• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGULINGKAN REZIM PENGUASA

2.2. Gerakan Mahasiswa Tahun 1998 2 2 1 Krisis Ekonomi Tahun

Gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menurunkan Soeharto dari kursi presiden tidak dapat kita pisahkan dari timbulnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Pada masa-masa awal pemerintahan Orde Baru (1971-1981), pertumbuhan ekonomi Indonesia sangatlah mengesankan, diatas 5% pertahun, hal ini bahkan sampai pada tahun 1997. Hal Hiil dari Australian Nastional University (ANU) menyatakan bahwa pertengahan tahun 1997 perekonomian Indonesia tetap kokoh. Bahkan menurut pemenang Nobel ekonomi, Joseph Stiglitz menyatakan bahwa Soeharto telah berhasil mengentaskan kemiskinan23. Pada awal tahun 1997, pemerintah Indonesia tetap merasa percaya diri dengan kekuatan fundamental ekonomi Indonesia yang telah dibangun selama 30 tahun melalui tahapan pembangunan yang disebut pembangunan lima tahunan (pelita). Pada saat nilai mata uang di beberapa negara di Asia seperti baht (Thailand), won (Korea Selatan), ringgit (Malaysia) dan peso (Filipina) mengalami depresi, pemerintah dibawah pimpinan Soeharto tetap saja tenang dan berkeyakinan bahwa krisis yang melanda Asia tidak akan menimpa Indonesia.

Ditengah ketenangan dan rasa percaya diri yang besar tersebut, tiba-tiba pada bulan Juli 1997 pemerintah dikejutkan dengan jatuhnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar sebesar Rp 2.400. semakin hari nilai mata uang rupiah

23

semakin merosot sampai pernah menembus Rp 12.000 per dolar Amerika Serikat. Angka inflasi pada akhir ahun 1997 mencapai 11% pertahun dan terus meningkat menjadi 77,6% pertahun pada tahun 1998 dan membuat terus turunnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar. Berkeyakinan bahwa krisis yang melanda Asia tidak akan menimpa Indonesia.

Pada saat nilai mata uang rupiah menurun berhembuslah kabar bahwa krisis yang membuat mata uang rupiah jatuh dikarenakan ulah dari para spekualan yang terus mengusik-usuik rupiah24. Akan tetapi sebab yang menyatakan bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh ulah spekulan dibantah oleh banyak tokoh maupun akademisi.

Menteri keuangan Mar’ie Muhammad pada saat berbicara di Asia Society Confrence di New York pada bulan Desember 1997 menyatakan bahwa faktor pemicu krisis ekonomi di Indonesia di sebabkan oleh krisis kepercayaan, tidak konsistennya kebijakan, kurang konsistennya reformasi ekonomi, kurangnya transparansi, rentannya sektor keuangan, utang luar negeri yang sangat besar, lemahnya fundamenta ekonomi perusahaan, lemahnya kepercayaan dalam negeri, pengaruh globalisasi, dominasi kekuatan pasar dan kecemasan para investor25.

Sementara itu Kwik Kian Gie menilai bahwa penyebab krisis adalah soal modal asing. Hal ini telah berlangsung sejak Orde Baru berdiri. Hidup kita bergantung pada pemasukan aliran modal asing. Kendati kita mengalami defisit transaksi berjalan, kita masih terus bersyukur bahwa modal asing masih mengalir masuk. Tetapi sekarang, seandainya dari utang swasta itu diambil alih asetnya oleh kreditor asing, itu artinya perusahaan swasta beralih ketangan asing. Jadi,

24

Diro Aritonang, Runtuhnya Rezim Dari Pada Soeharto : Rekaman Perjuangan Mahasiswa

Indonesia 1998, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999) hal. 21 25

kita perlu berteriak soal kolonisasi. Kita sendiri mengundang modal asing masuk. Kwik juga menambahkan bahwa utang swasta yang mencapai 65 miliyar dolar Amerika Serikat ini sulit dilacak apalagi masuknya melalui beragam cara26.

Hampir seperti yang dikemukakan Kwik Kian Gie, pengamat ekonomi dan juga dosen di fakultas ekonomi UI, Anwar Nasution mengatakan bahwa penyebab krisis ekonomi di Indonesia adalah karena terlalu lama menjalankan kebijakan lebih besar pasak dari pada tiang. Salah satu kesalahan dalam kaitan dengan utang luar negeri ialah rendahnya kualitas investasi yang tercermin dari tingginya mark up dan inefisiensi proyek-proyek infrastruktur di negeri ini27.

