• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecamatan Kotagede

Dalam dokumen Toponim Kota Yogyakarta (Halaman 187-191)

Sumber: P eng olahan da ta t ahun 2019 Peta Persebaran kampung di Kecamatan Kotagede

K

ecamatan Kotagede terdiri dari 3 kelurahan, 10 kampung, 40 RW, dan 165 RT dengan luas 3,07 km2. Sebelah utara Kotagede berbatasan dengan Kecamatan Banguntapan (Kabupaten Bantul), sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banguntapan (Kabupaten Bantul), sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banguntapan (Kabupaten Bantul), dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Umbulharjo.

Nama Kotagede berasal dari Bahasa Jawa, yaitu “kuthagedhe” yang terdiri dari 2 kata: “kutha” dan “gedhe”. Poerwadarminta dalam kamus Bausastra Jawa (1939) menyebut “kutha” yang memiliki makna (1) pagar bata keliling, benteng (pagêr bata mubêng, bètèng) dan (2) negara (nêgara). Negara bisa pula diartikan sebagai keraton atau kerajaan, sedangkan “gedhe” dalam Bahasa Jawa artinya “besar”. Tak jauh berbeda dengan kamus Bausastra Jawa, dalam Javanese-English Dictionary karya Elinor Clark Horne (1974) dijelaskan bahwa “kutha” bermakna (1) kota (city) dan (2) sebuah tembok bata yang melingkungi sebuah kota atau istana (a brick wall enclosing a city or palace), sementara

kutha gêdhe berarti sebuah kota dengan lebih dari 250.000 penduduk (a city of more than 250.000 inhabitants).

Ditelisik dari sejarahnya, wilayah yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede ini dahulu merupakan ibukota Kerajaan Mataram Islam yang pertama. Daerah tersebut diberikan oleh Sultan Pajang, Hadiwijaya, kepada Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Panjawi, Danang Sutawijaya/Ngabehi Loring Pasar, dan Ki Juru Martani sebagai hadiah atas kemenangan terhadap musuh Hadiwijaya, yaitu Arya Penangsang dari Jipang. Selain tanah Mataram, Sultan Hadiwijaya juga memberikan daerah Pati kepada mereka. Daerah Pati diambil oleh Ki Ageng Panjawi dengan persetujuan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Panjawi sehingga kemudian ia dikenal dengan sebutan Kyai Ageng Pati. Ki Ageng Pemanahan, Ngabehi Loring Pasar, dan Ki Juru Martani yang memilih daerah Mataram, memutuskan untuk tinggal di Mataram. Daerah yang masih berupa hutan belukar itu mereka buka dan mereka jadikan tempat tinggal dengan seizin Jayaprana, orang yang sebelumnya telah tinggal di tempat itu. Mereka lalu menetap di Kotagede. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya lah yang menggantikan posisi ayahnya. Berbeda dengan Ki Ageng Pemanahan, Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar ingin daerah Mataram berdiri sendiri dan lepas dari Kesultanan Pajang. Sutawijaya lalu membangun tembok di sekililing istananya. Selain mengabaikan kewajiban seba

(menghadap raja) kepada Sultan Hadiwijaya, ia juga mencegat penguasa daerah Kedu dan Bagelen yang hendak menyerahkan upeti kepada Pajang untuk singgah di istana Mataram. Mereka disuguhi dengan makanan, minuman, dan pesta yang meriah sehingga lama-kelamaan mereka lebih memilih mampir ke Mataram daripada ke Pajang untuk menghadap Hadiwijaya.

