SITUASI KRISIS:
TITIK BALIK KEKUATAN BURUH?
Situasi krisis secara umum
membawa dampak yang
beragam bagi buruh. Pada
dasarnya perbedaan dampak
tersebut dapat dikategorikan
secara sektor, wilayah dan
gender. Sebagaimana
dibuktikan oleh berbagai studi
dampak krisis terhadap
kegiatan ekonomi pada skala
usaha kecil, menengah, dan
besar, menunjukkan wajah
yang berbeda yang ditentukan
oleh lokasi geografis, sektor,
orientasi pasar, dan sumber
bahan baku. Kesimpulan
berbagai studi menunjukkan
bahwa wilayah perkotaan Jawa
mengalami dampak krisis yang
paling buruk sedangkan
daerah-daerah di luar Jawa
mengalami dampak krisis yang
paling baik. Dalam persoalan
perburuhan, gambar yang
muncul sebagai dampak krisis
menunjukkan pola yang sama:
buruh di Jawa mengalami
dampak yang lebih keras
dibandingkan buruh di luar
Jawa. Dari sisi sektor, buruh di
sektor industri manufaktur dan
jasa merasakan pahitnya
dampak krisis sedangkan
buruh di sektor pertanian atau
yang terkait dengan sektor
pertanian sebaliknya
mengecap manisnya krisis. Sisi
buruk yang dialami oleh
wilayah perkotaan adalah
munculnya potensi peluang
solidaritas buruh kerah putih
dan kerah biru. Potensi
peluang ini berawal dari
munculnya kesadaran para
buruh kerah putih di sektor jasa
terutama keuangan,
transportasi (penerbangan) dan
pariwisata (perhotelan) bahwa
pada hakikatnya mereka
adalah buruh yang sangat
lemah posisinya berhadapan
dengan majikan ketika mereka
mengalami pemutusan
hubungan kerja yang
semena-mena, sebagaimana
yang terjadi terhadap buruh
kerah biru.
Dampak negatif krisis yang
dialami buruh pada umumnya
merupakan kombinasi antara
faktor sosial-ekonomi:
penurunan kemampuan
ekonomi yang diikuti oleh
penurunan tingkat
kesejahteraan; dan faktor
sosial-politik: penurunan posisi
tawar terhadap majikan.
Penurunan posisi tawar tidak
hanya dialami oleh buruh yang
kehilangan pekerjaan, terutama
dalam proses Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), tetapi
juga oleh buruh yang
mengalami dampak positif
krisis dalam bentuk kenaikan
upah. Meskipun secara
ekonomi upah meningkat,
tetapi peningkatan ini tidak
bergerak bersama dengan
meningkatnya posisi tawar.
Jurnal Analisis Sosial edisi ini
mengangkat persoalan riil yang
Persoalan-persoalan riil ini
merupakan gambar yang
diperoleh melalui studi,
kegiatan pembelaan dan
pendampingan maupun
keterlibatan dan observasi
yang intens dan sistematis
yang dituangkan dalam
tulisan-tulisan di dalam jurnal
ini. Pengangkatan persoalan riil
yang dihadapi buruh sengaja
dimunculkan sebagai salah
satu upaya untuk memberikan
per-bandingan dan masukan
mengenai kesenjangan antara
kebijakan ketenaga-kerjaan
dan pengalaman buruh sebagai
sasaran kebijakan. Dengan
demikian diharapkan masukan
ini dapat memper-kaya
pertimbangan proses
penyusunan kebijakan maupun
pemikiran yang bertujuan
dalam timbangan keadilan.
Perbedaan dampak krisis
berdasarkan sektor ditunjukkan
dalam jurnal ini melalui
kasus-kasus sektor industri,
perkebunan dan jasa, mulai
dari jasa keuangan/ perbankan,
pariwisata hingga jasa tenaga
kerja migran. Secara umum
berdasarkan kasus tersebut
dampak positif krisis hanya
dialami oleh buruh yang
bekerja di sektor perkebunan
kopi di Jawa Timur. Sebagai
komoditas ekspor, kopi
memperoleh keberuntungan
akibat krisis. Akan tetapi,
dampak positif krisis terhadap
perkebunan kopi tidak seindah
yang diharapkan.
Sebagaimana pola lokasi dan
perkebunan pada umumnya
yang membentuk
kantung-kantung komunitas
yang cenderung eksklusif,
dampak positif krisis hanya
dinikmati oleh masyarakat
perkebunan. Hal ini
menimbulkan kecemburuan di
kalangan masyarakat
nonperkebunan di sekitarnya
yang diwujudkan dengan
penjarahan kebun kopi.
Akibatnya masa petik kopi
dipercepat dan konsekuensinya
masa kerja buruh perkebunan
semakin pendek.
Buruh di sektor-sektor yang lain
meng-alami masa suram yang
ditandai dengan PHK dan
deportasi untuk buruh migran
yang bersifat masif, diawali
dengan proses PHK yang tidak
mengacu pada peraturan yang
ada. Akibatnya terjadi berbagai
perlawanan untuk
memperjuangkan hak melalui
berbagai cara: unjuk rasa,
mogok kerja, pengaduan ke
Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) atau lembaga-lembaga
pembela buruh lainnya. Penting
untuk dicatat bahwa
upaya-upaya tersebut tidak
banyak terbantu digaungkan
media massa, karena media
massa lebih tertarik
menyebarluaskan gegap
gempita reforma-si dan
perubahan yang sangat cepat
dan memang penting untuk
dicermati yang terjadi di aras
nasional berkaitan dengan isu
dan tingkah laku elit politik
negeri. Dapat disimpulkan
bahwa persoalan perburuhan di
masa krisis dan reformasi
Sisi dinamika kehidupan buruh
yang lain yang justru berdenyut
di saat krisis adalah
organisasi/kelompok buruh.
Terbukanya peluang
membangun organisasi buruh
dengan diratifikasinya konvensi
ILO mengenai kebebasan
berserikat oleh pemerintah
Indonesia melalui sebuah
Keputusan Presiden,
dimanfaatkan benar. Segera
dideklarasikan apa yang
disebut sebagai serikat buruh,
baik yang muncul murni dari
bawah yang berangkat dari
basis massa buruh atau serikat
buruh masa lalu yang lahir
kembali, maupun serikat buruh
yang dilahirkan oleh orang
yang memiliki keperdulian
terhadap buruh, elit politik atau
kemunculan serikat buruh
masih diwarnai dengan
kegiatan-kegiatan untuk
mengidentifikasi dan
memfokuskan akti-vitas. Hal ini
menyebabkan eksistensi
serikat buruh belum tertanam di
kalangan buruh di basis dan
kemanfaatannya untuk buruh
belum dirasakan. Konsekuensi
dari kondisi tersebut adalah
kesenjangan antara kebutuhan
riil buruh di basis dengan
aktivitas para pengurus/aktivis
serikat buruh.
Aspek yang penting dalam
membicarakan dampak krisis
adalah gender. Baik sektor
industri, perkebunan maupun
jasa, buruh perempuan
merupakan proporsi yang
buruhnya. Di sektor-sektor
yang mem-PHK buruh, jumlah
buruh perempuan ter-PHK
propor-sional dengan jumlah
mereka yang tadinya terserap.
Buruh industri padat karya
yang 80% buruhnya
perempuan dengan sendirinya
mem-PHK lebih banyak buruh
perempuan dibandingkan
buruh laki-laki. Selain gender,
faktor usia dan status
perkawinan juga merupakan
aspek yang penting untuk
dipertimbangkan dalam
menyikapi dampak krisis.
