• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Gender dalam Sejarah Drama Indonesia

Dalam dokumen Buku Sejarah Sastra Gender (Halaman 120-124)

DEW I DJA DA RI DA RDA NELLA

TRIBUT UNTUK SANG NYA

4. Isu Gender dalam Sejarah Drama Indonesia

Drama Indo nesia yang pertama masih menjadi perdebatan. A da sejumlah kritikus yang menyatakan bahwa Bebasari karya Roestam Effendi yang terbit pada 1926 sebagai drama pertama Indo nesia. Ada yang menyebut Lelakon Raden Beiy Surio Retno karya F. Wiggers (terbit 1901) sebagai karya drama yang pertama , bukan Bebasari. Dalam lampiran karya drama buku Jakob Soemardjo (1992: 373) malah Boekoe Komidi Terpake bagi Komidi Stamboel karya H. Kraft tertulis pada 1893, lebih tua lagi.

Selain itu, berbeda dengan karya sastra berbentuk puisi ataupun pro sa (novel dan cerpen) yang banyak terdokumentasi dan banyak diapresiasi masyarakat, karya drama sebagai karya sastra mengalami kendala tersendiri manakala akan dilacak keberadaannya. Drama, berbeda dengan teater, termasuk anak tiri dari karya sastra. Keberadaannya hanya sekedar catatan historis, keberadaannya mungkin lebih memprihatinkan lagi. Karya drama seringkali tenggelam manakala naskah tersebut dipentaskan dalam pertunjukan teater.

Ketika pembahasan mengenai isu gender dalam drama hendak dianalisis, kendala pertama tidak hanya sulitnya mendapatkan drama tersebut, tetapi info rmasi historis tentang drama tersebut tergolo ng minim. Tidak mudah mendapatkan data yang terkait dengan to pik isu gender dalam drama Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan kesadaran gender atau isu feminisme dalam karya drama Indonesia.

Perempuan sebagai tema sentral drama Indonesia bukanlah hal yang baru ataupun hal yang asing. Bahkan jauh sebelum masuknya pengaruh modernisme, termasuk dalam drama, teater-teater tradisio nal banyak

menampilkan so sok perempuan atau hal-hal yang terkait dengan perempuan. Cerita Panji yang populer dalam cerita Jawa Pertengahan melibatkan toko h perempuan semacam Candra Kirana yang dalam petualangannya berusaha mencari pasangannya, Panji A smoro Bangun. Dalam petualangan pencarian ini, to koh perempuan ini menyamar menjadi laki-laki. Cerita Ande-Ande Lumut dan cerita sejenisnya juga menampilkan sosok-so sok perempuan dalam “ memperebutkan laki-laki” .

Cerita Jawa pada awal abad ke-11 atau ke-12 di Singasari tidak hanya berkisah tentang Ken A rok, tetapi malah lebih berpusat pada Ken Dedes, perempuan yang menjadi sumber perebutan tahta dan pembunuhan balas dendam seputar keluarganya. Tidak hanya Pramoedya Ananta Toer yang menuliskan peristiwa Singasari ini ke dalam karya sastra (novel). Ada sejumlah penulis drama Indo nesia yang menuliskan peristiwa historis ini ke dalam karyanya seperti Muhamad Yamin dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Slamet Muljana dengan judul Ken Dedes (1951).

Cerita tentang peran perempuan sebagai ibu juga tampak dari sejumlah judul yang mengacu pada to koh-toko h yang melegenda seperti Dayang Sumbi ataupun Masyito h. Dayang Sumbi adalah perempuan yang melahirkan Sangkuriang yang kemudian setelah terpisah sekian tahun menjadi kekasih anaknya. Dayang Sumbi berasal dari legenda Sunda. Sementara Masyitoh adalah perempuan yang disiksa oleh majikannya karena koko h dengan keyakinan. Cerita ini berasal dari Timur Tengah.

Kisah Sangkuriang dengan Dayang Sumbi diangkat menjadi naskah drama setidaknya oleh Utuy Tatang Sontani yang berjudul Sangkuriang Dayang Sumbi (1953). Kisah Masyitoh pernah ditulis oleh Junan Helmy Nasutio n berjudul Dewi M asyitoh (1962) dan A jip Ro sidi berjudul Masyitoh (1965).

Pada periode awal kesusastraan Indonesia, khususnya pada awal abad ke-20 banyak dikisahkan tokoh-toko h perempuan sebagai ibu, baik sebagai to koh teladan maupun tokoh hujatan. Cerita-cerita drama berikut ini

setidaknya menggambarkan peran perempuan sebagai ibu dalam drama Indonesia: (1) Cerita Satu Ibu Tiri yang Pinter Ajar Anak karya A nonim (1917), (2) Satu Ibu Tiri yang Kejam karya Khoe Tiong Ham (1920), (3) Lady Yen Mei karya Njoo Cheo ng Seng (1922).

Selain itu juga karya-karya seperti: (4) Ibu atawa Isteri dan Pramuan dan Dapur, keduanya karya Oen Tjhing Tiauw (1930), (5) Ibu, Anak, Mantu karya Ong Ping Lo k (1935), (6) karya-karya A rmijn Pane seperti Nyi Lenggang Kencana (1939), Kami, Perempuan (1942), (7) karya Motinggo Busje seperti Nyonya dan Nyonya (1963), (8) karya Kuntowijoyo yang berjudul Tak ada W aktu bagi Nyonya Fatma (1972).

