• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAS Vol 4 No 2 Situasi Krisis Titik Balik Kekuatan Buruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "JAS Vol 4 No 2 Situasi Krisis Titik Balik Kekuatan Buruh"

Copied!
230
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SITUASI KRISIS:

TITIK BALIK KEKUATAN BURUH?

Situasi krisis secara umum

membawa dampak yang

beragam bagi buruh. Pada

dasarnya perbedaan dampak

tersebut dapat dikategorikan

secara sektor, wilayah dan

gender. Sebagaimana

dibuktikan oleh berbagai studi

dampak krisis terhadap

kegiatan ekonomi pada skala

usaha kecil, menengah, dan

besar, menunjukkan wajah

yang berbeda yang ditentukan

oleh lokasi geografis, sektor,

orientasi pasar, dan sumber

bahan baku. Kesimpulan

berbagai studi menunjukkan

bahwa wilayah perkotaan Jawa

mengalami dampak krisis yang

paling buruk sedangkan

daerah-daerah di luar Jawa

mengalami dampak krisis yang

paling baik. Dalam persoalan

perburuhan, gambar yang

muncul sebagai dampak krisis

menunjukkan pola yang sama:

buruh di Jawa mengalami

dampak yang lebih keras

dibandingkan buruh di luar

Jawa. Dari sisi sektor, buruh di

sektor industri manufaktur dan

jasa merasakan pahitnya

dampak krisis sedangkan

buruh di sektor pertanian atau

yang terkait dengan sektor

pertanian sebaliknya

mengecap manisnya krisis. Sisi

(3)

buruk yang dialami oleh

wilayah perkotaan adalah

munculnya potensi peluang

solidaritas buruh kerah putih

dan kerah biru. Potensi

peluang ini berawal dari

munculnya kesadaran para

buruh kerah putih di sektor jasa

terutama keuangan,

transportasi (penerbangan) dan

pariwisata (perhotelan) bahwa

pada hakikatnya mereka

adalah buruh yang sangat

lemah posisinya berhadapan

dengan majikan ketika mereka

mengalami pemutusan

hubungan kerja yang

semena-mena, sebagaimana

yang terjadi terhadap buruh

kerah biru.

Dampak negatif krisis yang

dialami buruh pada umumnya

merupakan kombinasi antara

faktor sosial-ekonomi:

penurunan kemampuan

ekonomi yang diikuti oleh

penurunan tingkat

kesejahteraan; dan faktor

sosial-politik: penurunan posisi

tawar terhadap majikan.

Penurunan posisi tawar tidak

hanya dialami oleh buruh yang

kehilangan pekerjaan, terutama

dalam proses Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK), tetapi

juga oleh buruh yang

mengalami dampak positif

krisis dalam bentuk kenaikan

upah. Meskipun secara

ekonomi upah meningkat,

tetapi peningkatan ini tidak

bergerak bersama dengan

meningkatnya posisi tawar.

Jurnal Analisis Sosial edisi ini

mengangkat persoalan riil yang

(4)

Persoalan-persoalan riil ini

merupakan gambar yang

diperoleh melalui studi,

kegiatan pembelaan dan

pendampingan maupun

keterlibatan dan observasi

yang intens dan sistematis

yang dituangkan dalam

tulisan-tulisan di dalam jurnal

ini. Pengangkatan persoalan riil

yang dihadapi buruh sengaja

dimunculkan sebagai salah

satu upaya untuk memberikan

per-bandingan dan masukan

mengenai kesenjangan antara

kebijakan ketenaga-kerjaan

dan pengalaman buruh sebagai

sasaran kebijakan. Dengan

demikian diharapkan masukan

ini dapat memper-kaya

pertimbangan proses

penyusunan kebijakan maupun

pemikiran yang bertujuan

dalam timbangan keadilan.

Perbedaan dampak krisis

berdasarkan sektor ditunjukkan

dalam jurnal ini melalui

kasus-kasus sektor industri,

perkebunan dan jasa, mulai

dari jasa keuangan/ perbankan,

pariwisata hingga jasa tenaga

kerja migran. Secara umum

berdasarkan kasus tersebut

dampak positif krisis hanya

dialami oleh buruh yang

bekerja di sektor perkebunan

kopi di Jawa Timur. Sebagai

komoditas ekspor, kopi

memperoleh keberuntungan

akibat krisis. Akan tetapi,

dampak positif krisis terhadap

perkebunan kopi tidak seindah

yang diharapkan.

Sebagaimana pola lokasi dan

(5)

perkebunan pada umumnya

yang membentuk

kantung-kantung komunitas

yang cenderung eksklusif,

dampak positif krisis hanya

dinikmati oleh masyarakat

perkebunan. Hal ini

menimbulkan kecemburuan di

kalangan masyarakat

nonperkebunan di sekitarnya

yang diwujudkan dengan

penjarahan kebun kopi.

Akibatnya masa petik kopi

dipercepat dan konsekuensinya

masa kerja buruh perkebunan

semakin pendek.

Buruh di sektor-sektor yang lain

meng-alami masa suram yang

ditandai dengan PHK dan

deportasi untuk buruh migran

yang bersifat masif, diawali

dengan proses PHK yang tidak

mengacu pada peraturan yang

ada. Akibatnya terjadi berbagai

perlawanan untuk

memperjuangkan hak melalui

berbagai cara: unjuk rasa,

mogok kerja, pengaduan ke

Lembaga Bantuan Hukum

(LBH) atau lembaga-lembaga

pembela buruh lainnya. Penting

untuk dicatat bahwa

upaya-upaya tersebut tidak

banyak terbantu digaungkan

media massa, karena media

massa lebih tertarik

menyebarluaskan gegap

gempita reforma-si dan

perubahan yang sangat cepat

dan memang penting untuk

dicermati yang terjadi di aras

nasional berkaitan dengan isu

dan tingkah laku elit politik

negeri. Dapat disimpulkan

bahwa persoalan perburuhan di

masa krisis dan reformasi

(6)

Sisi dinamika kehidupan buruh

yang lain yang justru berdenyut

di saat krisis adalah

organisasi/kelompok buruh.

Terbukanya peluang

membangun organisasi buruh

dengan diratifikasinya konvensi

ILO mengenai kebebasan

berserikat oleh pemerintah

Indonesia melalui sebuah

Keputusan Presiden,

dimanfaatkan benar. Segera

dideklarasikan apa yang

disebut sebagai serikat buruh,

baik yang muncul murni dari

bawah yang berangkat dari

basis massa buruh atau serikat

buruh masa lalu yang lahir

kembali, maupun serikat buruh

yang dilahirkan oleh orang

yang memiliki keperdulian

terhadap buruh, elit politik atau

kemunculan serikat buruh

masih diwarnai dengan

kegiatan-kegiatan untuk

mengidentifikasi dan

memfokuskan akti-vitas. Hal ini

menyebabkan eksistensi

serikat buruh belum tertanam di

kalangan buruh di basis dan

kemanfaatannya untuk buruh

belum dirasakan. Konsekuensi

dari kondisi tersebut adalah

kesenjangan antara kebutuhan

riil buruh di basis dengan

aktivitas para pengurus/aktivis

serikat buruh.

Aspek yang penting dalam

membicarakan dampak krisis

adalah gender. Baik sektor

industri, perkebunan maupun

jasa, buruh perempuan

merupakan proporsi yang

(7)

buruhnya. Di sektor-sektor

yang mem-PHK buruh, jumlah

buruh perempuan ter-PHK

propor-sional dengan jumlah

mereka yang tadinya terserap.

Buruh industri padat karya

yang 80% buruhnya

perempuan dengan sendirinya

mem-PHK lebih banyak buruh

perempuan dibandingkan

buruh laki-laki. Selain gender,

faktor usia dan status

perkawinan juga merupakan

aspek yang penting untuk

dipertimbangkan dalam

menyikapi dampak krisis.