Perempuan-perempuan tua
dan berkeluarga tampak-nya
merupakan kelompok yang
termasuk paling rentan
terhadap krisis. Sebagai-mana
ditunjukkan dalam kasus
industri padat karya dan
perkebunan, perempuan
berkeluarga yang kehilangan
pekerjaan atau mengalami
penurunan penghasilan
menghadapi persoalan berat
dalam mengelola rumah
tangga. Penurunan kondisi di
tempat kerja membawa
konsekuensi yang sama di
dalam rumah tangga. Dalam
kaitan itu, dalam pem-bahasan
persoalan buruh perempuan,
gambar konkrit dan lengkap
mengenai situasi mereka
hanya mungkin diperoleh
apabila selalu
mengkomunikasikan posisi dan
peran perempuan di rumah
tangga dan di tempat kerjanya.
Seluruh situasi seorang
perempuan buruh pada
hakikat-nya merupakan
perwujudan hasil interaksi
peran perempuan yang
tempat kerja (publik)1.
Masih dalam lingkup aspek
gender, menarik untuk
dicermati ketika dalam
hiruk-pikuk bermunculannya
serikat buruh, perempuan tetap
tidak terlibat di dalamnya.
Meskipun berbagai aksi
demonstrasi dan perjuangan
hak banyak dilakukan di
sektor-sektor yang dominan
perempuan, representasi
perempuan dalam struktur
kepengurusan serikat buruh
masih tetap minimal dan posisi
1
Penting untuk diperhatikan bahwa pengertian mengenai lingkup wilayah tempat kerja tidak dapat dibatasi hanya tempat kerja yang berada di luar wilayah rumah tangga: pabrik, toko, rumah majikan atau tempat-tempat kerja yang lain, tetapi juga rumah perempuan yang bersangkutan sendiri ketika melakukan pekerjaan subkontrak atau pekerjaan rumahan (home-work)
perempuan bila ada, masih
posisi tradisional: sekretaris
atau bendahara. Fenomena ini
bersifat umum terjadi di
berbagai latar belakang dan
asal-muasal munculnya serikat
buruh. Bias peran gender
perempuan yang masih banyak
mewarnai serikat buruh
merupakan sebuah agenda
advokasi tersendiri yang sudah
harus mulai digarap.
Jurnal ini diawali oleh Saut C.
Manalu, seorang aktivis dari
LBH Bandung yang membagi
pengalamannya mencermati
situasi krisis di lapangan
perburuhan dan mendampingi
buruh berbagai sektor
memperjuangkan haknya.
Dengan fokus pada situasi
perburuhan di sektor industri
dan jasa keuangan serta
pariwisata di kota Bandung,
tulisannya membeberkan
dampak krisis yang dialami
buruh dan analisisnya
mengenai kaitan antara situasi
yang muncul dengan kebijakan
pemerintah yang inkonsisten
dan penuh warna kesenjangan
menyangkut per-lindungan
buruh dan hak berserikat.
Yuniyanti Chuzaifah dari
Perkumpulan Solidaritas
Perempuan membagi
observasi dan pengalamannya
di lapangan buruh migran.
Deportasi masif adalah dampak
yang paling menonjol yang
dialami buruh perempuan
migran, disamping makin
menjadinya eksploitasi
terhadap mereka di semua
tahap, ketika berangkat bekerja
hingga kembali pulang. Dalam
kondisi yang kian eksploitatif
tersebut, perangkat
perlindungan belum kunjung
terbentuk meskipun upaya ke
arah itu tidak pernah surut
dilakukan. Pemikiran ke depan
ke arah pemberdayaan buruh
migran sekembalinya ke
Indonesia juga dilontar-kan
penulis untuk dijadikan agenda
pemikiran.
Gambar kondisi buruh
perkebunan akibat krisis hasil
penelitian Keppy Sukesi dari
Pusat Penelitian Peran Wanita
Universitas Brawijaya di
Malang memberikan informasi
penting bahwa eksklusifisme
komunitas perkebunan
membawa dampak negatif bagi
di saat krisis sirna karena
kecemburuan sosial dari
masyarakat di luar lingkaran
perkebunan yang mengalami
dampak negatif krisis:
kehilangan pekerjaan dan
penghasilan. Penelitian Keppy
Sukesi juga menjelaskan
bagaimana logika perkebunan
mem-pekerjakan buruh
perempuan yang pada
umumnya telah berkeluarga
yang mem-berikan keuntungan
tersendiri terhadap perkebunan
melalui mekanisme subsidi
rumah tangga yang dilakukan
perempuan.
Persoalan PHK bagi buruh
perempuan dan indikasi
penyempitan kesempatan kerja
bagi buruh perempuan
berkeluarga di sektor industri
perkotaan dibahas oleh
Indrasari Tjandraningsih,
peneliti AKATIGA sekaligus
penulis editorial ini. Penelitian
yang dilakukan akhir tahun lalu
menunjuk-kan beberapa
indikasi bahwa prospek
pekerjaan perempuan di sektor
ini akan makin sempit bagi
perempuan berkeluarga akan
tetapi makin lebar bagi
gadis-gadis belia. Perempuan
berkeluarga akan ter-lempar ke
sektor informal dalam
bentuk-bentuk hubungan kerja
yang lebih lepas dan tidak
permanen: subkontrak, putting
out system, outwork, mengikuti
kecenderungan penerapan
flexible labour yang tampaknya
akan menjadi tren ke depan.
Konsekuensi dari flexible
kondisi kerja.
Arief W. Djati dari Yayasan
AREK di Surabaya mengulas
perkembangan situasi
pergerakan buruh di Jawa
Timur melalui kasus
metamorfosa sebuah jaringan
buruh menjadi serikat buruh.
Tulisan ini menunjukkan
kesenjangan yang terjadi
antara perjuangan politik di
satu sisi dan perjuangan
ekonomi yang merupakan
masalah sehari-hari buruh di
sisi lain. Konteks umum
kesulitan ekonomi sangat
disadari sebagai sebuah
prioritas yang perlu
diselesaikan sebelum
melangkah untuk membangun
perjuangan politik menuju
terciptanya gerakan buruh
yang kuat.
Ratna Saptari, koordinator
program CLARA-Changing
Labour Relations in Asia di
Amsterdam melengkapi diskusi
mengenai gerakan buruh
dengan melontarkan isu
perempuan. Tulisannya yang
komprehensif merangkum
situasi buruh perempuan yang
terbentuk akibat asumsi peran
gender perempuan yang
mengandung implikasi
terhadap posisi mereka di
pabrik dan di sekitaran gerakan
buruh. Selain peran gender,
seksualitas perempuan juga
merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap situasi
dan apresiasi peran mereka
selain juga menjadi faktor yang
menyebabkan perempuan
sendiri gamang menentukan
perempuan di lingkungan
tempat kerja akibat aspek
seksualitas tersebut, mewujud
pula dalam keterlibatannya
dalam gerakan buruh.
Jurnal ini dilengkapi pula
dengan ruang metodologi yang
mengurai Metode Pendekatan
Partisipasi yang
prinsip-prinsipnya sangat tepat
dalam proses pemberdayaan
masyarakat, termasuk
masyarakat buruh. Bagian ini
ditulis bersama oleh Ratna I.
Yosodipuro, Alma Arief dan
Amin Robiarto. Metode ini
mengandung sinergi maksud
melakukan penelitian dan
memberdayakan masyara-kat
karena pada hakikatnya
masyarakat sendirilah yang
menjadi subyek dan pelaku
penelitian itu.
Sebuah kronik berita mengenai
perkembangan singkat situasi
organisasi buruh disajikan oleh
Ristadi K. Widodo dari
AKATIGA sebagai rangkaian
dari pembuatan basis data
(data base) perburuhan. Kronik
berita ini akan menjadi sebuah
sajian rutin untuk memperbarui
informasi mengenai situasi
terbaru mengenai berbagai
topik perburuhan, sebagai
salah satu wujud pelayanan
AKATIGA terhadap kebutuhan
informasi pihak yang
mempunyai keperdulian
EDITORIAL
ECONOMIC CRISIS:
THE TURNING POINT OF LABOUR
BARGAINING POSITION?
