• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di samping pengorbanan Yesus, dalam mewujudkan tujuan orang-orang yang percaya kepada-Nya juga diperlukan bantuan dari sesama baik pribadi maupun dalam lingkup luas, yaitu komunitas agama (gereja). Gereja sebagai komunitas agama Kristen yang bertahan hingga saat ini perlu menyadari akan perannya yang kompleks bagi seluruh manusia, khususnya orang-orang Kristen yang secara teritori berada dalam asuhannya. Gereja harus keluar dari pola yang selama ini mempersempit perannya. Dapat dilihat bahwa ada gereja yang terus puas dengan pola yang terbentuk sejak pra–modern, di mana dalam gereja masih ada jurang-jurang yang memisahkan, seperti adanya klerus (golongan rohaniawan) dan kaum awam yang memiliki pendidikan, serta adanya pemisahan antara pendidikan teologis dan pendidikan gereja

51

Stanley Hauerwas, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic, (United States of America: University of Notre Dame, 1981), 128.

52

49

warisan Kristen. Selain itu juga, pendidikan di gereja sebagian besar masih terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan teologi atau rohani. Hal ini dipertegas oleh Farley yang mengklaim bahwa gereja masih terikat oleh tradisi lama yang memerintahkan pendidikan yang terjadi dalam jemaat haruslah pendidikan teologi.53 Jika gereja tetap mempertahankan pola dan tradisi lama yang dapat dikatakan bahwa saat ini hal-hal tersebut tidak lagi relevan, maka gereja tidak dapat berperan secara maksimal. Sebab, keadaan masyarakat secara umum dan jemaat secara khusus saat ini mengalami kekurangan komunitas yang diperlukan untuk mempertahankan pengembangan kebajikan dan karakter.54

Gereja berperan penting dan kompleks dalam pembangunan karakter orang-orang Kristen khususnya yang menjadi jemaatnya. Jemaat adalah masyarakat yang memiliki integritas yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Stanley Hauerwas menunjukkan perbedaan tersebut, yaitu bahwa apa yang diputuskan dan dilakukan oleh gereja terlalu sering dibenarkan oleh orang-orang percaya, dan ditoleransi. Hal itu terjadi sebab, mereka melihat bahwa keputusan dan tindakan gereja adalah berpotensi untuk menyatakan keadilan atau hal-hal baik lainnya. Oleh karena gereja memiliki integritas yang tinggi, gereja mampu melaksanakan pendidikan yang tidak hanya berkaitan dengan teologi atau rohani melainkan juga non-teologi. Pendidikan yang diberikan di dan oleh gereja harus membedakan dirinya dengan pendidikan yang diberikan di luar gereja. Di mana pendidikan yang diberikan harus disesuaikan dengan interpretasi tradisi, kebenaran, dan situasi yang ada dalam kehidupan termasuk situasi sekitar masyarakat di mana gereja berdomisili.55

Menjadi tidak wajar ketika gereja mengambil tempat terpisah dari masyarakat di mana ia berada. Gereja sangat penting menyentuh masalah sosial yang ada. Gereja

53

Liliana Trofin, “The Modes Of Religious Education:Christianity‟s Contemporary Status”, dalam Linguistic and Philosophical Investigations Volume 10, 2011, 151.

54

Stanley Hauerwas, ibid., 117. 55

50

hadir di dunia ini untuk melayani masyarakat disekitarnya dengan melibatkan dirinya sebagai komunitas agama Kristen yang dapat memberikan keramahan bagi setiap orang terutama bagi generasi penerus gereja. Dengan demikian, orang-orang Kristen yang berada dalam komunitasnya memiliki kepedulian terhadap perkembangan moral. Perkembangan moral menurut perspektif keyakinan Kristen memiliki persyaratan yang utama yaitu mengharuskan diri diubah sesuai dengan keteladanan yang baik, yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Hal tersebut adalah karakter dasar kehidupan orang-orang Kristen.

