• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geografi dan Kependudukan Kota Yogya

Dalam dokumen Toponim Kota Yogyakarta (Halaman 29-37)

Secara geografis, Kasultanan Yogyakarta terletak antara 7°33’-8°15’ L.S. dan 110°-110°52’B.T. Daerah ini kurang lebih berbentuk segitiga dengan puncaknya gunung Merapi dan alasnya membujur dari arah barat ke timur, menyusuri pantai selatan. Kawasan tersebut dibatasi Kabupaten Wonogiri di sisi tenggara, Kabupaten Klaten di bagian timur laut, Kabupaten Magelang di sebelah barat laut, Kabupaten Purworejo di sisi barat daya, dan Samudra Indonesia di bagian selatan.

Peta administrasi Kota Yogyakarta

Sumber: P

eta Rupa Bumi Indonesia t

Kota Yogya dilewati tiga sungai, yakni Sungai Winongo di barat kota, Sungai Code di tengah, dan Sungai Gajah Wong berada di sisi timur. Luas wilayahnya 32,50 km2. Sejak kemerdekaan, Kota Yogya adalah ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Kota Yogyakarta terdiri atas 14 wilayah kecamatan, 45 kelurahan, dengan sekitar 614 Rukun Warga (RW) dan 2.524 Rukun Tetangga (RT).

Kependudukan Yogyakarta menurut kajian Anton Haryono (2015). Sesuai dalam

Algemeen Verslag 1833, tahun 1831 tercatat penduduk di Yogyakarta sebanyak 196.158

jiwa (13.451 jiwa bercokol di dalam kota), dan tahun 1833 tercatat 283.820 jiwa (31.516 jiwa mukim di dalam kota). Walau selama 2 tahun jumlahnya membengkak, yakni 44,7% untuk daerah Yogyakarta dan 134,3% untuk dalam kota. Menurut keterangan Abdurrachman Surjomihardjo (2000: 23), jumlah penduduk pada 1833 masih jauh lebih kecil dibanding jumlah penduduk tahun 1825 yang mencapai 330.000 jiwa (60.000 jiwa di antaranya bertempat dalam kota).

Peter Carey menyebutkan Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Dipanegara telah menyebabkan sekitar 200.000 orang meninggal (tidak terbatas daerah Yogyakarta) (2013). Selain mobilisasi massa, selama perang berkecambuk terjadi gelombang pengungsian. Menurut M.C. Ricklefs (1991: 180), mengakibatkan jumlah penduduk di dalam dan luar kota Yogyakarta menyusut drastis. Tahun 1831-1833 jumlah penduduk meningkat akibat kembalinya warga yang terlibat perang dan pengungsi, juga kepindahan masyarakat dari Pajang dan tempat lain yang berpenduduk padat (Algemeen Verslag 1833). Mencermati penyusutan penduduk di dalam kota cukup besar selama perang, dapat dimengerti persentase arus masuk penduduk ke kota itu pasca perang tahun 1831-1833 mencapai 134,3%.

Pada tahun 1836, jumlah penduduk di daerah Yogyakarta sebanyak 306.973 jiwa (pribumi 305.672 jiwa, Eropa 417 jiwa, Cina 842 jiwa dan Timur Asing lain 42 jiwa), tahun 1856 terdata 336.481 jiwa (pribumi 333.896 jiwa, Eropa 670 jiwa, Cina 1.736 jiwa, dan Timur Asing lain 179 jiwa), serta a tahun 1876 tercatat 441.801 jiwa (pribumi 438.512 jiwa, Eropa 1.299 jiwa, Cina 1.848 jiwa, dan Timur Asing lain 142 jiwa. Jumlah penduduk tahun 1836-1856 mengalami kenaikan sebesar 29.508 jiwa (9,6%) dan tahun 1856-1876 sebesar 105.320 jiwa (31,3%). Dalam rentang waktu 20 tahun, tingkat pertumbuhan penduduk setiap tahunnya relatif kecil, bahkan periode 1836-1856 nyaris tanpa pertumbuhan (Anton Haryono, 2015).

