• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

2. Pencabutan P4 sebagai Upaya Menghindari Indoktrinasi Pengamalan

Pancasila

Dalam pandangan Kelompok Kerja, ada pengaruh lingkungan strategis terhadap masalah pembaharuan pendidikan nasional. Salah satu pengaruh strategis itu ialah pengaruh ideologi. Menurut Kelompok Kerja, Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah tidak pada tempatnya lagi mendapatkan kedudukan yang istimewa dalam rangkaian kurikulum pendidikan persekolahan untuk semua jenis dan jenjang. Dengan demikian, untuk menjadi warga negara yang baik, setiap peserta didik dipandang sangat perlu untuk menguasai pendidikan kewarganegaraan (Civics). Dengan menguasai bidang ini, menurut Kelompok Kerja, setiap warga negara diharapkan mampu melakukan filter terhadap ideologi asing dan luar yang tidak sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan keseimbangan hidup dunia-akhirat, individu-sosial, nasional-internasional. Letupan-letupan yang terjadi di masyarakat saat krisis berlangsung termasuk mempersoalkan lembaga yang mengkaji dan memasyarakatkan butir-butir sila Pancasila. Krisis ini masuk pada ideologi yang menyebabkan dibubarkannya BP-7 yang dianggap sebagai institusi yang melanggengkan dan memperkokoh keberlangsungan pemerintahan Orde Baru (Kelompok Kerja, 1999: 24).

Pernyataan tersebut sejalan dengan pemikiran sebagian besar anggota MPR RI hasil Pemilihan Umum 1997 yang dalam Sidang Istimewa Nopember 1998 menyatakan bahwa Pancasila supaya dimantapkan posisinya sebagai dasar negara. Pandangan fraksi-fraksi di MPR menjelang dan saat berlangsung sidang istimewa terhadap keberadaan P4 terbelah. Ada fraksi MPR yang secara ekstrim meminta agar P4 dicabut. Sebagian lainnya lagi menghendaki cukup dengan perubahan dan penyempurnaan P4. Hasil lobi pimpinan Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR, 24 September 1998, menggambarkan posisi masing-masing fraksi terhadap P4 sebagaimana tampak dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Pandangan Fraksi-fraksi MPR terhadap P4

No. FRAKSI PANDANGAN TERHADAP P4

1. Fraksi Karya Pembangunan (F-KP)

Mengusulkan penyempurnaan dalam bentuk perubahan dan tambahan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978

2. Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP)

Mengusulkan pencabutan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978

3. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI)

Dapat menyetujui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978

4. Fraksi ABRI (F-ABRI) Dapat menyetujui penyempurnaan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978

5. Fraksi Utusan Daerah (F-UD)

Dapat menyetujui penyempurnaan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978

(Diolah dari MPR, 1998)

Wakil F-PDI (Clara Marion Lientje Sitompul Tambunan) menyatakan ketidaksetujuannya apabila P4 dicabut. P4 perlu disempurnakan. Alasannya, P4 diperlukan bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Suara yang sama dari wakil F-PDI (Untung Sutomo) mengumpamakan upaya menghilangkan dampak (ekses) dari pelaksanaan P4 sebagai upaya membasmi tikus di rumah. Ibaratnya, ingin menghabisi tikus-tikus malah membakar rumah di mana tikus-tikus bersarang (Risalah Rapat Paripurna

Ke-6 PAH II Badan Pekerja SI MPR, 23 September 1998). Artinya, upaya untuk mengakhiri dampak buruk implementasi kebijakan P4 malah berakibat menghancurkan P4 dengan mencabutnya.

Wakil F-PP (Qomari Anwar) menganggap tidak perlu ada ketetapan MPR tentang Pancasila, karena sudah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, sudah sepatutnya apabila Pancasila harus ditempatkan secara terhormat dalam Pembukaan UUD 1945. F-PP menganggap bahwa penataran P4 dengan biaya besar telah gagal. Pendapat F-PP ini diperkuat oleh wakil-wakil dari F-KP dan F-UD. Salah seorang wakil F-KP (Yusuf Thalib) menghendaki Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi terbuka, sehingga perlu terus dikaji dan disempurnakan pelaksanaannya. Untuk itu, menurut anggota F-KP (Din Syamsuddin) lainnya, penegasan Pancasila sebagai dasar negara harus dilakukan dengan mencabut dan mengganti P4. Salah seorang anggota F-UD (M. Jusuf Kalla) melihat pelaksanaan P4 lebih banyak upacaranya daripada manfaat penghayatannya. Jusuf Kalla berpendapat bahwa jika tidak ada manfaatnya, maka tidak perlu dibuat pedoman P4. Dengan demikian tidak perlu pula ada perubahan terhadap P4 apabila tidak ada manfaatnya (Risalah Rapat Ke-3 PAH BP MPR, 18 September 1998).