Menurut Hauerwas, cara agar moralitas maupun etika Kristen dapat diterima secara logika dan diterapkan dalam kehidupan ialah dengan hidup dalam narasi untuk melanjutkan narasi Kristus. Narasi dan konsep karakter sangat penting untuk memahami perkembangan moral orang Kristen. Melalui narasi, membuat orang-orang hidup dalam karakter yang pada akhirnya dapat membuat mereka menciptakan sejarahnya sendiri. Agar hal tersebut dapat terealisasi, membutukan harapan dan kesabaran yang besar dalam diri. Seseorang tidak dapat mengetahui narasi hanya dengan mendengar, melainkan dengan belajar untuk menjadikan contoh maupun meneladani orang-orang yang saat ini juga melakukan karakter Kristen. Melalui narasi yang diceritakan secara turun temurun tersebut berfungsi membentuk komunitas karakter Kristen. Hal yang demikian sesuai dengan paradigma Hauerwas tentang tugas sosial gereja yaitu menjadi gereja yang berkarakter kuat serta padat. Hal itu bertujuan agar gereja dapat terus mempertahankan keeksistensiannya dan konsisten dalam menjalankan tugas-tugasnya. Kekristenan perlu menguatkan karakternya di tengah dunia, khususnya bangsa ini. Cara yang dapat dilakukan oleh gereja ialah dengan menggunakan narasi Kristus. Gereja harus menyuarakan secara terus menerus dan turun-temurun tentang narasi-narasi Kristus sebab, dalam narasi tersebut tentunya terdapat nilai-nilai kristiani yang menjadi ciri khas dalam pendidikan karakter yang

51

dilakukan oleh gereja. Dengan demikian, narasi tersebut dapat berguna untuk memberi kemampuan dalam menyesuaikan tindakan yang akan dilakukan dan tidak dilakukan.56

Secara singkat, Hauerwas menganjurkan gereja untuk menjadi komunitas karakter yang menjadi teladan bagi dunia. Dengan berhasilnya gereja melaksanakan perannya tersebut maka gereja akan membuat warna yang berbeda. Gereja akan mampu menjadi teladan dalam menghadapi problem moral yang terjadi dalam bangsa Indonesia. Gereja diibaratkan seperti lilin yang menerangi bangsa Indonesia yang gelap, yang marak dengan tindakan-tindakan negatif. Sebab, jika gereja tidak menjadi demikian, bangsa ini akan semakin hancur.

Thomas Lickona mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda yang menunjukkan suatu bangsa menuju pada kehancuran, yaitu : 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) menurunnya etos kerja, 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9) membudayanya ketidakjujuran dan 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.57

Tanda-tanda di atas secara nyata terjadi di bangsa Indonesia. Berbagai tindakan yang ditunjukkan tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dipilih oleh bangsa ini. Maraknya tindakan kekerasan fisik, psikis, dan seksual; mudahnya pengedaran, penjualan, dan banyaknya pemakai narkoba maupun pengkonsumsi minuman beralkohol, serta seringnya terjadi tindakan kriminal lainnya seperti tawuran, pencurian. Tindakan-tindakan tersebut banyak dilakonkan oleh para taruna dan

56

Stanley Hauerwas, ibid., 127-128. 57

Mohammad Ali, Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiridan Berdaya Saing Tinggi, (Jakarta: IMTIMA, GRASINDO, 2009), 147-148.

52

pemuda. Mereka adalah kelompok yang rentan terhadap pengaruh negatif yang pada akhirnya mempengaruhi karakter baik yang telah dibangun di dalam diri.

Penyebabnya ialah dilihat dari teori psikososial, para taruna berada pada tahap identitas vs kebingungan peran (Kesetiaan).58 Secara umum mereka adalah individu yang sedang mengalami peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan ditandai perkembangan yang sangat cepat. Menurut Erikson, remaja bertugas mencari dan membangun identitas ego mereka. Dengan proses untuk mencari dan membangun identitas, di lain sisi mereka bingung dengan peran mereka di dalam suatu tatanan sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, mereka dengan semangat mengidentifikasikan diri melalui pembentukkan geng. Pada masa remaja, mereka selalu ingin terlihat baik dan memenuhi harapan dari orang lain, khususnya lawan jenis. Tugas utama remaja ialah menemukan cara hidup di mana mereka dapat membuat komitmen permanen.