Cerita gadis remaja dengan kekasihnya seperti Romeo dan Juliet juga banyak dikisahkan dalam sejumlah drama. Karya Shakespeare ini setidaknya ditulis ulang menjadi Romeo dan Juliet (A nonim, 1936) dan oleh Nano Riantiarno dari Teater Koma pada akhir abad ke-20.

To ko h-tokoh gadis remaja sebagai pusat cerita juga banyak dikisahkan dalam sejumlah drama. Bebasari karya Roestam Effendi pada 1926 berkisah tentang perempuan yang disekap oleh raksasa, mirip seperti penyekapan Sinta oleh Rahwana. Meski demikian, cerita drama Bebasari merupakan gambaran simbolik akan cengkeraman penjajah terhadap Indonesia yang digambarkan sebagai gadis cantik yang tak berdaya.

Cerita-cerita drama lainnya dalam sejumlah karya berikut menggambarkan toko h gadis remaja sebagai pusat penceritaan seperti terdapat pada: Gadis Modern karya A dlin A ffandi (1941), Bunga Rumah Makan (1947), Awal dan Mira (1951) karya Utuy Tatang Sontani, lalu Nona Marjam karya Kirdjomuljo (1955), Siti Djamilah karya Joebaar Ajoeb: (1956), ataupun karya-karya D. Suradji pada 1957 Extrimis Manis, dan Bunga Desa,

Tema perselingkuhan oleh perempuan juga menjadi salah satu tema yang diangkat oleh Mo tinggoe Busje dalam dramanya yang berjudul Malam Jahanam (1959). Tema pelacuran juga menjadi tema yang menggambarkan perempuan-perempuan pinggiran seperti yang terdapat dalam drama-

drama: Orang-orang di Tikungan Jalan (W.S. Rendra, 1954), Mimi Pelacurku (Jasso Winarto, 1972), Opera Kecoa (N. Riantiarno, 1985) atau Opera Julini (N. Riantiarno, 1986). Dalam Opera Julini, Nano Riantiarno tidak hanya mengangkat kehidupan para pelacur tetapi juga mengungkap kaum waria.

Yang menarik dari data-data yang ada, sangat sedikit sekali penulis drama Indonesia dari kalangan perempuan. Berdasarkan data lampiran Jakob Soemardjo ataupun lampiran penelitian Nurhadi, tidak tampak adanya penulis drama perempuan. Hanya Ratna Sarumpaet yang menulis sejumlah naskah untuk pementasan kelompok teaternya seperti monolog ” Marsinah Menggugat” (pernah dipentaskan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 28-10-1997), ” Luka Serambi Mekah” (dipentaskan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2000), dan ” A nak-Anak Kegelapan” (dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, 25-30 September 2003). To koh-toko h perempuan yang bergiat dalam teater ataupun drama masih berada dalam bayang-bayang laki-laki, baik sebagai penulis drama atau dalam kepemimpinan teater.

Belum ditemukan penulis drama perempuan, yang mengusung tema- tema tentang isu gender apalagi yang menyuarakan paham feminisme. Dalam sejarah perteateran Indonesia, baru hanya sebatas drama terjemahan saja yang menyuarakan gerakan feminisme seperti pada naskah Perempuan di Titik Nol karya Nawal Saadawi asal Mesir dan naskah The Vagina Monologue karya Eve Ensler asal Amerika Serikat. Naskah Saadawi pernah dipentaskan di TIM Jakarta (A pril 2002) oleh kelompok teater so lidaritas Perempuan yang disutradarai oleh Daniel Hariman Jakob; sementara naskah Ensler pernah dipentaskan di TIM Jakarta (Maret 2002) oleh Ayu Azhari dkk di bawah arahan sutradara Jajang C. Noer.

Patut dipertanyakan mengapa dalam perkembangan perteateran, khususnya dalam penulisan naskah drama, tidak muncul penulis dari kalangan perempuan. Kalau ada, perbandingannya sangat sedikit di bandingkan dengan penulis laki-laki. Tema-tema perempuan dan

pro blematika yang terkait dengan perempuan baru dikemukakan oleh para penulis drama laki-laki. Memang tidak semua penulis laki-laki oto matis menggambarkan bias gender terhadap perempuan. Dalam sejumlah kasus ada sejumlah penulis laki-laki yang sadar gender dan memperjuangkan kepentingan perempuan, sebaliknya tidak sedikit penulis perempuan yang mengukuhkan praktik patriarki. Permasalahannya mengapa penulis perem- puan tidak memilih bentuk karya drama?

C. RANGKUM A N

Dibandingkan dengan kedua jenis sastra lainnya, puisi dan fiksi, dunia drama paling minim dimasuki oleh perempuan. Beberapa tokoh perempuan dalam dunia teater, seperti Dewi Dja, Miss Riboet, Fifi Young, Ratna Riantiarno, Ken Zuraida, Reny Djayusman, dan Ratna Sarumpaet misalnya di bawah bayang-bayang pemimpin kelompok teater yang juga menjadi suami masing-masing seperti: Pedro . A bu Bakar Bafaqih, Nyoo Cheong Seng, Nano Riantiarno, W.S. Rendra, Putu Wijaya, kecuali Ratna Sarumpaet.

Dalam penulisan drama, tidak ada penulis perempuan yang menulis drama. Ini temuan yang mengejutkan karena hingga tahun 2000-an, manakala penulisan prosa dan puisi diwarnai o leh penulis perempuan, hal semacam itu tidak ditemukan dalam penulisan drama, kecuali Ratna Sarumpaet. Tema-tema yang mengangkat permasalahan perempuan dengan segala problematikanya banyak mewarnai sejarah penulisan drama Indonesia.

Dalam dokumen Buku Sejarah Sastra Gender (Halaman 120-124)