantren semakin kagum dan ka-ngen terhadap negara Jepang yang sangat bersih, disiplin, aman, nyaman dan pendu-duknya sangat ramah;

i. Sejumlah santri berminat melanjutkan pen-didikan ke Jepang dan bekerja di sana. Ba-nyak orang mengatakan, Jepang bukanlah negara Muslim, namun perilakukanya sa-ngat Islami.

Meski demikian, membangun nilai Jepang pada Madrasah Wathoniyah Islamiyah Keba-rongan mengalami sejumlah kendala dan ta-ntangan. Hambatan dan tantangan untuk meng-implementasikan nilai Jepang antara lain: a. PP MWI belum memiliki SDM yang lebih

spesifik ahli di bidangnya;

b. PP MWI belum memiliki dana yang mencu-kupi dalam pembiayaan;

c. PP MWI kurang memiliki sarana dan prasa-rana yang memadai;

d. Terbatasnya koneksitas untuk menjembata-ni dengan berbagai hal terkait.

(22)

22 Berbagai hal dilakukan untuk memecahkan

persoalan sebagai berikut:

a. PP MWI berupaya mencari sumber daya manusia (SDM) yang bisa membantu atau menjembatani sambil belajar sendiri untuk menularkan kepada santri;

b. PP MWI berusaha mencarikan donasi untuk membantu pembiayaan. Sementara waktu, pesantren mampu membiayai kegiatan yang bersifat ringan dan terjangkau. Namun pada gilirannya, MWI berupaya mampu membia-yai berbagai kegiatan yang bersifat besar sehingga mampu melakukan transformasi nilai Jepang ke dalam proses belajar-meng-ajar di MWI;

c. PP MWI menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar di madrasah;

Penutup

Tidak ada nilai yang bertentangan antara

Jepang dengan kehidupan pondok pesantren pada umumnya dan Pondok Pesantren Madra-sah Wathoniyah Islamiyah (PP MWI) Keba-rongan, Kemranjen, Banyumas dalam kultur maupun karakter. Bedanya, masyarakat Jepang mampu melaksanakannya secara maksimal se-hingga mengantarkan bangsa Jepang ke puncak peradaban dunia.

Nilai Jepang jika dilaksanakan di PP MWI

memungkinkan pesantren ini meraih kesuk-sesan baik dalam pencapaian agama maupun dalam proses-belajar. Oleh karena itu, peluang kerja sama pondok pesantren, khususnya PP MWI dengan Jepang, khusus Kedubes Jepang di Jakarta perlu ditingkatkan intensitasnya.

(23)

23

Dua Korban

Kolonialisasi Jepang

Oleh M. Zuhair

Warga Kebarongan, Lulusan MWI

Pondok Pesantren Madrasah Wathoniah Is-lamiyah Kebarongan mempersembahkan dua orang pahlawan saat Indonesia dijajah Jepang. Mereka adalah Mufroil dan Sunan Muchdzir. Keduanya menjadi korban kebiadaban penja-jahan Jepang. Dua pengajar senior di Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah (PP MWI) Kebarongan ini menjadi korban kebia-daban penjajah Jepang karena perlawanan ke-duanya. Mereka meninggal di hadapan regu tembak tahun 1942 di Penjara Purwokerto, dan keduanya diyakini masyarakat sebagai mati syahid.

Ayahnya M. Zuhair bernama Abdul Ghofir Zawawi (Alm) pernah menulis di sampul buku Kamus Bahasa Arab, Munjid, bahwa silsilah (Alm.) Mufroil dan (Alm.) Sunan Muchdzir adalah anak Abdullah Zawawi bin Mucha-mmad Chabib bin Nur Chamdan bin Imam Muchammad. Mufroil dan Sunan Muchdzir berempat saudara kandung: (Alm) Mufroil (1902-1942), (Alm) Sunan Muchdzir (1904-942), (Alm) Abdul Ghofir (1911-1975), dan (Alm) ‘Asifuddin (1919-1981)-ayah Ustadz Janan, Ustadz Faiz, dan Ustadzah Inayah (Iin).

