• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran dan Strategi Gereja dalam Pembangunan Karakter Taruna dan Pemuda di GPIB Jemaat Bukit Sion Balikpapan T1 752013018 BAB II"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

PENDIDIKAN KARAKTER, PERAN DAN DAN STRATEGI GEREJA TERHADAP

PEMBANGUNAN KARAKTER TARUNA-PEMUDA

Hal yang mendasar dalam proses pendidikan yakni membangun konsep tentang hal-hal yang benar dalam diri individu yang di didik. Konsep yang demikian terkandung dalam karakter yang positif. Tanpa adanya pembangunan karakter, proses pendidikan yang dilakukan dalam lembaga apapun hanya menjadi semacam proses pengajaran untuk mengasah kemampuan intelektual seseorang. Oleh karena itu, dalam bab ini akan dibahas pokok utama mengenai Karakter, bagaimana membangun karakter melalui Pendidikan Karakter, serta Peran dan Strategi yang digunakan oleh Komunitas iman Kristen dalam Pembangunan Karakter taruna-pemuda yang sangat rentan terhadap perubahan-perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam pembahasan pokok-pokok utama tersebut, terdapat sub-sub pokok bahasan. Untuk mengetahui lebih jelas tentang pembahasan-pembahasan tersebut, terlebih dahulu perlu mengetahui latar belakang pendidikan karakter muncul di Indonesia.

II.1. Karakter dan Pendidikan Karakter

II.1.1.Munculnya Gerakan Pembangunan Karakter di Indonesia

(2)

15

character building. Pembangunan karakter adalah hal yang sangat penting bagi pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, secara detail Soekarno menegaskannya dalam suatu amanat, yaitu Pembangunan Semesta Berencana. Menurutnya, karakter merupakan mental investment, yakni investastasi yang diperlukan dalam pembangunan bangsa yang berupa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.10

Perubahan rezim tidak menghalangi semangat para pemimpin untuk tetap mewujudkan cita-cita bangsa. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Soeharto, beliau tetap memiliki semangat yang serupa dengan Soekarno, yaitu menginginkan bangsa ini selalu berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Demikian halnya dengan seluruh rakyat Indonesia dapat menjadi manusia yang melakukan nilai-nilai Pancasila. Untuk menciptakan manusia yang demikian, dilakukan pendekatan penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pada hakekatnya tujuan dari pendekatan tersebut baik adanya, namun yang menjadikan penataran itu gagal adalah metode yang digunakan bersifat mengindoktrinasi dan tidak memberikan teladan yang baik dari penyelenggara pendekatan tersebut.

Kegagalan yang demikian terus terjadi hingga zaman reformasi, di mana mulai nampak tanda-tanda keruntuhan dari nilai-nilai Pancasila. Kekerasan dan kerusuhan mulai muncul di mana-mana, mengentalnya semangat kedaerahan dan primordialisme; berkembangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme; demokrasi yang beretika berubah menjadi demokrasi yang anarkis; semakin pudarnya rasa kesatuan sosial dan politik. Tanda-tanda yang tidak kalah memprihatinkan terjadi di kalangan para pelajar termasuk mahasiswa. Mencontek, pelagiarisme, tawuran, meminum-minuman keras, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, bullying, hingga tindakan kriminal marak dilakukan oleh para generasi penerus bangsa. Hal-hal di atas menunjukkan bahwa karakter pada bangsa ini telah pudar. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu

10

(3)

16

lingkungan yang tidak baik dan tidak optimalnya pengembangan karakter yang seharusnya dilakukan lembaga pendidikan. Pada dasarnya pendidikan adalah upaya yang tepat untuk mengembangkan nilai-nilai karakter sebab, melalui pendidikan individu dibina dan dilatih agar terjadi suatu transformasi dalam diri yang berkaitan dengan menumbuh-kembangkan karakter positif. Hal tersebut telah ditegaskan oleh Ki

Hajar Dewantara bahwa “pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan

bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect), dan tubuh

anak.”11

Peranan penting pendidikan tersebut adalah benar adanya. Hal itu terlihat dari alasan yang diberikan oleh wali murid yang mempercayakan anak mereka untuk di didik pada lembaga pendidikan. Kepercayaan penuh diberikan kepada para pendidik dan tenaga pendidik untuk menjadikan anak-anak mereka menjadi pribadi yang positif.

Peranan penting pendidikan dalam menumbuh-kembangkan karakter juga ditulis dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa fungsi utama dari Pendidikan Nasional ialah mengembangkan kemampuan, membentuk watak, menjadikan peradaban bangsa bermartabat. Kesemuanya itu untuk menjadikan rakyat Indonesia cerdas, beriman, bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Walaupun demikian, upaya yang dilakukan belum-lah komprehensif. Oleh karena itu, upaya lain ditempuh yaitu menempatkan pendidikan karakter sebagai tempat pertama dari kedelapan misi yang ada. Misi-misi tersebut merupakan rangkaian yang dapat mewujudkan visi pembangunan nasional, seperti yang terdapat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Rencana tersebut tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007. Sebagai bentuk pelaksanaan terhadap rencana di atas, pada tanggal 14 Januari 2010 melalui metode sarasehan dirancanglah suatu program yang bernama “Pendidikan

11

(4)

17

Budaya dan Karakter Bangsa”.12 Program tersebut kemudian menjadi suatu gerakan

nasional pada bangsa ini. Sejak saat itu, karakter menjadi basis dari segala pendidikan yang dilaksanakan.

II.1.2.Tanggung-jawab Dalam Gerakan Pembangunan Karakter

Dengan berhasilnya pembangunan karakter menjadi suatu gerakan nasional maka tanggung-jawab tidak hanya berpusat pada lembaga pendidikan, melainkan pada seluruh unsur dalam masyarakat. Lembaga pendidikan diibaratkan sebagai kepala pelaksana, sedangkan unsur masyarakat lainnya, seperti keluarga dan masyarakat (pemerintahan, masyarakat sipil, politik, dunia usaha dan industri, media massa) adalah sasaran dalam pembangunan karakter.13

Dalam lingkup keluarga, anak-anak dibentuk karakternya melalui pendidikan yang diberikan oleh masing-masing keluarga. Peran sentral pada lingkup ini adalah orang tua serta orang dewasa lainnya yang ada. Mereka bertugas memberikan ajaran dan membiasakan anak-anak mereka untuk melakukan nilai-nilai karakter. Keberhasilan anak dalam melakukan nilai-nilai karakter juga tidak lepas dari keteladanan yang diberikan oleh orang tua dan orang dewasa lainnya dalam keluarga.

Keteladanan tidak hanya diberikan dalam lingkup keluarga, namun juga penting ditunjukkan oleh individu-individu yang berada pada pemerintahan. Pemerintah adalah pihak yang memilih, memutuskan, mengeluarkan dan melaksanakan kebijakan pembangunan karakter pada aras formal, informal, dan non-formal. Tangung-jawab pemerintah tidak cukup berhenti pada hal-hal tersebut, melainkan terus berlanjut dengan memberikan pengajaran secara tidak langsung dengan keteladanan dalam melakukan karakter positif.

12

Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, (Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia, 2010), i.

13

(5)

18

Dalam lingkup masyarakat lainnya, seperti masyarakat sipil dan politik, keteladanan juga menjadi hal yang wajib untuk diberikan sebagai wujud pembangunan karakter. Memberikan teladan tidak memandang jabatan dan kekuasaan yang dimiliki seseorang. Sebaliknya, semakin tinggi jabatan yang dimiliki, semakin besar pula teladan yang harus ditunjukkan. Jadi, para tokoh dan elite masyarakat, organisasi sosial; tokoh-tokoh dan organisasi agama; serta tokoh dan elite politik, wajib hukumnya membangun karakter melalui pengajaran dan keteladanan. Melalui mereka, nilai-nilai karakter dapat diinternalisasikan dalam diri masing-masing.

Telah dikatakan di atas bahwa tanggung-jawab juga dimiliki oleh dunia usaha dan industri. Pertanyaannya, apa tanggung-jawab yang ada pada mereka? Dunia usaha dan industri merupakan pihak yang erat kaitannya dengan bidang ekonomi pada bangsa ini. Ketika mereka mampu melaksanakan nilai karakter yang tidak bergantung pada bangsa atau orang lain (mandiri) maka akan memunculkan rasa yang kuat terhadap persaingan dan rasa bangga menggunakan produk dalam negeri, serta memunculkan lapangan kerja yang banyak.

