• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi Pandangan Siauw Giok Tjhan Mengenai Nasion/Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa. Leo Suryadinata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Refleksi Pandangan Siauw Giok Tjhan Mengenai Nasion/Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa. Leo Suryadinata"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1

Refleksi Pandangan Siauw Giok Tjhan

Mengenai Nasion/Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa Leo Suryadinata

Pandangan Siauw Giok Tjhan (1914-1981) tentang Nasion/Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa tidak banyak dibahas secara ilmiah.

Saya pernah menerbitkan buku yang membahas masalah Politik Tionghoa

Indonesia dan menyoroti masalah ini1. Setelah 30 tahun lebih kita lewati, saya

merasakan perlunya merenungkan kembali apa yang ditulis ketika itu dan bertanya apakah mungkin memperluas diskusi tentangnya.

Saya berpendapat bahwa untuk memahami konsep Nasion/Bangsa Indonesia yang dituangkan Siauw Giok Tjhan, kita perlu meneliti sepak terjang Siauw dalam sejarah; latar belakang sejarah saat konsep itu dilahirkan, khususnya perkembangan politik Indonesia pada saat itu; dan hubungan rumit Siauw dengan banyak partai politik dan tokoh-tokoh ketika itu. Ternyata Siauw sendiri di berbagai zaman tidak selalu berpendapat yang sama. Oleh karena itu, kita mungkin bisa melakukan sebuah refleksi sejarah.

Siauw Giok Tjhan sebelum Baperki Terbentuk

Siauw berpendidikan Belanda dan tidak mengerti bahasa Tionghoa. Di masa muda sudah mulai bekerja di surat kabar milik peranakan Tionghoa. Dan ia banyak dipengaruhi oleh pimpinan Partai Tionghoa Indonesia, Lim Koen Hian dan Pemimpin Redaksi Harian Matahari, Kwee Hing Tjiat.

Liem Koen Hian adalah seorang tokoh Tionghoa kiri. Awalnya ia adalah seorang Nasionalis Tiongkok, tetapi kemudian menjadi salah seorang aktivis yang giat mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada tahun 1937 ia masuk dalam Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin, yang kemudian menjadi anggota PKI. Sedangkan Kwee Hing Tjiat tadinya menganut paham nasionalis Tiongkok. Akan tetapi setelah kembali dari perantauan ke Indonesia pada tahun 1934 mendirikan surat kabar yang berkiblat ke Indonesia.

1

Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study of Perceptions and Policies. Kuala Lumpur and London: Heinamann, 1978; 中文本:廖建裕, 《印尼原住民、华人与中国》(新加坡:青年书局,

(2)

2 Siauw juga berkenalan dengan tokoh-tokoh Tionghoa dan pribumi yang berhaluan

kiri, termasuk Pemimpin Redaksi Sin Tit Po dan tokoh Partai Tionghoa Indonesia

seperti Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie, para tokoh komunis Indonesia veteran seperti Amir Syarifudin dan Muso, bahkan juga dengan Njoto, pimpinan PKI baru. Nampaknya yang paling banyak mempengaruhi Siauw dari para tokoh ini adalah

Tan Ling Djie2.

Tan Ling Djie (1904-1969) lebih tua 10 tahun dari Siauw. Pada tahun 30-an, Siauw sudah mengenalnya dan menjadi pembimbing politiknya. Dari Tan Ling Djie itulah Siauw belajar metode menganalisa politik dan masyarakat. Mereka berdua menjadi sahabat kental. Sejak tahun 1951 sampai 1965, Tan Ling Djie tinggal di

rumah Siauw, dan anak-anaknya memanggilnya “Empek”3.