Nama “Sunan” di depan nama Muchdzir, menurut (Alm) Pak Basiran (1924-2005), yang ketika remaja cukup lama ikut (Alm) K.H.

(24)

24 Abdullah Zawawi (ayahanda KH Mufroil dan

KH Muchdzir), bahwa (Alm) Mbah Zawawi mengingatkan puteranya, (Alm) Muchdzir agar berhati-hati menggunakan nama “Sunan”. Karena, nama itu selama ini disematkan pada nama orang-orang saleh, yang mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga watak dan tingkah laku mereka terpuji di masyarakat.

Namun, Basiran tidak tahu nama “Sunan” itu berasal dari Muchdzir sendiri atau pem-berian dari para pengikutnya yang tidak sedikit yang kemudian ditambahkan pada Muchdzir di depan namanya. Bisa jadi, nama “Sunan” di-tambahkan oleh Muchdzir sendiri dengan mak-sud agar namanya berbeda dengan nama Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Giri, dll. Ba-siran tidak mengetahui secara pasti arti nama Sunan tersebut.

Nama Sunan Muchdzir dipakai oleh yang bersangkutan di buku karya tulisnya, Sullamul

Ma’rifah, yang digunakan masyarakat hingga

saat ini. M. Zuhair mendapatkan buku cetakan asli dari pengajar bahasa Arab, Ustadz Zainul Mustofa bin Adnan Rois, pengajar senior Fa-roidh di MWI, dan kemudian penulis memfoto-kopinya.

Di buku karangan (Alm) Sunan Muchdzir, buku Ilmu Shorof, Sullamul Ma’rifah terdapat tulisan di sampul depan dalam bahasa Arab Jawa: “Dikarang dening Sunan Muchdzir bin

Abdullah Az-Zawawi, Naadhirul Madrasah Al-Wathoniyah Al-Islamiyyah wad-Darsi

bi-Mas-jidi Kebarongan”. Tidak diketahui apakah

ka-kak Sunan Muchdir bernama Mufroil, apakah meninggalkan karya tulis atau tidak seperti adiknya. Konon, keduanya alumni Perguruan Islam Jam’iyyatul Khoer di Batavia (Jakarta) tahun 1920-an.

Sunan Muchdzir meninggal pada tahun 1942 dalam usia yang sama dengan (Alm) Ustadz Fata Mukmin (1974-2012), salah se-orang pemimpin potensial PP MWI Kebarong-an yKebarong-ang meninggal pada tahun 2012. KeduKebarong-anya meninggal pada usia dini, 38 tahun. M. Zuhair belum sempat mengenal (Alm) Mufroil sekali-pun melalui fotonya. Adasekali-pun, Sunan Muchdzir, M. Zuhair mengenalnya melalui foto yang berukuran kartu pos yang diperlihatkan (Alm) Usamah, menantunya.

Dalam foto tersebut, Sunan Muchdzir mengenakan peci panjang berbulu seperti orang Turki. Wajahnya sepintas mirip puteranya, (Alm) Mohamad Iqbal Chamdany, alumnus MWI dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang pernah menjadi Direktur MWI akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an.

PP MWI Kebarongan yang didirikan K.H. Muhammad Habib beserta saudara, dan para sahabatnya kini mendekati usia 150 tahun (1882-2021). Pesantren ini telah meluluskan ribuan alumni yang bekerja di berbagai instansi pemerintah maupun swasta dan di luar dua instansi tersebut.

(25)

25 Hamad bin Idris (Alm) adalah pendekar

besar Tapak Suci Muhammadiyah adalah cucunya (Alm) Sunan Muchdzir dari puterinya bernama (Almh) Hj. Nur Chamadah. Sementara kakak Sunan Muchdzir (Alm) Mufroil me-ninggalkan seorang putera dan seorang puteri yang masih kecil pada saat itu. Keduanya telah tiada yaitu: (Alm) Suhaib dan (Almh) Binti Musyahadah. Keduanya meninggalkan sejum-lah anak dan cucu.