Ketika unsur-unsur masyarakat yang telah dipaparkan di atas berhasil membangun karakter positif maka pemberitaan akan cepat tersebar kepada seluruh masyarakat di bangsa ini. Ini merupakan andil dari media massa. Realita saat ini menunjukkan bahwa tiada berita yang tak sampai di telinga masyarakat, baik itu berita atau informasi yang berdampak positif hingga yang berdampak negatif pada pembangunan karakter masyarakat. Hal tersebut menunjukkan fungsi dan peran media massa yang semakin besar, khususnya dengan perkembangan tekhnologi yang pesat saat ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa media massa bertanggung-jawab dalam membentuk nilai-nilai, sikap, dan karakter bangsa.

II.1.3. Pendidikan Karakter dan Karakter

(6)

19

Karakter adalah hal yang penting bagi setiap individu. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Psikiater Frank Pittman sebagaimana yang ditulis oleh Thomas Lickona dalam bukunya Pendidikan Karakter, bahwa stabilitas kehidupan seseorang tergantung pada karakter yang dimilikinya. Karakter yang memungkinkan seseorang untuk mampu mempertahankan hidup, memikul dan mengatasi kemalangan yang ada dalam dunia yang tidak sempurna ini. Setiap orang pada dasarnya menginginkan keberhasilan dan untuk mencapai hal itu, menurut Stephen Covey masing-masing individu harus menjadi seseorang yang baik agar mampu melakukan dengan baik. Jadi tanpa karakter orang tidak mendapat apa-apa kecuali kehidupan yang gagal (Walker Percy).

(7)

20

sekitar 40 persen anak hidup tanpa orang tua (bercerai) yang sebagian besar ayah yang bercerai tidak membiayai anaknya; kelahiran pada ibu yang tidak menikah meningkat lebih dari 400 persen; satu dari tiga bayi lahir tanpa ikatan pernikahan; satu dari lima anak hidup dalam kemiskinan; dengan adanya pengesahan aborsi oleh Mahkamah Agung 1973 ada lebih dari 40 juta aborsi di Amerika, kira-kira satu aborsi setiap dua puluh detik (remaja Amerika tingkat aborsi tertinggi di dunia). Ditambah lagi jumlah pemirsa televisi dalam rumah tangga naik dari lima menjadi tujuh jam dan terus meningkat (remaja kurang dari dua jam seminggu untuk membaca dan lebih dari dua puluh jam seminggu menonton televisi).14

Pada tahun 2002 dalam catatan kartu laporan tentang etika orang muda di Amerika menemukan beberapa hal, yaitu: tiga dari empat orang murid mengaku menyontek saat ujian sekolah selama setahun terakhir; hampir empat dari sepuluh murid telah mencuri dari toko selama setahun terakhir; hampir empat dari sepuluh mengatakan mereka akan berbohong demi mendapatkan pekerjaan yang bagus. Pada tahun 2000, delapan puluh persen murid yang diseleksi (dianggap pemuda bangsa dan paling cemerlang) mengaku menyontek di sekolah.15.

Serupa dengan di Amerika Serikat, dimensi karakter di Indonesia telah ada sejak lama. Sejak awal kehidupan bangsa ini, para tokoh bangsa sangat menyadari perlunya pembangunan karakter. Pembangunan karakter, oleh Ir. Sukarno sebagai presiden RI yang pertama diberi tema Nation And Character Building yang tegas dinyatakan dalam keempat alinea pembukaan UUD 1945.

II.1.3.2. Karakter

14

Thomas Lickona, Pendidikan Karakter, (Bantul: Kreasi Wacana Offset. 2012),15-16. 15

(8)

21

Menurut Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin, karakter berasal dari kata dalam bahasa Inggris character, yang juga berasal dari bahasa Yunani charassein,

yang berarti “to engrave” (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis

kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian tersebut, karakter kemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus dan karenanya melahirkan suatu pandangan bahwa karakter adalah pola perilaku yang bersifat individual, atau dapat juga sebagai keadaan moral seseorang.16 Selanjutnya Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin menggambarkan bentuk dari karakter, yaitu termasuk dalam salah satu dari kata-kata yang familiar, namun sulit untuk dijabarkan, abstrak, tidak dapat dilihat, tidak dapat disentuh, dan tidak dapat dirasakan. Karakter dapat diketahui ketika berada di sekitar orang-orang yang memiliki karakter yang baik. Secara singkat, karakter adalah intelektual dan kebiasaan moral seseorang.

Karakter juga berarti kualitas yang dibangun ke kehidupan individu dan individu tersebut-lah yang menentukan responnya. Karakter adalah motivasi batin untuk melakukan apa yang benar dan baik (kebajikan) sesuai dengan standar tertinggi dari perilaku dalam setiap situasi. Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan sebuah pancaran karakter yang telah bercampur dan yang memancar dalam cahaya dari setiap perbuatan. Dalam kaitannya dengan

prestasi, karakter adalah "sistem akar" atau “root system” yang mendukung

seluruh hidup seseorang. Prestasi adalah "buah yang terlihat" yang dihasilkan dari karakter diri. Karakter ditekankan dengan membangun kesadaran melalui pelatihan, bahan-bahan, dan contoh kepemimpinan.

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior).

16

(9)

22

Berdasarkan ketiga aspek ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan yang baik. Dengan demikian, seseorang dapat dikatakan berkarakter baik bukan saja melibatkan salah satu aspek, seperti intelektual yang menurut Lickona sebagai moral knowing, atau dikorelasikan dengan kebiasaan moral seseorang (moral behavior). Orang yang berkarakter adalah orang yang mampu mengkorelasikan ketiga aspek tersebut dengan komposisi yang seimbang. Dengan demikian orang tersebut secara sadar akan mampu memahami, merasakan, dan melakukan secara bersamaan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan prinsip moral. Ahli lain yang juga mengemukakan pendapat Lickona tentang definisi karakter. Ahli yang dimaksud ialah Tifany Gray yang mengutip The Character Education Partnership (CEP) mendefinisikan bahwa karakter berguna sebagai pemahaman, kepedulian, dan bertindak atas nilai-nilai etika inti seperti hormat, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, dan kepedulian.

Menurut Timoty Wibowo, karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.

(10)

23

karakter sebagai “Nilai-nilai yang khas – baik (mengetahui nilai kebaikan,

keinginan untuk berbuat baik, dengan nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan

tantangan”.17

Dari beberapa pengertian karakter yang telah dipaparkan di atas memperlihatkan bahwa karakter tidak berdiri sendiri, melainkan terdapat unsur-unsur pendukung. Adapun unsur-unsur yang dimaksud ialah prinsip moral, kebajikan (virtue), iman, dan nilai. Prinsip moral adalah pemahaman serta perasaan tentang yang benar dan salah, baik dan buruk. Prinsip moral juga dikaitkan dengan iman seseorang, sehingga prinsip ini menjadi pemahaman nilai dan norma yang menjadi pegangan setiap orang.18 Oleh karena itu, melalui ini seseorang dapat mengetahui mana hal yang benar dan yang tidak benar untuk dilakukan. Pengetahuan tersebut dapat muncul dari hasil penalaran seseorang ketika mengambil keputusan tentang hal yang baik dan hal yang buruk. Inilah cara untuk memahami moral secara mendalam. Di mana moral tidak cukup dilihat sebagai aspek perbuatan atau tingkah laku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga sebagai penalaran atau pemikiran. Dengan demikian menunjukan bahwa moral adalah potensi dalam diri setiap manusia.

17

Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, (Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia, 2010), 7.

18

(11)

24

Pendukung karakter lainnya yaitu kebajikan (virtue). Kebajikan (virtue) secara singkat adalah isi dari karakter yang baik. Kebajikan juga dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan yang baik menurut sudut pandang moral.19 Lickona membagi kebajikan menjadi dua bagian, yaitu kebajikan fundamental dan esensial. Kebajikan fundamental terdiri dari rasa hormat (respect) dan tanggung jawab (responsibility).20 Kebajikan fundamental tersebut dibutuhkan untuk membentuk karakter yang baik disamping kebajikan esensial yang terdiri dari sepuluh kebajikan. Kebajikan-kebajikan tersebut antara lain: kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), ketabahan (fortitude), pengendalian diri (self-control), kasih (love), sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard work), integritas (integrity), penuh syukur (gratitude), dan kerendahan hati (humality).21 Kebajikan-kebajikan ini merupakan inti (core virtues) yang berfungsi dalam mengembangkan karakter yang baik (good character).

