• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Faktor-faktor Pendukung Reformasi Pendidikan Kewarganegaraan

1. Gerakan Reformasi

Dalam penelitian ini, pertama perlu dibedakan pembahasan antara reformasi politik dan reformasi pendidikan, meskipun reformasi bidang pendidikan pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang sedang berlangsung. Untuk ini perlu sekali melihat kajian Huntington (1991/1992: 583) ketika menganalisis bagaimana suatu negara mengalami pergeseran dari sistem pemerintahan otoritarian ke sistem demokrasi. Huntington membagi tiga macam pergantian sistem pemerintahan dari otoritarian ke demokratis. Pertama,

transformation, terjadi ketika elit yang menduduki kekuasaan membawa

kelompok oposisi yang mengambil alih kekuasaan membawanya ke dalam sistem demokrasi, dengan menjatuhkan/mengeluarkan rejim otoritarian dari seluruh kekuasaan. Ketiga, transplacement atau ruptforma, terjadi ketika ada kerjasama antara pemerintah yang berkuasa dengan kelompok oposisi untuk membawa sistem politik ke arah demokratisasi.

Reformasi pendidikan dapat mengikuti ketiga pola sebagaimana tipologi Huntington tersebut, yakni reformasi sebagai upaya pembaharuan pendidikan baik semata-mata oleh kemauan penguasa, kemauan pihak oposisi, atau gabungan antara pihak pemerintah dengan kelompok opisisi. Dengan demikian, reformasi pendidikan dapat diartikan sebagai upaya pembaharuan berupa perubahan dan perbaikan ke arah kemajuan dalam dunia pendidikan secara komprehensif, baik dilakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa, oleh kelompok oposisi yang mengambil alih kekuasaan, atau kerjasama antara pemerintah dan oposisi. Pertanyaan yang muncul dari teoretisasi Huntington itu ialah, apakah reformasi pendidikan nasional dan khususnya reformasi pendidikan kewarganegaraan di Indonesia merupakan salah satu akibat dari tiga bentuk pergeseran dari pemerintahan otoritarian ke pemerintahan demokratis? Pertanyaan ini menjadi relevan ketika mencermati argumentasi dan politik kebijakan yang muncul baik di lembaga parlemen maupun eksekutif (pemerintah) di Indonesia itu sendiri setelah 1998.

Dari pengertian tersebut, maka reformasi mencakup proses dan hasil. Proses reformasi ini berkait erat dengan proses politik pendidikan, dengan mengikuti mekanisme pembuatan keputusan, yakni mulai dari tahap input,

process, dan output. Dari mekanisme tersebut, tampak jelas bahwa reformasi

pendidikan akan melibatkan banyak elemen baik di tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, yang tujuan utamanya ialah terjadi perubahan dan pembaharuan di bidang pendidikan.

Makna penting langkah reformasi politik terhadap reformasi pendidikan dapat pelajari dari pengalaman negara-negara lain. Adalah menarik untuk membandingkan langkah reformasi pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara. Inggris adalah salah satu contoh penting. Pendidikan Kewarganegaraan (education for citizenship) di Inggris mulai September 2002 diberlakukan sebagai satu mata pelajaran wajib dalam Kurikulum Nasional untuk jenjang sekolah menengah pertama (secondary school). Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan di Inggris mendasarkan diri kepada satu dokumen yang pembuatannya dipimpin Sir Bernard Crick (dikenal sebagai dokumen Crick Report). Dalam Crick Report tersebut disebutkan bahwa pendidikan kewarganegaraan memuat tiga pilar pokok tujuan pendidikan kewarganegaraan. Ketiganya adalah ―social and moral responsibility, community

involvement and political literacy‖ (Advisory Group on Citizenship, 1998:11).

Hal penting lahirnya kebijakan pendidikan kewarganegaraan yang baru di Inggris ialah karena Partai Buruh sebagai pemerintah yang berkuasa sejak 1997 menilai ada gejala kemerosotan kesadaran politik dan hak serta kewajiban warga negara di kalangan generasi muda. Kondisi ini mengancam kelangsungan sistem demokrasi di Inggris. Pada akhirnya lahir keputusan politik pendidikan yang

berpuncak pada dokumen reformasi pendidikan kewarganegaraan di Inggris yang disebut sebagai Crick Report.

