• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN BURUH DI EUFORIA REFORMASI Arief W. Djati1

1

Penulis adalah anggota Yayasan AREK, Surabaya. Terima kasih kepada teman-teman Yayasan AREK atas bantuannnya, juga, kepada teman-teman lain yang memberikan kritik atau saran pada draft awal naskah ini. Meskipun demikian, tanggung jawab sepenuhnya tulisan ini berada di tangan penulisnya.

SBK

Serikat Buruh Kerakyatan Partai?

Belum! Upah layak?

Yes! Pengantar

Slogan itu terbaca dari kaos

produksi Serikat Buruh

Kerakyatan (SBK) yang dipakai

VHEDJDL ³VHUDJDP´ NHWLND

memperingati kematian

Marsinah di DPRD Jawa Timur, 9 Mei 1999. Dengan slogan ini

seolah-olah hendak

diproklamasikan bahwa SBK masih memperjuangkan upah

yang layak, belum berniat

memasuki kancah politik

(melalui partai buruh misalnya).

Kata kunci itu, belum, seperti

mengisyaratkan bahwa kelak jika waktunya tiba mereka akan

mengubah perjuangan-nya,

dari sosial ekonomi ke politik. Hanya karena satu dan lain hal, sekarang ini mereka belum

--bukan tidak-- melakukan

perubahan tersebut. Menjadi

bagaimanakah menjelaskan kemunculan slogan yang cukup politis tersebut? Pertanyaan ini

penting dijawab karena

jawabannya akan

dinamika perburuhan di Indonesia belakangan ini.

Menjinakkan Buruh

Pertanyaan itu akan terjawab dengan menelusuri jejak politik perburuhan semasa Orde Baru.

Secara garis-besar politik

perburuhan sepanjang tiga

dasa warsa Orde Baru

diarahkan demi menjinakkan gerakan buruh yang dianggap sebagai kekuatan potensial

penghambat stabilitas

pembangunan nasional. Proses pelumpuhan kekuatan buruh

tersebut berlangsung

terus-menerus, dengan kualitas yang berbeda antara periode satu dengan periode lainnya.

Sasaran pertama pelumpuhan

tersebut adalah penataan

organisasi perburuhan. Ini

dikerjakan dengan melebur

berbagai serikat buruh yang berafiliasi kepada partai politik di masa itu menjadi serikat buruh tunggal, pada dasa warsa 1960-an. Usaha ini, yang antara lain dipelopori oleh Agus Sudono (dari serikat buruh) dan Ali Murtopo (dari Angkatan

Darat), akhirnya berhasil

menyederhanakan puluhan

serikat buruh ke dalam satu wadah yang bernama Federasi

Buruh Seluruh Indonesia

(FBSI), pada tahun 1973. 2

Peleburan itu diikuti dengan

dikeluarkan-nya berbagai

kebijakan pemerintah yang

makin mempersulit pendirian serikat buruh. Hal ini tertuang

dalam Peraturan

2

Mengenai sejarah penyederhanaan FBSI/SPSI ini, silakan baca Vedi R. Hadiz, Workers and The State in New Order Indonesia, London and New York: Routledge, 1997, terutama

Menaker/Transkop no. 01/1975

yang sekaligus mencabut

Permen Perburuhan no.

90/1955. Kalau dalam

peraturan sebelumnya sepuluh

orang buruh sudah bisa

membentuk serikat buruh,

maka dalam peraturan baru yang hanya terdiri dari delapan pasal itu, hanya gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus paling sedikit di 20

Daerah Tingkat I dan

mempunyai anggota sedikitnya 15 Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP) yang bisa

diakui sebagai serikat buruh.3

Prasyarat ini di satu pihak mempersulit serikat buruh yang ada atau calon serikat buruh, dan di lain pihak hanya memberi peluang kepada FBSI

Bab IV, h. 59-83. 3

Silakan baca, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No 01/1975.

--sebagai satu-satunya serikat buruh yang memenuhi kriteria

itu-- untuk menjadi

satu-satunya serikat buruh

yang diakui pemerintah.

Sistematisasi penjinakkan

buruh itu mencapai klimaksnya

ketika Laksamana (Purn.)

