• Tidak ada hasil yang ditemukan

KISA H DA RI DUNIA YA N G GELA P

Dalam dokumen Buku Sejarah Sastra Gender (Halaman 111-114)

DEW I DJA DA RI DA RDA NELLA

KISA H DA RI DUNIA YA N G GELA P

Para pelacur Surabaya mementaskan drama di Teater Utan Kayu, Jakarta. Lancar. Menggelitik dan menjadi katarsis suka

duka kegiatan sehari-sehari.

ABRI Dilarang Masuk. Pasal 18 PDM. Tulisan yang biasa tertempel di kompleks pelacuran di Surabaya itu diletakkan di panggung Utan Kayu. Bo tol bir berderet. Kutang, celana dalam, daster, jins belel, dan kaus norak bergelantungan. "Penonto n, bayangkan ini ruang tamu kami," kata Tiarsih, 28 tahun. Nama sebenarnya Yayuk. A sli Mojokerto. Dalam kehidupan sesungguhnya, ia adalah pelacur dari kompleks Tambakasri, Surabaya.

Ini memang sebuah pertunjukan teater para pelacur. Yayuk bersama 13 kawan lainnya, pelacur asal desa-desa Malang, Kediri, Babat, Pono ro go, Jember mementaskan carut-marut kehidupannya sehari-hari. Naskah digarap Julius R. Sirayanamual, bekas pemimpin umum majalah anak-anak Kawanku yang beralih menjadi aktivis Hotline, sebuah yayasan

pemberdayaan pelacur. Selama dua bulan, Lena Simanjuntak, aktivis teater penyadaran, mendampingi. "Saya hanya fasilitator," kata Lena.

Rata-rata mereka penghuni Bangunsari dan Tambakasri, kedua kompleks pelacuran termurah di Surabaya. Bangunsari pernah

menggegerkan Indonesia karena seo rang pelacurnya mengidap A IDS. Menurut Mike Blo wfield, peneliti A US A IDS, industri seks di Surabaya adalah yang terbesar di A sia Tenggara. Yang paling tersoho r adalah Dolly. Mereka biasa berpindah ke Bangunsari, Tambakasri (plus Moro seneng atau Jarak). Dan jika "terdepak" lagi, mereka muntah di jalanan rel-rel kereta Wo nokro mo, Embongmalang, Kembangkuning, atau melacur ke Indonesia Timur seperti Flores atau Irianjaya.

Mereka sudah berpentas enam kali sejak 1994, dengan judul berbeda. Kali ini musik dibimbing o leh Jeffar Lumban Gaol. Mulanya Lena

Simanjuntak menginginkan musik gamelan. Sayang, ongkosnya terlalu mahal. Akhirnya, setiap orang memegang kentongan bambu. "Mereka lebih

bisa mengekspresikan diri dengan kentongan," kata Jeffar. Memang itu terlihat sederhana, tapi efektif. "Mereka akrab dengan ludruk, itu yang membuat mereka spontan," tutur Julius.

Tentu saja akting mereka tidak bisa diukur dengan teater umumnya. To h mereka bisa berperan dengan segar dan wajar, terutama dialog Yayuk dan Narti, 35 tahun. Duet mereka mengalir, rileks, penuh celetukan segar yang menampilkan improvisasi yang berbeda setiap pertunjukan. "Jadi pelacur itu tidak gampang, lo, peno nton…" Keduanya berbakat. "Gojegan- nya (banyolannya) mirip Gandrik," tutur Butet Kertaredjasa.

Yang mengharukan adalah ketika mereka mengisahkan perlakuan suaminya di desa. "Saya sampai dilempar linggis," kata Susana, seo rang janda 46 tahun, asal Tulungagung, yang kabur dari rumah. Saat Yayuk diseret dari bawah meja oleh banktitil (rentenir), suasana kekerasan sehari- hari yang mereka alami terkirim ke atas pentas.

A pa manfaat teater ini bagi mereka? Meskipun tak membebaskan mereka dari labirin penderitaan, tampaknya ini bisa dijadikan media untuk katarsis, mengkritisi lingkungan sendiri. Yayuk, misalnya, uang kos per bulannya Rp 60 ribu. Tarifnya sekali adalah Rp 25 ribu. Dengan penghasilan sekecil itu, selain untuk kebutuhan sehari-hari, ia harus membayar beragam iuran dan pungli. Nah, bila warga di Tambakasri saja sekitar 700, tentunya sang satpam bisa panen. "Itulah sebabnya jabatan RT/ RW di kompleks Surabaya dahulu diperebutkan," kata sosiolo g Esthi Susanti, ketua Hotline.