Economic crisis in general
brings various impacts to
labour. Basically, the impact
can be categorised into
sectors, regions, and gender.
Research on the impact of the
crisis to business activities
(small, medium, and large
scale enterprises) shows
different impact to different
levels. The difference is
determined by geographical
situation, sectors, market
orientation, and material
resources. The research result
shows that geographically the
worst situation with regard to
WKH PHQWLRQHG FULVLV KLW -DYD¶V
urban area, while the outer
islands are relatively better.
Concerning the labour matters,
the crisis hit labour in Java
worse than those in the outer
islands. Viewed from work
sectors, labour in the
manufacture and service
industries are hit by the crisis
worse than those in the
agricultural or its related
industries. The other impact of
economic crisis is an indication
of awareness raising of the
urban based white collar on
their weak position as worker,
particularly those in the
financial, transportation
(airlines) and tourism (hotels)
industries. Due to the crisis,
both the blue collar and the
the white collar as those of the
blue collar, have a weak
bargaining position.
The combined socio-economic
and socio-political factors can
generally be identified as the
negative impact of economic
crisis to labour. The first factor
negotiate with their employers.
7KH GHFOLQH RI ODERXU¶V
bargaining position is
experienced by those who are
affected by both the negative
(working separation) and the
positive impact (wage increase)
of the crisis. For the second
who face wage increase), the
economic improvement has
nothing to do with the
improvement of their
bargaining position.
The present edition of Journal
of Social Analysis Journal tries
WRUDLVHODERXU¶VUHDOSUREOHPLQ
its connection with economic
crisis. The mentioned problem
as it is showed in articles in this
journal, is obtained from
research, plea and advocacy
activities, intensive and
systematic observation.
/DERXU¶V SUREOHP LV VLGH DQG ODERXU¶V H[SHULHQFH
comparison and
recommendation can be used
to improve policy arrangement
process and to develop
thoughts. At the end, all efforts
DUHGLUHFWHGWRLPSURYHODERXU¶V
position in equitable
perspective.
The present journal raise the
differences of the impact of the
crisis in the industrial,
plantation and service sectors.
The last mentioned sector is
particularly that of the
financial/banking, tourism, and
migrant workers. Studies on the
three sectors show that the
positive impact of economic
crisis is experienced only by
those who work in coffee
plantation in East Java. As an
export commodity, coffee
industries are benefited by the
crisis. Nevertheless, the benefit
is experienced only by a small
number of people. The
geographical condition of
coffee plantation has formed
an exclusive community which
raise jealousy to the
non-plantation community in the
surrounding area. Moreover,
the jealousy has led to the
plundering of coffee plantation.
Consequently, the harvesting
time is moved earlier which
PDNH WKH ODERXU¶V ZRUNLQJ
period shortened.
Labour in other sectors face
similar situation i.e. cannot
avoid mass working separation.
It is often happened that the
separation is conducted without
referring to the prevailing
regulation. For those
categorised as migrant labour,
they face deportation from the
opposition to fight for their
rights i.e. demonstrations,
strikes, accusation to Legal Aid
,QVWLWXWHRUWRDQ\RWKHUODERXU¶V
advocacy institutes. It is found
that such actions do not have
enough media coverage, since
the media at the moment
problem is removed from public
attention.
raise during the crisis is that
UHODWHG WR ODERXU¶V RUJDQLVDWLRQ
i.e. labour activists who make
use of the opportunity to form
trade unions. At present it is
possible for everybody to form
trade unions since the
Indonesian government
through the Presidential
Decree has UDWLILHG ,/2¶V
convention on the freedom of
union. It is soon declared what
is called trade unions i.e. those
ZKLFK LV ³ERWWRP XS´ WUDGH XQLRQ WKH ROG ³UH-ERUQ´ WUDGH
union, or trade union which is
established by those who have
concern on labour matters
whether they are political elites
or political activists. At the
EHJLQQLQJ WKH ³QHZ´ WUDGH
unions try to identify and to
focus on what activities will
grassroots level labour do not
experience yet, the existence
and the advantage of such
unions. The mentioned
situation leads to a lack
between the real needs of
labour on one side and the
XQLRQ¶VSURJUDPVRQWKHRWKHU
Gender is another important
issue within the context of the
impact of economic crisis.
Women labour constitute the
majority in the industrial,
plantation and service sectors.
In sectors that apply working
separation, the number of the
separated women labour is
more or less similar to those
recruited before. The labour
intensive industries - in which
80% of their labour are women
- dismiss women more than
men. It is noted that apart from
gender, age and marital status
are other factors that contribute
WR HPSOR\HUV¶ FRQVLGHUDWLRQ
whether they are going to
dismiss their labour or not. It is
likely that old married women
are the vulnerable group during
the crisis. Cases on the labour
intensive and the plantation
sectors show that married
women face hard problem in
managing their household. The
mentioned problem is
particularly applied to those
who lose their job or face wage
decline. The worsening working
condition brings similar
situation to the household.
Concerning the mentioned
labour is a result of the
interaction between the
domestic and the public roles
(working place)1.
With regard to trade union and
gender aspects, it is found that
women are poorly represented
in the union, despite to the fact
WKDWYDULRXV³QHZ´WUDGHXQLRQV
are established nowadays.
(YHQ WKRXJK ODERXU¶V
demonstrations and strikes
occur in women dominated
sectors, women
UHSUHVHQWDWLYHV LQ WKH XQLRQ¶V
board are very few. If they do
so, women normally occupy the
VR FDOOHG ³WUDGLWLRQDO´ SRVLWLRQ
1
The definition of working place cannot be limited only to that which is located outside the home i.e. IDFWRU\ HPSOR\HU¶V KRPH RU DQ\ other working places. Included in WKHGHILQLWLRQLVWKHZRPHQ¶VKRPH itself i.e. when they do sub contract or home-based work.
treasurer. This is a general
phenomenon regardless the
background of the union.
Gender bias as it is happened
in trade union become an
agenda for advocacy activities.
The first article in the present
journal is written by Saut C.
ManaluDQ1*2¶VDFWLYLVWIURP
Bandung Legal Aid Institute.
He shares his experience in
observing the economic crisis
within the labour context. He
also assists labour of various
sectors in fighting for their
rights. Saut C. Manalu
discusses the labour situation
in industrial, financial and
tourism sectors in Bandung. He
presents a description of the
FULVLV¶ LPSDFW RQ ODERXU LQ WKH
mentioned sectors. Moreover,
EHWZHHQ WKH ODERXU¶V FXUUHQW VLWXDWLRQ DQG WKH JRYHUQPHQW¶V SROLF\ +H QRWHV WKH SROLF\¶V LQFRQVLVWHQF\ D SRRU ODERXU¶V
protection and a poor
implementation on the right to
organise.
Yuniyanti Chuzaifah from the
Association of Women
Solidarity (Perkumpulan
Solidaritas Perempuan) shares
her experience in observing
migrant workers. Mass
deportation is the most
prominent impact faced by
women migrant workers.
Furthermore, exploitation
occurs in all steps i.e. from the
departure time until the arrival
time. In such a situation, law
protection is not yet performed,
even though any efforts have
working contract abroad.
Keppy Sukesi from Centre of
Women Studies of Malang
based Brawijaya University
conducted a research on the
impact of economic crisis on
plantation workers. The
research result shows that the
exclusive nature of plantation
community brings negative
impact to the workers. During
the crisis there is no more
expectation of working
continuity for them. The reason
behind the mentioned
phenomenon is related to the
jealousy of the outer
community who lose their job
and their income. The research
also describes the reason
employers be able to get a
higher profit through the
ZRPHQ¶VKRXVHKROGVXEVLG\
The next article is written by
Indrasari Tjandraningsih, a
researcher of AKATIGA and
the writer of this editorial. She
particularly focuses her
analyses based on a research
of working separation of
married women workers in
labour intensive industries in
urban area. She also discusses
the possibility of the limitation
of working opportunity for
women workers in the
mentioned industries. The
research - which was
conducted at the end of 1998 -
indicates that working
opportunity in the mentioned
sector become narrow for
married women but become
women. It is likely that married
women will move to informal
sector (non-permanent work)
such as sub-contracting,
putting out system, outwork.