Keduabelas kebajikan menurut Lickona di atas bukanlah hal mutlak untuk diberikan kepada naradidik. Para penyelenggara dan pengajar dalam pendidikan karakter dapat memuat kebajikan-kebajikan lainnya yang dikondisikan dengan berbagai keadaan disekitar. Berakar dari hal ini kemudian muncul-lah istilah yang disebut dengan nilai. Nilai merupakan hal-hal inti yang diajarkan dalam pendidikan karakter. Hal tersebut dipertegas oleh Tyler dengan mendefinisikan nilai sebagai suatu objek, aktivitas atau ide yang dapat mengarahkan minat, sikap, serta kepuasan naradidik. Hal ini dinyatakan oleh pihak-pihak penyelenggara serta pengendali pendidikan. Dalam nilai,

19

Thomas Lickona, Character Matters, (New York: Somon and Schuster, 2004), 7. 20

Thomas Lickona, Educating for Character, (New York:Bantam Books, 1991), 43. 21

(12)

25

kepercayaan agama menjadi tolak ukur penilaian terhadap hal-hal mana yang baik untuk dilakukan.

Ketika melihat uraian tentang prinsip moral, kebajikan, nilai, dan iman maka nampaklah keterkaitan antara satu dengan lainnya. Unsur-unsur pendukung karakter tersebut secara nyata tidak dapat dipisahkan.

II.1.4. Nilai-nilai Karakter

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa nilai merupakan bagian inti dari pendidikan karakter. Menurut Lickona sesungguhnya terdapat nilai-nilai moral universal yang bersumber dari agama-agama di dunia, dan hal itu yang disebutnya sebagai the golden rule. Nilai moral universal yang dimaksud meliputi: kejujuran, kesalehan (piety), keterpercayaan (trustworthiness), hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring), dan kewarganegaraan (citizenship).22

Dalam pendidikan karakter, nilai-nilai baik diajarkan kepada naradidik melalui serangkaian proses pembelajaran. Nilai-nilai yang diajarkan tersebut tentunya berbeda antara satu penyelenggara pendidikan dengan yang lainnya, khususnya tiap-tiap bangsa. Hal itu dikarenakan masing-masing bangsa memiliki ideologi dan budaya yang berbeda. Oleh karena itu, nilai moral universal yang diusung oleh Lickona belum tentu secara keseluruhan digunakan oleh penyelenggara-penyelenggara pendidikan karakter, termasuk Indonesia.

Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai dapat bersumber dari ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, maupun yang telah dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Secara spesifik, nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang dipilih oleh bangsa ini bersumber dari: a) Agama, di mana Indonesia merupakan negara yang berisikan rakyat yang beragama. Oleh karena itu, ajaran agama selalu mendasari seluruh kegiatan di

22

(13)

26

dalam bangsa ini; b) Pancasila sebagai dasar dari negara ini. Oleh karena itu, beberapa nilai yang berada di dalam Pancasila di adopsi oleh pendidikan karakter dengan tujuan agar naradidik menjadi warga negara yang lebih baik dengan mampu, ingin, dan menerapkan nilai-nilai. Adapun nilai-nilai tersebut ialah nilai keyakinan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang disembah, menghormati dan toleransi antar umat beragama, kebebasan melaksanakan ibadah masing-masing, mengakui harkat dan martabat yang dimiliki oleh masing-masing individu sebagai manusia, mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan memperoleh keadilan, tenggang rasa terhadap sesama, tidak mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan, rasa cinta tanah air dan bangsa serta rela berkorban baginya, membina persatuan dan kesatuan, musyawarah untuk mufakat, gotong royong, adil dalam segala bidang kehidupan.23 c) Budaya. Nilai-nilai yang berada pada budaya adalah nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat. Nilai tersebut yang kemudian menjadi dasar untuk memberi makna dan arti bagi komunikasi yang terjadi di antara anggota masyarakat. d) Tujuan Pendidikan Nasional, yang tertulis

dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 adalah “mengembangkan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi naradidik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.”24

Di samping beberapa sumber yang dipaparkan di atas, jika ditinjau dari sudut teori psikososial menunjukkan bahwa tindakan seseorang dalam mewujudkan karakter merupakan suatu tindakan yang menggabungkan beberapa unsur yang membentuk diri

23

Aa Nurdiaman, Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara, (Bandung: Pribumi Mekar, 2007), 12-14.

24

(14)

27

orang tersebut. Unsur tersebut diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu olah pikir berkaitan dengan proses nalar yang menggunakan dan mencari pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif; olah hati yang mencakup perasaan sikap dan keyakinan atau keimanan; olah rasa dan karsa memiliki kaitan dengan kreativitas serta kemauan yang nampak dalam sikap peduli, pencitraan, dan menciptakan hal-hal yang baru. Bagian yang terakhir dari sudut ini ialah olah raga yang berarti memiliki kaitan dengan menciptakan persepsi, mempersiapkan, meniru, memanipulasi, serta menciptakan aktivitas yang baru yang sportif.

Dalam empat bagian yang dipaparkan di atas terdapat nilai-nilai karakter yang berada di dalamnya, di mana nilai-nilai karakter tersebut berbasis Pancasila. Nilai-nilai karakter yang dimaksud ialah:25

a. Olah pikir: kecerdasan, kekritisan, kekreativitasan, inovatif, rasa ingin tahu, produktif, memiliki orientasi pada iptek, dan reflektif.

b. Olah hati: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung-jawab, berempati, berani mengambil resiko memiliki jiwa patriotik, rela berkorban, dan pantang menyerah.

c. Olah rasa dan karsa memunculkan karakter bangga menggunakan produk dan bahasa Indonesia, gotong royong, kerja keras, peduli, dinamis, nasionalis, memiliki etos kerja, saling menghargai, mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air, ramah, toleran, hormat, mendunia, kemanusiaan, dan kebersamaan.

d. Olah raga menimbulkan nilai-nilai karakter antara lain gigih, bersih dan sehat, ceria, kooperatif, kompetitif, sportif, determinatif, bersahabat, berdaya tahan, andal, tangguh, dan kompetitif.

Sifat holistik yang terdapat dalam teori psikologis, pendidikan, dan sosial, juga terjadi pada psikososial. Saling terhubung dan melengkapi antara olah pikir, olah hati,

25

(15)

28

olah rasa dan karsa, serta olah raga menciptakan tindakan yang berkarakter dalam diri seseorang. Keterhubungan dan melengkapi tersebut dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

Gambar 1: Keterhubungan dan saling melengkapi dalam sudut psikososial

Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025

Nilai karakter banyak dimunculkan oleh sumber-sumber di atas, namun hanya beberapa nilai karakter yang dipilih dan disahkan untuk di ajarkan dalam pendidikan. Terdapat delapan belas nilai-nilai dalam pendidikan karakter yang dipilih, yaitu:26 a. Religius ialah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama

yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

b. Jujur ialah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

c. Toleransi ialah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

d. Disiplin ialah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

e. Kerja Keras ialah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

f. Kreatif ialah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

26

(16)

29

g. Mandiri ialah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

h. Demokratis ialah cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

i. Rasa ingin tahu ialah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. j. Semangat kebangsaan ialah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang

menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

k. Cinta tanah air ialah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

l. Menghargai prestasi ialah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

m.Bersahabat/komunikatif ialah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

n. Cinta damai ialah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

o. Gemar membaca ialah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

(17)

30

q. Peduli sosial ialah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

r. Tanggung jawab ialahsikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai-nilai tersebut tidak menjadi nilai yang mutlak, namun dapat ditambah maupun dikurangi sesuai dengan kebutuhan naradidik dalam pendidikan karakter yang dilaksanakan.