Adapun (Alm) Sunan Muchdzir mening-galkan dua putera dan dua puteri yang juga masih kecil pada saat itu. Kini mereka tinggal Chamdiyah yang masih hidup. Yang lainnya adalah (Almh) Hj. Nur Chamadah, (Alm) Mohamad Iqbal Chamdany, (Alm) H. Chamdul Basil, dan Hj. Chamdiyah.

Foto Sunan Muchdzir pernah diperlihatkan Usamah (menantu Sunan Muchdzir), suami Chamdiyah binti Muchdzir kepada M. Zuhair ketika Zahrah (1946-2019) bersilaturrahim pada tahun 2013 ke rumah. Silaturrahim ini dilakukan setelah mereka ta’ziyah bersama keluarganya ke keluarga Farhan AG yang meninggal di Jakarta dalam usia 66 tahun.

Eksekusi

Berkaitan dengan (Alm) Mufroil (Alm) Sunan Muchdzir, menurut (Alm) Basiran, yang diberitahu oleh (Alm) Mbah Zawawi, bahwa keduanya dieksekusi oleh Pemerintah Kolonial

Jepang di dekat kamar ayahnya, K.H. Abdullah Zawawi yang bersebelahan kamar di Penjara Purwokerto. Penjara Purwokerto terletak di selatan dekat Masjid Besar (Purwokerto), yang didirikan tahun 1910 yang di kemudian hari berganti nama menjadi Masjid Jami’ Baitus-salam Purwokerto.

Mbah Zawawi tidak bisa melihat kedua puteranya karena terhalang tembok ketika regu tembak akan melaksanakan tugasnya. Oleh ka-rena itu, ia berusaha memanggil kedua anaknya tersebut. “Iiiil…!!!! Dziiir…!!!!” Keduanya pun menjawab: “Nuuun…., Nuuun….”. Tiba-tiba sejumlah tembakan terdengar. Mbah Zawa-wi mencoba memanggil kembali kedua pute-ranya tersebut. Keduanya bersuara “Nuuun…., Nuuun….”. Panggilan ini dilakukan Mbah Zawawi untuk memastikan kedua puteranya su-dah meninggal atau belum. Namun, setelah rentetan tembakan ketiga, Mbah Zawawi ber-ulang-ulang memanggil kembali mereka. Tapi tak ada jawaban dari kedua puteranya. Mbah Zawawi pun menangis sambil mengatakan:

“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uuuun. Anakku loro wis ndisiti aku”.

Menurut Basiran--yang membantu K.H. Abdullah Zawawi mendirikan mushalla cikal bakal Masjid Baitussalam Kebarongan pada tahun 1935 itu--- setelah kematian kedua puteranya, kesehatannya menurun drastis, dan beberapa bulan kemudian Mbah Abdullah

(26)

26 Zawawi menyusul kedua puteranya meninggal

dunia.

Pak Basiran (1924-2005) juga bercerita ke M. Zuhair tentang situasi PP MWI Kebarongan tahun 1942 yang begitu lengang ketika kakak beradik, Mufroil dan Sunan Muchdzir ditembak mati Kolonial Jepang. “Nek enten suara mobil

mlebet teng komplek Pesantren niki, kula lan liya-liyane langsung sami bubar. Kula mlajar terus umpetan teng kandang ayam. Kalau ada

mobil masuk ke komplek pesantren, saya dan teman-teman langsung bubar. Saya lari ber-sembunyi ke kandang ayam,” kata Pak Basiran, yang mengaku berusia 18 tahun pada saat itu.