Pada tahun 1946 Tan Ling Djie dan Siauw masuk dalam Partai Sosialis. Mereka aktif pula di Front Demokrasi Rakyat Indonesia (FDR), kekuatan politik kiri di zaman revolusi. Pada Tahun 1948 Tan Ling Djie masuk di PKI, sedang Siauw tetap berada di FDR. Pada tahun 1948 baik Tan Ling Djie maupun Siauw ditahan karena Peristiwa Madiun, sekalipun tidak lama kemudian kedua-duanya bebas. Setelah Tan Ling Djie dibebaskan, ia sempat menjabat Sekretaris Jenderal PKI (1948-1951). Siauw sendiri pada tahun 1951 menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakjat (Juli 1951 – 30 Oktober 1953).

Pada Januari tahun 1951, Aidit berhasil menggulingkan Tan Ling Djie dari posisi

Sekjen PKI. Akan tetapi Tan tetap bertahan sebagai anggota Central Comite4.

Pada bulan Oktober 1953 kritikan terhadap Tan Ling Djie dilangsungkan dalam PKI

dan ia kemudian dihentikan dari Central Comite5. Tidak lama kemudian Siauw

meletakkan jabatan dari Pemimpin Redaksi Harian Rakjat dan Njoto

menggantikannya.

Ruth McVey mengomentari masalah ini: “Siauw Giok Tjhan adalah sahabat baik Tan

Ling Djie. Tidak jelas apakah ia meninggalkan Harian Rakjat sebagai protes

terhadap apa yang dialami Tan Ling Djie, ataukah dari keputusan PKI, yang bermaksud mengurangi jumlah orang Tionghoa dari posisi penting dalam gerakan komunisme Indonesia. Kemungkinan terakhir tetap ada, yang berarti pimpinan baru

2 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat

Bhineka Tunggal Ika, Jakarta: Hasta Mitra, 1999, p.59. 3 Ibid., halaman 60.

4 Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia 1951-1963, Berkeley: University of California Press, 1964, p.78. 5

(3)

3

PKI memiliki sikap nasionalisme (rasisme ?--penulis) yang cukup kuat”6.

Lebih lanjut McVey menyatakan: “PKI di masa Aidit, tidak menganjurkan Tionghoa

Indonesia masuk jadi PKI” 7 . Adanya “Perubahan Baru” demikian ini,

menyebabkan Siauw Giok Tjhan antipati terhadap kehadiran Aidit. Hubungan di antara kedua orang ini kurang harmonis. Tetapi, hubungan Siauw dengan tokoh utama PKI Njoto dll tidak pernah berubah. Sesungguhnya, pada waktu Siauw menerbitkan dan menjabat Pemimpin Redaksi Harian Rakjat, Njoto sudah berada di Harian Rakjat. Ada penulis yang mengatakan, pada saat Siauw menjadi anggota Partai Sosialis dan bertanggung jawab atas Harian Suara Ibu Kota, di Yogyakarta, ia dibantu oleh pimpinan muda PKI Aidit dan Njoto. Menurutnya, Njoto yang lebih muda 10-an tahun justru memperoleh bimbingan Siauw dalam bidang

kewartawanan pers8.

Hubungan Siauw dengan Harian Rakjat (1951-1953) menimbulkan dua versi

pendapat. Umum menganggap sejak awal Harian Rakjat adalah surat kabar PKI

dan Njoto di Harian Rakjat adalah pemimpin sesungguhnya9. Akan tetapi

sementara orang menganggap Harian Rakjat baru menjadi surat kabar PKI setelah

Siauw meninggalkan Harian Rakjat10.

Kalau kita perhatikan Editorial ketika Siauw meninggalkan Harian Rakjat, PKI tidak

menyangkal hubungan Harian Rakjat dengan Partai pada waktu Siauw menjabat

Pemimpin Redaksi. Editorial itu menyatakan Harian Rakjat sebagai “Harian kita”.