II.1.5. Pendidikan Karakter

Para peniliti tidak hanya memberikan arti pada karakter namun juga pada pendidikan karakter (Character Education). Beberapa peneliti baik personal maupun dalam komunitas berikut yang mendefinisikan pendidikan karakter. Menurut David H Elkind dan Freddy Sweet, pendidikan karakter (CE) adalah semua yang dilakukan oleh seorang pengajar dalam mempengaruhi karakter anak-anak yang di ajar.27 Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari pengertian pendidikan karakter tersebut awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter semestinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat tersebut secara langsung.28

Principal Character Education (PCE) yaitu suatu gabungan yang di dalamnya terdiri dari prinsip-prinsip pendidikan karakter, mengartikan pendidikan karakter sebagai sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat

27

KEMENDIKNAS, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, (Jakarta: KEMENDIKNAS 2010), 13.

28

(18)

31

menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung jawab dan kemauan untuk merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui keteladanan dan pengajaran tentang karakter yang baik, dengan cara memberikan penekanan pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua. Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari sekolah, distrik, dan negara bagian yang sifatnya intensional dan proaktif untuk menanamkan dalam diri para siswa nilai-nilai oral inti, seperti perhatian dan perawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain.29 Agar efektif, pendidikan karakter harus mencakup semua pemangku kepentingan dalam komunitas sekolah dan harus menembus iklim sekolah dan kurikulum. Semua pendekatan ini mempromosikan pengembangan intelektual, sosial, emosional, dan etis orang muda dan memiliki komitmen untuk membantu kaum muda menjadi bertanggung jawab, peduli, dan terlibat dalam masyarakat.

Sementara itu Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai sebuah proses pengajaran yang dilakukan oleh pengajar kepada anak-anak. Dalam proses pengajaran tersebut berisikan tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan termasuk kejujuran, keramahtamahan, kemurahan hati, keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan dalam diri siswa sebagai warga negara yang dapat

bertanggungjawab secara moral dan memiliki disiplin diri”.30

Peneliti lainnya yang juga banyak memberikan konsep tentang pendidikan karakter ialah Thomas Lickona. Terminology pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1990-an dan banyak orang menganggap bahwa ia yang mengusungnya. Oleh karena itu, ia dianggap serta sebagai salah satu pencetus utama pendidikan karakter dari dunia Barat dan ia dinobatkan sebagai bapak pendidikan karakter di Amerika. Lickona

29

Character Education Partnership, 11 Principles Of Effective Character Education, (USA: Character Education Partnership, 2010), i.

30

(19)

32

memberi definisi pendidikan karakter sebagai suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang, sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Di mana nilai-nilai tersebut yang menjunjung tinggi hak azasi manusia dan memperkokoh martabat manusia. Lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul Character Matters, Lickona menjelaskan pendidikan karakter adalah usaha sengaja (sadar) untuk mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara objektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan, tetapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan.31 Pendidikan karakter perlu diajarkan kepada generasi muda dengan tujuan agar mereka memiliki pemahaman yang benar tentang mana yang baik dan salah. Tidak cukup itu saja menurut Lickona, dengan pendidikan karakter dapat menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal-hal yang baik, sehingga naradidik mampu memahami, merasakan, serta bersedia melakukan hal-hal yang baik tersebut.

II.1.6.Strategi dalam Pembangunan Karakter

II.1.6.1.Model Pendekatan Pembangunan Karakter melalui Pendidikan

Seorang pengajar atau pihak yang melaksanakan pendidikan karakter dapat memberikan pendidikan karakter kepada naradidik dengan suasana yang menyenangkan, interaktif dan penuh dorongan. Sebab, pendidikan karakter dapat dilaksanakan dengan enam model, yaitu:32

a. Pembiasaan

Model ini adalah model tertua yang ada dalam dunia pendidikan. Kegiatan yang sengaja dilakukan berulang-ulang dengan tujuan kegiatan tersebut menjadi kebiasaan, itulah yang disebut dengan pembiasaan, atau dalam psikologi pendidikan dikenal dengan operan conditioning. Inti dari pembiasaan ialah agar seseorang memperoleh pengalaman. Dalam pendidikan karakter, model

31

Thomas Lickona, 2012: 5. 32

(20)

33

pembelajaran ini berguna dalam mengajar dan membiasakan naradidik dapat melakukan hal-hal yang benar. Proses pembiasaan dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu yang dilaksanakan secara terprogram dalam pembelajaran maupun yang tidak terprogram.

1. Pembiasaan yang terprogram ialah pembelajaran dengan memiliki perencanaan terlebih dahulu tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan, cara mereka melakukan, tempat dan waktu yang ditentukan.

2. Pembiasaan yang tidak terprogram dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) spontan ialah kegiatan yang secara langsung dilakukan oleh seseorang, misal mengambil sampah dan dibuang pada tempatnya; b) keteladanan ialah pembiasaan dengan melihat contoh, seperti berpakaian rapi.

b. Keteladanan

Pada model ini para pengajar menjadi pusat belajar dari peserti didik, sebab naradidik akan mencontoh segala yang benar, yang dilakukan dan dikatakan oleh pengajar dalam rangka membentuk dan mengembangkan diri mereka. Dengan demikian, pribadi seorang pengajar juga memiliki andil yang sangat besar dalam kesuksesan pembelajaran dan keberhasilan naradidik, khususnya dalam pendidikan karakter. Pengajar yang mampu memberikan keteladanan bagi naradidik, akan membuat mereka senang untuk belajar, serta betah berada di dalam ruang belajar. Keteladanan bukan berarti naradidik sepenuhnya meniru pengajar, melainkan naradidik harus berani mengembangkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, pengajar bertugas menjadikan naradidik sebagai seutuhnya naradidik, yaitu dengan mengembangkan naradidik sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki. c. Pembinaan Disiplin

(21)

34

karakter sukses dilaksanakan. Yang perlu dilakukan oleh para pengajar dalam menjadikan para naradidik disiplin ialah membantu mereka dalam mengembangkan pola perilaku, meningkatkan standar perilaku, dan melaksanakan aturan-aturan yang ada. Tindakan awal yang dapat dilakukan pengajar ialah dengan menggunakan prinsip demokratis, dari, oleh dan untuk naradidik. Pembinaan disiplin adalah penting dalam menumbuh-kembangkan karakter naradidik, namun pengajar perlu mempertimbangkan situasi-situasi naradidik dan paham dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan naradidik.

Disiplin adalah bagian dari pembiasaan dan keteladanan yang biasa dilakukan di sekolah, masyarakat, termasuk gereja, yang pada hakekatnya kegaiatan-kegiatan yang ada terikat oleh aturan. Untuk menerapakan ketiga model tersebut mengharuskan pengajar konsisten dan berkesinambungan dalam melakukannya. d. CTL (Contextual Teaching and Learning)

Dalam menggunakan model ini perlu memperhatikan keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan atau pengalaman nyata naradidik, antara lain konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya. Maksud dari hal tersebut ialah agar naradidik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar yang mereka miliki dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dari metode CTL ialah menolong naradidik dalam memahami makna dari materi pelajaran yang telah dipelajari dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian naradidik mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan termasuk permasalahan disekitar mereka.

(22)

35

lingkungan belajar yang kondusif untuk menumbuh-kembangkan karakter-karakter yang ada pada masing-masing individu.

e. Bermain Peran

Bermain peran adalah salah satu cara memecahkan masalah yang kreatif sebab, para naradidik dapat memperagakan hubungan-hubungan antarmanusia dan melakukan diskusi bersama para naradidik yang lainnya. Hal tersebut bertujuan agar mereka dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai. Pemecahan masalah dengan menggunakan metode ini memerlukan bantuan kelompok sosial yang beranggotakan teman-teman sekelas, sehingga memperlihatkan kerjasama dalam kelompok untuk menganalisis situasi-situasi sosial, khususnya masalah yang berhubungan dengan antarpribadi.

f. Pembelajaran

Pembangunan karakter dapat dilakukan dengan cara mengajarkan naradidik tentang berbagai hal yang berkaitan dengan karakter, dan hal itu dapat terjadi dalam kegiatan kelas. Melalui proses belajar setiap materi dan kegiatan yang dirancang untuk pengembangan seluruh ranah (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotor). Dalam proses tersebut juga perlu dilakukan pengondisian tertentu khususnya terhadap suasana atau iklim belajar. Suasana atau iklim yang dikondisikan di tempat belajar dapat berupa kedisiplinan, kejujuran, serta kasih. Dengan demikian naradidik akan menghasilkan karakter yang baik serta memberikan mereka kesempatan dalam mewujudkan tindakan yang menunjukkan karakter yang baik tersebut.33

Proses pendidikan yang membangun karakter seseorang juga menjadi efektif ketika naradidik memiliki tingkat keterlibatan atau partisipatif. Partisipasi yang tinggi dapat ditunjukkan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun

33

(23)

36

pengevaluasiaan proses belajar. Hal tersebut dapat terlaksana ketika beberapa prinsip dibawah ini dapat diterapkan: 1) berdasarkan kebutuhan belajar (learning needs based); 2) berorientasi pada usaha dalam mencapai tujuan belajar yang telah dirancang (learning goals and objectives oriented); 3) berpusat pada naradidik (partisipan centered); 4) belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning). Dalam hal ini, pengajar berfungsi sebagai fasilitator.