Pengalaman reformasi pendidikan di Afrika Selatan tak kalah penting di banding pengalaman Inggris. Pendidikan kewarganegaraan di Afrika Selatan menapaki jejak paling penting sejak berakhirnya pemerintahan rasialis apartheid pada 1994. Sekolah-sekolah umum (negeri) sejak 1994 mengambil tanggung jawab utama untuk membangun partisipasi aktif para warga negara Afrika Selatan. Sebelum 1994, pendidikan kewarganegaraan di Afrika Selatan diajarkan secara tidak langsung melalui pelajaran sejarah dan mata-mata pelajaran seperti

Pendidikan Generasi Muda, Kajian Inkatha, serta Kehidupan yang Benar. Pada

masa pemerintahan apartheid semua mata pelajaran itu harus diterima siswa dengan tidak boleh mempertanyakan penerimaan status quo. Barulah setelah ANC memenangkan pemilu demokratis pertama 1994, terbangun kesadaran arti penting sistem politik yang dibangun melalui penyelesaian persoalan-persoalan kewargaan (civic issues). Menurut pemerintahan ANC, agar demokrasi yang baru dibangun tetap bertahan (survive) maka perlu diajarkan pendidikan kewarganegaraan demokratis untuk generasi masa depan. Atas dasar inilah, Pemerintahan ANC memunculkan kembali pendidikan kewarganegaraan sebagai masalah penting dalam semua dokumen-dokumen kebijakan pendidikan nasional. Departemen Pendidikan Nasional Afrika Selatan (2001, dalam Schoeman, 2005: 276) menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan:

...the explicit and continuing study of the basic concepts and values underlying ...(a) democratic political community and constitutional order [should include] learning activities, curriculum, and/or educational programmes... concerned with rights and responsibilities of citizenship – purpose is to

promote knowledge, skills and attitudes conducive to effective participation in civic life (South African National Education Department, 2001, Draft National Curriculum Statement, Pretoria, ZA: National Dept. Of Education p.

23 dalam Schoeman, 2005: 276)

Pada 1990 Presiden ANC Nelson Mandela dalam pertemuan Education

Delegation antara Partai ANC, organisasi politik, organisasi pendidikan dan

pejabat departemen pendidikan membahas dengan pemerintah persoalan-persoalan krisis pendidikan. Tiga tahun kemudian National Education and

Training Forum (NETF) diluncurkan pada 7 Agustus 1993 untuk membangun

pendidikan Afrik Selatan yang demokratis, non-rasial, non-seksis, dan perlunya kerangka kebijakan jangka panjang untuk merestrukturisasi sistem pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan manusia, ekonomi dan sosial Afrika Selatan (Badat, 1995:141-159). Pada masa transisi ini mulai dibangun perubahan bentuk dan isi perjuangan yang melibatkan kelompok-kelompok dan kekuatan-kekuatan sosial dengan slogan-slogan ―Equal Education,‖ ―Education

towards Democracy‖, ―Education for Liberation.‖ ―People’s Education for People’s Power‖ yang dibentuk selama era apartheid (Badat, 1995: 145). Pada

masa transisi inilah muncul penjelasan posisi hubungan antara negara, partai dan

civil society sebagai mekanisme kelembagaan yang fundamental untuk Afrika

Selatan yang baru yang lebih demokratis (Badat, 1995: 148). Hubungan partai (ANC) dan civil society lebih spesifik sebagai hubungan antara ANC dengan organisasi massa dan gerakan sosial.

Dari paparan di atas diperoleh kesimpulan bahwa reformasi politik untnuk membangunan tatanan kehidupan bernegara yang demokratis dari suatu sistem politik akan berdampak kepada bidang lainnya, termasuk pendidikan.

Keberhasilan reformasi pendidikan nasional untuk menjadikannya sebagai sarana membangun warga negara demokratis pun akan bergantung pula kepada kemauan politik penentu kebijakan dan kesungguhan segenap elemen pelaksana kebijakan di lapangan untuk melakukan perbaikan dan pembenahan.