Editorial tersebut menyatakan bahwa “Harian kita sudah lebih dua tahun mengabdikan diri kepada rakjat dan perdjuangannya. Dalam pertentangan antara kepentingan nasional dan kepentingan kolonial, harian kita selalu berpihak kepentingan nasional. Dalam pertentangan antara Rakjat dan musuh-musuh Rakjat, harian kita selalu berpihak Rakjat.” Editorial selanjutnya menyatakan bahwa sejak tanggal 2 Nopember 1953, “Mulai hari ini harian kita mengalami perubahan. Ada perubahan dalam pimpinan perusahaan, juga susunan redaksi mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini tidak mempunjai tudjuan lain ketjuali

perbaikan dan penjempurnaan.”11

6 Ruth McVey, “Indonesian Communism and China,” Tang Tsou and Ping-ti Ho, eds. China in Crisis, vol. 2, University of Chicago Press, 1969, pp.361-361.

7

Ibid., halaman 362. 8

Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan(1999), p.117. 9

Ruth McVey, “Indonesian Communism and China”, pp.361-362. 10

Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan (1999), p. 147; Charles Coppel,”Siauw Giok Tjhan”, in Leo Suryadinata, ed.

Southeast Asian Personalities of Chinese descent: a Biographical Dictionary (Singapore: ISEAS) , p.971. 11

(4)

4 Di “Pengumuman” tersebut Siauw Giok Tjhan juga dinyatakan, setelah ia dan Annast “Sukarela Meletakkan Jabatan”, Pimpinan Umum N.V. Penerbit “Rakjat”

dan menugaskan saudara Naibaho sebagai Pimpinan Umum menggantikan

Siauw12.

Pengumuman itu juga mengharap dukungan para pembaca pada pimpinan baru

sehingga Harian Rakjat dapat mencapai kemajuan lebih pesat dan merupakan

harian yang patut dibanggakan sebagai alat perjuangan kita semua untuk

melaksanakan cita-cita demokrasi sejati13. Sebetulnya, sebelum Siauw meletakkan

jabatan dari Pimpinan Umum kepengurusan Harian Rakjat telah terjadi perubahan. Naibaho sudah menjadi salah seorang Redaksi. Dengan Siauw meletakkan jabatan, nampak kelompok Aidit memperoleh kemenangan dalam PKI.

Masalah apakah Siauw Giok Tjhan anggota PKI kerap menjadi perbincangan ramai.

Sementara penulis menganggap ia bukan anggota PKI14. Sekalipun ia bukan

anggota PKI, tidak dapat disangkal bahwa hubungannya dengan pimpinan utama PKI sangat dekat, bahkan sejak awal ia sudah banyak dipengaruhi oleh Marxisme. Faktor lain yang mempengaruhi konsep Nasion/Bangsa Siauw adalah keterlibatannya dalam perjuangan nasionalis Indonesia melawan kolonialisme. Sejak awal Perang Dunia II, ia sudah aktif terlibat dalam gerakan perjuangan kemerdekaan, berjuang bahu membahu bersama pribumi, bekerjasama erat dan mendapatkan kepastian/sambutan dari kelompok nasionalis Indonesia. Di masa revolusi ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP, kemudian di Kabinet Amir Syarifudin menjadi Menteri Negara Urusan Peranakan.

Patut dikemukakan, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, masalah ras banyak mempengaruhi politik Indonesia. Siauw dijadikan Menteri Negara Urusan Peranakan mungkin karena Pemerintah Indonesia berusaha menarik dukungan kelompok peranakan, khususnya peranakan Tionghoa yang jumlahnya cukup besar dan menguasai kekuatan ekonomi. Siauw senantiasa berdiri teguh di pihak nasionalis Indonesia. Hubungannya dengan Soekarno semakin erat dan akhirnya ia menjadi pendukung setia Soekarno, sehingga bersama Soekarno terguling jatuh dari panggung politik.

Siauw Giok Tjhan dan Baperki

Latar belakang Siauw di atas akan membantu kita untuk memahami pemikiran

12 “Pemberitahuan”, Harian Rakjat, 31 October 1953. 13 “Pemberitahuan”, Harian Rakjat, 31 Oktober 1953. 14

(5)

5 politik Siauw dan konsep Nasion Indonesia-nya.

Pada bulan Maret 1954, ketika Siauw tampil sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, ia sudah tidak menjabat Pimpinan Umum Harian Rakjat.

Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), berawal dari Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI), yang sebelumnya bernama Persatuan Tionghoa, yang didirikan pada tahun 1948 dengan ketua Thio Thiam Tjong, pengusaha Tionghoa berpendidikan Belanda. Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan, Persatuan Tionghoa berubah menjadi PDTI. Tetapi, tak lama kemudian partai ini pecah. Banyak anggota partai menganggap, PDTI adalah partai politik yang eksklusif, karena hanya menerima Tionghoa menjadi anggota partai. Mereka menganggap PDTI hanya akan memperburuk sikap pribumi terhadap Tionghoa.

Akan tetapi, sebagian lain beranggapan golongan Tionghoa memiliki masalah khusus sehingga Tionghoa harus melindungi kepentingan dan memperjuangkan haknya sendiri. Kalau masuk dalam Partai politik pribumi, bilamana ada konflik antara kepentingan minoritas dan mayoritas, kepentingan mayoritas-lah yang akan didahulukan.

Pertentangan di dalam PDTI tentang ini semakin meruncing. Banyak di antara anggotanya meninggalkan PDTI, bergabung dalam partai politik pribumi, seperti PNI, Partai Kristen, Partai Sosialis, dll. Ketika itu masalah besar yang dihadapi golongan Tionghoa adalah Kewarganegaraan. Ini disebabkan Pemerintah Indonesia ketika itu mempersiapkan Rancangan UU (RUU) Kewarganegaraan, bermaksud membatalkan kewarganegaraan Indonesia orang Tionghoa dan menghendaki mereka mengulang pemilihan kewarganegaraan.

Seandainya saja RUU ini berhasil diundangkan pada akhir 1955, tidak sedikit peranakan Tionghoa yang sudah warga negara Indonesia harus mengulang pemilihan kewarganegaraan lagi. Mengingat banyak Tionghoa tidak paham dengan prosedur hukum, pembatalan ini akan mengakibatkan jumlah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa akan turun secara drastik. Beberapa anggota parlemen Tionghoa dan perkumpulan Tionghoa di luar parlemen menganggap masalah ini sebagai tantangan mendesak dan gawat, sehingga merasa perlu segera bertindak.

(6)

6 beberapa kelompok organisasi Tionghoa untuk bergabung dalam sebuah organisasi yang akan dinamakan Badan Permusyawaratan Turunan Tionghoa, disingkat BAPERWAT. Panitia persiapan pembentukan organisasi mengundang seluruh organisasi Tionghoa dan kesatuan Tionghoa untuk mengirim utusan, tanpa membedakan agama dan aliran politik untuk menghadiri rapat akbar pembentukan.

Begitulah, yang menghadiri rapat akbar ini Tionghoa kiri, kanan dan elemen tengah. Sebagian besar yang datang adalah elite peranakan Tionghoa. Mereka berharap Organisasi baru ini akan mampu memperjuangkan keadilan untuk golongan peranakan di Indonesia, termasuk peranakan Tionghoa.

Sebelum Baperki didirikan, Siauw pada bulan Nopember 1953 sudah mengeluarkan sebuah tulisan menentang rasisme. Ia menyatakan sebagai golongan minoritas,

keturunan Tionghoa dibedakan dari kelompok suku minoritas pribumi lainnya15. Ia

menyerang Pemerintah yang pada tahun 1950an mengeluarkan “politik asli” [kebijakan mengutamakan Indonesia asli], kebijakan yang di bidang ekonomi dan pendidikan lebih mendahulukan dan memberikan keistimewaan pada pribumi. Menyingkirkan perusahaan milik Tionghoa yang kepemilikan sahamnya tidak terdiri dari paling sedikit 50% pribumi, karena perusahaan tersebut dinilai bukan “perusahaan nasional”.