Such phenomenon follows the
tendency of the application of
flexible labour which is likely
become the future trend.
Flexible labour system
however, leads to a vulnerable
working condition.
Arief W. Djati from Surabaya
based AREK Foundation,
writes on the development of
labour movement in East Java.
He discusses the changing
process of a labour network
into a trade union.
Furthermore, he shows a gap
between political fight on one
side and economic fight - which
problem - on the other side. It
is fully understood that for
labour, economic problem
needs to be solved first in order
to be capable for political fight
Amsterdam based Changing
Labour Relations in Asia
(CLARA). She writes a
comprehensive article on the
situation of women labour and
its relations with their gender
role. She points out that gender
UROH DQG ZRPHQ¶V VH[XDOLW\ LQIOXHQFH ZRPHQ¶V SRVLWLRQ LQ
their working place (factory)
and in the labour movement.
Both factors contribute to
ZRPHQ¶V XQFHUWDLQW\ LQ
determining their attitude.
Furthermore, she mentions that
all factors in the domestic and
the public sphere, and its
UHODWLRQ ZLWK ZRPHQ¶V VH[XDOLW\ DQGJHQGHULQIOXHQFHZRPHQ¶V
involvement in labour
movement.
A supplement article discusses
a Participatory Method
Approach, is written by Ratna I.
Yosodipuro, Alma Arief and
Amin Robiarto. The approach
can precisely be applied in
SHRSOH¶V HPSRZHUPHQW DFWLYLWLHV LQFOXGLQJ WKHODERXU¶V
The Participatory Method
Approach tries to cover both
the research and the
empowerment activities.
More-over, it treats people as the
development of trade union is
written by Ristadi K. Widodo,
from AKATIGA. The chronicle
is a part of a labour data base
which is still in progress. An up
to date information on labour
matters will be presented
regularly in the chronicle. The
publication of the chronicle is a
SDUW RI $.$7,*$¶VLQIRUPDWL-on service directed to those who
have concern on labour
matters.
kebijakan perburuhan di masa krisis
KEBIJAKAN PERBURUHAN
DI MASA KRISIS
Saut Christianus Manalu1
Pengantar
Jatuhnya nilai rupiah ternyata
berakibat buruk bagi
perekonomian Indonesia.
Akibat langsung dari masalah
ini adalah total hutang luar
negeri Indonesia semakin
membengkak. Devaluasi nilai
rupiah telah meningkatkan
angka inflasi sehingga
meningkatkan biaya hidup
mayoritas rakyat Indonesia.
Menghadapi kesulitan ini,
satu-satunya cara yang dilakukan
pemerintahan Soeharto adalah
meminta bantuan pinjaman
uang dari IMF. IMF bersedia
membantu, akan tetapi
Indonesia harus menyetujui
dan memenuhi sejumlah
persyaratan yang ditetapkan
secara sepihak oleh IMF. Di
antaranya keputusan penting
dalam syarat-syarat pinjaman
itu adalah Pemerintah
Indonesia harus
menghapuskan monopoli
BUMN, sekaligus menghapus
subsidi sebagian jenis
sembako. Jika persyaratan ini
dituruti, maka harga-harga
sembako seperti gula, kacang
kedele, dan tepung terigu, akan
Harga-harga sembako tersebut
dipastikan akan naik karena
Pemerintah Indonesia
akhir-nya menyetujui syarat-syarat
pinjaman dari IMF, yaitu
menghapus subsidi minyak
bumi, listrik, dan jenis
subsidi-subsidi lainnya sejak bulan
April 1998.2
Bagi seluruh rakyat Indonesia,
krisis yang tadinya hanya
sebatas krisis moneter berubah
menjadi krisis ekonomi. Apalagi
pada saat itu Indonesia
mengalami beberapa bencana
alam, seperti musim kemarau
panjang yang menyebabkan
kekeringan dan gagalnya
panen, serta kebakaran hutan
di Riau dan Kalimantan.
Rusaknya perekonomian telah
1
Staf Divisi Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. 2
Singh, Kavaljit, Citizen's Guide to the Globalisation of Finance, Madhyam Books, Delhi - India, 1998, p.81 - 94.
menyebab-kan sebagian besar
rakyat Indonesia berada dalam
kesengsaraan, terutama
kesulitan makanan dan job
insecurity.
Dalam perkembangan saat ini,
perubahan-perubahan yang
terjadi di Indonesia ternyata
lebih merupakan
perubahan-perubahan yang diharapkan
oleh IMF dan
lembaga-lembaga keuangan lainya,
seperti World Bank (WB), Asia
Develop-ment Bank (ADB),
UNDP, dll, daripada sebagai
perubahan-perubahan yang
dituntut reformasi rakyat.
Beberapa contoh perubahan
yang telah dilakukan
Pemerintahan Habibie
menunjukkan hal itu. Misalnya,
dikeluarkannya undang-undang
kepailitan, dilikuidasinya
kebijakan perburuhan di masa krisis
dilaksanakannya program
Jaring Pengaman Sosial,
swastanisasi BUMN,
diciptakannya pegadilan niaga,
dilakukannya sistem multi
partai, mulai dilaksanakannya
clean government, mulai
diperketatnya peng-awasan
terhadap korupsi, dll. Tentu
saja perubahan-perubahan itu
sangat disukai oleh IMF karena
memberikan jaminan atas
keselamatan modal yang telah
dipinjam-kan dan memberikan
harapan akan adanya
keuntungan lebih besar dari
akumulasi modal yang telah
dan akan ditanamkan di
Indonesia.
Akibat Krisis bagi Buruh di
Indonesia
Krisis ekonomi global yang
melanda hampir seluruh
belahan dunia dalam tiga tahun
ini, telah menyebabkan
perubahan-perubahan besar
dalam struktur sosial
masyarakat. Krisis ekonomi
juga telah mengakibatkan
banyak negara ber-kembang
jatuh miskin, termasuk Korea
Selatan, Mexico, dan Philipina.
Indonesia yang sebelumnya
diproyeksikan akan menjadi
negara-negara industri baru,
ternyata ikut jatuh miskin juga.
Tentu saja golongan
masyarakat yang paling
menderita akibat terjadinya
krisis adalah golongan
masyarakat ekonomi
menengah ke bawah, termasuk
kaum buruh.
Bagi buruh di Indonesia, krisis
ekonomi global telah
menyebabkan
Banyak perusahaan yang
bangkrut karena terbelit utang
dan sebagian lagi berjalan
tersendat-sendat. Meskipun
masih ada perusahaan yang
tetap stabil dan berkembang,
mereka memanfaatkan kondisi
krisis ini sebagai alasan untuk
tidak memberikan upah dan
kesejahteraan yang layak
kepada buruh-buruhnya. PHK
masal akibat bangkrutnya
banyak perusahaan menjadi
tidak terelakkan. Repotnya,
lapangan kerja di luar sektor
manufaktur, seperti sektor
agraris, tak mampu lagi
menampung korban PHK.
Sementara itu mereka harus
bersaing pula dengan
pengangguran lain yang belum
sempat bekerja dan dengan
calon tenaga kerja baru yang
masih bersekolah. Mencari
pekerjaan di negara lain pun
sudah semakin susah, karena
negara-negara yang tadinya
dapat menampung tenaga
kerja Indonesia pun mengalami
krisis ekonomi yang sama
beratnya dengan Indonesia.