Pada bulan Oktober 1997, Soeharto meminta bantuan kepada IMF di samping Soeharto juga meminta Widjojo Nitisastro untuk mengambil langkah- langkah pemulihan ekonomi28. Syarat-syarat yang diberikan oleh IMF ialah agar pemerintah mencabut semua subsidi kebutuhan barang-barang pokok sebagai imbalan terhadap bantuan yang diberikan.

Ketika nilai tukar rupiah 10.000 terhadap dolar Amerika Serikat, IMF memaksa Soeharto untuk membuat kesepakatan lagi. Kesepakatan tersebut ditanda tangani pada tanggal 15 Januari yang mensyaratkan pencabutan subsidi listrik dan BBM29. Dampak dari krisis ekonomi dan pencabutan berbagai subsidi oleh pemerintah atas inisiatif IMF berakibat banyak perusahaan dan industri jatuh pailit. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana sehingga meningkatkannya jumlah penganguran terbuka dari 4,68 juta oarang pada tahun 1997 menjadi 5,46 juta orang pada tahun 1998. demikian juga jumlah setengah 26 Ibid. hal. 27 27 Www.Indomedia.Com 28

Diro Aritonang, Op. Cit, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999) hal.21

29

pengangguran dari 28,2 juta orang pada tahun 1997 menjadi 32,1 juta orang pada tahun 199830

Kejatuhan nilai mata uang rupiah ini membawa pada kepanikan masyarakat. Muali tanggal 9 Januari 1999 masyarakat secara panik memborong sembako dipasar-pasar swalayan dan pasar-pasar tradisional. Aksi pembelian semako secara besar-besaran terjadi dihampir seluruh kota di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandun dan Medan.

Pemborongan sembako secara besar-besaran ternyata dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan. Bakorstanasda Jaya mengaku telah menemukan timbunan beras hingga 250 ribu ton, 31 ribu ton kedelai dan 11 ribu ton gula31.

Disamping krisis yang membawa dampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dan membumbungnya harga bahkan yang lebih parah lagi ialah terjadinya krisis pangan. Penduduk dibeberapa desa di kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah mulai mengalami rawan pangan dan tidak mampu memperoleh beras. Masyarakat di daerah ini hanya makan tiwul sebagai makanan utama. Di Irian Jaya (Jayawijaya, Maurauke dan Puncak Wijaya) sekitar 90.000 orang kelaparan dan 500 orang tewas akibat kelaparan. Di Nusa Tenggara Timur penduduk mulai beralih makan rumput babi dan batang pisang. Di NTT masyarakat kesulian memperoleh makanan pokok berupa jagung sedangkan di Sulawesi Selatan 2000 penduduk terancam kelaparan dan 12 orang tewas karena

30

Baharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik Yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju

Demokrasi (Jakarta : THC Mandiri, 2006) hal 3 31

kelaparan. Di pulau Atauro Timor Timur penduduk tidak memperoleh makanan utama dan mulai menyantap buah-buahan hutan dan buah siwalan32.

Indonesia adalah negara yang terparah dilanda kerisis ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada awal tahun 1998, harga-harga kebutuhan masyarakat menjadi tidak terkontrol lagi, bahkan pada sidang kabinet lengkap pertama pada tanggal 17 Maret 1998, Presiden Soeharto mengakui bahwa pemerintah belum bisa mencari cara mengatasi krisis yang terjadi.

Tahun 1997 dan 1998 memang benar-benar tahun yang sangat berat dihadapi Indonesia. Krisis ekonomi ternyata membawa pada krisis politik. Guru besar ilmu politik Universitas Wisconsin Amerika Serikat, Donald K. Emmerson menilai bahwa krisis ekonomi ditahun 1887 ini disertai dengan ketidak pastian politik, khususnya suksesi. Karena hal terakhir inilah kepercayaan pada rupiah dan bursa saham belum tentu akan tumbuh kembali selama stabilitas dan kesinambungan politik orde baru masih terus dipertanyakan. Krisis ekonomi yang sedang dialami Indonesia bersumber dari masalah politik yaitu otoriternya sistem pemerintahan Orde Baru. Umumnya, menurut Donald, demokrasi mau tak mau harus dijadikan prasyarat bagi proses pemulihan ekonomi33.