Celakanya, sudah hidup begitu susah, para pelacur itu punya kebiasaan memiliki pacar simpanan, yang selalu meludeskan harta

bendanya. Bahasa prokemnya adalah kiwir (dari kata kiwir-kiwir; maksudnya, pelacur setelah ditipu tak punya apa-apa, kecuali secarik kain). Soal kiwir penipu dan pencemburu ini yang jadi bahan lelucon di panggung. "Pernah ada pelacur kemaluannya luka borok. Tapi sang kiwir melarangnya ke klinik gratis," tutur Joris Lato, seorang aktivis Hotline. Yayuk pernah berpacaran tujuh tahun dengan seorang tentara, dan dia menghidupinya sampai

pangkat sersan. Tapi terus ditinggal pergi, patah hati. "Ia sampai mau bunuh diri," tutur Esthi Susanti.

A nggota teater paling muda adalah A nis, 19 tahun. Arek Blitar yang sintal ini mulai melacur umur 13 tahun. Ia mangkal di Gang Lasem di Bangunsari, sebuah gang khusus pelaut asing. Tarifnya Rp 50 ribu dan dalam sehari ia menerima delapan tamu. Pada era krisis ini tapi ia kerap "jemput bo la" ke Pelabuhan Tanjungperak, meski ia terpaksa membayar penjaga pelabuhan agar diperbolehkan naik kapal.

Pernah suatu saat, gara-gara teater, wajahnya dimuat koran lo kal di Surabaya dengan mencantumkan profesinya sebagai PS. Ketika para tetangganya bertanya apa kepanjangan PS—yang sesungguhnya berarti pekerja seks—ia menjawab itu berarti: penyiar studio. Untung, mereka percaya.

Para pelacur aktivis teater ini oleh Hotline kerap dikirim untuk memberikan advokasi ke pelacur lain, misalnya ke Kupang. Mereka juga

dibiayai ke Thailand, Pakistan, atau Filipina, mengkuti lokakarya AIDS. Dua anggota teater itu, misalnya, terpilih menjadi steering committee Jaringan Pelacuran A sia Pasifik. Bahkan, pada 1997, Yayuk pernah bertemu dengan perwakilan para pelacur se-A sia di Filipina. "Kekerasan pelacuran di India lebih mengerikan, aparat memper- lakukan kayak binatang," tutur Yayuk.

Karena hidup begitu pahit, teater ini—meminjam kata-kata Julius— adalah ludruk yang mengingatkan kembali mereka pada cara tertawa. "Kami telah lama lupa cara tertawa yang benar," kata para pekerja seks itu di akhir pentas. Toh, harapan selalu ada, seperti matahari yang masih bersinar terus. Dan A tik, Ely, Narty, A nis, Murti pun bernyanyi: ada poho n, ada gunung…, ada matahari….

Seno Joko Suyono dan Setiyardi Sumber Tempo NO. 20/ XXX/ 16 - 22 Juli 2001

3. Pementasan Teater Terkait Tema Perempuan

Selain pementasan teater oleh kelompok teater yang terdiri atas para pelacur dari Surabaya, perlu juga dicatat peristiwa perteateran yang mengangkat tema-tema tertentu, khususnya yang terkait dengan tema feminisme. Sejumlah hal yang dimaksud yaitu tiga pementasan yang berbeda tetapi ketiganya terjalin atas kesamaan tema terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan perempuan.

Ketiga pementasan yang dimaksud yaitu: (1) Vagina Monologues karya Eve Ensler asal A merika (setidaknya pernah dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada awal Maret 2002), (2): Perempuan di Titik Nol karya Nawal Saadawi asal Mesir (dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta, A pril 2002), (3) Nyai Ontosoroh transformasi bagian novel Bumi Manusia karya Pramoedya A nanta Toer (dipentaskan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, A gustus 2007).

a. Vagina M onologues

Dalam dokumen Buku Sejarah Sastra Gender (Halaman 111-114)