Tentu saja, negara-negara itu
lebih mementingkan nasib
buruh dan penganggurannya
sendiri daripada nasib buruh
dan pengangguran dari negara
lain.
Beberapa masalah yang
sangat menonjol akibat krisis
ekonomi adalah sebagai
berikut :
1. PHK masal
Krisis ekonomi global telah
menyebabkan PHK masal di
negara-negara yang
mengalaminya, terutama di
kebijakan perburuhan di masa krisis
Selatan, dan Amerika Latin3.
Bagi Indonesia, buntut dari
krisis ekonomi adalah
ambruknya banyak
perusahaan, apalagi modal
sebagian besar perusahaan
tersebut sangat bergantung
kepada pinjaman bank, baik
nasional maupun internasional.
Akibatnya, jutaan buruh
menjadi korban PHK masal.
Selain karena krisis ekonomi,
PHK masal ini menjadi tak
terelakkan karena ada
ketentuan dari IMF yang harus
ditaati pemerintah Indonesia,
seperti restrukturi-sasi
perusahaan dan reformasi
perban-kan. Kedua keputusan
inilah yang menyebabkan
pemerintah Indonesia harus
melakukan likuidasi terhadap
sejumlah bank, yang
3
Newsweek, August 3, 1998.
selanjutnya menyebabkan PHK
terhadap sekitar 17 ribu buruh
perbankan pada Februari ±
Maret 1999. Perjanjian dengan
IMF inilah yang dapat
menjelaskan sebab-sebab
pemerintah Indonesia tidak
dapat berbuat banyak untuk
mengatasi masalah ini.4
Menurut laporan resmi kantor
perwakilan ILO di Jakarta, 5,4
juta tenaga kerja Indonesia
kehilangan pekerjaan.5
Menurut Kepala Dinas Tenaga
Kerja (Disnaker) Jawa Barat,
Iyus Atmadja, S.H., sejak krisis
4
Berdasarkan laporan dari APEC Labour Rights Monitor (ALARM), issue no.31/April 1999, PHK masal terhadap ribuan buruh akibat penutupan perusahaan, terjadi juga pada perusahan-perusahan TNC Jepang di Selandia Baru, seperti perusahan-perusaha-an asembling Mitsubishi, Honda, Toyota dan Nissan. Demikian juga perusahaan-perusahaan
onderdilnya seperti Kensons, Yasaki dan Alkatel.
5
ekonomi 1.000 (4,3%) dari
23.090 perusahaan skala
besar, kecil, dan menengah
yang ada di Jawa Barat sudah
melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dan
sebagai akibatnya, 99.000
buruh menjadi korban.6 Di
Kodya Bandung hingga bulan
September 1998, buruh yang
mengalami PHK berjumlah
6.780 orang dari 81
perusahaan.7 Jumlah ini akan
menjadi lebih besar lagi jika
ditambah dengan PHK yang
terjadi di sektor informal. Dari
jumlah tersebut, Depnaker
Jawa Barat hingga saat ini
tidak pernah memberikan
laporan atau data yang lengkap
mengenai bagaimana proses
PHK dilakukan, alasan
terjadinya PHK, dan
6
Pikiran Rakyat, 6 Mei 1999. 7
Pikiran Rakyat, 2 September 1998.
bagaimana perlindungan
hak-hak buruh akibat PHK tersebut.
Berdasarkan pengamatan LBH
Bandung terhadap
kasus-kasus yang masuk dan
wawancara dengan para buruh
di Bandung, jumlah korban
PHK di Jawa Barat belum
semuanya didata oleh
Depnaker Jawa Barat.8 Karena
itu, jumlah korban PHK
diperkirakan jauh lebih besar
dari yang sudah diungkapkan.
Sebagai contoh, dalam dua
8
kebijakan perburuhan di masa krisis
bulan ini IPTN telah melakukan
pensiun dini terhadap sekitar
1.000 buruhnya. Proses
pensiun ini tidak dilaporkan
kepada Depnaker, dengan
alasan bukan PHK.
Berdasarkan keterangan dari
buruh yang masih bekerja,
IPTN akan melakukan lagi PHK
terhadap ribuan buruh yang
lain. Proses pensiun dini tidak
menimbulkan protes yang
cukup berarti dari buruh, selain
karena mereka merasa kesal
akibat kehilangan pekerjaan,
juga karena IPTN berani
membayar jumlah uang pesiun
dini yang cukup besar, yaitu
Sebelum pensiun dini terjadi, Divisi Perburuhan LBH Bandung pernah memberikan materi tentang PHK bagi buruh-buruh IPTN, dalam diskusi tersebut jelas terlihat bahwa banyak yang kecewa seandainya mereka di PHK atau
sangat jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan jumlah
uang pesangon yang akan
mereka terima, seandainya
IPTN memberlakukan PHK
terhadap para buruh.10
Selama musim PHK masal,
tidak ada satu pun kekuatan
massa buruh yang
terorganisasi pernah
menentang atau menghentikan
terjadinya PHK masal.
Sebelum Indonesia meratifikasi
Konvensi ILO No. 87 pada
tanggal 5 Juni 1998, SPSI
merupakan satu-satunya
serikat buruh yang diakui
terkena pensiun dini meskipun uang pensiunnya besar.
10
pemerintah. Dalam
kapasitasnya sebagai serikat
buruh tingkat nasional, SPSI
tidak pernah melakukan usaha
apapun untuk menentang PHK
masal. Serikat-serikat buruh
tingkat nasional lainnyapun,
yang berdiri setelah ratifikasi11,
tidak pernah melakukan
usaha-usaha untuk menentang laju
PHK masal, bahkan beberapa
di antaranya lebih
mementingkan organisasi
daripada mengurusi nasib
buruh. Sebenarnya, ada
beberapa serikat buruh tingkat
tempat kerja yang aktif dalam
bahkan pengurusnya
11
Hingga saat ini di tingkat nasional sudah ada 18 serikat buruh.
dirumahkan dan di intimidasi
oleh perusahaan, seperti yang
dialami oleh pengurus Serikat
Buruh PT NT Majalaya.12
Sikap dan respon dari partai
politik lebih menyedihkan lagi.
Sebelum terjadinya krisis,
Golkar, PPP dan PDI sama
sekali tidak pernah
menunjukkan usaha yang
berarti untuk menentang
terjadinya PHK masal.
Demikian juga dengan 45
partai politik lainnya yang
berdiri setelah Soeharto
mundur, termasuk empat partai
politik yang mengklaim dirinya
kebijakan perburuhan di masa krisis
partai politik sibuk
memfokuskan dirinya kepada
kampanye pemilu tanpa
menyinggung masalah buruh.
Padahal, salah satu materi
kampanye yang paling baik
adalah memperjuangkan nasib
buruh yang sudah di ujung
tanduk. Sebagai contoh,
sewaktu terjadi aksi ribuan
buruh bank yang menuntut
jumlah uang pesangon kepada
BPPN, tidak ada satu pun
materi kampanye dari
partai-partai politik yang mengambil
tema atau mendukung aksi
yang dilakukan buruh bank,
padahal aksi itu dilakukan
bertepatan dengan massa
kampanye. Demikian juga
dengan PHK masal terhadap
1.132 buruh PT Maspion, baik
yang berlokasi di Gresik
pemilih adalah buruh.
maupun yang di Sidoarjo,14
serta PHK masal terhadap
1.450 buruh PT Mayora,15 tidak
ada partai politik yang
menunjukkan keperdulian
terhadapnya. Sebagai reaksi
terhadap sikap parpol, para
buruh PT Mayora yang sedang
melakukan aksi massa di
depan kantor Menaker pada
saat pemilu tanggal 7 Juni
1999, menyatakan menolak
memberikan suaranya dalam
pemilu tersebut.16
Terhadap terjadinya PHK
masal yang terjadi selama Mayora kepada beberapa media televisi tanggal 7 Juni 1999, Pikiran Rakyat, 2 Juni 1999.