Perempuan-perempuan tua

dan berkeluarga tampak-nya

merupakan kelompok yang

termasuk paling rentan

terhadap krisis. Sebagai-mana

ditunjukkan dalam kasus

industri padat karya dan

perkebunan, perempuan

berkeluarga yang kehilangan

pekerjaan atau mengalami

penurunan penghasilan

menghadapi persoalan berat

dalam mengelola rumah

tangga. Penurunan kondisi di

tempat kerja membawa

konsekuensi yang sama di

dalam rumah tangga. Dalam

kaitan itu, dalam pem-bahasan

persoalan buruh perempuan,

gambar konkrit dan lengkap

mengenai situasi mereka

hanya mungkin diperoleh

apabila selalu

mengkomunikasikan posisi dan

peran perempuan di rumah

tangga dan di tempat kerjanya.

Seluruh situasi seorang

perempuan buruh pada

hakikat-nya merupakan

perwujudan hasil interaksi

peran perempuan yang

(8)

tempat kerja (publik)1.

Masih dalam lingkup aspek

gender, menarik untuk

dicermati ketika dalam

hiruk-pikuk bermunculannya

serikat buruh, perempuan tetap

tidak terlibat di dalamnya.

Meskipun berbagai aksi

demonstrasi dan perjuangan

hak banyak dilakukan di

sektor-sektor yang dominan

perempuan, representasi

perempuan dalam struktur

kepengurusan serikat buruh

masih tetap minimal dan posisi

1

Penting untuk diperhatikan bahwa pengertian mengenai lingkup wilayah tempat kerja tidak dapat dibatasi hanya tempat kerja yang berada di luar wilayah rumah tangga: pabrik, toko, rumah majikan atau tempat-tempat kerja yang lain, tetapi juga rumah perempuan yang bersangkutan sendiri ketika melakukan pekerjaan subkontrak atau pekerjaan rumahan (home-work)

perempuan bila ada, masih

posisi tradisional: sekretaris

atau bendahara. Fenomena ini

bersifat umum terjadi di

berbagai latar belakang dan

asal-muasal munculnya serikat

buruh. Bias peran gender

perempuan yang masih banyak

mewarnai serikat buruh

merupakan sebuah agenda

advokasi tersendiri yang sudah

harus mulai digarap.

Jurnal ini diawali oleh Saut C.

Manalu, seorang aktivis dari

LBH Bandung yang membagi

pengalamannya mencermati

situasi krisis di lapangan

perburuhan dan mendampingi

buruh berbagai sektor

memperjuangkan haknya.

Dengan fokus pada situasi

(9)

perburuhan di sektor industri

dan jasa keuangan serta

pariwisata di kota Bandung,

tulisannya membeberkan

dampak krisis yang dialami

buruh dan analisisnya

mengenai kaitan antara situasi

yang muncul dengan kebijakan

pemerintah yang inkonsisten

dan penuh warna kesenjangan

menyangkut per-lindungan

buruh dan hak berserikat.

Yuniyanti Chuzaifah dari

Perkumpulan Solidaritas

Perempuan membagi

observasi dan pengalamannya

di lapangan buruh migran.

Deportasi masif adalah dampak

yang paling menonjol yang

dialami buruh perempuan

migran, disamping makin

menjadinya eksploitasi

terhadap mereka di semua

tahap, ketika berangkat bekerja

hingga kembali pulang. Dalam

kondisi yang kian eksploitatif

tersebut, perangkat

perlindungan belum kunjung

terbentuk meskipun upaya ke

arah itu tidak pernah surut

dilakukan. Pemikiran ke depan

ke arah pemberdayaan buruh

migran sekembalinya ke

Indonesia juga dilontar-kan

penulis untuk dijadikan agenda

pemikiran.

Gambar kondisi buruh

perkebunan akibat krisis hasil

penelitian Keppy Sukesi dari

Pusat Penelitian Peran Wanita

Universitas Brawijaya di

Malang memberikan informasi

penting bahwa eksklusifisme

komunitas perkebunan

membawa dampak negatif bagi

(10)

di saat krisis sirna karena

kecemburuan sosial dari

masyarakat di luar lingkaran

perkebunan yang mengalami

dampak negatif krisis:

kehilangan pekerjaan dan

penghasilan. Penelitian Keppy

Sukesi juga menjelaskan

bagaimana logika perkebunan

mem-pekerjakan buruh

perempuan yang pada

umumnya telah berkeluarga

yang mem-berikan keuntungan

tersendiri terhadap perkebunan

melalui mekanisme subsidi

rumah tangga yang dilakukan

perempuan.

Persoalan PHK bagi buruh

perempuan dan indikasi

penyempitan kesempatan kerja

bagi buruh perempuan

berkeluarga di sektor industri

perkotaan dibahas oleh

Indrasari Tjandraningsih,

peneliti AKATIGA sekaligus

penulis editorial ini. Penelitian

yang dilakukan akhir tahun lalu

menunjuk-kan beberapa

indikasi bahwa prospek

pekerjaan perempuan di sektor

ini akan makin sempit bagi

perempuan berkeluarga akan

tetapi makin lebar bagi

gadis-gadis belia. Perempuan

berkeluarga akan ter-lempar ke

sektor informal dalam

bentuk-bentuk hubungan kerja

yang lebih lepas dan tidak

permanen: subkontrak, putting

out system, outwork, mengikuti

kecenderungan penerapan

flexible labour yang tampaknya

akan menjadi tren ke depan.

Konsekuensi dari flexible

(11)

kondisi kerja.

Arief W. Djati dari Yayasan

AREK di Surabaya mengulas

perkembangan situasi

pergerakan buruh di Jawa

Timur melalui kasus

metamorfosa sebuah jaringan

buruh menjadi serikat buruh.

Tulisan ini menunjukkan

kesenjangan yang terjadi

antara perjuangan politik di

satu sisi dan perjuangan

ekonomi yang merupakan

masalah sehari-hari buruh di

sisi lain. Konteks umum

kesulitan ekonomi sangat

disadari sebagai sebuah

prioritas yang perlu

diselesaikan sebelum

melangkah untuk membangun

perjuangan politik menuju

terciptanya gerakan buruh

yang kuat.

Ratna Saptari, koordinator

program CLARA-Changing

Labour Relations in Asia di

Amsterdam melengkapi diskusi

mengenai gerakan buruh

dengan melontarkan isu

perempuan. Tulisannya yang

komprehensif merangkum

situasi buruh perempuan yang

terbentuk akibat asumsi peran

gender perempuan yang

mengandung implikasi

terhadap posisi mereka di

pabrik dan di sekitaran gerakan

buruh. Selain peran gender,

seksualitas perempuan juga

merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap situasi

dan apresiasi peran mereka

selain juga menjadi faktor yang

menyebabkan perempuan

sendiri gamang menentukan

(12)

perempuan di lingkungan

tempat kerja akibat aspek

(13)

seksualitas tersebut, mewujud

pula dalam keterlibatannya

dalam gerakan buruh.

Jurnal ini dilengkapi pula

dengan ruang metodologi yang

mengurai Metode Pendekatan

Partisipasi yang

prinsip-prinsipnya sangat tepat

dalam proses pemberdayaan

masyarakat, termasuk

masyarakat buruh. Bagian ini

ditulis bersama oleh Ratna I.

Yosodipuro, Alma Arief dan

Amin Robiarto. Metode ini

mengandung sinergi maksud

melakukan penelitian dan

memberdayakan masyara-kat

karena pada hakikatnya

masyarakat sendirilah yang

menjadi subyek dan pelaku

penelitian itu.

Sebuah kronik berita mengenai

perkembangan singkat situasi

organisasi buruh disajikan oleh

Ristadi K. Widodo dari

AKATIGA sebagai rangkaian

dari pembuatan basis data

(data base) perburuhan. Kronik

berita ini akan menjadi sebuah

sajian rutin untuk memperbarui

informasi mengenai situasi

terbaru mengenai berbagai

topik perburuhan, sebagai

salah satu wujud pelayanan

AKATIGA terhadap kebutuhan

informasi pihak yang

mempunyai keperdulian

(14)
(15)

EDITORIAL

ECONOMIC CRISIS:

THE TURNING POINT OF LABOUR

BARGAINING POSITION?

Economic crisis in general

brings various impacts to

labour. Basically, the impact

can be categorised into

sectors, regions, and gender.