Di luar pendapat yang saling bertolak-belakang di antara wakil-wakil fraksi di MPR tentang P4 tersebut, pandangan moderat dari Eki Syachruddin (F-KP) penting dikemukakan di sini. Menurut Eki Syachruddin, setiap gagasan dan kebijakan mewakili dan tepat menurut zamannya. Di zamannya Orde Baru adalah bagus, dan tidak ada yang lebih hebat dibandingkan dengan Presiden Soeharto itu

sendiri. Demikian pula dengan gagasan NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis), di zamannya adalah bagus. ―Siapa bilang (Nasakom) tidak bagus pada waktunya, karena Komunis adalah realitas, kenyataan kalau Demokrasi mesti diakui…. Manipol siapa bilang tidak bagus. Pada waktunya bagus, ‖ kata Eki Syachruddin. Demikian pula dengan P4, menurut Eki Syachruddin, kegagalan Orde Baru antara lain karena P4 bukan Pancasila. Pendapat Eki Syachruddin ini sejalan dengan pernyataan Prof. Lilik Hendradjaja (F-UD) yang menyatakan bahwa pengamalan P4 menjadi dipaksakan secara birokratis terutama setelah dibentuk BP-7, meskipun Ketetapan MPR tentang P4 itu memuat nilai-nilai moral bangsa yang baik. Metode penghayatan dan pengamalan nilai-nilai moral itu di lapangan mengalami distorsi, sehingga menjadi tidak efektif. Penataran P4, menjadi manggala, seakan-akan menjadi sebuah mata pencaharian, sehingga dalam prakteknya sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam P4 mengalami pemborosan uang negara (Risalah Rapat Ke-3 PAH BP MPR, 18 September 1998).

Kesan umum pandangan para anggota fraksi di Panitia Ad-Hoc (PAH) II BP MPR seputar P4 dikemukakan oleh Ketua PAH II BP MPR, Widodo A.S., dalam Rapat Ke-3 PAH BP MPR (18 September 1998). Menurut Widodo A.S., PAH tidak merasa mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Namun masalahnya terletak dalam P4 sebagai pedoman, yang dalam pengamalannya terdapat ketidaksesuaian baik substansi maupun metodologi sosialisasinya, sehingga timbul keinginan untuk mencabut, merubah dan meninjau P4. Widodo A.S. juga menambahkan bahwa

karena sifat Pancasila sebagai ideologi terbuka, maka penjabaran nilai-nilai Pancasila harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan kemajuan ((Risalah Rapat Ke-3 PAH BP MPR, 18 September 1998).

Rapat Sub Komisi II Panitia Ad Hoc II MPR setelah melalui konsultasi intern fraksi dan konsultasi antar fraksi, kelima fraksi akhirnya menyetujui pencabutan Tap MPR No. II/MPR/1978 (Risalah Rapat Ke-2 Komisi Sidang Istimewa MPR 12 Nopember 1998). Persetujuan itu berkaitan dengan penegasan Pancasila sebagai dasar negara. Penafsiran tunggal nilai-nilai Pancasila dalam P4 dicabut berdasarkan Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998 dalam rapat paripurna Sidang Istimewa MPR, 13 Nopember 1998 (Risalah Rapat Paripurna Ke-5 PAH II Badan Pekerja SI MPR 1998).

Padahal setelah Sidang Umum MPR 1978, P4 inilah yang menjadi ‖mata air‖ dan ‖roh‖ dari pendidikan kewarganegaraan di persekolahan yang ketika itu bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan kemudian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dengan pencabutan P4, maka terdapat ‖kekokosongan‖ materi pokok dalam kajian PPKn terutama di sekolah dasar hingga sekolah menengah. Dampak pencabutan P4 terhadap kajian PPKn dan implikasinya terhadap reformasi pendidikan kewarganegaraan di persekolahan diuraikan dalam bagian lain bab ini.

Setelah lewat satu dekade, penilaian terhadap keputusan politisi di MPR yang juga kebetulan sebagian besar diangkat oleh Pemerintahan Presiden Soeharto adalah menyayangkan pencabutan P4 tersebut. Seorang ilmuwan politik

yang juga menjadi anggota DPR/MPR pada periode itu, Amir Santoso, juga menyayangkan keputusan sebagian besar anggota MPR untuk mencabut P4, karena ―cita-citanya bagus, tapi metodenya yang salah, karena sifatnya indokrinatif. ... metodenya yang tidak betul, metode penyampaiannya yang kurang bagus‖ (Wawancara, 29 April 2010). Persoalannya bukan kepada substansi nilai pengamalan Pancasila dalam P4, tetapi kepada metode penerapan nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa sehari-hari.