Siauw menyatakan bahwa kebijakan ini melanggar UU yang menjamin seluruh

warga negara di hadapan hukum adalah setara16. Ia berpendapat bahwa “politik

asli” hanya akan mendorong terciptanya monopoli perusahaan kolonialis barat yang menjadikan pribumi boneka dengan tujuan mengendalikan ekonomi Indonesia. Di matanya, kebijakan ini tidak sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Ia-pun menyatakan bahwa kebijakan ini berlaku pula di bidang pendidikan. Akibatnya generasi muda peranakan Tionghoa tidak memperoleh kesempatan pendidikan. Dengan tegas ia menuntut Pemerintah mengakhiri “politik asli”, dan memperlakukan setiap warga negara Indonesia dengan hak dan

kewajiban yang sama17.

Rapat akbar pembentukan Baperki diketuai oleh Thio Thiam Tjong, ketua PDTI. Ia mengatakan bahwa PDTI telah gagal, karena melaksanakan rasisme, yaitu hanya menerima Tionghoa menjadi anggota partai dan tidak memperkenankan

15 Siauw Giok Tjhan, “Apa itu exclusivisme?” Gotong Rojong Nasakom Melaksanakan Ampera (1963), p.104. 16 Siauw Giok Tjhan, “Pembangunan Ekonomi Nasional”, Sin Po, 23-24 November 1953.

17 Ibid.

(7)

7 anggotanya bergabung di Parpol lain. Lebih lanjut ia mengatakan agar supaya organisasi baru tidak mempertahankan sikap seperti ini. Penyusun konsep Anggaran Dasar Organisasi adalah Sarjana Hukum kenamaan, Oei Tjoe Tat. ia menyatakan, organisasi baru bukanlah partai politik, oleh karena itu ia tidak menitik beratkan ideologi politik.

Sebelum organisasi baru dibentuk, terjadi perdebatan sengit tentang nama organisasi. Pada pokoknya ada 2 kelompok. Satu kelompok diwakili oleh Yap Thiam Hien, sarjana hukum ternama dari Tionghoa Kristen; dan kelompok lain diwakili Siauw Giok Tjhan.

Yap Thiam Hien mendukung nama Badan Permusyawaratan Turunan Tionghoa, karena menurutnya “kita tetap saja akan diperlakukan sebagai Warganegara Indonesia Keturunan Tionghoa. Selama masih ada pandangan rasis dan diskriminasi rasial, kita harus mempertahankan ‘ke-Tionghoaan’ kita”.

Sedang kelompok lain yang diwakili Siauw menentang dipertahankannya nama Tionghoa. Ia berpendapat, organisasi baru ini tidak boleh hanya untuk warganegara keturunan Tionghoa, harus terbuka untuk suku-suku lain yang setuju dengan tujuan organisasi baru ini. Warganegara yang bukan Tionghoa yang setju dengan tujuan organisasi baru harus diterima sebagai anngota. Ia menambahkan, organisasi baru ini bertujuan membasmi rasisme dan diskriminasi rasial yang sedang meningkat. Adalah tidak bijaksana mempertahankan istilah Tionghoa dalam nama organisasi karena akan menjadikan organisasi yang eksklusif. Yang paling mendesak dewasa ini adalah tugas mempersatukan segenap warga Indonesia, tanpa membedakan latar belakang suku atau etnisitas, berjuang bersama, dan memberikan pengertian yang tepat pada hak kewarganegaraan.

Yap Thiam Hien tidak menyetujui pandangan Siauw. Ia menganggap sebuah organisasi perlu ada identitas, nama itu penting, karena ia merefleksikan siapa yang harus dilindungi dan sesuai dengan usaha yang dilakukan. Kalau badan ini merupakan badan keturunan Tionghoa, kenapa harus takut dengan nama “Tionghoa”? Tetapi, lebih banyak hadirin rapat yang menyetujui pendapat Siauw. Akhirnya rapat memutuskan organisasi baru tidak menggunakan nama “Tionghoa”.

Begitulah organisasi baru itu dinamakan Badan Permusyawaratan

Kewarganegaraan Indonesia, disingkat menjadi Baperki.