16
Berdasarkan kesaksian para
buruh di beberapa wilayah
industri di Kabupaten Bandung,
SPSI sama sekali tidak
mempersoalkan terjadinya
PHK masal. Mereka hanya
mengurusi uang pesangon,
yang dalam banyak kasus,
para buruhnya ternyata
menerima pesangon lebih kecil
dari yang ditentukan dalam
peraturan yang berlaku17.
Bahkan, SPSI kadang-kadang
menganjurkan terjadinya PHK
dengan iming-iming mereka
akan memperjuangkan uang
pesangon. Sikap ini
sebenarnya merupakan
kebiasaan SPSI yang sudah
berlangsung sejak lama.18
17
Pengaduan ke LBH Bandung, kasus PHK masal terhadap seluruh buruh (457 buruh) PT IM Majalaya, Februari 1999.
18
Klien LBH Bandung terhadap 53 buruh PT IT Cimahi, November 1998. Perlakuan ini sudah dilakukan sebelum reformasi,
Sikap Depnaker, mulai dari
Disnaker, Depnaker, P4D,
Kanwil, P4P, dan Menteri
Tenaga Kerja pun hampir sama
dengan sikap SPSI. Dalam
kasus-kasus PHK
perseorangan dan PHK masal,
sebagian besar anjuran
Disnaker/Depnaker, P4D dan
Keputusan P4P adalah
menyetujui atau mengabulkan
terjadinya PHK, meskipun
tanpa dasar hukum ataupun
bukan karena alasan krisis
ekonomi.19 Demikian juga
dengan Menteri Tenaga Kerja,
meskipun mempunyai hak
untuk melakukan veto, jarang
sekali ia menggunakan haknya
untuk melakukan veto terhadap
putusan P4P. Pemerintah,
DPR, aparat keamanan,
seperti yang dilakukan terhadap PHK masal 273 buruh CV W Cimahi, 1996.
19
kebijakan perburuhan di masa krisis
penegak hukum serta lembaga
pengadilan, sekalipun tidak
jauh berbeda, tidak dapat
berbuat banyak menghadapi
PHK masal. Mereka cenderung
tidak mempersoalkan
terjadi-nya PHK, asal perusahaan
membayar uang pesangon.
Tidak semua PHK terjadi
karena alasan kriris ekonomi.
Banyak PHK, baik masal
maupun perorangan yang
terjadi selama krisis ekonomi,
dilakukan secara
sewenang-wenang oleh pengusaha
semata-mata hanya untuk
mematahkan perjuangan kaum
buruh dalam menuntut
hak-haknya. Sebagai contoh, PHK
masal terhadap 53 orang buruh
perempuan PT IT, Cimahi
(November 1998) dilakukan
buruh-buruh itu karena
ditangani oleh LBH Bandung.
melakukan mogok, menuntut
diberikannya cuti haid, dan
buruh Tyfountex, Solo,22
terhadap 1.232 buruh PT
Maspion (meskipun akhirnya
dikerjakan kembali setelah
Menteri Tenaga Kerja Fahmi
Idris menjatuhkan veto
terhadap keputusan P4P),23
dan terhadap buruh hotel PW
Bandung24 hanyalah
mengulang perilaku represif
lama yang sudah berlangsung
di masa Orde Baru, yaitu
semata-mata untuk
mematahkan perjuangan kaum
buruh dalam menuntut
hak-haknya. Di massa Orde Baru
tindakan PHK masal selalu
ditentang pemerintah beserta
aparat keamanannya.
Seringkali Orde Baru
menyatakan aksi buruh seperti
ini memiliki tuntutan yang tidak
masuk akal dan tanpa dasar
hukum, melanggar hukum,
meng-ganggu stabilitas
nasional, dan di-tunggangi oleh
pihak ketiga.
Sebelum terjadi krisis ekonomi,
PHK terhadap buruh sudah
sangat mudah dilakukan,
apalagi dengan terjadinya
krisis. Hukum perburuhan
memberi peluang yang begitu
besar dan mudah bagi
pengusaha untuk melakukan
PHK terhadap buruh.
Berdasarkan Permenaker No.
3 tahun 1996, pasal 25 :
(ayat 1):
Dalam hal pemutusan hubungan kerja perorangan bukan karena kesalahan pekerja, maka uang pesangon ditetapkan sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 21 kecuali atas persetujuan kedua belah pihak ditetapkan lain, uang jasa ganti kerugian sesuai dengan ketentuan pasal 22 dan 23.
(ayat 2)
Dalam hal pemutusan hubungan kerja masal karena perusahaan tutup, besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian ditetapkan berdasarkan ketentuan pasal 21, pasal 22 dan pasal 23.
(Ayat 3)
kebijakan perburuhan di masa krisis
Berdasarkan peraturan pasal di
atas, pengusaha mempunyai
hak yang dilindungi hukum
untuk melakukan PHK
terhadap buruh, baik karena
kesalahan yang dilakukan oleh
buruh maupun tanpa
kesalahan. Selain itu, hal lain
yang memudahkan pengusaha
melakukan PHK terhadap
buruh adalah jumlah pesangon
yang diberikan sangat kecil.25
Meskipun ada ketentuan pada
pasal 2 (1, 3, dan 4) yang
melarang pengusaha
melakukan PHK, dengan
adanya ketentuan dalam pasal
25 maka larangan PHK
25
Kecilnya uang pesangon telah menjadi pemicu aksi besar-besaran buruh-buruh perbankan dari bulan Februari - Maret 199, yang terkena PHK masal akibat dilikuidasinya 38 bank swasta oleh BPPN pada bulan Februari 1999. Mereka melakukan aksi untuk menuntut pesangon yang lebih besar dari ketentuan Permenaker
tersebut menjadi tidak
mempunyai arti apa-apa.
Berdasarkan alasan ini juga,
maka dalam masa krisis,
perusahaan tidak mempunyai
hambatan yang cukup berarti
dalam melakukan PHK
terhadap para buruhnya.
Selain dari perangkat hukum
perburuhan yang tidak
membela kepentingan kaum
buruh, lembaga penyelesaian
perselisihan perburuhan dan
pengadilan juga memudahkan
pengusaha melakukan PHK
terhadap buruh, baik masal
maupun perorangan. Dalam
anjuran-anjuran dan
keputusan-keputusan yang
dikeluarkan
Disnaker/Depnaker, P4D, P4P,
dan pengadilan, seringkali
buruh yang tidak memiliki
kesalahan apapun di PHK
tanpa dasar hukum. Alasan
yang digunakan lembaga itu
sederhana saja, yaitu antara
buruh dan majikan tidak
harmonis lagi sehingga
hubungan kerja tidak dapat
dilanjutkan, karena itu PHK
diizinkan. Longgarnya
alasan-alasan untuk melakukan PHK
sangat memudahkan
pengusaha melakukan kolusi
dengan aparat untuk
melakukan PHK terhadap
buruh. Kondisi warisan Orde
Baru ini masih berlangsung
hingga sekarang.
2. Skorsing dan merumahkan
buruh
Selain melakukan PHK masal,
banyak perusahaan juga
merumahkan dan melakukan
skorsing terhadap buruhnya.
Tidak semua tindakan
merumahkan dan skorsing
dilakukan karena alasan krisis
ekonomi, tetapi juga karena
aksi yang dilakukan buruh
sebelumnya. Sebagai contoh,
tindakan pengusaha
merumahkan 97 buruh PT PEP
Karawang (Texmaco Group)
pada bulan Januari 1999,
gara-gara para buruh melakukan
aksi massa memprotes
penghapusan tunjangan
sembako dan kecilnya uang
insentif yang dianggap tidak
memenuhi rasa keadilan. Dari
97 orang buruh yang
dirumahkan, terdapat ketua
PUK±SPSI PT PEP, yang
dituduh perusahaan sebagai
dalang dan yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya aksi
buruh. Padahal dalam
kesaksiannya dan diakui oleh
kebijakan perburuhan di masa krisis
dilakukan secara spontan
sebagai reaksi terhadap
buruknya kebijaksanaan
perusahaan, dan pada saat
aksi terjadi, Ketua PUK-SPSI
sedang tidak bekerja.