Melalui H. Safin Santarwi, alumnus MWI (1965), yang kini menjadi Imam Besar Masjid Jami’ Baitussalam Purwokerto, M. Zuhair ber-temu Ketua Al-Irsyad Purwokerto, H. Syarief Baasyir, cucu mubaligh K.H. Saleh Baasyir, yang mengkoordinir perawatan kedua jenazah pengajar senior MWI tersebut. H. Saleh Baasyir meninggal 55 tahun yang lalu (1964) atau 22 tahun kemudian setelah mengurus jenazah ka-kak beradik, yang dieksekusi pada tahun 1942 tersebut. Peristiwa eksekusi ini terjadi 77 tahun yang lalu.

H. Syarif Baasyir juga bercerita bahwa orang yang mengurus jenazah Kiai Mufroil dan Sunan Muchdzir yang dieksekusi itu adalah kakeknya, (Alm) Saleh Baasyir, yang pada saat itu rumahnya di dekat Penjara Purwokerto sehingga dia banyak tahu mengenai keadaan Ustadz Mufroil dan Sunan Muchdzir, termasuk mendengar serangkaian tembakan eksekusi terhadap kedua sahabatnya tersebut.

Tidak Mati

Dalam suatu kesempatan bersilaturahim kepada Ustadz Achmad Baasyir (87), mertua H. Syarif Baasyir (Ketua Al-Irsyad Purwokerto). Ustadz Achmad Baasyir diberitahu tentang eksekusi oleh mertuanya, H. Saleh Ba’asyir, koordinator perawatan kedua jenazah kakak-beradik setelah dieksekusi pada tahun 1942.

H. Achmad Baasyir, yang ketika menunai-kan ibadah haji kebetulan bersama ayah saya Abdul Ghofir Zawawi pada tahun 1974 itu adalah keturunan Arab asal Surabaya yang ke-mudian menjadi menantu H. Saleh Baasyir, koordinator perawatan kedua jenazah. Dia, yang berpindah ke Purwokerto pada tahun 1962 itu. Dia bercerita mengenai peristiwa eksekusi tsb.

(27)

27 Setelah H. Achmad Baasyir menceritakan

sejumlah peristiwa pada saat itu maka saya yakin benar, termasuk ceritanya bahwa dia berta’ziyah ketika Mbah K.H. Muslim Fikri, ayahanda Ustadz Faesol yang meninggal pada tahun 1977, dan berta’ziyah ke KH ‘Asifudin Zawawi yang meninggal pada tahun 1981, ma-ka M. Zuhair yakin daya ingatnya masih bagus.

Daya ingat Achmad Baasyir yang masih bagus menjelang usianya ke-88, menurut Us-tadz Syarief Baasyir, ini karena dia rajin ber-puasa Senin-Kamis, rajin shalat tahajud, rajin baca Alquran, dan rajin menjalin silaturahim. Menurut Achmad Baasyir, eksekusi terha-dap dua pengajar senior MWI yang diberitahu oleh mertuanya, H. Saleh Baasyir, bahwa se-telah kedua kakak-beradik, Ustadz Mufroil dan Sunan Muhdzir dieksekusi, maka kedua jena-zah diserahkan oleh pemerintah Jepang ke pihak yang akan mengurusnya.

Kemudian, dua mubaligh, Saleh Baasyir dan Salim Baisa mengajak jamaah Masjid Ja-mi’ Baitussalam Purwokerto untuk bersama-sama menshalatkan dan memakamkan jenazah keduanya di pemakaman Islam yang terletak di dekat Jalan Pekih yang tak jauh letaknya di sebelah utara Masjid Baitussalam Purwokerto.