Suasana eforia setelah keluar dari suasana politik otoriter tidak bisa dinilai sebagai satu-satunya penyebab utama kenapa sebagian besar politisi di MPR ―gelap mata‖ sehingga mencabut P4. Pertanyaan yang diajukan sejumlah kalangan akademisi maupun aktivis gerakan masyarakat kewargaan cenderung sama, apakah pendidikan P4 gagal atau berhasil? Dalam amatan Daniel Dhakidae (2001: 24-25), pendidikan P4 tergolong menyita anggaran biaya yang tidak kecil untuk program ideologisasi masyarakat di semua kelas dan golongan ke segenap penjuru daerah di Indonesia. Dalam taraf tertentu program ideologisasi (berbentuk penataran P4) tersebut tampaknya hanya bisa dibandingkan dengan program Departemen Ideologi Uni Soviet yang hendak mengontrol masyarakat dengan tafsir ideologi tunggal rezim. Dari sini penilaian yang bijak adalah bukan masalah berhasil atau gagalnya pendidikan P4, tetapi sejauh mana Pancasila dimaknai oleh segenap warga negara. Dalam hal ini peneliti sependapat dengan Dhakidae yang menyatakan bahwa:

Pancasila menjadi suatu makhluk di langit dan tidak tersentuh oleh proses normal kehidupan masyarakat warga di bumi sehingga korupsi tetap diakui sebagai korupsi, tetapi korupsi dilakukan oleh oknum yang tidak ada hubungannya dengan Pancasila. Pancasila tetap bersih meskipun

yang memujanya adalah kaum koruptor dan yang menyembahnya adalah para pembunuh (Dhakidae, 2001: 26).

Dari pernyataan tersebut, masalah pokoknya adalah bagaimana mendudukan Pancasila kembali kepada fungsinya sebagai dasar negara yang merupakan suatu gentlemen agreement, sebagaimana dikukuhkan oleh para pendiri negara. ―Membumikan‖ Pancasila agar tetap relevan dan memiliki makna sebagai panduan berbangsa dan bernegara agar Pancasila adalah lebih utama daripada menyanjung-nyanjungnya sebagai warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya dalam setiap pidato kenegaraan ataupun upacara-upacara. Namun, di pihak lain, justru Pancasila diperalat oleh kepentingan politik rejim untuk membungkam suara kritis masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Pengalaman sebelum dan selama Orde Baru terhadap tafsir pengamalan Pancasila menjadi pelajaran penting untuk kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.

Dalam konteks penelitian ini, pencabutan P4 sebagai substansi kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan sebuah berkah, karena membebaskan beban ideologis-indoktrinatif dalam pembentukan warga negara yang baik. Dengan demikian, kajian PPKn harus dikembalikan kepada nilai-nilai dasar Pancasila yang awal sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Di bagian lain, P4 sebagai sebuah produk politik untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila semestinya dipahami sebagai sebuah instrumen belaka. Ketika instrumen P4 dianggap tidak memadai lagi, kemudian digantikan (dicabut), maka seharusnya Pencabutan Tap MPR tentang P4 tidak dipahami sebagai mencabut Pancasila itu sendiri dari dasar negara Indonesia.

Secara politik, pencabutan P4 memperkuat penilaian publik bahwa PPKn sebagai bagian pendidikan P4 di jalur sekolah dianggap gagap dan gagal membangun kesadaran kritis warga negara terhadap sistem politik yang ada selama Orde Baru. Dalam format pendidikan P4, kebajikan utama warga negara lebih ditekankan kepada kepatuhan dan pengagungan harmoni. Ketika ada kesenjangan antara yang diajarkan di kelas tentang keutamaan nilai-nilai Pancasila dalam P4 dengan kehidupan kongkrit siswa di masyarakat yang jauh dari nilai-nilai tersebut, selain timbul kejenuhan juga lahir ketidakpercayaan terhadap arti penting nilai-nilai Pancasila dalam tafsiran P4. Pada akhirnya, penolakan terhadap P4 seakan-akan menjadi sama dengan penolakan terhadap Pancasila. Padahal Pancasila dan P4 adalah entitas yang berbeda meski P4 tidak mungkin ada tanpa adanya Pancasila. Dengan demikian, ketika P4 dihapus dalam memori kolektif bangsa Indonesia, Pancasila tetap ada sebagai dasar negara, dan nilai-nilai Pancasila tetap berlaku sepanjang Pembukaan UUD 1945 tetap menyatakannya sebagai dasar negara Republik Indonesia.