Soedomo menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pada

dekade 1970-an. 4 Bekas

Pangkopkamtib ini tidak saja berhasil mematahkan resistensi

buruh, melainkan juga

meletakkan dasar-dasar

kebijakan pengontrolan buruh yang nantinya diteruskan oleh

penggantinya. Langkah

pertama yang dilakukan

Soedomo adalah mengubah bentuk federasi FBSI yang 4

Lebih jauh kebijakan perburuhan semasa Soedomo, silakan baca 'DQX 5XGLRQR ³.HELMDNDQ 3HUEXUXKDQ 3DVFD %RRP 0LQ\DN´ dalam Prisma, 1, 1992, h. 61-80.

dianggap sangat liberal itu

menjadi unitaris. Dengan

bentuk ini, kemandirian dan otonomi SBLP pun terpotong.

Kebijakan organisasi pun

menjadi lebih sentralistis,

ditentukan pimpinan pusat,

sehingga kontrol aparat

pemerintah terhadap organisasi ini menjadi lebih mudah. Lebih

jauh lagi, Soedomo juga

menggantikan istilah buruh

yang dipandang berbau

komunis LWX PHQMDGL ³SHNHUMD´

sehingga nama FBSI kemudian

berubah menjadi Serikat

Pekerja Seluruh Indonesia

(SPSI). Dengan perubahan

nama ini watak progresif buruh

pun melemah.5

Kebijakan Soedomo tidak

hanya berhenti sampai di sini.

Kebijakannya untuk

5

Ibid., h. 67.

memandulkan gerakan buruh mencapai puncaknya dengan

menerapkan hubung-an

ketenagakerjaan melalui

konsepsi Hubungan Industrial

Pancasila (HIP). Menurut

konsepsi ini hubungan buruh

dengan pemodal bukanlah

hubungan kontradiktif,

melainkan hubungan yang

selaras, serasi dan seimbang. Mereka adalah partner dalam

produksi, keuntung-an dan

tanggung-jawab. 6 Untuk itu,

konflik maupun pertentangan

harus diselesaikan dalam

kerangka musyawarah untuk

mufakat demi tercapainya

kesejahteraan bersama,

bangsa dan negara. Dengan

demikian, pemogokan pun

tidak dikenal dalam kerangka

HIP. Dengan berbagai

6

Ali Murtopo, Buruh dalam Pembangunan, Jakarta: CSIS, 1984, h. 16.

kebijakan ini Soedomo berhasil

meletak-kan dasar-dasar

kebijakan untuk menjinakkan buruh dengan memper-mudah kontrol pemerintah atas serikat

buruh, memperlunak

progresifitas buruh, dan

kemudian menghapus hak

mogok buruh.

Dasar kebijakan perburuhan yang represif ini kemudian dilanjutkan oleh para Menteri Tenaga Kerja periode purna Soedomo. Walaupun kebijakan penerus Soedomo relatif lebih moderat, pada dasarnya politik perburuhan waktu itu tidak

berubah secara signifikan.

Pemogokan misalnya, yang

diharamkan pada zaman

Soedomo, akhirnya

diperbolehkan dengan berbagai

persyaratan yang pada

dasarnya menghapuskan

esensi pemogokan itu sendiri.

Adapun monopoli SPSI

sebagai satu-satunya serikat

buruh masih dilanjut-kan

sampai dasa warsa 1990-an.

Drs. Cosmas Batubara,

misalnya, memper-sempit hak mogok dengan mengeluarkan SK Menaker no. 04/1986. Dalam SK yang membicarakan

penyelesaian perselisihan

perburuhan itu disebutkan

bahwa buruh yang tidak

bekerja selama enam hari

berturut-turut dianggap

mengundurkan diri.

Berdasarkan SK ini berarti buruh tidak bisa melancarkan pemogokan lebih dari enam

hari. Tenggang waktu

pemogokan ini semakin

dipersingkat melalui SE

Menaker no 62/1993 yang

selama perselisihan perburuhan. Berdasarkan SE ini, hak mogok buruh bukan lagi enam hari, melainkan hanya satu sampai dua hari. Mereka yang tidak segera

kembali bekerja dianggap

sudah mengundurkan diri.