Perkembangan terakhir dari
peristiwa ini adalah, 17 orang
mengundurkan diri, 75
dipekerjakan kembali, dan 5
orang sampai sekarang masih
dirumahkan. Mereka ini,
termasuk Ketua PUK-SPSI26
dianggap sebagai pentolan
massa buruh.
Kasus lain terjadi juga terhadap
200 buruh PT Gladiatex
Cimahi27 dan terhadap 16
orang buruh PT NT Majalaya
yang dirumahkan sejak Januari
1999 gara-gara mendirikan
serikat buruh. Alasan
26
Kronologis dan wawancara dengan, Ketua PUK-SPSI PT PEP. 27
Pikiran Rakyat, 9 Juni 1999.
perusahaan merumahkan
mereka adalah untuk
melakukan efisiensi karena
pabrik kekurangan order.
Padahal, menurut keterangan
buruh yang masih aktif bekerja,
hingga saat ini order bahkan
lebih ramai.28
3. Pembersihan aktivis buruh
Banyak juga PHK
perseorangan maupun PHK
masal dan tindakan
merumahkan buruh pada masa
krisis, dilakukan pengusaha
semata-mata untuk
mem-bersihkan aktivis buruh dengan
memanfaatkan isu krisis.
Dirumahkannya 16 orang
buruh PT NT Majalaya, PHK
terhadap 40 orang buruh PT
GA Ujungberung dengan
28
alasan efisiensi, dan PHK
terhadap sembilan orang buruh
PT SI Cimahi, merupakan
beberapa contoh di mana
perusahaan memanfaatkan isu
krisis ekonomi untuk
melakukan pembersihan aktivis
buruh.
Enam belas orang buruh PT
NT di rumahkan, setelah
mereka mendeklarasi-kan
berdirinya Serikat Buruh PT
NT. Semua yang dirumahkan
adalah pengurus dan
organisator buruh di pabrik itu.
Enam belas orang inilah yang
menjadi kelompok inti Serikat
Buruh PT NT yang sudah
mempersiapkan berdirinya
serikat buruh dengan
melakukan pendidikan dan
pengorganisasian kepada
kawan-kawannya sejak empat
tahun yang lalu. Karena itu jika
mereka di PHK, maka semua
pekerjaan itu kembali ke angka
nol. Para buruh menolak
tindakan pengusaha dan
menuntut tetap bekerja seperti
biasa, apalagi upah selama
dirumahkan hanya dibayar
sebesar 50%. Tuntutan para
buruh ditolak, bahkan
pengusaha mengarang cerita
tentang pencurian kain, lalu
pengusaha mengizinkan para
buruh bekerja kembali kalau
mereka dapat menyebutkan
nama-nama para pencuri kain
tiga tahun yang lalu, yang tidak
mereka ketahui. Kalau mereka
tidak dapat menyebutkan
orang-orang tersebut, maka
perusahaan akan melakukan
PHK ter-hadap mereka.29
PHK masal terhadap 40 orang
buruh PT GA dilakukan setelah
29
kebijakan perburuhan di masa krisis
mereka mogok menuntut
kenaikan upah 100% dan
berdirinya Serikat Buruh
Mandiri (independen). Semua
organisator dan calon
pengurus serikat berada dalam
rombongan tersebut. Sehari
sebelum terjadinya PHK,
Depnaker Kodya Bandung
sejak sore hari sampai jam
02.00 dini hari, berada di
perusahaan bersama dengan
pengusaha. Mereka menonton
rekaman video pemogokan
yang ternyata direkam secara
lengkap oleh pengusaha
melalui handycam. Melalui
rekaman tersebutlah
pengusaha melakukan PHK
terhadap para aktivis buruh.
Selain menonton video
pengusaha, Depnaker juga
mempelajari Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga
Serikat Buruh Mandiri (SBM)
yang sudah berdiri
sebelumnya, di PT TNR dan
PT ST Ujungberung. Terhadap
tuntutan buruh untuk
mendirikan SBM, pengusaha
menolak mentah-mentah dan
tetap mempertahankan SPSI
yang sudah ada sebelumya.
Padahal SPSI ditolak oleh 80%
buruh karena sama sekali tidak
pernah membela kepentingan
buruh di pabrik itu.
Demikian juga PHK terhadap
sembilan orang buruh PT SI
Cibaligo Cimahi dilakukan
untuk mengeluarkan sembilan
buruh yang selama ini menjadi
organisator buruh di pabrik
tersebut. Perusahan
melakukan PHK terhadap
mereka dengan alasan
efisiensi. Kalau memang benar
demikian, maka buruh yang
yang tidak terlalu produktif.
Padahal sembilan orang ini
merupakan tenaga muda dan
sangat produktif. Alasan
efisiensi menjadi tidak masuk
akal, karena selain yang
sembilan orang tadi,
perusahaan tersebut belum
melakukan PHK lagi sampai
sekarang sekarang.30
4. Upah rendah
Selama krisis, UMR telah
mengalami kenaikan dua kali,
yaitu pada bulan Agustus 1998
dan bulan April 1999, kenaikan
terakhir sebesar 16%. Jumlah
UMR sebulan adalah sebesar
Rp 231.000,00 untuk DKI dan
Rp 230.000,00 untuk Botabek
dan sebagian Jawa Barat.
Menurut Dirjen Binawas
Depnaker, besarnya kenaikan
30
Wawancara dengan para buruh.
UMR baru memenuhi 80%
Kebutuhan Hidup Minimum
(KHM) buruh.31 Kenaikan UMR
menjadi tidak berarti
dibandingkan dengan kenaikan
harga barang-barang
kebutuhan pokok di pasaran
yang berkisar antara 100%±
400%. Karena itu, setelah
adanya UMR baru, buruh tetap
melakukan aksi-aksi menuntut
upah yang lebih tinggi dari
UMR.
Berdasarkan catatan pola
konsumsi buruh yang dibuat
oleh salah seorang buruh di
Cimahi pada bulan Desember
1998, pengeluaran minimal
bulanan untuk buruh
perempuan lajang sebesar Rp
274.000,00 per bulan, untuk
laki-laki lajang Rp 357.000,00
per bulan, dan bagi buruh
31
kebijakan perburuhan di masa krisis
berkeluarga dengan seorang
anak yang belum sekolah
sebesar Rp 466.126,00.32
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan AKATIGA pada
bulan Januari ± Maret 1998,
jumlah upah berdasarkan KHM
untuk buruh perempuan lajang
sebesar Rp 345.000,00 dan
bagi laki-laki lajang sebesar Rp
347.000,00. Upah yang
diterima buruh pada saat itu
baru memenuhi 50% dari
komponen KHM. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh
Global Exchange, salah satu
LSM yang berada di San
Fransisco, pada tahun 1998,
upah minimum bagi seorang
buruh lajang berdasarkan biaya
hidup adalah sebesar Rp
350.000,00.33 Mengacu kepada
belum memenuhi standar.
Berdasarkan
peraturan-peraturan se-belumnya,
demikian juga dalam
Permenaker No. 1 tahun 1999,
upah buruh masih dimasukkan
sebagai komponen biaya
produksi, tidak ditentu-kan
berdasarkan besaran
keuntungan perusahaan.