Pada hakekatnya pembangunan karakter melalui pembelajaran dapat berhasil ketika melewati perencanaan yang matang dan dimasukkan ke dalam program kerja.34 Dengan demikian segala sesuatunya menjadi terstruktur dan tersistematis. Contoh pembelajaran yang dapat dimasukkan dalam program yaitu: mengadakan berbagai perlombaan yang bertemakan tanah air. Selain itu juga dapat mengadakan lomba olahraga yang disukai naradidik, seperti basket atau footsal yang di dalam satu regu terdapat umur yang berbeda-beda. Lomba debat atau pidato yang mengambil tema tentang karakter dalam bangsa Indonesia, atau juga lomba menulis puisi, karya tulis tentang dampak karakter buruk dalam negara tercinta. Selain itu juga dapat mengadakan kegiatan-kegiatan yang dirancang tidak hanya membangun karakter naradidik, melainkan menjalin serta mempererat relasi dengan pihak lain. Sebagai contoh mengadakan perkunjungan ke rumah sakit, rumah tahanan, atau ke tempat-tempat yang dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air. Selain itu juga dapat melakukan pengabdian kepada masyarakat untuk menumbuhkan rasa kepedulian dan kesetiakawanan sosial; melakukan kerja bakti bersama relasi yang telah ada, seperti: dengan sekolah-sekolah, dengan umat beragama lainnya, dengan masyarakat sekitar atau pemerintah kota.

Pembangunan karakter melalui pembelajaran juga dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada mata pelajaran, khususnya pada tiap

34

(24)

37

materi pembelajaran.35 Sebagai contoh, untuk nilai karakter jujur dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran ekonomi tentang konsep ekonomi (mata pelajaran ekonomi kelas X). Pengintegrasian yang demikian tidak terbatas pada satuan pendidikan yang formal, namun juga dapat dilakukan dimana saja, termasuk di gereja. Pendidikan karakter dalam gereja salah satunya dapat dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada katekisasi. Misalnya dalam materi dosa, anugerah pertobatan, pengampunan dan hidup baru dapat diintegrasikan dengan nilai karakter bertanggung-jawab.

Proses pembangunan karakter memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam proses ini terdapat strategi yang mencakup keseluruhan konteks perencanaan dan implementasi dari pembangunan karakter. Dalam latar ini terbagi menjadi tiga tahap, yakni:36

a. Perencanaan, merupakan tahap awal yang di dalamnya terdapat tindakan menggali seluruh perangkat karakter kemudian dikembangkan, dikristalkan dan dilakukan perumusan kembali. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengacu 1) dasar filosofis yaitu Pancasila, UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 dengan seluruh ketentuan perundang-undangan yang diturunkannya; 2) dasar teoritis: teori tentang otak, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosio kultural; 3) dasar empiris terdiri dari pengalaman yang terjadi dan praktik yang terbaik, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh, kelompok kultural, sekolah unggulan, gereja.

b. Pelaksanaan (implementasi) yaitu tahap di mana segala yang telah direncanakan dikembangkan melalui proses belajar. Proses tersebut kemudian menjadi pengalaman yang pada akhirnya membentuk karakter dalam diri naradidik.

35

Pemerintah Republik Indonesia, Desain Pendidikan Karakter Kementerian Pendidikan Nasional, ibid., 18 36

(25)

38

Keterlibatan semua pihak sangat penting dalam hal ini yaitu satuan pendidikan (sekolah), keluarga, dan masyarkat. Ketiga pihak tersebut juga disebut sebagai tiga pilar pendidikan. Mereka harus bekerjasama dan saling melengkapi dalam melakukan dua pendekatan, yaitu intervensi dan habituasi. Intervensi merupakan cara dari ketiga pilar dalam mengembangkan secara sengaja proses pendidikan, sehingga perlu merancang suasana interaksi dalam belajar serta menerapkan kegiatan-kegiatan. Dalam proses ini, pengajar memiliki peran sebagai panutan. Di samping itu, perlu menciptakan situasi dan kondisi sebagai penguat bagi naradidik membiasakan diri melakukan nilai-nilai karaker yang selama ini telah diperoleh melalui proses-proses di atas. Hal inilah yang disebut dengan habituasi. Pada dasarnya keseluruhan proses yang telah dipaparkan di atas memiliki prinsip yaitu holistik, sistematis, dan dinamis.

c. Evaluasi Akhir adalah tahap akhir yang dilakukan dalam latar ini. Pada tahap ini yang dilakukan ialah melakukan penilaian terhadap program yang telah dilakukan apakah memerlukan perbaikan atau tidak. Indikator yang digunakan ialah aktualisasi karakter dalam diri naradidik.

Keseluruhan proses dalam uraian di atas dapat dilihat melalui bagan di bawah ini: Gambar 2: Strategi Pembangunan Karakter melalui Pendidikan

Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025

(26)

39

II.1.6.2. Peranan Pengajar

Guru dan seluruh pendidik bukan hanya berperan sebagai pemberi ilmu pengetahuan (resource knowledge), namun dalam pendidikan karakter, mereka juga berperan dalam memberikan contoh dan teladan bagi naradidik. Dapat dikatakan bahwa mereka sebagai figur utama dalam pendidikan yang berbasis pada karakter. Oleh karena itu mereka memiliki pengaruh yang besar dan menentukan keberhasilan naradidik dalam mengembangkan karakter. Dengan demikian, para pendidik perlu mempersiapkan diri mereka sendiri dengan baik dan benar, sehingga apapun yang mereka rencanakan dalam proses belajar di dalam pendidikan karakter akan memiliki pengaruh yang baik kepada naradidik. Untuk dapat melakukan hal tersebut maka para pendidik perlu mengefektifkan pembelajaran yang diampuhnya. Dalam mengefektifkan pembelajaran, para pendidik perlu memahami prinsip-prinsip berikut ini, yaitu:37

1. Seluruh naradidik memiliki rasa ingin tahu yang terus menerus dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya, serta memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam rangka menjawab keingin-tahuan tersebut. Oleh karena itu, para pendidik harus memahami dengan baik prinsip yang pertama ini.

2. Untuk menjawab keingin-tahuan naradidik dalam segala hal maka pendidik mengatur lingkungan belajar yang berkarakter, menyenangkan, dan membangkitkan rasa ingin tahu mereka. Dengan demikian, akan menumbuh-kembangkan minat dan karakter yang baik yang ada dalam diri naradidik. Prinsip yang kedua ini sebagai aksi setelah para pendidik memahami prinsip pertama. 3. Agar minat dan karakter yang baik dalam diri naradidik dapat bertumbuh dan

berkembang dengan baik maupun optimal maka para pendidik harus memberikan ruang gerak yang leluasa kepada naradidik. Maksudnya ialah para pendidik

37

(27)

40

melibatkan naradidik sesuai dengan minat mereka masing-masing, tanpa ada intervensi serta pemaksaan dari pihak pendidik. Dengan demikian, pendidik hanya berfungsi sebagai fasilitator yang membantu naradidik dalam memberikan kemudahan untuk belajar.