Keadaan yang demikian di dukung juga secara moral. Pada masa taruna, dalam teori perkembangan moral yang diusung oleh Kohlberg menempatkan mereka pada tahap Moralitas Konvensional. Pada tahap ini mereka berorientasi untuk menjalin hubungan-hubungan antar-pribadi yang baik dan lebih lanjut pada memelihara tatanan sosial yang telah mereka bangun. Dibalik dari orientasi tersebut, mereka memiliki kasih, empati, kepercayaan serta kepedulian yang cukup besar terhadap orang lain yang menjadi motivasi. Dari proses tersebut membuat mereka menuju pada suatu hubungan yang erat dengan siapa saja (antar-pribadi).59 Pada tahap ini juga, kepedulian yang besar ditujukan kepada orang-orang di luar keluarga. Selanjutnya mereka akan memperluas kepedulian mereka kepada masyarakat secara menyeluruh. Selain itu juga, penekanan mereka sekarang menjadi besar, yaitu pada menaati aturan,

58

John W.Santrock, Live-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: ERLANGGA, 2002), 40-41. 59

53

menghormati otoritas dan melakukan kewajiban dengan tujuan agar tatanan sosial yang berada disekitar mereka tidak menjadi kacau (dapat dipertahankan).60

Melihat uraian di atas maka nampak dengan jelas bahwa para taruna adalah kelompok awal yang rentan terhadap pengaruh negatif. Ketika para taruna berada pada tahap kebingungan dalam mencari identitas dan peran yang dialami, akan memudahkan pengaruh negatif seperti melakukan tindakan kekerasan, kriminalitas, berbohong dan sebagainya untuk masuk di dalamnya. Pengaruh-pengaruh negatif tersebut tidak datang dengan sendirinya, melainkan berasal dari orang-orang yang berada di lingkungan pergaulan mereka. Orang-orang tersebut akan dengan mudah mempengaruhi mereka sebab, para taruna sedang berorientasi untuk menjalin relasi dengan pribadi-pribadi lainnya. Ketika relasi yang demikian telah terjalin, di dalamnya diberi tempat pada empati, kasih, kepercayaan, kepedulian, dan berujung pada kesetiaan. Keadaan inilah yang jika tidak diatasi oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat termasuk gereja sebagai komunitas iman, akan terus berlanjut hingga para taruna tumbuh menjadi pemuda. Sebab, mereka akan mempertahankan relasi tersebut untuk memelihara tatanan sosial yang telah mereka bangun selama ini. Ketika pemuda, mereka berada pada tahap keintiman vs isolasi. Dalam tahap ini Erikson melihat bahwa mereka mulai memperlebar dan memperdalam kapasitas mencintai dan memperhatikan orang lain. Komitmen permanen kepada orang lain yang berhasil dibuat ketika masa taruna, akan mencapai sebuah keintiman pada komitmen yang mereka bangun di tahap ini. Keintiman ini termasuk pada perasaan identitas yang telah dibangun selama ini.

Dengan melihat perkembangan diri para taruna dan pemuda, gereja harus melaksanakan perannya dalam membangun karakter Kristen melalui pendidikan. Untuk mendukung hal itu, gereja harus menciptakan suatu dunia yang memudahkan

60

54

untuk mengasuh warga jemaatnya menjadi berkarakter. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mengelilingi lingkungan sekitar dengan panutan-panutan dan pesan-pesan sebagai pendukung bagi orang tua dan sekolah dalam usaha mereka untuk melakukan pembangunan karakter. Secara konkret, gereja memberikan beberapa tulisan dan sarana yang mendorong seluruh jemaat termasuk anak, taruna, dan pemuda dalam melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada karakter Kristen. Terkait dengan hal itu, beberapa komunitas menemukan beberapa cara untuk mendorong para anggotanya untuk bertindak baik, dan berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan. Strategi tersebut dapat diadopsi oleh gereja untuk mengusahakan lingkungan yang membangun karakter Kristen pada seluruh jemaatnya:61

1. Mendorong Kesadaran Gereja atas Karakter

Terdapat tantangan dalam menciptakan suatu komunitas berkarakter. Tantangan yang dimaksud ialah menjaga karakter di mata publik. Gereja dapat mengatasi tantangan tersebut dengan menciptakan suatu kebudayaan visual yang mengelilingi orang dengan pesan karakter. Misalnya saja dengan menempatkan poster, gambar, logo yang berkaitan dengan melaksanakan karakter Kristen di dalam lingkup gereja. Dengan cara ini dapat memotivasi jemaat untuk terus sadar dalam melakukan karakter Kristen.