Artinya keuntungan
perusahaan atas hasil kerja
buruh, sepenuhnya masih
dimiliki perusahaan dan belum
dimiliki buruh. Di bidang
pengupahan, reformasi sama
sekali tidak terjadi. Hal ini
ditunjukkan, selain jumlah upah
yang masih di bawah standar,
juga sama sekali tidak
memenuhi prinsip utama dari
pengupahan itu sendiri, yaitu
pembagian atas keuntungan
didasarkan pada nilai lebih dari
barang yang dihasilkan buruh.
Bagi buruh di Indonesia,
kenaikan upah menjadi suatu
hal yang paling sulit
diperjuangkan. Hal ini
disebabkan oleh tiga hal,
pertama karena kekuatan
organisasi buruhnya belum
ada, kedua karena pemerintah
Indonesia masih menerapkan
buruh murah sebagai daya
tarik investasi asing, ketiga
karena kebijakan Trans
National Corporations (TNCs)
juga tidak menghendaki
tingginya upah.34
Transnational (TNCs), melalui
kebijakan lembaga-lembaga
keuangan seperti WB, ADB,
IMF, dll, organisasi
internasional serta
perjanjian-perjanjian internasional lainnya,
telah mengatur tata ekonomi
dunia yang menguntungkan
para TNCs. TNCs, melalui
cabang-cabang dan para
subkontraktor-nya yang
tersebar di seluruh dunia
mengatur produksinya secara
seragam. Dengan cara
demikian, maka negara-negara
tersebut akan bersaing
memperebutkan order dan
masuknya investasi asing
melalui beberapa kebijakan
dalam negeri termasuk
kebijakan buruh murah.35
Malaysia, 1997, p. 75 - 98.
kebijakan perburuhan di masa krisis
Bagi perusahaan-perusahaan
transnasio-nal, upah buruh
murah dari negara-negara
berkembang jelas sangat
mereka harapkan karena
tingginya upah di
negara-negara asal mereka. Dalam
menentukan komponen biaya
produksi, TNC pun
menempatkan upah dalam
bagian komponen yang sangat
kecil dibandingkan dengan
komponen produksi lainnya.
5. Flexible workers
Dalam beberapa tahun
belakangan ini banyak
perusahaan mulai
mengusahakan mengurangi
biaya upah buruh, dengan cara
mengatur sistem kerja buruh
yang berdampak pada kecilnya
upah. Bentuk yang
dikembangkan adalah
hubungan kerja yang bersifat
fleksibel seperti casual
workers, buruh paruh waktu,
kontrak musiman (dalam
jangka waktu tertentu), maupun
buruh tetap yang bekerja
penuh akan tetapi beban
kerjanya sangat banyak.36
Di Indonesia, sistem kerja
permanen mulai dihindari dan
digantikan dengan sistem kerja
kontrak. Dalam
Undang-undang No. 25 tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan,
sistem kontrak juga diatur,
artinya secara tegas Indonesia
mulai mempopulerkan sistem
kerja kontrak. Dalam kejadian
sehari-hari, sistem kontrak ini
pun sudah banyak diterapkan
baik di
perusahaan-perusahaan swasta nasional
36
maupun di TNCs.
Di masa krisis, bentuk kontrak
ini berjalan tanpa mengikuti
ketentuan yang berlaku, yaitu
Permenaker No. 2 tahun 1993
tentang Kesepakatan Kerja
Waktu Tertentu. Berdasarkan
peraturan tersebut, buruh
hanya boleh dikontrak
sebanyak 2 kali dengan total
jangka waktu untuk 2 masa
kontrak selama-lamanya 2
tahun, dan jika telah melebihi
ketentuan tersebut, buruh
harus menjadi buruh tetap.
Perkembangan saat ini, banyak
perusahaan mengontrak
buruhnya selama ada
pekerjaan dan jika perusahaan
masih membutuhkan mereka;
jika pekerjaan habis, maka
kontrak pun berakhir.
Seandainya suatu saat
1998.
perusahaan ber-niat
mempekerjakan mereka,
perusahaan akan membuat
kontrak baru lagi.37
6. Pelanggaran hak
berorganisasi
Karena tekanan luar negeri,
Pemerintah Indonesia
meratifikasi Konvensi ILO
No.87 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlidungan
Hak untuk Berorganisasi
berdasarkan Keputusan
Presiden No. 83 tahun 1998,
yang ditetapkan pada tanggal 5
Juni 1998. Keputusan ini
kemudian dikuti dengan
dikeluarkannya Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No.
5/1998 tentang Pendaftaran
Organisasi Pekerja yang
37
kebijakan perburuhan di masa krisis
ditetapkan pada tanggal 27 Mei
1998. Dengan adanya
maka berdirilah banyak serikat
buruh, baik lokal maupun
nasional di luar SPSI.
Meskipun keputusan
kebebasan organisasi ini sudah
dikeluarkan, pelanggaran hak
berserikat masih saja terjadi.
Pelanggaran ini dilakukan oleh
Depnaker, pengusaha, Apindo,
SPSI, dan Tentara.
Bentuk-bentuk pelanggaran yang
terjadi dapat berupa: 1)
melarang berdirinya serikat
buruh; 2) menolak
mendaftarkan serikat buruh; 3)
melarang menggunakan kata
serikat buruh selain serikat
pekerja; 4) melarang berdirinya
serikat buruh independen
selain SPSI; 5) menskorsing
para organisator dan pengurus
serikat buruh; 6) melakukan
PHK terhadap pengurus serikat
buruh; 7) melakukan stigma
serikat buruh sebagai
organisasi terlarang.
Pelanggaran-pelanggaran di
atas tentu saja melanggar dan
bertentangan dengan Konvensi
ILO No.87.
Beberapa contoh untuk
menjelaskan pelanggaran
tersebut adalah sebagai
berikut:
Pelanggaran Hak
Berserikat di PT MAF
Majalaya.
Setelah melakukan
pengorganisasian selama dua tahun, buruh PT MAF mendeklarasikan berdirinya serikat buruh pada tanggal 27 Septermber 1998 dan satu minggu kemudian telah didaftarkan di Disnaker
Kabupaten Bandung.
kebijakan perburuhan di masa krisis
Majalaya, Camat Majalaya. Dalam undangan para pembesar daerah tersebut
menuduh mereka
melakukan organisasi terlarang yaitu organisasi Negara Islam Indonesia, dan tuduhan ini ditolak oleh buruh. Menurut pengakuan lurah, yang memerintahkan dan membuat undangan itu adalah Koramil Majalaya.
Setelah sidang di kantor Desa, besoknya Ketua dan Sekretaris Serikat Buruh di ± PHK oleh pengusaha. Para buruh menolak PHK dan melakukan aksi menolak PHK terhadap pemimpin mereka, dan tuntutan mereka berhasil.
Akan tetapi beberapa hari berikutnya dua orang polisi memanggil Ketua Serikat Buruh ke salah satu ruangan di perusahaan, yang dijaga oleh dua orang tentara. Di ruangan itulah Ketua Serikat Buruh di PHK oleh polisi.
Pelanggaran Hak
Berserikat di PT NT.
Di PT NT, Disnaker menolak mendaftarkan Serikat Buruh PT NT. Alasan yang
dikemukakan, karena serikat buruh bukan serikat pekerja dan pengurus serikat buruh sedang dalam masa skorsing. Ketika terjadi sidang perselisihan
perburuhan dengan
pengusahanya, P4D pun
menolak keberadaan
Serikat Buruh PT NT dan menganjurkan agar mereka diwakili oleh SPSI atau serikat yang terdaftar.
Alasan utama pemerintah
Indonesia meratifikasi
Konvensi ILO No. 87 bukanlah
karena ada perubahan
mendasar mengenai politik
perburuhan, melainkan karena
kepentingan Indonesia untuk
mendapatkan bantuan luar
negeri. Sewaktu Indonesia
berusaha keras mencari
pinjaman luar negeri,
muncullah kecaman keras dari
anggota House of
Representatives Mr. Bernard
Sanders yang mengatakan