Kebijakan yang

direkomendasikan SPSI ini

segera menjadi senjata

berbagai perusahaan untuk melakukan PHK buruh secara

masal di sejumlah kota. 7

Akhirnya, peraturan yang

kontroversial ini segera dicabut

sesudah memperoleh kritik

keras dari sejumlah organisasi non pemerintah (ornop) pada

7

Salah satu kasus yang mencuat ke permukaan adalah kasus buruh PT Maju Warna Steel, Surabaya, sebanyak 81 buruh dipecat karena mengadakan pemogokan selama delapan hari berturut-turut. Untuk kasus PT MWS, silakan baca, Koeli, 2, Thn 1993, h. 33-35.

bulan April 1993.8

Selain membatasi hak mogok,

Cosmas Batubara juga

memperbanyak hambatan

buruh untuk memperbaiki upah

dan kondisi kerja. Konflik

perburuhan tidak cukup hanya diselesaikan dalam kerangka bipartit atau tripartit, melainkan juga harus melalui persekutuan yang kokoh antara Menteri Tenaga Kerja, SPSI, APINDO, pejabat birokrasi lokal, polisi, dan militer. Tindakan militer

dalam penyelesaian

per-selisihan perburuhan

menjadi kebijakan resmi Badan

Koordinasi Pemantapan

Stabilitas dan Keamanan

Pembangunan Nasional

8

Silakan baca Pernyataan Forum Solidaritas Buruh Jakarta, 24 April 1993, berikut jawaban balik Dirjen Tenaga Kerja dalam Media Indonesia, 25, 26 dan 28 April 1993.

(Bakostranas) dengan SK

Bakostranas no.

02/Stanas/XII/1990 me-ngenai

pedoman penanggulangan

kasus hubungan industrial. 9

Kebijakan Bakostra-nas ini

didukung juga dengan SK Menaker no. 342/1986 yang melegitimasikan peranan militer dalam persoalan per-buruhan. Apapun kebijakan perburuhan itu yang pasti banyak aktivis buruh yang dipecat di markas Kodim sesudah melancarkan

pemogokan.10

9

SK Bakostranas ini menyebutkan bahwa aparat keamanan berhak terlibat dalam pemogokan buruh. Silakan baca Bakostranas, Petunjuk Pelaksanaan Gangguan Ketenaga-kerjaan, Jakarta, 1990, h. 5-10. Untuk karya akademis mengenai pola intervensi militer dalam pemogokan buruh ini VLODNDQ EDFD 5LFKDUG 7DQWHU ³7KH Totalitarian Ambition: Intelligence Organizations in The Indonesian 6WDWH´ GDODP $ULHI %XGLPDQ HG State and Civil Society in Indonesia, MPSA, 1990, h. 253-263.

10

Salah satu kasus yang

Jawaban Buruh

Pola umum kebijakan

perburuhan yang dijalankan

selama tiga dasawarsa

tersebut membawa implikasi yang cukup mendalam di

dalam gerakan buruh.

Sepanjang hampir tiga dasa warsa tersebut, terutama pada

masa Soedomo, gejolak

perburuhan melemah dan arus resistensi yang diaktualisasikan antara lain melalui pemogokan itu justru menguat kembali sesudah kekuasaan Soedomo

berakhir. Tentu saja,

monumental adalah pemecatan ke-13 karyawan PT CPS Porong. Pemecatan mereka berakibat kematian Marsinah yang masih misterius sampai sekarang. Mengenai bagaimana proses pemecatan itu, silakan baca kesaksian salah seorang korban, 0 ³+DN .DPL 'LNHELUL´ dalam Koeli 2, Thn 1993, h. 10-13.