Research on the impact of the

crisis to business activities

(small, medium, and large

scale enterprises) shows

different impact to different

levels. The difference is

determined by geographical

situation, sectors, market

orientation, and material

resources. The research result

shows that geographically the

worst situation with regard to

WKH PHQWLRQHG FULVLV KLW -DYD¶V

urban area, while the outer

islands are relatively better.

Concerning the labour matters,

the crisis hit labour in Java

worse than those in the outer

islands. Viewed from work

sectors, labour in the

manufacture and service

industries are hit by the crisis

worse than those in the

agricultural or its related

industries. The other impact of

economic crisis is an indication

of awareness raising of the

urban based white collar on

their weak position as worker,

particularly those in the

financial, transportation

(airlines) and tourism (hotels)

industries. Due to the crisis,

both the blue collar and the

(16)

the white collar as those of the

blue collar, have a weak

bargaining position.

The combined socio-economic

and socio-political factors can

generally be identified as the

negative impact of economic

crisis to labour. The first factor

negotiate with their employers.

7KH GHFOLQH RI ODERXU¶V

bargaining position is

experienced by those who are

affected by both the negative

(working separation) and the

positive impact (wage increase)

of the crisis. For the second

who face wage increase), the

economic improvement has

nothing to do with the

improvement of their

bargaining position.

The present edition of Journal

of Social Analysis Journal tries

WRUDLVHODERXU¶VUHDOSUREOHPLQ

its connection with economic

crisis. The mentioned problem

as it is showed in articles in this

journal, is obtained from

research, plea and advocacy

activities, intensive and

systematic observation.

/DERXU¶V SUREOHP LV VLGH DQG ODERXU¶V H[SHULHQFH

(17)

comparison and

recommendation can be used

to improve policy arrangement

process and to develop

thoughts. At the end, all efforts

DUHGLUHFWHGWRLPSURYHODERXU¶V

position in equitable

perspective.

The present journal raise the

differences of the impact of the

crisis in the industrial,

plantation and service sectors.

The last mentioned sector is

particularly that of the

financial/banking, tourism, and

migrant workers. Studies on the

three sectors show that the

positive impact of economic

crisis is experienced only by

those who work in coffee

plantation in East Java. As an

export commodity, coffee

industries are benefited by the

crisis. Nevertheless, the benefit

is experienced only by a small

number of people. The

geographical condition of

coffee plantation has formed

an exclusive community which

raise jealousy to the

non-plantation community in the

surrounding area. Moreover,

the jealousy has led to the

plundering of coffee plantation.

Consequently, the harvesting

time is moved earlier which

PDNH WKH ODERXU¶V ZRUNLQJ

period shortened.

Labour in other sectors face

similar situation i.e. cannot

avoid mass working separation.

It is often happened that the

separation is conducted without

referring to the prevailing

regulation. For those

categorised as migrant labour,

they face deportation from the

(18)

opposition to fight for their

rights i.e. demonstrations,

strikes, accusation to Legal Aid

,QVWLWXWHRUWRDQ\RWKHUODERXU¶V

advocacy institutes. It is found

that such actions do not have

enough media coverage, since

the media at the moment

problem is removed from public

attention.

raise during the crisis is that

UHODWHG WR ODERXU¶V RUJDQLVDWLRQ

i.e. labour activists who make

use of the opportunity to form

trade unions. At present it is

possible for everybody to form

trade unions since the

Indonesian government

through the Presidential

Decree has UDWLILHG ,/2¶V

convention on the freedom of

union. It is soon declared what

is called trade unions i.e. those

ZKLFK LV ³ERWWRP XS´ WUDGH XQLRQ WKH ROG ³UH-ERUQ´ WUDGH

union, or trade union which is

established by those who have

concern on labour matters

whether they are political elites

or political activists. At the

EHJLQQLQJ WKH ³QHZ´ WUDGH

unions try to identify and to

focus on what activities will

(19)

grassroots level labour do not

experience yet, the existence

and the advantage of such

unions. The mentioned

situation leads to a lack

between the real needs of

labour on one side and the

XQLRQ¶VSURJUDPVRQWKHRWKHU

Gender is another important

issue within the context of the

impact of economic crisis.

Women labour constitute the

majority in the industrial,

plantation and service sectors.

In sectors that apply working

separation, the number of the

separated women labour is

more or less similar to those

recruited before. The labour

intensive industries - in which

80% of their labour are women

- dismiss women more than

men. It is noted that apart from

gender, age and marital status

are other factors that contribute

WR HPSOR\HUV¶ FRQVLGHUDWLRQ

whether they are going to

dismiss their labour or not. It is

likely that old married women

are the vulnerable group during

the crisis. Cases on the labour

intensive and the plantation

sectors show that married

women face hard problem in

managing their household. The

mentioned problem is

particularly applied to those

who lose their job or face wage

decline. The worsening working

condition brings similar

situation to the household.

Concerning the mentioned

(20)

labour is a result of the

interaction between the

domestic and the public roles

(working place)1.

With regard to trade union and

gender aspects, it is found that

women are poorly represented

in the union, despite to the fact

WKDWYDULRXV³QHZ´WUDGHXQLRQV

are established nowadays.

(YHQ WKRXJK ODERXU¶V

demonstrations and strikes

occur in women dominated

sectors, women

UHSUHVHQWDWLYHV LQ WKH XQLRQ¶V

board are very few. If they do

so, women normally occupy the

VR FDOOHG ³WUDGLWLRQDO´ SRVLWLRQ

1

The definition of working place cannot be limited only to that which is located outside the home i.e. IDFWRU\ HPSOR\HU¶V KRPH RU DQ\ other working places. Included in WKHGHILQLWLRQLVWKHZRPHQ¶VKRPH itself i.e. when they do sub contract or home-based work.

treasurer. This is a general

phenomenon regardless the

background of the union.

Gender bias as it is happened

in trade union become an

agenda for advocacy activities.

The first article in the present

journal is written by Saut C.

ManaluDQ1*2¶VDFWLYLVWIURP

Bandung Legal Aid Institute.

He shares his experience in

observing the economic crisis

within the labour context. He

also assists labour of various

sectors in fighting for their

rights. Saut C. Manalu

discusses the labour situation

in industrial, financial and

tourism sectors in Bandung. He

presents a description of the

FULVLV¶ LPSDFW RQ ODERXU LQ WKH

mentioned sectors. Moreover,

(21)

EHWZHHQ WKH ODERXU¶V FXUUHQW VLWXDWLRQ DQG WKH JRYHUQPHQW¶V SROLF\ +H QRWHV WKH SROLF\¶V LQFRQVLVWHQF\ D SRRU ODERXU¶V

protection and a poor

implementation on the right to

organise.

Yuniyanti Chuzaifah from the

Association of Women

Solidarity (Perkumpulan

Solidaritas Perempuan) shares

her experience in observing

migrant workers. Mass

deportation is the most

prominent impact faced by

women migrant workers.

Furthermore, exploitation

occurs in all steps i.e. from the

departure time until the arrival

time. In such a situation, law

protection is not yet performed,

even though any efforts have

working contract abroad.

Keppy Sukesi from Centre of

Women Studies of Malang

based Brawijaya University

conducted a research on the

impact of economic crisis on

plantation workers. The

research result shows that the

exclusive nature of plantation

community brings negative

impact to the workers. During

the crisis there is no more

expectation of working

continuity for them. The reason

behind the mentioned

phenomenon is related to the

jealousy of the outer

community who lose their job

and their income. The research

also describes the reason

(22)

employers be able to get a

higher profit through the

ZRPHQ¶VKRXVHKROGVXEVLG\

The next article is written by

Indrasari Tjandraningsih, a

researcher of AKATIGA and

the writer of this editorial. She

particularly focuses her

analyses based on a research

of working separation of

married women workers in

labour intensive industries in

urban area. She also discusses

the possibility of the limitation

of working opportunity for

women workers in the

mentioned industries. The

research - which was

conducted at the end of 1998 -

indicates that working

opportunity in the mentioned

sector become narrow for

married women but become

women. It is likely that married

women will move to informal

sector (non-permanent work)

such as sub-contracting,

putting out system, outwork.

Such phenomenon follows the

tendency of the application of

flexible labour which is likely

become the future trend.