Sebagai pemberi contoh dan teladan bagi naradidik maka sikap dan karakter para pendidik juga perlu diperhatikan. Sikap dan karakter yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, antara lain: respek, memahami serta mampu mengendalikan diri sendiri khususnya dalam hal emosi; antusias dan bergairah terhadap pendidikan karakter, kelas, dan seluruh yang terkait dengan proses belajar mengajar; mampu berbicara dengan jelas dan komunikatif; peka dalam hal perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing naradidik; memiliki ilmu pengetahuan yang banyak, inisiatif, dan kreatif; tidak menggunakan tindakan kekerasan, sehat secara fisik, psikis, maupun seksual; tidak menonjolkan diri, dan yang terpenting diantara semuanya itu ialah pendidik dapat menjadi teladan bagi naradidik.38 Selain itu juga seorang pendidik harus memiliki tekad yang besar dalam melakukan apa yang menjadi tugas tanggung jawabnya (komitmen); mampu melaksanakan proses belajar mengajar dan mampu memecahkan masalah-masalah yang ada terkait untuk mencapai tujuan dari pendidikan yang diampuhnya (kompeten); mampu mencurahkan seluruh tenaga, usaha, dan potensi yang dimiliki (kerja keras); fokus, sabar, dan ulet dalam memperbaiki segala yang salah, yang terkait dengan proses pembelajaran (konsisten); mampu mengaktualisasikan sesuatu secara efektif dan efisien, tidak berlebihan dalam segala sesuatu, baik berpakain dan bertutur kata (kesederhanaan); mampu menciptakan relasi khususnya dalam hal emosi dengan naradidik

38

(28)

41

(kedekatan); mampu menolong dan melayani naradidik dalam memenuhi kebutuhan mereka.39

Sikap dan karakter yang dimiliki oleh pendidik akan menunjukkan keberhasilan dan kualitas dari pendidikan berbasis karakter yang terintegrasi dalam pendidikan yang diajarkannya kepada naradidik. Oleh karena itu, karakter yang tidak kalah pentingnya yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah demokratis.40 Maksudnya ialah paradigma yang menganggap naradidik sebagai obyek dari pembelajaran hingga mengakibatkan tindakan yang otoriter dan diktator kepada naradidik, berubah menjadi paradigma yang memandang naradidik sebagai subyek yang berhak belajar dan juga mengajar. Dengan demikian tindakan pun berubah menjadi tindakan yang memberdayakan segala potensi, minat, dan karakter yang baik dalam diri naradidik.

II.1.6.3. Relasi dalam Pembangunan Karakter

Para pendidik baik di pendidikan formal, informal dan non-formal merupakan bagian yang penting dalam penerapan pendidikan karakter yang diterapkan dimana saja. Walaupun demikian, pengajaran yang diberikan oleh mereka ternyata belum maksimal, di mana naradidik belum sepenuhnya menerapkan dalam tindakan tentang pelajaran yang diajarkan oleh pendidik. Dengan demikian menunjukkan bahwa keberhasilan suatu pendidikan karakter tidak hanya berada pada mereka saja, melainkan seluruh pihak yang terkait, antara lain seluruh pihak di pendidikan formal (pimpinan sekolah/universitas, para guru/dosen, dan karyawan); orang tua dan seluruh keluarga naradidik; dan melibatkan masyarakat termasuk komunitas agama. Selain itu juga, pemerintah daerah, para instansi, dan orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu yang terkait dengan menumbuh-kembangkan karakter, seperti kepolisian, kedokteran, psikiater, dapat dilibatkan dalam penerapan pendidikan karakter.

39

Furqon Hidayatullah, ibid., 28-31.

40Fatchul Mu‟in, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoretik dan Praktik,

(29)

42

Perhatian dan dukungan bagi keberhasilan penerapan pendidikan karakter yang ditunjukkan oleh semua pihak, nampak dalam relasi yang dibangun dengan seluruh pihak. Relasi yang di dalamnya terdapat komunikasi yang lancar dari seluruh pihak akan sangat membantu bagi pihak-pihak yang menerapkan pendidikan karakter. Melalui relasi tersebut, pihak pelaksana pendidikan karakter akan memperoleh secara lengkap hal-hal yang dibutuhkan, seperti materi dan nilai-nilai karakter yang diberikan dalam proses belajar-mengajar; pengawasan terhadap naradidik agar menerapkan materi dan nilai karakter yang diajarkan; fasilitas pendukung; bahkan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.

II.1.6.4.Sistem Penilaian

Pelaksanaan pendidikan karakter di dalamnya terdapat penilaian. Penilaian tersebut bertujuan untuk melihat kinerja yang telah dilakukan selama ini melalui proses dan menjamin kinerja tersebut sesuai dengan rencana maupun tujuan belajar. Dengan penilaian, naradidik dapat mengetahui sejauh mana kompetensi dan karakter yang mereka miliki dalam bertindak sesuai dengan norma kehidupan. Selanjutnya, ketika mereka telah mengetahui lewat penilaian tersebut, mereka membentuk kompetensi dan karakter tersebut. Penilaian diperlukan oleh seluruh pihak yang melaksanakan pendidikan karakter agar dapat memantau dan mengetahui perubahan baik atau buruk yang terjadi pada naradidik. Dalam hal ini, penilaian terbagi menjadi dua, yaitu penilaian proses pendidikan karakter dan penilaian hasil pendidikan karakter.41

a. Penilaian Proses Pendidikan Karakter

Penilaian proses ialah penilaian terhadap kualitas dari proses pendidikan karakter dan pembentukan maupun pengembangan kompetensi yang dimiliki oleh naradidik. Dalam penilaian ini, keberhasilan dapat dilihat jika seluruh atau

41

(30)

43

setidaknya 85% naradidik dapat terlibat aktif secara holistik (fisik, moral, sosial, spiritual). Untuk mengumpulkan data terkait dengan cara berpikir, bertindak, maupun terkait dengan pemahaman naradidik terhadap ide, dapat dilakukan dengan melakukan tes lisan maupun tertulis, portofolio, wawancara, dan ceklist. b. Penilaian Hasil Pendidikan Karakter

Penilaian hasil ialah penilaian terhadap perubahan perilaku atau karakter naradidik. Pendidikan karakter dikatakan berhasil ketika seluruh atau setidaknya 85% naradidik dapat menunjukkan perilaku positif sebagai perubahan yang dihasilkan oleh proses yang telah dilalui. Untuk melakukan penilaian hasil perlu memperhatikan tiga hal, yaitu: a) penilaian yang benar ialah penilaian yang mengukur seluruh program pendidikan karakter; b) penilaian seharusnya dilakukan secara rasional dan efisien; c) penilaian seharusnya mengukur standar nasional dan lokal. Menurut Moekijat yang dipaparkan oleh Mulyasa bahwa tekhnik untuk menilai hasil belajar naradidik digolongkan menjadi tiga, yaitu

pertama, pengetahuan dengan cara ujian tertulis maupun lisan, mengisi daftar pertanyaan; kedua penilaian praktik dapat dilakukan dengan ujian praktik, analisis keterampilan dan tugas, serta naradidik menilai sendiri; ketiga penilaian untuk sikap, tekhniknya dengan naradidik mengisi daftar sikap mereka sendiri, mengisi daftar sikap yang disesuaikan dengan tujuan program, dan Skala Diferensial Sematik (SDS)42.