meningkatnya resistensi ini bukan saja karena pergantian

Soedomo, melainkan juga

karena kematangan

industrialisasi itu sendiri. Lepas dari hal ini, patut dicatat di sini bahwa sesudah sekian lama kekuatan buruh dihancurkan, maka karakter dan bentuk resistensi buruh itu masih

lemah, belum terorganisir

dengan matang, sehingga

dalam tulisan yang lain saya tidak menyebut resistensi itu

sebagai gerakan buruh,

melainkan buruh bergerak.11

Memang, arus balik resistensi itu sudah diletakkan para aktivis buruh maupun ornop sejak dekade 1970-an melalui

berbagai kegiatan aktivis

perburuhan yang berkembang di tanah air. Para aktivis buruh 11

$ULHI : 'MDWL ³%XUXK 5HVLVWHQVL GDQ 3ROLWLN´ paper tidak diterbitkan.

ini yang kebanyakan berasal dari kelas menengah, atau bekas aktivis mahasiswa, atau bekas anggota serikat buruh,

berkecimpung di dunia

perburuhan melalui berbagai

kegiatan. Entah koperasi,

pendidikan hukum perburuhan maupun kegiatan lain. Para tokoh aktivis perburuhan dari Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBMSK) kebanyakan

adalah mantan aktivis

mahasiswa, begitu juga aktivis yang berada di Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Ini masih dapat ditambah lagi

dengan aktivis ornop

perburuhan lainnya.12

Mengingat kemustahilan

mengorganisasi-kan buruh

12

Mengenai aktivitas SB atau Ornop, kegiatan maupun latar belakang tokoh-tokohnya, silakan baca Vedi R. Hadiz, Op. Cit., terutama bab VII.

pada tingkat pabrik karena

monopoli SPSI sebagai

satu-satunya serikat buruh,

maka para aktivis buruh itu lebih mendasarkan gerakan buruh berdasarkan komunitas.

Rumah kontrakan atau

kos-kosan buruh digunakan

sebagai arena berkegiatan

yang dilaksanakan dengan

sembunyi-sembunyi untuk

meng-hindari kontrol aparat keamanan dan pabrik. Hasil dari aktivitas ini bisa disaksikan dengan membanjirnya berbagai serikat buruh yang dulunya

diam-diam13, menjadi serikat

buruh yang diketahui umum. Ada juga yang mengupayakan

mendaftarkan diri, dengan

menjalankan pilihan sektoral untuk serikat buruh seperti 13

Mengenai Serikat Buruh informal ini, silakan baca tulisan saya, ³'LQDPLND6HULNDW%XUXK,QGRQHVLD 0XWDNKLU´Koeli 1, Thn 1992, h. 23-45.

yang dilakukan oleh Persatuan

Buruh Pabrik Sepatu

(Perbupas) di Jabotabek.

Di samping serikat buruh yang

ber-munculan dewasa ini,

berbagai kegiatan aktivis ornop tersebut juga turut mem-bantu

buruh untuk melancarkan

resistensi mereka. Ada

beberapa kegiatan yang

dilaksanakan ornop tersebut. Salah satu kegiatan yang

banyak memberikan

sumbangan kepada buruh

adalah pendidikan. Dalam

pendidikan ini buruh

memperoleh materi-materi

yang ber-hubungan dengan

pekerjaan dan kepentingan

mereka selama bekerja di pabrik. Yang bisa disebutkan di sini adalah materi hukum perburuhan. Dalam materi itu,

hukum-hukum perburuhan tentang upah, lembur, PHK dan hukum perburuhan lainnya. Dengan pengetahuan ini, ketika

buruh kembali bekerja di

pabrik, mereka menjadi lebih

peka akan terjadinya

ketidak-adilan dalam persoalan

pengupahan maupun

persoalan lainnya. Akibatnya,

kalau saja upah mereka

dikurangi oleh perusahaan/

pabrik, mereka menjadi lebih

mudah dan mempunyai

argumen hukum untuk

mempersoalkannya. Lebih jauh lagi, dengan senjata hukum perburuhan itu, mereka juga bisa menyuluh buruh-buruh lain untuk menyadari hak dan kewajiban mereka di pabrik