Flexible labour system

however, leads to a vulnerable

working condition.

Arief W. Djati from Surabaya

based AREK Foundation,

writes on the development of

labour movement in East Java.

He discusses the changing

process of a labour network

into a trade union.

Furthermore, he shows a gap

between political fight on one

side and economic fight - which

(23)

problem - on the other side. It

is fully understood that for

labour, economic problem

needs to be solved first in order

to be capable for political fight

Amsterdam based Changing

Labour Relations in Asia

(CLARA). She writes a

comprehensive article on the

situation of women labour and

its relations with their gender

role. She points out that gender

UROH DQG ZRPHQ¶V VH[XDOLW\ LQIOXHQFH ZRPHQ¶V SRVLWLRQ LQ

their working place (factory)

and in the labour movement.

Both factors contribute to

ZRPHQ¶V XQFHUWDLQW\ LQ

determining their attitude.

Furthermore, she mentions that

all factors in the domestic and

the public sphere, and its

UHODWLRQ ZLWK ZRPHQ¶V VH[XDOLW\ DQGJHQGHULQIOXHQFHZRPHQ¶V

involvement in labour

movement.

A supplement article discusses

a Participatory Method

Approach, is written by Ratna I.

Yosodipuro, Alma Arief and

Amin Robiarto. The approach

can precisely be applied in

SHRSOH¶V HPSRZHUPHQW DFWLYLWLHV LQFOXGLQJ WKHODERXU¶V

The Participatory Method

Approach tries to cover both

the research and the

empowerment activities.

More-over, it treats people as the

(24)

development of trade union is

written by Ristadi K. Widodo,

from AKATIGA. The chronicle

is a part of a labour data base

which is still in progress. An up

to date information on labour

matters will be presented

regularly in the chronicle. The

publication of the chronicle is a

SDUW RI $.$7,*$¶VLQIRUPDWL-on service directed to those who

have concern on labour

matters. Œ

(25)

kebijakan perburuhan di masa krisis

KEBIJAKAN PERBURUHAN

DI MASA KRISIS

Saut Christianus Manalu1

Pengantar

Jatuhnya nilai rupiah ternyata

berakibat buruk bagi

perekonomian Indonesia.

Akibat langsung dari masalah

ini adalah total hutang luar

negeri Indonesia semakin

membengkak. Devaluasi nilai

rupiah telah meningkatkan

angka inflasi sehingga

meningkatkan biaya hidup

mayoritas rakyat Indonesia.

Menghadapi kesulitan ini,

satu-satunya cara yang dilakukan

pemerintahan Soeharto adalah

meminta bantuan pinjaman

uang dari IMF. IMF bersedia

membantu, akan tetapi

Indonesia harus menyetujui

dan memenuhi sejumlah

persyaratan yang ditetapkan

secara sepihak oleh IMF. Di

antaranya keputusan penting

dalam syarat-syarat pinjaman

itu adalah Pemerintah

Indonesia harus

menghapuskan monopoli

BUMN, sekaligus menghapus

subsidi sebagian jenis

sembako. Jika persyaratan ini

dituruti, maka harga-harga

sembako seperti gula, kacang

kedele, dan tepung terigu, akan

(26)

Harga-harga sembako tersebut

dipastikan akan naik karena

Pemerintah Indonesia

akhir-nya menyetujui syarat-syarat

pinjaman dari IMF, yaitu

menghapus subsidi minyak

bumi, listrik, dan jenis

subsidi-subsidi lainnya sejak bulan

April 1998.2

Bagi seluruh rakyat Indonesia,

krisis yang tadinya hanya

sebatas krisis moneter berubah

menjadi krisis ekonomi. Apalagi

pada saat itu Indonesia

mengalami beberapa bencana

alam, seperti musim kemarau

panjang yang menyebabkan

kekeringan dan gagalnya

panen, serta kebakaran hutan

di Riau dan Kalimantan.

Rusaknya perekonomian telah

1

Staf Divisi Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. 2

Singh, Kavaljit, Citizen's Guide to the Globalisation of Finance, Madhyam Books, Delhi - India, 1998, p.81 - 94.

menyebab-kan sebagian besar

rakyat Indonesia berada dalam

kesengsaraan, terutama

kesulitan makanan dan job

insecurity.

Dalam perkembangan saat ini,

perubahan-perubahan yang

terjadi di Indonesia ternyata

lebih merupakan

perubahan-perubahan yang diharapkan

oleh IMF dan

lembaga-lembaga keuangan lainya,

seperti World Bank (WB), Asia

Develop-ment Bank (ADB),

UNDP, dll, daripada sebagai

perubahan-perubahan yang

dituntut reformasi rakyat.

Beberapa contoh perubahan

yang telah dilakukan

Pemerintahan Habibie

menunjukkan hal itu. Misalnya,

dikeluarkannya undang-undang

kepailitan, dilikuidasinya

(27)

kebijakan perburuhan di masa krisis

dilaksanakannya program

Jaring Pengaman Sosial,

swastanisasi BUMN,

diciptakannya pegadilan niaga,

dilakukannya sistem multi

partai, mulai dilaksanakannya

clean government, mulai

diperketatnya peng-awasan

terhadap korupsi, dll. Tentu

saja perubahan-perubahan itu

sangat disukai oleh IMF karena

memberikan jaminan atas

keselamatan modal yang telah

dipinjam-kan dan memberikan

harapan akan adanya

keuntungan lebih besar dari

akumulasi modal yang telah

dan akan ditanamkan di

Indonesia.

Akibat Krisis bagi Buruh di

Indonesia

Krisis ekonomi global yang

melanda hampir seluruh

belahan dunia dalam tiga tahun

ini, telah menyebabkan

perubahan-perubahan besar

dalam struktur sosial

masyarakat. Krisis ekonomi

juga telah mengakibatkan

banyak negara ber-kembang

jatuh miskin, termasuk Korea

Selatan, Mexico, dan Philipina.

Indonesia yang sebelumnya

diproyeksikan akan menjadi

negara-negara industri baru,

ternyata ikut jatuh miskin juga.

Tentu saja golongan

masyarakat yang paling

menderita akibat terjadinya

krisis adalah golongan

masyarakat ekonomi

menengah ke bawah, termasuk

kaum buruh.

Bagi buruh di Indonesia, krisis

ekonomi global telah

menyebabkan

(28)

Banyak perusahaan yang

bangkrut karena terbelit utang

dan sebagian lagi berjalan

tersendat-sendat. Meskipun

masih ada perusahaan yang

tetap stabil dan berkembang,

mereka memanfaatkan kondisi

krisis ini sebagai alasan untuk

tidak memberikan upah dan

kesejahteraan yang layak

kepada buruh-buruhnya. PHK

masal akibat bangkrutnya

banyak perusahaan menjadi

tidak terelakkan. Repotnya,

lapangan kerja di luar sektor

manufaktur, seperti sektor

agraris, tak mampu lagi

menampung korban PHK.

Sementara itu mereka harus

bersaing pula dengan

pengangguran lain yang belum

sempat bekerja dan dengan

calon tenaga kerja baru yang

masih bersekolah. Mencari

pekerjaan di negara lain pun

sudah semakin susah, karena

negara-negara yang tadinya

dapat menampung tenaga

kerja Indonesia pun mengalami

krisis ekonomi yang sama

beratnya dengan Indonesia.

Tentu saja, negara-negara itu

lebih mementingkan nasib

buruh dan penganggurannya

sendiri daripada nasib buruh

dan pengangguran dari negara

lain.

Beberapa masalah yang

sangat menonjol akibat krisis

ekonomi adalah sebagai

berikut :

1. PHK masal

Krisis ekonomi global telah

menyebabkan PHK masal di

negara-negara yang

mengalaminya, terutama di

(29)

kebijakan perburuhan di masa krisis

Selatan, dan Amerika Latin3.

Bagi Indonesia, buntut dari

krisis ekonomi adalah

ambruknya banyak

perusahaan, apalagi modal

sebagian besar perusahaan

tersebut sangat bergantung

kepada pinjaman bank, baik

nasional maupun internasional.

Akibatnya, jutaan buruh

menjadi korban PHK masal.