2. Bertekat untuk Menjadi Komunitas yang Karakter

Ketika gereja sebagai komunitas agama Kristen meneladankan dan mengajarkan secara sengaja karakter yang baik terhadap setiap orang. Dengan membuat suatu komitmen yang sadar terhadap karakter Kristen tentunya akan menghasilkan individu-individu yang yang sadar juga melakukan karakter Kristen di dalam kehidupan mereka masing-masing.

3. Gereja Mengenali Karakter yang Baik dan Memberi Penghargaan

61

55

Cara lainnya yang dapat dilakukan gereja dalam membangun karakter Kristen ialah dengan mengakui dan merayakan karakter yang baik dari setiap warga jemaatnya. Maksudnya ialah gereja harus memiliki kejelian dan kepekaan dalam melihat jemaatnya yang mampu melakukan nilai-nilai karakter yang ditargetkan oleh gereja. Setelah itu gereja perlu memberikan penghargaan kepada mereka. Dengan cara-cara tersebut akan membuat jemaat semakin kuat terdorong dalam bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut.

4. Mengenali Kebajikan–kebajikan yang Ditargetkan

Begitu banyak kebajikan, nilai, dan proses yang digunakan dalam mengembangkan karakter. Hal-hal tersebut telah digunakan oleh komunitas–komunitas yang berbeda untuk sampai pada sifat-sifat karakter yang mereka ingin promosikan. Oleh karena itu, gereja sebagai salah satu komunitas, khususnya komunitas agama Kristen harus mengenali hal-hal tersebut termasuk nilai dan kebajikan-kebajikan yang ingin diajarkan kepada jemaatnya.

5. Menjalin Kemitraan Gereja – Keluarga

Memperkuat suatu komunitas karakter harus dimulai dengan membangun kemitraan lembaga-lembaga yang telah ada, yang bertanggungjawab untuk pembangunan pendidikan dan moral generasi penerus. Lembaga yang dimaksud ialah keluarga. Keluarga adalah lembaga terkecil namun sebagai pemeran utama dalam membangun karakter para taruna dan pemuda. Secara internal, keluarga berada di dalam gereja. Oleh karena itu keluarga sering disebut sebagai “gereja kecil” atau

“gereja mini”. Kemitraan gereja dan keluarga tidak hanya nampak dalam hal tersebut.

Gereja dapat menjalin kemitraan dengan keluarga dengan beberapa cara, antara lain: gereja sebagai wadah pembentuk dan pendidik jemaat seharusnya menjadi motor perubahan bagi mereka. Selain itu juga, gereja seharusnya menjadi wahana pembebas bagi mereka secara holistik, gereja diharapkan menjadi media pengharapan, menjadi

56

perubah paradigma berpikir, menjadi motivator kehidupan dan apabila memungkinkan gereja juga menjadi pendongkrak keberhasilan ekonomi keluarga. Dengan kata lain, gereja diharapkan menjadi penatalayan keluarga (family’s steward) menuju keluarga harmonis dan sejahtera. Menjadi penatalayan yang tidak hanya menyentuh ranah rohani, melainkan seluruh ranah (materi, rohani dan jasmani). Dengan berhasilnya memperkuat kemitraan antara gereja dan keluarga maka akan mampu membuka peluang bagi keluarga untuk memberi diri ke gereja, ber-gereja dan meng-gereja.62

6. Memperkuat Keluarga

Ketika gereja telah berhasil menjalin kemitraan dengan keluarga-keluarga yang menjadi anggota komunitas dan menjaga relasi tersebut untuk tetap baik, lebih lanjut gereja harus memperkuat keluarga. Secara khusus gereja memperkuat keluarga dalam melaksanakan perannya untuk menumbuhkan karakter Kristen bagi seluruh anggotanya. Penguatan tersebut dapat dilakukan dengan tiga dimensi dasar yang dipaparkan oleh Charles Stewar. Tiga dimensi tersebut yaitu:63

a. Gereja harus mengembangkan suatu jaringan pendampingan dan menyatakan perhatiannya terhadap keluarga melalui kunjungan kepada orang sakit, orang berduka dan orang yang terpaksa tidak dapat tinggal di rumahnya. Selain itu juga gereja harus melaksanakan doa syafaat bagi keluarga yang mengalami krisis. b. Gereja harus mengembangkan suatu pelayanan keluarga melalui program

pendidikannya. Pelayanan itu dilakukan melalui kursus antar generasi, pembinaan-pembinaan, kelompok belajar atau Pemahaman Alkitab.

c. Gereja harus mengadakan penyuluhan, agar keluarga dapat dibantu menanggulangi masalah perkembangan yang secara tidak terduga, mengadakan konseling pastoral

62

Howard Clinebel, Tipe-tipe Dasar pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius, BPK GM, 2001), 378-382.