sebagaimana diatur oleh

hukum perburuhan. Akibatnya, buruh pabrik lain ini juga bisa

mempersoalkan pengupahan

yang dialami di pabrik mereka

sendiri.14

Kalau diperhatikan, pola,

bentuk maupun cara resistensi buruh pada waktu itu sangat

bervariasi. Meski demikian,

yang pasti ada kecenderungan resistensi tadi beranjak dari persoalan yang dialami satu atau sekelompok buruh di pabrik, lalu mereka mencoba mencari bantuan kepada buruh atau ornop untuk membantu menyelesaikan kasus tersebut. Yang disebut kasus di sini adalah konflik ketenagakerjaan yang dialami buruh, entah itu soal upah, PHK atau persoalan yang lain. Dengan persoalan

konkrit ini, mereka lalu

merumuskan bagaimana

14

Kisah demikian ini bisa dibaca dari pengalaman seorang buruh. Baca WXOLVDQQ\D ³.DPL 0HQXQWXW +DN´ dalam Koeli 2 Thn 1993, h. 8-10.

menuntaskan persoalan tersebut. Sesudah kesepakatan di antara buruh di dalam pabrik

tersebut tercapai, maka

resistensi buruh pun

dilancarkan; ada yang

menggunakan pemogokan, ada

juga yang menggunakan

pengaduan tertulis kepada

pabrik. Untuk surat pengaduan, umumnya ditujukan kepada

pihak manajemen pabrik

sendiri dengan tembusan

aparat yang terkait seperti Depnaker, wartawan sampai dengan Panitia Penyelesaian

Perselisihan Per-buruhan

Pusat (P4P) dan menteri.

Variasi pola tersebut ialah pengaduan kepada lembaga yang menurut mereka bisa

membantu menyelesaikan

persoalan perburuhan, entah itu kepada DPRD, wartawan

atau bahkan mahasiswa.

Pengaduan ini biasanya

dilakukan bersama-sama

dengan buruh lain. Kira-kira berjumlah lima puluh sampai seratus buruh. Bisa juga hanya dilakukan wakil-wakil buruh.

Dengan pengaduan ke

berbagai lembaga itu, buruh

berharap lembaga-lembaga

tersebut dapat me-nuntaskan persoalan yang mereka hadapi.

Di samping itu, melalui

pengaduan kepada berbagai lembaga yang tidak punya keterkaitan dengan persoalan

per-buruhan, seakan-akan

buruh menunjuk-kan bahwa mereka tidak percaya lagi kepada aparat yang terkait dalam persoalan perburuhan. Buruh tidak percaya kalau persoalan mereka akan beres. Malah, mereka seakan-akan yakin kalau aparat tersebut

justru membela pengusaha

pabrik ketimbang buruh.

Kalaupun mengadu ke sana,

pengaduan itu malah

merugikan mereka sendiri

karena tidak ditindaklanjuti,

seperti yang tampak pada tulisan buruh berikut ini:

³VD\D EHUVDPD WLJD RUDQJ rekan mengadu ke Depnaker Sidoarjo. Tapi mereka tidak mau membantu karena menganggap bahwa pehaka di Kodim itu di luar wewenang Depnaker. Bahkan mereka juga mengatakan bahwa saya dan teman-teman mengadakan rapat gelap dan melakukan sabotase kerja... Karena itu saya kemudian melakukan gugatan melalui LBH Surabaya.15

Cara yang lain lagi adalah

dengan mengadakan unjuk

rasa di pabrik. Unjuk rasa itu 15

%DFD WXOLVDQ 0 ³+DN .DPL 'LNHELUL´ Koeli 2, Thn 1993, h. 13.

biasanya dilakukan di depan

pabrik atau dengan

berjalan-jalan di halaman

pabrik dengan meninggalkan pekerjaan mereka di pabrik. Namun tidak jarang buruh melakukan unjuk rasa sambil

menyanyikan lagu-lagu

dangdut sambil

membentangkan berbagai

poster. Bunyi dan pesan poster itu beragam. Mulai dari yang

berhubungan dengan

persoalan yang dituntut,

seperti: ³1DLNNDQ XSDK NDPL´

³7+5 QDLN-QDLN´ ³7LGDN XVDK MDQML NDPL EXWXK EXNWL´ Selain

berkatian dengan tuntutan,

jenis yang lain ber-hubungan dengan mekanisme eksploitasi

sepanjang pabrik: ³-DQJDQ

peUDV NDPL´ ³.DPL EXNDQ

binatang´

pemogokan. Pemogokan ini

lebih rumit karena

membutuhkan koordinasi mulai dari tuntutan, poster sampai

dengan pe-rundingan dan

paska-perundingan. Pada

tiap-tiap tahap sedikit demi sedikit buruh berlatih sehingga semakin sering mereka mogok,

semakin piawai juga

menyelesai-kan

tahapan-tahapan tersebut.