Tindakan Ngabehi Loring Pasar itu diketahui oleh Hadiwijaya. Ia mengutus Ki Wilamarta dan Ki Wuragil ke Mataram untuk memerintahkan Ngabehi Loring Pasar agar menghentikan kebiasaan makan, minum, serta agar ia mencukur rambutnya. Akan tetapi, Ngabehi Loring Pasar menolak. Hubungan antara Pajang dengan Mataram pun memanas. Ditambah dengan kejadian saat Pangeran Benawa, putra Hadiwijaya, dan tentara Pajang berkunjung ke Mataram serta penolakan Ngabehi Loring Pasar atas penjatuhan hukuman mati terhadap iparnya, Bupati Mayang. Kala itu Bupati Mayang disalahkan atas perbuatan mesum anaknya, Raden Pabelan, terhadap putri Sekar Kedaton. Tindakan Ngabehi Loring Pasar yang justru membebaskan Bupati Mayang dari hukuman membuat Hadiwijaya murka sehingga pada tahun 1582 ia menyerbu Mataram. Namun, saat pasukan Pajang sampai di Prambanan, gunung Merapi meletus dan mereka terpaksa mundur. Sultan Hadiwijaya yang pada waktu itu sakit akhirnya meninggal dunia.

Pengganti Sultan Hadiwijaya adalah menantunya, yaitu Adipati Demak. Penetapan itu membuat Pangeran Benawa kecewa. Ia kemudian bekerjasama dengan Ngabehi Loring Pasar untuk menyingkirkan Adipati Demak dengan imbalan Kesultan Pajang. Adipati Demak akhirnya berhasil disingkirkan dan daerah Kesultanan Pajang diserahkan kepada Danang Sutawijaya. Tahun 1586 Sutawijaya dinobatkan menjadi Sultan Mataram dengan gelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Kesultanan Mataram atau Kerajaan Mataram Islam meliputi seluruh daerah Pajang dan berpusat di Kotagede.

Pada masa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kotagede banyak dihuni oleh orang-orang Kalang yang hampir semuanya berprofesi sebagai pedagang di Pasar Gedhe yang saat itu sangatlah ramai. Keberadaan orang Kalang di Kotagede ini pernah diberitakan di majalah Narpawandawa (No. 4, 1 April 1933) sebagai berikut:

“...Kacariyos tiyang kalang punika sapunikanipun kathah ingkang gêgriya wontên

ing Kuthagêdhe (Ngayogyakarta) tuwin sanès- sanèsipun, têtiyang kalang wau gêsangipun sae, karukunanipun pasadhèrèkan pantês sinudarsana, rêmênipun tulung

-tinulung amènginakên sangêt. Manawi wontên sanak sadhèrèkipun ingkang tinakdir rêkaos gêsangipun, sami guyub suka pitulungan ing sasagêdipun, ngantos ingkang dipun pitulungi sagêd sakeca, amila para têtiyang kalang wau kathah ingkang abôndha-bandhu, sênêng, têntrêm gêsangipun. Têtiyang kalang punika kabage dados kalih golongan, I. kalang kamplong, II. Kalangbrèt...”

Kini, daerah yang terkenal dengan sentra kerajinan peraknya ini masih menyimpan jejak-jejak peninggalan Kerajaan Mataram Islam, seperti sisa reruntuhan tembok benteng, situs “watu gilang dan watu gatheng”, Masjid Agung Mataram, dan kompleks makam para

Gerbang luar makam kerajaan keluarga Kerajaan Mataram di Pasar Gedhe di Yogyakarta, sekitar tahun 1890 Sumber: K olek si KITL V No. 12028

pendiri Kerajaan Mataram Islam. Kawasan inti Kotagede dibagi menjadi 15 spot, yaitu Kawasan Dondongan, Situs Jebolan Raden Rangga, Makam Astana Hastorenggo, Situs Watu Gilang & Watu Gatheng, Situs Benteng Cepuri Kedaton Selatan, Makam Nyi Melati, Situs Benteng Bokong Semar, Situs Benteng Cepuri Kedaton Timur, Between Two Gates, Pasar Kotagede, Monumen Pacak Suji, Babon Eniem, Masjid Besar Mataram, Sendang Selirang, dan Makam Raja-Raja Mataram. Berdasarkan Perda DIY No. 6/2012 tentang pelestarian warisan budaya dan cagar budaya, Kotagede termasuk satu dari enam wilayah Kawasan Cagar Budaya (KCB) di DIY disamping Keraton, Pakualaman, Malioboro, Kotabaru, dan Imogiri.

Dalam dokumen Toponim Kota Yogyakarta (Halaman 187-191)

Dokumen terkait