Di Pemakaman Islam Pekih terdapat ma-kam yang batu nisannya bertuliskan “KH Abu

Dardiri, Wafat: 1 Agustus 1967, Perintis & Pendiri Depag RI”. Namun, penjaga

pema-kaman ini, Pak Arief, tidak tahu makam (Alm) Pak Mufroil dan (Alm) Sunan Muchdzir di pe-makaman ini. Menurutnya, bisa jadi karena dua makam itu telah lama dan tidak pernah diziarahi maka digusur dan digantikan oleh makam baru. Dalam info lainnya, Ustadz Safin Santarwi mengatakan, seorang rekannya memberitahu bahwa makam Sunan Muchdzir berada di Si-dabowa sekitar tujuh kilometer dari Purwo-kerto. Pak Achmad Baasyir tak menampik ke-mungkinan perpindahan kedua makam korban eksekusi tersebut.

Terlepas dari ada di mana dua makam pe-ngajar senior Ponpes MWI Kebarongan akibat kebiadaban kolonial Jepang, maka doa yang dipanjatkan, semoga keduanya termasuk orang yang disebutkan dalam Alquran pada Surat ‘Ali ‘Imran, Ayat 169): “Jangan lah kamu mengira

orang yang gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rizki.”

(28)

28

Perang Asia Pasifik

di Beranda Muka Kita

Bangsa Indonesia amat sangat berduka

me-nyusul kabar ditemukannya kapal KRI Nang-gala-402 yang tenggelam dalam keadaan ter-belah menjadi tiga bagian. Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono menyatakan, “Ini terdapat bagian dari KRI Nanggala. Di sana KRI Nanggala terbelah jadi tiga bagian ,” ujar Yudo dalam konferensi pers, Ahad (CNN. Indonesia. 25/4/2021). Yudo menjelaskan terdapat bagian belakang kapal tak berbadan tekan, selanjutnya kemudi horizontal dan vertikal. Ini badan kapal, bagian buritan ka-pal. Ini lepas dari badan utamanya yang ber-badan tekan, kata Yudo sambil menunjukkan bagian kapal tersebut lewat gambar.

Kondisi terbelah tiga semakin menguatkan dugaan bahwa Nanggala-402 tak sekadar

sub-sunk atau tenggelam, namun ada kemungkinan

lain. Perlu penelitian lebih seksama soal penye-bab tenggelam dan pecahnya Nanggala-402. Namun dalam kesempatan ini, izinkan penulis menjelaskan tentang apa yang tengah terjadi di sekitar Laut Cina Selatan (LCS) khususnya, dan

Gambar

Foto Sunan Muchdzir pernah diperlihatkan  Usamah  (menantu  Sunan  Muchdzir),  suami  Chamdiyah  binti  Muchdzir  kepada  M

Referensi

Dokumen terkait

Abang tidak gemar akan makanan yang pahit seperti peria.. Menurut abang, dia tidak gemar akan rasa pahit

Sehingga jika merujuk pada konsepsi sistem ekonomi dan perburuhan yang dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila yang kemudian diatur melalui ketentuan dalam UUD 1945, maka

Memperhatikan hasil penelitian Siklus I yang dikemukakan di atas, dapat diketahui rata-rata kemampuan siswa dalam menyimak cerita pendek pada mata pelajaran Bahasa

Data jumlah penduduk digunakan untuk menghitung proyeksi jumlah penduduk untuk 20 tahun kedepan, dari hasil perhitungan tersebut berkaitan untuk menghitung jumlah kebutuhan

Sistem kerja tetap adalah sistem untuk karyawan yang bekerja pada pekerjaan yang menetap dan waktu bekerjanya hingga masa pensiun, sedangkan sistem kerja kontrak

Berdasarkan uji tersebut, ternyata baik penurunan berat maupun jumlah kumbang bubuk yang hidup dari ke 30 jenis kayu yang diuji tersebut dapat dibuat penggolongan

Hal ini sesuai dengan pernyataan Arbi (2009; 2010) bahwa Drupella merupakan jenis keong pemakan polip karang yang cukup penting untuk diketahui keberadaannya di terumbu

Salah satu faktor terjadinya penyakit pada diabetes mellitus di Wilayah Kerja Puskesmas Kutasari, Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga adalah tingkat depresi, Sehingga