Selain karena krisis ekonomi,

PHK masal ini menjadi tak

terelakkan karena ada

ketentuan dari IMF yang harus

ditaati pemerintah Indonesia,

seperti restrukturi-sasi

perusahaan dan reformasi

perban-kan. Kedua keputusan

inilah yang menyebabkan

pemerintah Indonesia harus

melakukan likuidasi terhadap

sejumlah bank, yang

3

Newsweek, August 3, 1998.

selanjutnya menyebabkan PHK

terhadap sekitar 17 ribu buruh

perbankan pada Februari ±

Maret 1999. Perjanjian dengan

IMF inilah yang dapat

menjelaskan sebab-sebab

pemerintah Indonesia tidak

dapat berbuat banyak untuk

mengatasi masalah ini.4

Menurut laporan resmi kantor

perwakilan ILO di Jakarta, 5,4

juta tenaga kerja Indonesia

kehilangan pekerjaan.5

Menurut Kepala Dinas Tenaga

Kerja (Disnaker) Jawa Barat,

Iyus Atmadja, S.H., sejak krisis

4

Berdasarkan laporan dari APEC Labour Rights Monitor (ALARM), issue no.31/April 1999, PHK masal terhadap ribuan buruh akibat penutupan perusahaan, terjadi juga pada perusahan-perusahan TNC Jepang di Selandia Baru, seperti perusahan-perusaha-an asembling Mitsubishi, Honda, Toyota dan Nissan. Demikian juga perusahaan-perusahaan

onderdilnya seperti Kensons, Yasaki dan Alkatel.

5

(30)

ekonomi 1.000 (4,3%) dari

23.090 perusahaan skala

besar, kecil, dan menengah

yang ada di Jawa Barat sudah

melakukan Pemutusan

Hubungan Kerja (PHK) dan

sebagai akibatnya, 99.000

buruh menjadi korban.6 Di

Kodya Bandung hingga bulan

September 1998, buruh yang

mengalami PHK berjumlah

6.780 orang dari 81

perusahaan.7 Jumlah ini akan

menjadi lebih besar lagi jika

ditambah dengan PHK yang

terjadi di sektor informal. Dari

jumlah tersebut, Depnaker

Jawa Barat hingga saat ini

tidak pernah memberikan

laporan atau data yang lengkap

mengenai bagaimana proses

PHK dilakukan, alasan

terjadinya PHK, dan

6

Pikiran Rakyat, 6 Mei 1999. 7

Pikiran Rakyat, 2 September 1998.

bagaimana perlindungan

hak-hak buruh akibat PHK tersebut.

Berdasarkan pengamatan LBH

Bandung terhadap

kasus-kasus yang masuk dan

wawancara dengan para buruh

di Bandung, jumlah korban

PHK di Jawa Barat belum

semuanya didata oleh

Depnaker Jawa Barat.8 Karena

itu, jumlah korban PHK

diperkirakan jauh lebih besar

dari yang sudah diungkapkan.

Sebagai contoh, dalam dua

8

(31)

kebijakan perburuhan di masa krisis

bulan ini IPTN telah melakukan

pensiun dini terhadap sekitar

1.000 buruhnya. Proses

pensiun ini tidak dilaporkan

kepada Depnaker, dengan

alasan bukan PHK.

Berdasarkan keterangan dari

buruh yang masih bekerja,

IPTN akan melakukan lagi PHK

terhadap ribuan buruh yang

lain. Proses pensiun dini tidak

menimbulkan protes yang

cukup berarti dari buruh, selain

karena mereka merasa kesal

akibat kehilangan pekerjaan,

juga karena IPTN berani

membayar jumlah uang pesiun

dini yang cukup besar, yaitu

Sebelum pensiun dini terjadi, Divisi Perburuhan LBH Bandung pernah memberikan materi tentang PHK bagi buruh-buruh IPTN, dalam diskusi tersebut jelas terlihat bahwa banyak yang kecewa seandainya mereka di PHK atau

sangat jauh lebih besar jika

dibandingkan dengan jumlah

uang pesangon yang akan

mereka terima, seandainya

IPTN memberlakukan PHK

terhadap para buruh.10

Selama musim PHK masal,

tidak ada satu pun kekuatan

massa buruh yang

terorganisasi pernah

menentang atau menghentikan

terjadinya PHK masal.

Sebelum Indonesia meratifikasi

Konvensi ILO No. 87 pada

tanggal 5 Juni 1998, SPSI

merupakan satu-satunya

serikat buruh yang diakui

terkena pensiun dini meskipun uang pensiunnya besar.

10

(32)

pemerintah. Dalam

kapasitasnya sebagai serikat

buruh tingkat nasional, SPSI

tidak pernah melakukan usaha

apapun untuk menentang PHK

masal. Serikat-serikat buruh

tingkat nasional lainnyapun,

yang berdiri setelah ratifikasi11,

tidak pernah melakukan

usaha-usaha untuk menentang laju

PHK masal, bahkan beberapa

di antaranya lebih

mementingkan organisasi

daripada mengurusi nasib

buruh. Sebenarnya, ada

beberapa serikat buruh tingkat

tempat kerja yang aktif dalam

bahkan pengurusnya

11

Hingga saat ini di tingkat nasional sudah ada 18 serikat buruh.

dirumahkan dan di intimidasi

oleh perusahaan, seperti yang

dialami oleh pengurus Serikat

Buruh PT NT Majalaya.12

Sikap dan respon dari partai

politik lebih menyedihkan lagi.

Sebelum terjadinya krisis,

Golkar, PPP dan PDI sama

sekali tidak pernah

menunjukkan usaha yang

berarti untuk menentang

terjadinya PHK masal.

Demikian juga dengan 45

partai politik lainnya yang

berdiri setelah Soeharto

mundur, termasuk empat partai

politik yang mengklaim dirinya

(33)

kebijakan perburuhan di masa krisis

partai politik sibuk

memfokuskan dirinya kepada

kampanye pemilu tanpa

menyinggung masalah buruh.

Padahal, salah satu materi

kampanye yang paling baik

adalah memperjuangkan nasib

buruh yang sudah di ujung

tanduk. Sebagai contoh,

sewaktu terjadi aksi ribuan

buruh bank yang menuntut

jumlah uang pesangon kepada

BPPN, tidak ada satu pun

materi kampanye dari

partai-partai politik yang mengambil

tema atau mendukung aksi

yang dilakukan buruh bank,

padahal aksi itu dilakukan

bertepatan dengan massa

kampanye. Demikian juga

dengan PHK masal terhadap

1.132 buruh PT Maspion, baik

yang berlokasi di Gresik

pemilih adalah buruh.

maupun yang di Sidoarjo,14

serta PHK masal terhadap

1.450 buruh PT Mayora,15 tidak

ada partai politik yang

menunjukkan keperdulian

terhadapnya. Sebagai reaksi

terhadap sikap parpol, para

buruh PT Mayora yang sedang

melakukan aksi massa di

depan kantor Menaker pada

saat pemilu tanggal 7 Juni

1999, menyatakan menolak

memberikan suaranya dalam

pemilu tersebut.16

Terhadap terjadinya PHK

masal yang terjadi selama Mayora kepada beberapa media televisi tanggal 7 Juni 1999, Pikiran Rakyat, 2 Juni 1999.

16

(34)

Berdasarkan kesaksian para

buruh di beberapa wilayah

industri di Kabupaten Bandung,

SPSI sama sekali tidak

mempersoalkan terjadinya

PHK masal. Mereka hanya

mengurusi uang pesangon,

yang dalam banyak kasus,

para buruhnya ternyata

menerima pesangon lebih kecil

dari yang ditentukan dalam

peraturan yang berlaku17.

Bahkan, SPSI kadang-kadang

menganjurkan terjadinya PHK

dengan iming-iming mereka

akan memperjuangkan uang

pesangon. Sikap ini

sebenarnya merupakan

kebiasaan SPSI yang sudah

berlangsung sejak lama.18

17

Pengaduan ke LBH Bandung, kasus PHK masal terhadap seluruh buruh (457 buruh) PT IM Majalaya, Februari 1999.