Sebaliknya pertambahan jumlah orang Eropa dan China melonjak dalam tingkat pertumbuhan yang merendah. Tahun 1836 orang Eropa berjumlah 417 jiwa, lalu tahun 1876 berlipat tiga kali menjadi 1.299 jiwa. Dalam rentang waktu yang sama, juga membengkak 100% lebih jumlah orang Tionghoa. Arus masuk dua etnis ini ke Yogyakarta terus berlangsung dan dalam intensitas yang tinggi, walau jumlah riil mereka tetap kecil dibandingkan warga pribumi. Tingkat pertambahan kelompok Timur Asing lain tahun 1836-1856 juga tinggi (325%), namun tahun 1856-1876 minus 20,7% (dari 179 jiwa menjadi 142 jiwa). Dalam laporan perjalanan Raden Mas Purwalelana (1880) yang berkeliling Pulau Jawa sebelum 1880 disebutkan bahwa saat ia datang, melihat rumah penduduk di Yogya terkoyak akibat gempa bumi, juga dampak perang Jawa. Di bawah ini, tabel korban gempa di Yogya tahun 1867.

Tabel I

Jumlah Korban Gempa Bumi Di Yogyakarta, 10 Juni 1867*)

BANGSA MENINGGAL LUKA-LUKA

Eropa 14 10

Tionghoa 46 13

Jawa 262 376

Timur asing lain 4 1

Jumlah 326 400

Berdasarkan Koloniaal Verslag 1892, jumlah penduduk Yogyakarta tahun 1890 tercatat 785.473 jiwa (pribumi 778.729 jiwa, Eropa 2.097 jiwa, China 4.417 jiwa, Arab dan Timur Asing lain 230 jiwa). Dibandingkan keadaan tahun 1876, jumlah ini naik 343.672 jiwa (77,8%). Artinya, tingkat pertumbuhan pada 1876-1890 jauh lebih tinggi ketimbang dua periode sebelumnya. Pertambahan saban kelompok tahun 1876-1890: pribumi 340.217 jiwa (77,6%), Eropa 798 jiwa (61,4%), China 2.569 jiwa (139%), Arab dan Timur Asing lain 88 jiwa (62%).

Awal abad XX, tatkala anggota parlemen Belanda bernama H.H van Kol (1904) mengunjungi Yogya disebutkan jumlah penduduk sebanyak 72.200 orang, di antaranya

4.200 China dan 1.400 Eropa. Tahun 1905 jumlah penduduk 1.118.705 jiwa (pribumi 1.110.814, Eropa 2.342 ,China 5.366,dan Timur Asing lain 183) dan era 1930 sebanyak 1.558.844 jiwa (pribumi 1.538.690, Eropa 7.323, China 12.625, dan Timur Asing lain 202). Fakta ini terlaporkan dalam MvO 1934. Dicermati pertambahan tahun 1890-1930 sebesar 339.976 jiwa (43,3%) dan tahun 1905-1930 sebesar 440.139 jiwa (39,3%). Pertambahan tiap kelompok: tahun 1890-1905 pribumi 332.085 jiwa (42,6%), Eropa 245 jiwa (11,7%), China 949 jiwa (21,5%), Timur Asing lain berkurang 47 jiwa (minus 20,4%), dan periode 1905-1930 pribumi 427.876 jiwa (38,5%), Eropa 4.981 jiwa (212,7%), China 7.259 jiwa (135,3%), Tmur Asing lain 19 jiwa (10,4%). Pada tahun 1916, penduduk kota tercatat 98.000 orang. Di tahun yang sama, di kota Yogya terdapat sekitar 10.000 orang asing pendatang: Arab (500 orang), Belanda (2.000 orang), dan China (7.500 orang).

Tabel 2

Penduduk Daerah Yogyakarta 1831-1930 Tahun

Jumlah Jiwa Persentase

Kenaikan (Lama Waktu) Pribumi Eropa China LainT.A. Jumlah

1831

tidak ada rinciannya 196.158

1833 283.820 44,7 (2 thn) 1836 305.672 417 842 42 306.973 8,2 (3 thn) 1856 333.896 670 1.736 179 336.481 9,6 (20 thn) 1876 438.512 1.299 1.848 142 441.801 31,3 (20 thn) 1890 778.729 2.097 4.417 230 785.473 77,8 (14 thn) 1905 1.110.814 2.342 5.366 183 1.118.705 43,3 (15 thn) 1930 1.538.690 7.323 12.625 202 1.558.844 39,3 (25 thn)

Sumber: A.V. 1833; A.V. 1836; K.V. 1858-1859, Bijl. A; K.V. 1878-1879, Bijl. A; K.V. 1892, Bijl A; Regeeringsalmanak 1910: I; dan M Vo 1934.