Hal ini senada seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa. Mahasiswa memandang bahwa tiadanya kedaulatan rakyat dan sistem demikratis itulah yang membuat krisis ekonomi semakin parah. Gugatan terhadap Orde Baru dalam mengatasi krisis kemudian di tegaskan oleh Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPERA) dengan mengatakan bahwa:

“ Resesi ekonomi yang ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah atas berbagai mata uang asing khususnya dolar, krisis moneter dan pangan

32

Forum Keadilan, “Sembako Dihantam Subsidi, Badai Belum Berlalu“ 23/3/1998, hal, 80-83

33

serta obat-obatan bertambah nya jumlah pengangguran dan masalah PHK, kelaparan di Irian Jaya dan Maluku serta berbagai macam ketimpanganlainnya merupakan bukti ketidak becusan orde baru dalam mengatur dan menata jalannya roda pembangunan”34.

Sejak saat itu lah krisis ekonomi berkaitan langsung dengan krisis politik yang dalam hal ini bahwa legitimasi pemerintahan Soeharto yang telah dibangun 30 tahun lebih dipertanyakan atau bahkan digugat.

2. 2. 2. Lahirnya Gerakan Mahasiswa Tahun 1998

Krisis ekonomi yang membawa pada keresahan dan kerusuhan ditengah- tengah masyarakat, ternyata direspon oleh mahasiswa serta civitas academica secara umum sebagai momentum perlawanan terhadap Orde Baru yang telah berkuasa 32 tahun.

Pada mulanya mahasiswa bergerak pada isu-isu penurunan harga. Isu-isu ekonomi tersebut berhasil dimajukan menjadi gerakan yang lebih bersifat politis. Isu yang diangkat kemudian tidak hanya terbatas pada tuntutan perbaikan ekonomi akan tetapi menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari kekuasaannya serta pencabutan dwifungsi ABRI.

Untuk merespon tuntutan-tuntutan diatas akhirnya banyak bermunculan nya organisasi-organisasi gerakan baik itu yang di gerakan oleh mahasiswa maupun bukan. Organisasi-organisasi yang berdiri tersebut antara lain : KPRP, SOMMASI, ARMY, FAMPERA di Yogyakarta, DRMS di Solo, FAMPR di Purwokerto, APR, ASPR di Surabaya, FKMM di Malang, AGRESU, DEMUD di

34

Muridan S. Widjojo, Turunkan Harga Atau Kami Turunkan Kamu, Gerakan Mahasiswa

Menggulingkan Soeharto, dalam Muridan S. Widjojo, Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakam Mahasiswa 98, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999) hal. 255

Medan, FKSMS, FORKOT FAMRED, GERMPUR di Jakarta dan masih banyak yang lainnya35.

Dalam kurun waktu Februari sampai Mei 1998, secara kuantatif dan kualitas gerakan mahasiswa naik secara drastis. Isu-isu yang banyak diangkat selama bulan Februari tersebut adalah isu turunkan harga atau dengan kata lain masih mengangkat isu-isu ekonomi.

Pelaku-pelaku gerakan ini bukan hanya organisas-organisasi yang sudah lama bergerak sejak tahun 1980 an akan tetapi juga dari aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, KM dan Senat-Senat Fakultas. Mereka juga didukung penuh oleh staf pengajar, pimpinan perguruan tinggi yang menjadikan gerakan ini sebagai gerakan civitas akademica.

Kerja sama gerakan mahasiswa dan civitas academica di tandai dengan aksi mimbar bebas di kampus UI Salemba, Jakarta pada tanggal 25 Februari 1998. mahasiswa bergabung dengan Ikatan Alumni UI (ILUNI UI) yang dipimpin oleh Irjen Kehutanan Mayjen (Purn) Hariadi Darmawan serta didukung oleh mantan rektor UI Prof. Mahar Marjono dan guru besar UI Prof. Selo Soemardjan dan Prof. Emil Salim yang menuntut pemerintah agar segera mengatasi krisis yang melanda bangsa Indonesia36. Aksi ini ditutup dengan simbolis oleh mahasiswa UI dengan memasang spanduk ‘ Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru”. Peristiwa ini secara simbolis menandakan berkurangnya dukungan maasiswa dan civitas academica UI terhadap kekuasaan Orde Baru.