Awalnya, mereka sering

kewalahan apabila melakukan perundingan. Karena itu, untuk membekali diri, terutama buruh yang sudah pernah mogok, mereka melatih diri dalam

perundingan. Berlatih

bagaimana berunding,

berkompromi, mengalah, dan menekan perusahaan.

Belajar dari pengalaman bahwa wakil mereka selalu di-PHK

sesudah perunding-an, maka buruh sering mencantumkan

kata-kata ³WLGDN DGD PXWDVL

pem-PHK-an sesudah

SHPRJRNDQ LQL´ Buruh

biasa-nya mempersiapkan diri melalui latihan dalam tahap pemogokan tersebut dan juga mempersiapkan konsep yang dituntut kepada pabrik. Yang

sedikit mengheran-kan,

walaupun gejolak resistensi pada waktu itu cukup tinggi, mereka masih belum melihat ada pihak yang dianggap

sebagai musuh, baik

pengusaha maupun

pemerintah. Malah, hampir

seluruh buruh menganggap pemerintah itu bersikap netral, tidak memihak dan bahkan ada

juga yang menganggapnya

membantu buruh. Pandangan demikian ini bisa disimak dari tulisan salah seorang buruh

berikut:

...Terkadang saya sempat berpikir benarkah warga negara Indonesia yang haknya menjalankan ibadah dilindungi, harus sembunyi-sembunyi!

Bahkan, mendapatkan peringatan keras apabila ketahuan atasannya! Ini sungguh menyakitkan, Majelis Hakim Yang Terhormat... Akhirnya, saya hanya mampu berharap pemerintah menanggulangi masalah ini, karena saya mengetahui perusahaan sering kedatangan tamu penting pemerintahan...16

Kalaupun ada permusuhan, sering hanya diarahkan kepada

individu tertentu. Seperti

kelihatan pada poster dan spanduk yang disampaikan dalam suatu pemogokan di pabrik jam tangan di Surabaya, PT BWI. Pada perusahaan jam ini buruh meminta X, kepala Personalia, supaya mundur. 16

Dari pledoi seorang buruh, Koeli 2,

Permintaan ini dituliskan dalam

poster dan yel-\HO VHSHUWL ³X

PXQGXU´ ³; VXND GDXQ

PXGD´ ³; WLGDN EHUPRUDO´

Namun demikian, ada juga yang berusaha menghantam sistem eksploitasi itu walaupun jumlahnya masih sangat minim. Mungkin juga hantaman itu

tidak disengaja, melainkan

lebih berupa ekspresi emosi sebagaimana tampak dalam

pemogokan di PT RM,

Surabaya. Buruh pabrik sepatu yang berorientasi pasar ekspor ini menuliskan poster seperti

³-DQJDQ SHUDV NDPL´ ³.DPL

bukan binatang´ GDQ

sebagainya.

Arus resistensi buruh ini

semakin kencang sesudah

lengsernya Suharto setahun yang lalu, disusul dengan

euforia reformasi yang

menjangkiti masyarakat

Indonesia belakangan ini. 17

Dengan situasi yang relatif terbuka itu, tidak pelak buruh

ingin mencicipi udara

demokrasi ini dengan

mendirikan berbagai serikat

buruh, termasuk juga

membentuk partai buruh18.

17

Salah satu indikasi reformasi ini bisa disaksikan dengan membanjirnya pendirian partai politik purna Mei 1998. Sampai awal 1999 ini sudah ada lebih dari 100 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri. Yang kadang menggelikan tidak saja nama berbagai partai itu aneh-aneh, melainkan juga visi dan programnya kadang menggelikan. Coba tengok partai seperti Partai Api Pancasila, Partai RT/RW dan lain sebagainya. Gambaran mengenai partai yang berdiri purna Mei 1998 bisa dibaca dalam, Mustaib AR dan Yudarson Basumin (peny.), Profil dan Visi 100 Partai di Era Reformasi, Jakarta: PT Kipas Putih Aksara, 1999.