Dari tabel di atas, paling rendah tingkat pertumbuhan penduduk terjadi tahun 1836-1856 (20 tahun; 9,6%). Pada 1876-1890 tertinggi tingkat pertumbuhannya (14 tahun; 77,8%). Pertumbuhan jumlah penduduk kemungkinan terjadi karena adanya

pembukaan jalur kereta api Yogyakarta-Semarang lewat Surakarta tahun 1873 yang memicu ekspansi usaha perkebunan dan masuknya tenaga kerja yang makin dibutuhkan di Yogyakarta. Kemudian juga terjadi penurunan tingkat pertumbuhan mulai dari tahun 1890. Pada 1890-1905 sebesar 43,3% dan periode 1905-1930 sebesar 39,3%. Selisih antara keduanya cukup tinggi, sebab periode yang disebut pertama hanya berjangka 15 tahun, sementara yang kedua berjangka waktu 25 tahun.

Penelitian Nur Aini Setyawati (2011) menunjukkan angka kenaikan penduduk dari tahun 1900-1905 sebanyak 34.378 jiwa, dari tahun 1900-1917 sekitar 289.838 jiwa, sedangkan dari tahun 1920-1930 naik 276.212 jiwa. Jumlah kenaikan secara keseluruhan penduduk Yogya sejak tahun 1900-1930 sebesar 474.700 jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya, pertambahan warga Yogyakarta tahun 1920-1961 adalah 2,7 %.

Dari segi pekerjaan dan pemukiman di Yogya juga mengalami pertumbuhan dengan masuknya orang-orang asing. Kaum Eropa dan bangsa lainnya (non pribumi) umumnya berkecimpung di bidang keamanan, perkebunan, birokrasi pemerintah dan leveransir kebutuhan hidup komunitas Eropa di sekitar pemukiman masyarakat Eropa (Loji Besar). Mereka bermukim di area Loji Kecil dan Loji Besar, Kotabaru, dan Sagan. Sedangkan kelompok Arab dan China masuk kelompok vremdeoosterlingen (Timur Asing). Mereka lumrah bergiat di sektor perekonomian seperti pedagang, pemungut cukai pasar, rumah gadai, rumah candu, serta perantara orang Eropa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika kelompok Arab menetap Sayidan, maka kaum Tionghoa menetap di Pecinan memanjang dari alun-alun utara ke utara hingga Tugu. Orang Tionghoa mendiami perkampungan di belakangnya, yaitu Pajeksan, Gandekan, Beskalan, dan sisi timur jalan, yaitu Kampung Ketandan. Mereka sebagai pedagang suka tinggal di bibir jalan besar dan dekat pasar. Di sektor ekonomi, mereka memperoleh perlakuan istimewa dibanding warga pribumi, misalnya memonopoli komoditas. Ketidakadilan Belanda memperlakukan bakul pribumi dan memberi peluang kepada kaum Tionghoa memicu kecemburuan sosial pada masyarakat pribumi.Lapisan sosial penduduk Yogyakarta terdiri atas raja dan para kawulanya. Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat di Yogyakata berkaitan dengan posisi keraton. Keraton merupakan lapisan tertinggi dengan kedudukan sultan sebagai pemimpin tertinggi. Posisi kedua yaitu kerabat keraton atau

sentana dalem. Disusul lapis ketiga, yakni abdi dalem priyayi yang melayani kerajaan.

terdidik ini bekerja sebagai buruh (Sartono Kartodirjo, 1984: 107-127). Gambaran historis geografi dan kependudukan Kota Yogyakarta juga tergambarkan dalam toponim kampung yang ada di wilayah Yogyakarta. Misalnya, kampung Loji Kecil dan Loji Besar khusus ditempati kaum Eropa karena merekalah yang sanggup membangun loji (rumah bagus dan besar) di luar lingkungan Keraton Kasultanan. Demikian pula Kampung Sayidan yang dihuni komunitas Arab erat dengan marga Sayid.

TOPONIM

Dalam dokumen Toponim Kota Yogyakarta (Halaman 29-37)

Dokumen terkait