18

Klien LBH Bandung terhadap 53 buruh PT IT Cimahi, November 1998. Perlakuan ini sudah dilakukan sebelum reformasi,

Sikap Depnaker, mulai dari

Disnaker, Depnaker, P4D,

Kanwil, P4P, dan Menteri

Tenaga Kerja pun hampir sama

dengan sikap SPSI. Dalam

kasus-kasus PHK

perseorangan dan PHK masal,

sebagian besar anjuran

Disnaker/Depnaker, P4D dan

Keputusan P4P adalah

menyetujui atau mengabulkan

terjadinya PHK, meskipun

tanpa dasar hukum ataupun

bukan karena alasan krisis

ekonomi.19 Demikian juga

dengan Menteri Tenaga Kerja,

meskipun mempunyai hak

untuk melakukan veto, jarang

sekali ia menggunakan haknya

untuk melakukan veto terhadap

putusan P4P. Pemerintah,

DPR, aparat keamanan,

seperti yang dilakukan terhadap PHK masal 273 buruh CV W Cimahi, 1996.

19

(35)

kebijakan perburuhan di masa krisis

penegak hukum serta lembaga

pengadilan, sekalipun tidak

jauh berbeda, tidak dapat

berbuat banyak menghadapi

PHK masal. Mereka cenderung

tidak mempersoalkan

terjadi-nya PHK, asal perusahaan

membayar uang pesangon.

Tidak semua PHK terjadi

karena alasan kriris ekonomi.

Banyak PHK, baik masal

maupun perorangan yang

terjadi selama krisis ekonomi,

dilakukan secara

sewenang-wenang oleh pengusaha

semata-mata hanya untuk

mematahkan perjuangan kaum

buruh dalam menuntut

hak-haknya. Sebagai contoh, PHK

masal terhadap 53 orang buruh

perempuan PT IT, Cimahi

(November 1998) dilakukan

buruh-buruh itu karena

ditangani oleh LBH Bandung.

melakukan mogok, menuntut

diberikannya cuti haid, dan

buruh Tyfountex, Solo,22

terhadap 1.232 buruh PT

Maspion (meskipun akhirnya

dikerjakan kembali setelah

Menteri Tenaga Kerja Fahmi

Idris menjatuhkan veto

terhadap keputusan P4P),23

dan terhadap buruh hotel PW

Bandung24 hanyalah

mengulang perilaku represif

lama yang sudah berlangsung

di masa Orde Baru, yaitu

semata-mata untuk

(36)

mematahkan perjuangan kaum

buruh dalam menuntut

hak-haknya. Di massa Orde Baru

tindakan PHK masal selalu

ditentang pemerintah beserta

aparat keamanannya.

Seringkali Orde Baru

menyatakan aksi buruh seperti

ini memiliki tuntutan yang tidak

masuk akal dan tanpa dasar

hukum, melanggar hukum,

meng-ganggu stabilitas

nasional, dan di-tunggangi oleh

pihak ketiga.

Sebelum terjadi krisis ekonomi,

PHK terhadap buruh sudah

sangat mudah dilakukan,

apalagi dengan terjadinya

krisis. Hukum perburuhan

memberi peluang yang begitu

besar dan mudah bagi

pengusaha untuk melakukan

PHK terhadap buruh.

Berdasarkan Permenaker No.

3 tahun 1996, pasal 25 :

(ayat 1):

Dalam hal pemutusan hubungan kerja perorangan bukan karena kesalahan pekerja, maka uang pesangon ditetapkan sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 21 kecuali atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain, uang jasa ganti kerugian sesuai dengan ketentuan pasal 22 dan 23.

(ayat 2)

Dalam hal pemutusan hubungan kerja masal karena perusahaan tutup, besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian ditetapkan berdasarkan ketentuan pasal 21, pasal 22 dan pasal 23.

(Ayat 3)

(37)

kebijakan perburuhan di masa krisis

Berdasarkan peraturan pasal di

atas, pengusaha mempunyai

hak yang dilindungi hukum

untuk melakukan PHK

terhadap buruh, baik karena

kesalahan yang dilakukan oleh

buruh maupun tanpa

kesalahan. Selain itu, hal lain

yang memudahkan pengusaha

melakukan PHK terhadap

buruh adalah jumlah pesangon

yang diberikan sangat kecil.25

Meskipun ada ketentuan pada

pasal 2 (1, 3, dan 4) yang

melarang pengusaha

melakukan PHK, dengan

adanya ketentuan dalam pasal

25 maka larangan PHK

25

Kecilnya uang pesangon telah menjadi pemicu aksi besar-besaran buruh-buruh perbankan dari bulan Februari - Maret 199, yang terkena PHK masal akibat dilikuidasinya 38 bank swasta oleh BPPN pada bulan Februari 1999. Mereka melakukan aksi untuk menuntut pesangon yang lebih besar dari ketentuan Permenaker

tersebut menjadi tidak

mempunyai arti apa-apa.

Berdasarkan alasan ini juga,

maka dalam masa krisis,

perusahaan tidak mempunyai

hambatan yang cukup berarti

dalam melakukan PHK

terhadap para buruhnya.

Selain dari perangkat hukum

perburuhan yang tidak

membela kepentingan kaum

buruh, lembaga penyelesaian

perselisihan perburuhan dan

pengadilan juga memudahkan

pengusaha melakukan PHK

terhadap buruh, baik masal

maupun perorangan. Dalam

anjuran-anjuran dan

keputusan-keputusan yang

dikeluarkan

Disnaker/Depnaker, P4D, P4P,

dan pengadilan, seringkali

buruh yang tidak memiliki

(38)

kesalahan apapun di PHK

tanpa dasar hukum. Alasan

yang digunakan lembaga itu

sederhana saja, yaitu antara

buruh dan majikan tidak

harmonis lagi sehingga

hubungan kerja tidak dapat

dilanjutkan, karena itu PHK

diizinkan. Longgarnya

alasan-alasan untuk melakukan PHK

sangat memudahkan

pengusaha melakukan kolusi

dengan aparat untuk

melakukan PHK terhadap

buruh. Kondisi warisan Orde

Baru ini masih berlangsung

hingga sekarang.

2. Skorsing dan merumahkan

buruh

Selain melakukan PHK masal,

banyak perusahaan juga

merumahkan dan melakukan

skorsing terhadap buruhnya.

Tidak semua tindakan

merumahkan dan skorsing

dilakukan karena alasan krisis

ekonomi, tetapi juga karena

aksi yang dilakukan buruh

sebelumnya. Sebagai contoh,

tindakan pengusaha

merumahkan 97 buruh PT PEP

Karawang (Texmaco Group)

pada bulan Januari 1999,

gara-gara para buruh melakukan

aksi massa memprotes

penghapusan tunjangan

sembako dan kecilnya uang

insentif yang dianggap tidak

memenuhi rasa keadilan. Dari

97 orang buruh yang

dirumahkan, terdapat ketua

PUK±SPSI PT PEP, yang

dituduh perusahaan sebagai

dalang dan yang bertanggung

jawab terhadap terjadinya aksi

buruh. Padahal dalam

kesaksiannya dan diakui oleh

(39)

kebijakan perburuhan di masa krisis

dilakukan secara spontan

sebagai reaksi terhadap

buruknya kebijaksanaan

perusahaan, dan pada saat

aksi terjadi, Ketua PUK-SPSI

sedang tidak bekerja.

Perkembangan terakhir dari

peristiwa ini adalah, 17 orang

mengundurkan diri, 75

dipekerjakan kembali, dan 5

orang sampai sekarang masih

dirumahkan. Mereka ini,

termasuk Ketua PUK-SPSI26

dianggap sebagai pentolan

massa buruh.

Kasus lain terjadi juga terhadap

200 buruh PT Gladiatex

Cimahi27 dan terhadap 16

orang buruh PT NT Majalaya

yang dirumahkan sejak Januari

1999 gara-gara mendirikan

serikat buruh. Alasan

26

Kronologis dan wawancara dengan, Ketua PUK-SPSI PT PEP. 27

Pikiran Rakyat, 9 Juni 1999.

perusahaan merumahkan

mereka adalah untuk

melakukan efisiensi karena

pabrik kekurangan order.