Kerja sama mahasiswa dan civitas akademika dalam menggulirkan perubahan menyebar ke berbagai kampus di Indonesia. Pada tanggal 3 Maret 1998

35

Suharsi dan Ign Mahendra K, Lock. Cit. hal. 102

36

mahasiswa dan civitas academica Universitas Udayana, Denpasar melibatkan lima ratus mahasiswa mengadakan aksi mimbar bebas keperihatinan dan anti terhadap kekerasan. Kemudian aksi mimbar bebas muncul di kampus-kampus lainnya seperti di Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 5 Maret 1998, di Universitas Yarsi Jakarta pada tanggal 6 Maret 1998, pada tanggal 7 Maret 1998 di Universitas Padjadjaran Bandung, pada 9 Maret 1998 di Universitas Pasundan, Universitas Diponogoro dan Universitas Negeri Solo dan pada tanggal 10 Maret1998 di Univrsitas Lampung dan Universitas Gajah Mada.

Selain mimbar bebas, aksi unjuk rasa di beberapa kampus pun mulai marak, misalnya di Universitas Brawijaya pada 11 Maret 1998 bahkan di pimpin oleh rektornya sendiri. Pada kurun waktu Maret terdapat setidaknya 15 aksi yang terjadi di 10 kota melibatkan dosen, guru besar dan pejabat dekanat serta rektorat37 .

Memasuki bulan Maret diadakannya Sidang Umum MPR (SU MPR) yang dimulai pada tanggal 1 Maret sampai 11 Maret 1998. Penjagaan SU MPR ini sangatlah ketat karena melibatkan 25 ribu personel yang berjaga siang dan malam. Sebelum diadakan SU MPR, jauh-jauh hari Abdul Gafar mengancam akan merecall anggota Fraksi Karya Pembangunan (FKP) yang berani intrupsi dan mewajibkan anggotanya itu untuk menandatangani dukungan untuk Soeharto dan BJ Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut Wiranto (Panglima ABRI), Danjen Kopassus Prabowo memerintahkan Mayor Bambang Kristiano beserta 10 anggota tim mawar untuk melakukan upaya pengungkapan adanya ancaman terhadap stabilitas keamanan

37

nasional dari gerakan-gerakan radikal yang bertujuan untuk menggagalkan SU MPR 1998. Tugas tim mawar ini di implementasikan dalam bentuk penangkapan serta penculikan terhadap aktivis-aktivis38.

Beberapa orang aktivis yang diculik oleh tim mawar tersebut antaranya adalah sebagai berikut : Faisol Reza, Andi Arif, Desmond J. Mahesa, Rahardja Waluya Jati, Gilang, Pius Lustrilanang dan lain sebagainya. Hingga saat ini masih 15 aktifis yang belum di temukan, sedangkan mayat gilang ditemukan di Madiun. Adapu ke 15 aktivis tersebut ialah : Wiji Thukul (Wiji Widodo), A. Nasir, Hendra Hambalie, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Herman Hendrawan, Petrus Bimo Anugrah, Aristoteles Masoka, Suyat, Dedy Hamdun, Ismail, Noval Alkatiri, M. Yusuf, Sonny, Yani Avri39.

SU MPR akhirnya mengesahkan Soeharto dan BJ Habibie sebagai Presiden dan wakil Presiden. Pembentukan kabinet pembangunan VII dinilai paling kontroversial diantara kabinet-kabinet Orde Baru yang di bentuk sebelumnya. Disatu sisi kabinet yang baru dibentuk ini diharapkan mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi, akan tetapi di sisi lain komposisi kabinet pembangunan VII ini banyak mendapatkan kritikan-kritikan keras dari berbagai kalangan.