63

57

kepada keluarga yang mengalami masalah, baik itu mereka yang mengalami stress, bangkrut, dan lain sebagainya.

7. Menciptakan Suatu Kelompok Kepemimpinan

Untuk menciptakan komunitas yang berhasil sadar dalam melakukan karakter-karakter Kristen, membutuhkan suatu kelompok pemimpin yang mengkoordinasi usaha itu dan menopang pelaksanaannya. Dalam hal ini pemimpin-pemimpin gereja diasumsikan memiliki peran dalam membawa pengaruh Kristen dalam segala hal di dalam gereja, khususnya dalam hal keadilan.64 Terkait dengan pengaruh yang dibawa oleh para pemimpin maka dibutuhkan kelompok pemimpin yang mampu memberikan teladan dalam hal karakter Kristen. Atau dengan kata lain, memerlukan persyaratan yang kompleks dalam memilih dan membentuk kelompok kepemimpinan dalam gereja.

8. Gereja Memberikan Pelatihan Kepemimpinan

Memilih dan membentuk kelompok kepemimpinan saja ternyata belum cukup. Bagi banyak komunitas, langkah selanjutnya ialah memberikan pelatihan formal untuk kelompok kepemimpinan. Pelatihan formal merupakan rangkain proses dalam mengidentifikasi, memilih, dan melatih mereka yang menjadi kandidat dalam kelompok kepemimpinan. Mereka perlu lebih dipersiapkan untuk mampu menghadapi tantangan, melatih mereka untuk mampu bekerja pada kondisi dan subyek yang berbeda-beda.65

9. Gereja Memberi Peran Kepemimpinan pada Taruna dan Pemuda

Peran kepemimpinan tidak hanya dapat dilakukan oleh para pemimpin dan orang dewasa secara umum, melainkan anak-anak; taruna; dan pemuda juga dapat diberikan peran kepemimpinan tersebut. Menyinggung pada poin enam tentang memberi

64

Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 456. 65

Eddie Gibbs, Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang: Membentuk dan Memperbaharui Kepemimpinan yang Mampu Bertahan dalam Zaman yang Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 222.

58

kesempatan bagi setiap anggota jemaat untuk memberi masukan, untuk memunculkan rasa memiliki gereja di dalam diri jemaat juga dapat dilakukan dengan cara memberi peran kepemimpinan kepada seluruh jemaat, termasuk pada anak-anak; taruna; dan pemuda.

Untuk membuat gereja berhasil dalam mengembangkan karakter Kristen, gereja perlu belajar dari sekolah. Di mana sekolah-sekolah lebih berhasil dengan pendidikan karakter ketika para murid berada dalam peran kepemimpinan, prakarsa komunitas gereja jauh lebih efektif ketika anak-anak muda gereja adalah penyumbang ketimbang sekedar hanya menjadi penerima (berikan mereka tanggung jawab).

10.Memberi Kesempatan Bagi Setiap Anggota Jemaat untuk Memberi Masukan

Gereja bukanlah milik para kelompok kepemimpinan, melainkan milik seluruh pihak yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, seluruh pihak tersebut termasuk seluruh warga jemaat harus mendapat kesempatan untuk memberi masukan bagi pengembangan gereja, khususnya visi prakarsa karakter lingkup gereja. Dengan demikian akan memaksimalkan rasa memiliki yang ada di dalam diri mereka terhadap gereja.

11.Memadukan Karakter ke dalam Semua Program Gereja

Karakter dapat dikembangkan pada seluruh jemaat dengan berbagai cara termasuk dengan memadukan pembangunan karakter ke dalam program-program gereja, baik program jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan memadukan karakter di dalam program-program gereja, akan membuat nilai-nilai dalam karakter semakin nyata. Sebab, ketika jemaat melaksanakan kegiatan yang terkait dengan program gereja, jemaat juga dapat melakukan nilai-nilai tersebut. Beberapa kegiatan yang merupakan wujud dari program gereja yang sifatnya dilakukan berkala akan membantu jemaat terbiasa dalam melakukan nilai-nilai karakter yang terkandung di dalam kegiatan tersebut.

Dokumen terkait