Penilaian dalam pendidikan karakter tidak hanya terfokus pada proses dan hasil dari pendidikan melainkan juga pada para pengajar. Penilaian terhadap mereka dapat dilakukan dengan melihat kinerja, yang terdiri dari: 1) hasil kerja yang meliputi kualitas dan kuantitas kerja, kesesuaian dengan prosedur kerja yang ada,

42

(31)

44

menyelesaikan pekerjaan tepat waktu; 2) dalam hal komitmen kerja terdiri dari kesediaan melaksanakan tugas yang telah diberikan, kualitas kehadiran, adanya inisiatif dalam segala hal, memiliki kontribusi di dalam keberhasilan pekerjaan; 3) dalam hal hubungan kerja meliputi dapat memberikan inspirasi kepada orang lain/ naradidik serta mengarahkan mereka menuju inspirasi tersebut, dapat bekerjasama dengan rekan sekerja, memiliki integritas yang baik, mampu mengendalikan diri termasuk emosi. Segala kegiatan yang dilakukan oleh para pengajar dapat dilihat melalui portofolio dan catatan harian yang disusun berdasarkan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan. Selain itu juga, kegiatan dapat dilihat dan dinilai dengan cara melakukan observasi. Dengan cara ini dapat menunjukkan apakah para pengajar telah melaksanakan pembangunan karakter yang positif bagi naradidik.43

II.2.Komunitas Kristen dalam Pembangunan Karakter

II.2.1. Aturan, Nilai, dan Karakter Kristen

Ketika berbicara tentang karakter secara umum maka karakter tidak dapat dibatasi oleh waktu dan tempat. Namun jika setelah kata „karakter‟ diikuti oleh subyek pelaku, seperti Kristen maka berarti segala sesuatu yang terkait dengan karakter, seperti aturan; nilai; dan tujuan tentunya sesuai dengan kepercayaan agama Kristen. Aturan, nilai, dan tujuan tersebut ikut berperan dalam pembangunan karakter Kristen yang dapat diwujud-nyatakan dengan cara membiasakan diri dalam melakukan kebajikan-kebajikan. Melalui cara demikian akan membantu seseorang maupun sekelompok orang dalam memahami dilema moral yang terjadi dalam kehidupan.44

Realita yang terjadi pada kehidupan saat ini menunjukkan semakin banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang menghadapkan seseorang pada dilema moral. Ketika ini terjadi, sesuatu dibutuhkan dalam rangka menjaga keputusan dan perilaku yang

43

Pemerintah Republik Indonesia, Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025, ibid., 34. 44

(32)

45

diambil akan mengarah pada hal yang tak bermoral. Berakar dari hal itulah kemudian manusia banyak menciptakan aturan-aturan dalam kehidupan sebagai bentuk perjuangan keras yang ditunjukkan. Secara universal, aturan berperan penting sebagai kerangka kerja dan seperangkat pedoman yang berisi padat bagi seluruh aspek kehidupan. Selain itu juga, dengan adanya aturan, keselarasan; keteraturan; kebaikan; dan kebahagiaan merupakan beberapa hal penting yang dapat terwujud dalam setiap periode kehidupan manusia.

Sebagian besar aturan yang ada pada awalnya bersifat verbal yang kemudian dimodifikasi dan berkembang menjadi suatu undang-undang atau hukum. Aturan yang demikian bukan pertama kalinya muncul pada kehidupan saat ini. Dalam kehidupan kekristenan, aturan telah ada sejak kehidupan Yesus yang ditandai dengan sepuluh hukum taurat (Keluaran 20: 1-17).45 Melalui aturan yang berkembang menjadi hukum tersebut, Yesus bermaksud untuk menjadikan semua orang teratur dalam menjalani kehidupan. Agama Kristen mempercayai bahwa Yesus datang untuk memberitahu lebih jelas tentang aturan-aturan yang harus dilakukan oleh orang-orang yang percaya kepadanya dan Ia secara langsung memberi contoh tentang bagaimana menjaga aturan-aturan tersebut. Dengan demikian nampak bahwa aturan-aturan yang ada bersifat baik, oleh karena itu setiap orang berkewajiban untuk menjaga aturan-aturan yang ada, baik itu aturan yang sesuai maupun tidak bagi mereka. Di lain pihak, beberapa orang menganggap bahwa aturan lebih bersifat negatif karena aturan mengatur sesuatu dengan ketat, mengganggu kesenangan, dan terkadang menjadi sewenang-wenang. Untuk menjadikannya positif maka sebagian besar orang lebih memilih menggunakan kata prinsip. Prinsip berarti pernyataan yang umum tentang bagaimana aturan-aturan menjadi dasar atau pokok. Dalam prinsip tentunya terdapat hal yang menjadi pokok yang biasa disebut sebagai nilai. Nilai ialah beberapa aspek

45

(33)

46

kehidupan manusia yang berharga dalam diri dan berasal dari prinsip-prinsip di mana aturan-aturan dapat dihasilkan.46 Aturan, prinsip, dan nilai adalah tiga hal yang akrab terdengar di dalam hidup manusia. Walaupun demikian, ketiga hal tersebut menjadi hal yang tidak mudah untuk dipatuhi oleh banyak orang. Demikian halnya dengan nilai-nilai Kristen, banyak orang yang membicarakan; mengajarkan; dan mengkhotbahkannya di khalayak ramai, namun sulit untuk diartikulasikan dan dilakukan.

Pada hakekatnya aturan, nilai, prinsip merupakan hal yang penting sebab, dapat membantu dalam mengembangkan karakter Kristen bagi orang-orang percaya, termasuk taruna dan pemuda Kristen. Walaupun ketiga hal ini bersifat penting, tetapi karakter memiliki nilai yang lebih. Penyebabnya ialah karakter memberikan kerangka di mana aturan menjadi tepat guna. Oleh karena itu, ketika seseorang tidak berkarakter maka prinsip maupun aturan yang ada akan memiliki pengaruh yang kecil.

Melihat signifikansi dari karakter maka hal penting lainnya yang menyertai ialah mengetahui cara yang dapat dilakukan agar karakter Kristen dapat dibangun kepada setiap orang. Untuk memperoleh cara tersebut maka pusat perhatian kembali tertuju pada Yesus. Cara yang Ia gunakan ialah menjadi model atau teladan dalam mengajarkan berbagai karakter baik (good character) seperti sabar, rendah hati, dermawan, dan mengasihi.47 Melalui hal ini menunjukan benang merah antara karakter dengan iman, secara spesifik dalam hal ini ialah iman Kristen. Kaitan tersebut nampak dari kualitas iman seseorang yang akan mempengaruhi nilai-nilai yang akan dilakukan. Maksudnya ialah hal-hal yang diimani orang tersebut serta kepada siapa orang tersebut beriman tentunya akan mempengaruhi nilai-nilai yang akan menjadi bagian dalam dirinya. Sebagai contoh, ketika orang tersebut beriman kepada Allah melalui Yesus

46

N.T.Wright, ibid., 45. 47

(34)

47

maka menjadikan moralitasnya sedikit berbeda dengan mereka yang tidak beriman kepada-Nya.48

Dalam kekristenan, pembangunan karakter yang menghasilkan suatu transformasi karakter dapat terjadi ketika mendalami pandangan dunia alkitabiah. Transformasi yang demikian dapat terjadi hanya bagi orang-orang yang mengizinkan “Alkitab” membentuk cara mereka berpikir dan bertindak. Dengan cara tersebut akan membantu dalam pembentukan prioritas maupun nilai-nilai yang pada akhirnya menghasilkan sikap dan perilaku yang baik. Selain itu, menurut David W. Gill karakter dapat berkembang dari tindakan tertentu yang dipilih untuk diambil. Tindakan yang dimaksud seperti cara seseorang dalam menanggapi keadaan hidup, berlatih untuk melakukan disiplin rohani yang dapat mengubah hidup, serta hubungan-hubungan yang dibangun di mana seseorang terlibat.49 Lebih lanjut Gill mengemukakan enam aspek yang dapat membentuk tingkah laku manusia, antara lain : 1) aspek genetis dan sifat manusia yang berdosa; 2) karya Allah yang sedang menguduskan manusia; 3) pengaruh dari orang-orang yang tidak dipilih; 4) pengaruh dari orang-orang yang dipilih; 5) pengaruh budaya, baik yang dipilih maupun yang tidak; 6) pilihan pribadi untuk menjadi seperti yang diingini.50

Secara singkat dapat dikatakan bahwa cara agar orang Kristen dapat melakukan nilai-nilai karakter seperti yang dilakukan Yesus adalah dengan bersedia meneladani-Nya melalui narasi-narasi tentang diri-meneladani-Nya yang disampaikan gereja. Pada dasarnya Yesus menekankan pembinaan dan membudayakan karakter Kristen kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya. Tentunya ini tidak dapat dilakukan manusia hanya dengan mengandalkan kekuatan diri sendiri. Sebagai pengikut-Nya, meyakini bahwa ini hanya dapat terjadi karena anugerah yang Ia berikan melalui pengorbanan-Nya di

48

N.T.Wright, ibid., 28-32. 49

David W. Gill, Becoming Good: Building Moral Character (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2000), chapter 3

50

(35)