Padahal, menurut keterangan

buruh yang masih aktif bekerja,

hingga saat ini order bahkan

lebih ramai.28

3. Pembersihan aktivis buruh

Banyak juga PHK

perseorangan maupun PHK

masal dan tindakan

merumahkan buruh pada masa

krisis, dilakukan pengusaha

semata-mata untuk

mem-bersihkan aktivis buruh dengan

memanfaatkan isu krisis.

Dirumahkannya 16 orang

buruh PT NT Majalaya, PHK

terhadap 40 orang buruh PT

GA Ujungberung dengan

28

(40)

alasan efisiensi, dan PHK

terhadap sembilan orang buruh

PT SI Cimahi, merupakan

beberapa contoh di mana

perusahaan memanfaatkan isu

krisis ekonomi untuk

melakukan pembersihan aktivis

buruh.

Enam belas orang buruh PT

NT di rumahkan, setelah

mereka mendeklarasi-kan

berdirinya Serikat Buruh PT

NT. Semua yang dirumahkan

adalah pengurus dan

organisator buruh di pabrik itu.

Enam belas orang inilah yang

menjadi kelompok inti Serikat

Buruh PT NT yang sudah

mempersiapkan berdirinya

serikat buruh dengan

melakukan pendidikan dan

pengorganisasian kepada

kawan-kawannya sejak empat

tahun yang lalu. Karena itu jika

mereka di PHK, maka semua

pekerjaan itu kembali ke angka

nol. Para buruh menolak

tindakan pengusaha dan

menuntut tetap bekerja seperti

biasa, apalagi upah selama

dirumahkan hanya dibayar

sebesar 50%. Tuntutan para

buruh ditolak, bahkan

pengusaha mengarang cerita

tentang pencurian kain, lalu

pengusaha mengizinkan para

buruh bekerja kembali kalau

mereka dapat menyebutkan

nama-nama para pencuri kain

tiga tahun yang lalu, yang tidak

mereka ketahui. Kalau mereka

tidak dapat menyebutkan

orang-orang tersebut, maka

perusahaan akan melakukan

PHK ter-hadap mereka.29

PHK masal terhadap 40 orang

buruh PT GA dilakukan setelah

29

(41)

kebijakan perburuhan di masa krisis

mereka mogok menuntut

kenaikan upah 100% dan

berdirinya Serikat Buruh

Mandiri (independen). Semua

organisator dan calon

pengurus serikat berada dalam

rombongan tersebut. Sehari

sebelum terjadinya PHK,

Depnaker Kodya Bandung

sejak sore hari sampai jam

02.00 dini hari, berada di

perusahaan bersama dengan

pengusaha. Mereka menonton

rekaman video pemogokan

yang ternyata direkam secara

lengkap oleh pengusaha

melalui handycam. Melalui

rekaman tersebutlah

pengusaha melakukan PHK

terhadap para aktivis buruh.

Selain menonton video

pengusaha, Depnaker juga

mempelajari Anggaran Dasar

dan Anggaran Rumah Tangga

Serikat Buruh Mandiri (SBM)

yang sudah berdiri

sebelumnya, di PT TNR dan

PT ST Ujungberung. Terhadap

tuntutan buruh untuk

mendirikan SBM, pengusaha

menolak mentah-mentah dan

tetap mempertahankan SPSI

yang sudah ada sebelumya.

Padahal SPSI ditolak oleh 80%

buruh karena sama sekali tidak

pernah membela kepentingan

buruh di pabrik itu.

Demikian juga PHK terhadap

sembilan orang buruh PT SI

Cibaligo Cimahi dilakukan

untuk mengeluarkan sembilan

buruh yang selama ini menjadi

organisator buruh di pabrik

tersebut. Perusahan

melakukan PHK terhadap

mereka dengan alasan

efisiensi. Kalau memang benar

demikian, maka buruh yang

(42)

yang tidak terlalu produktif.

Padahal sembilan orang ini

merupakan tenaga muda dan

sangat produktif. Alasan

efisiensi menjadi tidak masuk

akal, karena selain yang

sembilan orang tadi,

perusahaan tersebut belum

melakukan PHK lagi sampai

sekarang sekarang.30

4. Upah rendah

Selama krisis, UMR telah

mengalami kenaikan dua kali,

yaitu pada bulan Agustus 1998

dan bulan April 1999, kenaikan

terakhir sebesar 16%. Jumlah

UMR sebulan adalah sebesar

Rp 231.000,00 untuk DKI dan

Rp 230.000,00 untuk Botabek

dan sebagian Jawa Barat.

Menurut Dirjen Binawas

Depnaker, besarnya kenaikan

30

Wawancara dengan para buruh.

UMR baru memenuhi 80%

Kebutuhan Hidup Minimum

(KHM) buruh.31 Kenaikan UMR

menjadi tidak berarti

dibandingkan dengan kenaikan

harga barang-barang

kebutuhan pokok di pasaran

yang berkisar antara 100%±

400%. Karena itu, setelah

adanya UMR baru, buruh tetap

melakukan aksi-aksi menuntut

upah yang lebih tinggi dari

UMR.

Berdasarkan catatan pola

konsumsi buruh yang dibuat

oleh salah seorang buruh di

Cimahi pada bulan Desember

1998, pengeluaran minimal

bulanan untuk buruh

perempuan lajang sebesar Rp

274.000,00 per bulan, untuk

laki-laki lajang Rp 357.000,00

per bulan, dan bagi buruh

31

(43)

kebijakan perburuhan di masa krisis

berkeluarga dengan seorang

anak yang belum sekolah

sebesar Rp 466.126,00.32

Berdasarkan hasil penelitian

yang dilakukan AKATIGA pada

bulan Januari ± Maret 1998,

jumlah upah berdasarkan KHM

untuk buruh perempuan lajang

sebesar Rp 345.000,00 dan

bagi laki-laki lajang sebesar Rp

347.000,00. Upah yang

diterima buruh pada saat itu

baru memenuhi 50% dari

komponen KHM. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh

Global Exchange, salah satu

LSM yang berada di San

Fransisco, pada tahun 1998,

upah minimum bagi seorang

buruh lajang berdasarkan biaya

hidup adalah sebesar Rp

350.000,00.33 Mengacu kepada

belum memenuhi standar.

Berdasarkan

peraturan-peraturan se-belumnya,

demikian juga dalam

Permenaker No. 1 tahun 1999,

upah buruh masih dimasukkan

sebagai komponen biaya

produksi, tidak ditentu-kan

berdasarkan besaran

keuntungan perusahaan.

Artinya keuntungan

perusahaan atas hasil kerja

buruh, sepenuhnya masih

dimiliki perusahaan dan belum

dimiliki buruh. Di bidang

pengupahan, reformasi sama

sekali tidak terjadi. Hal ini

ditunjukkan, selain jumlah upah

yang masih di bawah standar,

(44)

juga sama sekali tidak

memenuhi prinsip utama dari

pengupahan itu sendiri, yaitu

pembagian atas keuntungan

didasarkan pada nilai lebih dari

barang yang dihasilkan buruh.

Bagi buruh di Indonesia,

kenaikan upah menjadi suatu

hal yang paling sulit

diperjuangkan. Hal ini

disebabkan oleh tiga hal,

pertama karena kekuatan

organisasi buruhnya belum

ada, kedua karena pemerintah

Indonesia masih menerapkan

buruh murah sebagai daya

tarik investasi asing, ketiga

karena kebijakan Trans

National Corporations (TNCs)

juga tidak menghendaki

tingginya upah.34

Transnational (TNCs), melalui

kebijakan lembaga-lembaga

keuangan seperti WB, ADB,

IMF, dll, organisasi

internasional serta

perjanjian-perjanjian internasional lainnya,

telah mengatur tata ekonomi

dunia yang menguntungkan

para TNCs. TNCs, melalui

cabang-cabang dan para

subkontraktor-nya yang

tersebar di seluruh dunia

mengatur produksinya secara

seragam. Dengan cara

demikian, maka negara-negara

tersebut akan bersaing

memperebutkan order dan

masuknya investasi asing

melalui beberapa kebijakan

dalam negeri termasuk

kebijakan buruh murah.35

Malaysia, 1997, p. 75 - 98.