Menteri yang banyak menjadi sasaran maupun sorotan kritik dari mahasiswa maupun masyarakat luas ialah Siti Hardianti Rukmana, Muhammad Hasan atau Bob Hasan, Prof. Dr. Ir. Wiranto Arismunandar, Haryanto Danoetirto, Abdul Latif dan Tanri Abeng. Pengangkatan Siti Hardianti Rukman yang merupakan anak kandung Presiden Soeharto sebagai Menteri dijadikan sebagai

38

Fadli Zon, Op.Cit. hal 30

39

bukti adanya praktik KKN oleh mahasiswa. Prof. Dr. Ir. Wiranto Arismunandar yang diangkat sebagai Menteri P dan K langsung berhadapan dengan geraan mahasiswa. Pada saat ia menjabat sebagai rektor ITB periode 1986 sampai 1997, ia tidak segan-segan menskors dan mengeluarkan mahasiswa yang berdemonstrasi. Sedikitnya 12 mahasiswa dikeluarkan dan 61 mahasiswa di skorsing oleh kebijakannya selama menjabat rektor ITB. Oleh karena itulah mahasiswa menuntutnya mundur dari jabatan rektor ITB. Setelah Presiden mengangkat Wiranto sebagai Menteri ditakutkan ia akan menangani aksi-aksi mahasiswa dengan tangan besi.40

Selain itu pengangkatan Bob Hasan juga dikecam. Banyak kalangan yang meragukan kompetensinya padahal salah satu tumpuhan mengatasi krisis ada ditangan Menteri Perindustrian dan Perdaganan. Menurut Amien Rais, Bob Hasan termasuk salah seorang yang harus di reformasi41. Begitu juga dengan Menteri yang lainnya, diantaranya Haryanto Danoetirto, Abdul Latif dan Tanri Abeng yang diangkat karena kedekatannya dengan keluarga Cendana.

Pasca SU MPR dan pembentukan kabinet pembangunan VII aksi-aksi mahasiswa semakin meluas. Dari 49 aksi mahasiswa pada bulan Februari 1998 langsung melonjak mencapai 247 aksi mahasiswa pada Maret 1998. Aksi mahasiswa merata di 20 kota dari 10 provinsi. Rekor terbesar dibuat oleh mahasiswa Surabaya (35 aksi), Diikuti Ujunga Pandang (32 aksi), Bandung (28 aksi), Yogyakarta (25 aksi), Solo (19 aksi), Malang (17 aksi) dan Semarang (16

40

Mochtar E. Harahap dan Andris Basril, Op. Cit. hal. 62

41

aksi). Aktivitas mahasiswa kota-kota kecil semacam Tegal, Ungaran, Salatiga, Wonosobo, Jombang dan Jember juga mulai mengadakan aksi demonstrasi42.

Jumlah massa yang berhasil dimobilisasi untuk mengadakan aksi semakin membesar. Semakin banyak demonstrasi yamg melibatkan ratusan bahkan ribuan orang. Khusus KM UGM mencatat massa terbesar hingga 15 ribu orang pada 5 Maret dan 11 Maret 1998. Rekor massa terbesar kedua dilakukan Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR) Solo yang melibatkan 11 ribu orang di gerbang Universitas Negeri Solo. Menyadari makin besarnya aksi mahasiswa, pada tanggal 14 Maret 1998 Panglima ABRI Jenderal Wiranto memperingatkan agar aksi mahasiswa tidak anarkis dan destruktif43.

Tuntutan-tuntutan mahasiswa pun mulai menemukan bentuk yang konkrit pada bulan April, yaitu menuntut Soeharto mundur seperti yang dilakukan KAMMI DIY pada 24 April 1998. Aksi-aksi mahasiswa berupa demonstrasi menunjukan tanda tidak akan berhenti bahkan semakin meluas dan bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan terjadi hampir setiap hari, seperti di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrok dengan aparat antara mahasiswa yang ingin melanjutkan aksi keluar kampus dengan aparat keamanan. Tanggal 2-3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrok berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa pada tanggal 24 April sehingga mengakibatkan Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari44.

42

Muridan S. Widjojo, Op. Cit. hal. 165

43

Ibid. hal. 165

44

Dari bentrokan-bentrokan pada saat aksi mahasiswa dengan aparat mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak mahasiswa. Di Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, Jawah Tengah, 65 mahasiswa terluka dan 28 diantaranya harus dilarikan ke rumah sakit. Di Solo, bentrok mengakibatkan sebelas mahasiswa luka-luka. Di Malang, Jawa Timur,bentrokkan mahasiswa dengan polisi terjadi di dua tempat perpisah, Harian Jawa Pos mencatat 30 mahasiswa luka-luka45.