48

kayu salib. Hal itu dipertegas oleh Hauerwas di mana mereka meyakini tentang pembentukkan dan keberadaan mereka dibatasi oleh kekuatan yang baik dan setia. Mereka juga percaya bahwa menurut sejarah kehidupan mereka berasal dari cerita keselamatan yang diberikan Allah bagi semua orang.51

Bermula dari hakekat keberadaan orang-orang Kristen di dunia, pada akhirnya terhubung dengan ketaatan mereka untuk mengikuti-Nya secara sadar dan sukacita. Taat mengikuti-Nya dalam hal ini berarti bahwa setiap orang Kristen harus dapat mewujudkan perilaku Kristen, yaitu memiliki kehidupan moral yang baik, seperti menjaga aturan, membawa kebijaksanaan, dan menyatakan kemuliaan-Nya di dalam kehidupan sehari-hari. Membentuk moral dan perilaku Kristen tersirat di dalamnya satu komitmen terkait keberadaan masa depan masyarakat yang baik. Inilah yang menjadi tujuan orang Kristen hadir di bumi ini, yaitu dipanggil untuk menjadi sesuai dengan rupa dan gambar Allah, yaitu mampu mencerminkan sikap Allah.52

II.2.2. Peran Gereja dalam Pembangunan Karakter

Di samping pengorbanan Yesus, dalam mewujudkan tujuan orang-orang yang percaya kepada-Nya juga diperlukan bantuan dari sesama baik pribadi maupun dalam lingkup luas, yaitu komunitas agama (gereja). Gereja sebagai komunitas agama Kristen yang bertahan hingga saat ini perlu menyadari akan perannya yang kompleks bagi seluruh manusia, khususnya orang-orang Kristen yang secara teritori berada dalam asuhannya. Gereja harus keluar dari pola yang selama ini mempersempit perannya. Dapat dilihat bahwa ada gereja yang terus puas dengan pola yang terbentuk sejak pra–modern, di mana dalam gereja masih ada jurang-jurang yang memisahkan, seperti adanya klerus (golongan rohaniawan) dan kaum awam yang memiliki pendidikan, serta adanya pemisahan antara pendidikan teologis dan pendidikan gereja

51

Stanley Hauerwas, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic, (United States of America: University of Notre Dame, 1981), 128.

52

(36)

49

warisan Kristen. Selain itu juga, pendidikan di gereja sebagian besar masih terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan teologi atau rohani. Hal ini dipertegas oleh Farley yang mengklaim bahwa gereja masih terikat oleh tradisi lama yang memerintahkan pendidikan yang terjadi dalam jemaat haruslah pendidikan teologi.53 Jika gereja tetap mempertahankan pola dan tradisi lama yang dapat dikatakan bahwa saat ini hal-hal tersebut tidak lagi relevan, maka gereja tidak dapat berperan secara maksimal. Sebab, keadaan masyarakat secara umum dan jemaat secara khusus saat ini mengalami kekurangan komunitas yang diperlukan untuk mempertahankan pengembangan kebajikan dan karakter.54

Gereja berperan penting dan kompleks dalam pembangunan karakter orang-orang Kristen khususnya yang menjadi jemaatnya. Jemaat adalah masyarakat yang memiliki integritas yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Stanley Hauerwas menunjukkan perbedaan tersebut, yaitu bahwa apa yang diputuskan dan dilakukan oleh gereja terlalu sering dibenarkan oleh orang-orang percaya, dan ditoleransi. Hal itu terjadi sebab, mereka melihat bahwa keputusan dan tindakan gereja adalah berpotensi untuk menyatakan keadilan atau hal-hal baik lainnya. Oleh karena gereja memiliki integritas yang tinggi, gereja mampu melaksanakan pendidikan yang tidak hanya berkaitan dengan teologi atau rohani melainkan juga non-teologi. Pendidikan yang diberikan di dan oleh gereja harus membedakan dirinya dengan pendidikan yang diberikan di luar gereja. Di mana pendidikan yang diberikan harus disesuaikan dengan interpretasi tradisi, kebenaran, dan situasi yang ada dalam kehidupan termasuk situasi sekitar masyarakat di mana gereja berdomisili.55

Menjadi tidak wajar ketika gereja mengambil tempat terpisah dari masyarakat di mana ia berada. Gereja sangat penting menyentuh masalah sosial yang ada. Gereja

53

Liliana Trofin, “The Modes Of Religious Education:Christianity‟s Contemporary Status”, dalam Linguistic and Philosophical Investigations Volume 10, 2011, 151.

54

Stanley Hauerwas, ibid., 117. 55

(37)

50

hadir di dunia ini untuk melayani masyarakat disekitarnya dengan melibatkan dirinya sebagai komunitas agama Kristen yang dapat memberikan keramahan bagi setiap orang terutama bagi generasi penerus gereja. Dengan demikian, orang-orang Kristen yang berada dalam komunitasnya memiliki kepedulian terhadap perkembangan moral. Perkembangan moral menurut perspektif keyakinan Kristen memiliki persyaratan yang utama yaitu mengharuskan diri diubah sesuai dengan keteladanan yang baik, yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Hal tersebut adalah karakter dasar kehidupan orang-orang Kristen.

(38)

51

dilakukan oleh gereja. Dengan demikian, narasi tersebut dapat berguna untuk memberi kemampuan dalam menyesuaikan tindakan yang akan dilakukan dan tidak dilakukan.56

Secara singkat, Hauerwas menganjurkan gereja untuk menjadi komunitas karakter yang menjadi teladan bagi dunia. Dengan berhasilnya gereja melaksanakan perannya tersebut maka gereja akan membuat warna yang berbeda. Gereja akan mampu menjadi teladan dalam menghadapi problem moral yang terjadi dalam bangsa Indonesia. Gereja diibaratkan seperti lilin yang menerangi bangsa Indonesia yang gelap, yang marak dengan tindakan-tindakan negatif. Sebab, jika gereja tidak menjadi demikian, bangsa ini akan semakin hancur.

Thomas Lickona mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda yang menunjukkan suatu bangsa menuju pada kehancuran, yaitu : 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, 4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) menurunnya etos kerja, 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, 9) membudayanya ketidakjujuran dan 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.57

Tanda-tanda di atas secara nyata terjadi di bangsa Indonesia. Berbagai tindakan yang ditunjukkan tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dipilih oleh bangsa ini. Maraknya tindakan kekerasan fisik, psikis, dan seksual; mudahnya pengedaran, penjualan, dan banyaknya pemakai narkoba maupun pengkonsumsi minuman beralkohol, serta seringnya terjadi tindakan kriminal lainnya seperti tawuran, pencurian. Tindakan-tindakan tersebut banyak dilakonkan oleh para taruna dan

56

Stanley Hauerwas, ibid., 127-128. 57

Gambar

Gambar 1: Keterhubungan dan saling melengkapi dalam sudut psikososial

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dibangun sebuah sistem monitoring server menggunakan Nagios dengan pengiriman pesan notifikasi status server apabila mengalami gangguan melalui

ekanisme ter)ent'knya s'pernatan aalah petrole'm ether se)a$ai pelar't ekanisme ter)ent'knya s'pernatan aalah petrole'm ether se)a$ai pelar't lemak non polar

DKI Jakarta sebagai pusat aktifitas nasional memiliki daya tarik kuat sehingga terjadi lebih dari satu juta bangkitan perjalanan komuter menuju DKI Jakarta dari

rasionalitas penggunaan antijamur pada pasien penderita Infeksi Menular Seksual di Puskesmas se kabupaten Banyumas.. Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah observasional

Sekarang saja memberitahu dengan resmi kepada Saudara- saudara, djikalau dibenarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, Insja Allah Subhanahu Wata’ala, hari lusa saja akan

Dari hasil uji biokimia ketiga isolat bakteri yang diisolasi dari usus udang windu ( Paneus monodon) berdasarkan acuan buku Cow£in and Steel's (1992) masing - masing adalah isolat

bahwa berdasarkan pertimbangan yang dimaksud pada huruf a perlu ditetapkan keputusan Kepala Puskesmas Muara Bulian tentang tata naskah dokumen Puskesmas Muara Bulian;.. Mengingat

Langkah kedua ini tampaknya yang lumayan sulit dilakukan, karena dengan banyaknya bukti tentang kedokteran yang keluar setiap tahunnya, sehingga