(45)

kebijakan perburuhan di masa krisis

Bagi perusahaan-perusahaan

transnasio-nal, upah buruh

murah dari negara-negara

berkembang jelas sangat

mereka harapkan karena

tingginya upah di

negara-negara asal mereka. Dalam

menentukan komponen biaya

produksi, TNC pun

menempatkan upah dalam

bagian komponen yang sangat

kecil dibandingkan dengan

komponen produksi lainnya.

5. Flexible workers

Dalam beberapa tahun

belakangan ini banyak

perusahaan mulai

mengusahakan mengurangi

biaya upah buruh, dengan cara

mengatur sistem kerja buruh

yang berdampak pada kecilnya

upah. Bentuk yang

dikembangkan adalah

hubungan kerja yang bersifat

fleksibel seperti casual

workers, buruh paruh waktu,

kontrak musiman (dalam

jangka waktu tertentu), maupun

buruh tetap yang bekerja

penuh akan tetapi beban

kerjanya sangat banyak.36

Di Indonesia, sistem kerja

permanen mulai dihindari dan

digantikan dengan sistem kerja

kontrak. Dalam

Undang-undang No. 25 tahun 1997

tentang Ketenagakerjaan,

sistem kontrak juga diatur,

artinya secara tegas Indonesia

mulai mempopulerkan sistem

kerja kontrak. Dalam kejadian

sehari-hari, sistem kontrak ini

pun sudah banyak diterapkan

baik di

perusahaan-perusahaan swasta nasional

36

(46)

maupun di TNCs.

Di masa krisis, bentuk kontrak

ini berjalan tanpa mengikuti

ketentuan yang berlaku, yaitu

Permenaker No. 2 tahun 1993

tentang Kesepakatan Kerja

Waktu Tertentu. Berdasarkan

peraturan tersebut, buruh

hanya boleh dikontrak

sebanyak 2 kali dengan total

jangka waktu untuk 2 masa

kontrak selama-lamanya 2

tahun, dan jika telah melebihi

ketentuan tersebut, buruh

harus menjadi buruh tetap.

Perkembangan saat ini, banyak

perusahaan mengontrak

buruhnya selama ada

pekerjaan dan jika perusahaan

masih membutuhkan mereka;

jika pekerjaan habis, maka

kontrak pun berakhir.

Seandainya suatu saat

1998.

perusahaan ber-niat

mempekerjakan mereka,

perusahaan akan membuat

kontrak baru lagi.37

6. Pelanggaran hak

berorganisasi

Karena tekanan luar negeri,

Pemerintah Indonesia

meratifikasi Konvensi ILO

No.87 tentang Kebebasan

Berserikat dan Perlidungan

Hak untuk Berorganisasi

berdasarkan Keputusan

Presiden No. 83 tahun 1998,

yang ditetapkan pada tanggal 5

Juni 1998. Keputusan ini

kemudian dikuti dengan

dikeluarkannya Peraturan

Menteri Tenaga Kerja No.

5/1998 tentang Pendaftaran

Organisasi Pekerja yang

37

(47)

kebijakan perburuhan di masa krisis

ditetapkan pada tanggal 27 Mei

1998. Dengan adanya

(48)

maka berdirilah banyak serikat

buruh, baik lokal maupun

nasional di luar SPSI.

Meskipun keputusan

kebebasan organisasi ini sudah

dikeluarkan, pelanggaran hak

berserikat masih saja terjadi.

Pelanggaran ini dilakukan oleh

Depnaker, pengusaha, Apindo,

SPSI, dan Tentara.

Bentuk-bentuk pelanggaran yang

terjadi dapat berupa: 1)

melarang berdirinya serikat

buruh; 2) menolak

mendaftarkan serikat buruh; 3)

melarang menggunakan kata

serikat buruh selain serikat

pekerja; 4) melarang berdirinya

serikat buruh independen

selain SPSI; 5) menskorsing

para organisator dan pengurus

serikat buruh; 6) melakukan

PHK terhadap pengurus serikat

buruh; 7) melakukan stigma

serikat buruh sebagai

organisasi terlarang.

Pelanggaran-pelanggaran di

atas tentu saja melanggar dan

bertentangan dengan Konvensi

ILO No.87.

Beberapa contoh untuk

menjelaskan pelanggaran

tersebut adalah sebagai

berikut:

Pelanggaran Hak

Berserikat di PT MAF

Majalaya.

Setelah melakukan

pengorganisasian selama dua tahun, buruh PT MAF mendeklarasikan berdirinya serikat buruh pada tanggal 27 Septermber 1998 dan satu minggu kemudian telah didaftarkan di Disnaker

Kabupaten Bandung.

(49)

kebijakan perburuhan di masa krisis

Majalaya, Camat Majalaya. Dalam undangan para pembesar daerah tersebut

menuduh mereka

melakukan organisasi terlarang yaitu organisasi Negara Islam Indonesia, dan tuduhan ini ditolak oleh buruh. Menurut pengakuan lurah, yang memerintahkan dan membuat undangan itu adalah Koramil Majalaya.

Setelah sidang di kantor Desa, besoknya Ketua dan Sekretaris Serikat Buruh di ± PHK oleh pengusaha. Para buruh menolak PHK dan melakukan aksi menolak PHK terhadap pemimpin mereka, dan tuntutan mereka berhasil.

Akan tetapi beberapa hari berikutnya dua orang polisi memanggil Ketua Serikat Buruh ke salah satu ruangan di perusahaan, yang dijaga oleh dua orang tentara. Di ruangan itulah Ketua Serikat Buruh di PHK oleh polisi.

Pelanggaran Hak

Berserikat di PT NT.

Di PT NT, Disnaker menolak mendaftarkan Serikat Buruh PT NT. Alasan yang

dikemukakan, karena serikat buruh bukan serikat pekerja dan pengurus serikat buruh sedang dalam masa skorsing. Ketika terjadi sidang perselisihan

perburuhan dengan

pengusahanya, P4D pun

menolak keberadaan

Serikat Buruh PT NT dan menganjurkan agar mereka diwakili oleh SPSI atau serikat yang terdaftar.

Alasan utama pemerintah

Indonesia meratifikasi

Konvensi ILO No. 87 bukanlah

karena ada perubahan

mendasar mengenai politik

perburuhan, melainkan karena

kepentingan Indonesia untuk

mendapatkan bantuan luar

negeri. Sewaktu Indonesia

berusaha keras mencari

pinjaman luar negeri,

muncullah kecaman keras dari

anggota House of

Representatives Mr. Bernard

Sanders yang mengatakan

Gambar

Tabel 1 Dampak Langsung Krisis di Asia
Tabel 2 Perbandingan Biaya Pemberangkatan yang Dipungut dari Buruh

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini mampu dijadikan referensi bagi peneliti yang akan mengkaji dampak sistem outsourcing dalam kehidupan buruh pabrik, selain menjadi

(2) Pelaksanaan manajemen hubungan sekolah dan masyarakat (humas) meliputi kegiatan pemberdayaan komite sekolah, mewajibkan orang tua mengambil rapor anak sendiri,

Hasil analisis terhadap data penilaian media pembelajaran oleh ahli materi dan ahli media, pendidik, dan teman sejawat serta respon peserta didik menunjukkan bahwa

Generic Scorecard V3.3 Tanggung Jawab Sosial 5 dari 18... Kriteria C/NC/NA SR‐HP4.1

Penggunaan eksplan ruas batang juga berhasil digunakan untuk membentuk tanaman kentang transgenik tahan penyakit hawar daun pada kultivar Katahdin menggunakan zat pengatur tumbuh

KESATU : Mengkoordinasikan lokasi Program Kampung Iklim (ProKlim) Skala Desa/Kelurahan dan/atau Dusun/Lingkungan yang mewakili kecamatan di wilayah Kabupaten

Penelitian ini terbatas pada variabel yang digunakan yaitu hanya profitabilitas, ukuran perusahaan, kompleksitas operasi perusahaan dan reputasi KAP

Suatu kondisi emosional karyawan dengan adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, apabila harapan yang ada pada individu dapat terjadi