Melihat keadaan semakin parah, Pangab Jenderal Wiranto menawarkan dialog dengan mahasiswa46. Akan tetapi tawaran dialog Jenderal Wiranto ditanggapi denga dingin oleh mahasiswa bahkan sejumlah Senat mahasiswa menolak berdialog dengan ABRI. Melihat tawaran dialog dari Jenderal Wiranto, ketua umum PB HMI Anas Urbaningrum melontarkan gagasan kritis bahwa berdialog tidak saja dengan ABRI akan tetapi yang lebih penting lagi dengan Presiden. Jika selama ini hanya laporan masyarakat yang bisa berdialog dengan Presiden, mengapa mahasiswa tidak bisa berdialog langsung dengan Presiden. Kalau pada awal Orde Baru mahasiswa angkatan 66 dapat berdialog dengan Presiden mengapa sekarang tidak47.

Kejadian yang kemudian menjadi sorotan public ialah aksi mimbar bebas mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 denga tema “Pemberdayaan MPR/DPR dan koreksi terhadap eksekutif” yang berakhir dengan jatuhnya korban korban tewas48. Pada aksi 12 Mei tersebut mahasiswa di kejar dan ditembaki sampai kedalam kampus oleh aparat dibawah pimpinan Kol. Pol. Arhur

45

Ibid. hal. 108

46

Muridan S. Widjojo, Op. Cit. hal. 167

47

Kuntoro, Merenungi Kiprah Polri dan Gerakan Mahasiswa (Jakarta : PT. Cipta Manunggal, 2000) hal. 97

48

Damanik49. Akibat penembakan tersebut, 4 orang mahasiswa tewas yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hery Hartanto dan Hendriawan Sie. Mereka kemudian dijuluki pahlawan reformasi50.

2. 2. 3. Jatuhnya Presiden Soeharto

Penembakan mahasiswa Trisakti oleh aparat keamanan ternyata diikuti oleh kerusuhan missal di pusat-pusat kegiatan ekonomi di Jakarta. Massa menjarah, membakar, melakkan kekerasan dan memperkosa etnis Tionghoa. Korban secara material maupun non material sangat besar. Terdapat 250 mayat hangus di Jakarta,119 di Tanggerang dan 90 di Bekasi. Paling tidak 4.939 bangunan rusak terbakar, 1.119 mobil hangus, 66 unit angkutan umum dan 821 unit sepeda motor menjadi kerangka besi gosong. Total kerugian yang di taksir oleh Gubernur DKI Jakarta Sutioso sebesar Rp 2,5 Triliun lebih51.

Peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 menyulut solidaritas dan perlawanan dari masyarakat dan mahasiswa. Tanggai 13 Mei, lebih dari 32 aksi di 16 kota di Indonesia serentak untuk menunjukan solidaritas. Pada 20 Mei 1998 dilapangan Karebosi Makasar sekitar 100 ribu orang menggelar aksi. Di Purwokerto Front Aksi Mahasiswa Peduli Rakyat (FAMPR) memobilisasi 35 ribu massa. Di Solo, Dewan Reformasi Mahasiswa Surakarta (DRMS) memobilisasi sekitar 40 ribu massa. Di Yogyakarta, alun-alun keratin dipenuhi sekitar satu juta massa yang menuntut Soeharto mundur52.

49

Www. Indoprotest.Tripod.Com 

50

Fadli Zon, Op.Cit. hal. 46

51

Gatra“Mereka Ingin Reformasi Tapi Jakarta di Jilat Api”, 23/5/1998, hal. 25

52

Selain itu mahasiswa juga menduduki gedung MPR/DPR guna mendesak anggota MPR/DPR untuk memberhentikan Soeharto. Pendudukan ini juga didukung oleh sejmlah tokoh LSM, tokoh nasional dan berbagai lapisan masyarakat. Akhirnya setelah merasa dikhianati oleh sejumlah menteri yang menundurkan diri serta atas desakan tokoh-tokoh nasional dan tidak mampu lagi mengatasi keadaan yang ada, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di Istana Merdeka H. M. Jenderal besar (purn) Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ. Habibe.

BAB III

STRATEGI YANG DIGUNAKAN GERAKAN

Dokumen terkait