18

Dari empat partai buruh yang mengikuti pemilu 1999 ini, tidak ada satu pun yang memperoleh suara di atas 1% dari total pemilih,

Dalam konteks demikian, kita harus memahami slogan SBK yang diutarakan di awal tulisan ini. Dalam arti, kelompok buruh itu menyadari bahwa gerakan buruh masih belum matang

sehingga mereka tidak

tergesa-gesa

memproklamasikan diri sebagai partai buruh. Mereka justru

hendak memperkuat basis

organisasi melalui

keserikatburuhan itu dahulu sebelum melangkah ke dimensi politik.

Ada benarnya pilihan ini.

Sesudah kekuatan buruh

hancur selama tiga dasawarsa, buruh Indonesia kehilangan

pengetahuannya untuk

yang kira-kira setara dengan 1 juta pemilih. Realitas ini sungguh ironis mengingat jumlah buruh di Indonesia jumlahnya sudah lebih dari 25 juta.

berorganisasi. Mereka bagaikan orang buta yang

sedang belajar melangkah.

Saat ini mereka masih sedang belajar berorganisasi melalui

kelompok-kelompok belajar,

koperasi maupun serikat buruh

informal di lokasi mereka

masing-masing. Dalam

kelompok itu, mereka belajar satu sama lain bagaimana

menambah wawasan,

keterampilan maupun

solidaritas. Mungkin sampai di sini tingkatan gerakan buruh Indonesia belakangan ini. Lebih

dari itu, mereka masih

terbata-bata dan kagok. Karena

itu, walaupun sudah ada

organisasi perburuhan di

tingkat regional yang bersifat

jaringan seperti Kelompok

Kerja Jaringan Buruh Jawa

Timur (KKBJT) maupun

Jaringan Buruh Antar Kota

(JBAK), koordinasi maupun jaringan mereka satu sama lain masih sangat lemah. Banyak

kasus di mana

jaringan-jaringan yang ada

hanyalah bersifat formal, tanpa

ada kegiatan yang lebih

signifikan sesudah jaringan

tersebut terbentuk. Salah satu contoh yang bisa disebut di sini ialah JBAK, cikal bakal Serikat

Buruh Kerakayatan (SBK).

Jaringan Buruh yang meliputi kelompok buruh di Jabotabek, Bandung, Solo dan Surabaya

ini ternyata dalam

per-kembangannya sangat

rapuh sehingga JBAK

Surabaya kemudian mengubah

namanya menjadi SBK.19

Dengan organisasi yang

berbentuk serikat buruh ini, 19

Divisi Informasi dan Dokumentasi, History SBK Surabaya, Surabaya: SBK, h. 5.

maka buruh akan bisa belajar

beroganisasi, mengelola

konflik, berunding dan

mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi mereka sebagai

organisasi. Latihan-latihan

yang didapatkan di dalam serikat buruh ini niscaya akan lebih berguna untuk gerakan mereka selanjut-nya.

Penutup

Tulisan ini menunjukkan bahwa

slogan politis yang

disampaikan SBK merupakan reaksi balik terhadap politik perburuhan Indonesia selama ini. Akan tetapi, mengingat bahwa gerakan buruh masih lemah, maka serikat buruh baru

ini tidak segera

mendeklarasikan dirinya

sebagai partai politik,

melainkan membuka peluang

ke arah perjuangan tersebut.

Kehati-hatian sikap ini

mengindikasikan bahwa buruh senantiasa belajar dan bersikap

kritis terhadap pengalaman historis yang mereka alami. Kemauan belajar dan sikap

kritis ini niscaya akan

memperkuat kualitas resistensi buruh itu sendiri sehingga diharapkan kelak akan lahir gerakan buruh yang lebih kuat. Œ

ISU PEREMPUAN DALAM AGENDA

Dokumen terkait