(8)

8

1. “Memperdjuangkan pelaksanaan tjita2 nasional, jaitu untuk mendjadikan tiap

warganegara seorang warganegara Republik Indonesia jang sedjati;

2. Memperdjuangkan pelaksanaan azas2 demokrasi dan hak2 azasi manusia;

3. Memperdjuangkan terwudjunya persamaan hak dan kewadjiban serta adanja

kesempatan untuk madju bagitiap warga-negara dengan tidak memandang keturunannja, kebudajaannja, adat-istiadatnja, maupunagamanja.” (Anggaran Dasar Baperki, p.11)

Bagaimana mewujudkan tujuan ini? Anggaran Dasar menunjukkan, harus dilaksanakan “dengan segala tjara jang halal dan sah”. Ketika itu di Indonesia segera akan melangsungkan Pemilihan Umum. Oleh karenanya, Baperki siap ikut serta dalam Pemilu 1955.

Para anggota pengurus Baperki pada awalnya mendukung ikut sertanya Baperki dalam Pemilu. Akan tetapi sebelum Pemilu berlangsung, beberapa tokoh Baperki yang berhaluan kanan seperti Auwyang Peng Koen dan Khoe Woen Sioe, yang menentang haluan politik Siauw, meninggalkan Baperki. Mereka kemudian menjadi lawan Baperki dalam Pemilu 1955.

Dalam Pemilu ini, hanya dua Tionghoa yang terpilih sebagai anggota DPR (parlemen), Siauw Giok Tjhan seorang atas nama Baperki dan Tjoe Tik Tjoen dari PKI. Pada waktu itu, untuk golongan Tionghoa di DPR disediakan 9 kursi, jadi masih tersisa 7 kursi. Pemerintah kemudian mengisi jata perwakilan Tionghoa di DPR dengan calon-calon beberapa partai politik yang menang.

Berdasarkan penelitian bahan-bahan diskusi Baperki dapat disimpulkan bahwa ketika itu Baperki mencampur aduk masalah kewarganegaraan dan bangsa, menganggap Bangsa/Nasion Indonesia dan warganegara Indonesia sinonim. Pada tahun 1957, Baperki melangsungkan Simposium tentang “Sumbangsih apakah yang dapat diberikan oleh warganegara-warganegara Indonesia keturunan asing kepada pembangunan dan perkembangan kebudayaan nasional Indonesia”. Kecenderungan ini nampak dalam dokumentasi ini.

Sebelum Simposium dimulai, peserta khusus pergi ke Istana Negara menghadap Soekarno. Di dalam pertemuan itu Soekarno menyatakan bahwa ia mendukung Baperki dan mengakui bahwa peranakan Tionghoa adalah “human skill” [Sumber Tenaga Manusia] Indonesia, yang akan memberikan sumbangan penting dalam

(9)

9

mengembangkan ekonomi Indonesia18.

Simposium ini dihadiri oleh para penduduk-asli, peranakan Tionghoa dan peranakan non-Tionghoa. Sebagian besar jumlah hadirin adalah peranakan Tionghoa. Beberapa penduduk-asli, peranakan Tionghoa, peranakan Indo dan Peranakan Arab memberi makalah pada simposium tersebut. Peserta pribumi yang menonjol adalah Njoto dan Buyung Saleh dari PKI. Kedua orang ini menyampaikan makalahnya. Siauw Giok Tjhan sendiri juga menyampaikan kata sambutan yang cukup panjang, yang pada pokoknya membahas hubungan bangsa Indonesia dengan kewarganegaraan Indonesia. Dari sambutan inilah kita bisa menyimpulkan pandangan Siauw tentang bangsa Indonesia.

Siauw Giok Tjhan menyatakan: untuk membangun sebuah “nation/bangsa” yang harmonis, salah satu syarat utamanya adalah “adanya keinginan keras untuk hidup

bersama”. Ia menyamakan penggunaan istilah bahasa Inggris nation dan istilah

bangsa yang sudah menjadi bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa pengertian “bangsa” di sini merupakan pengertian baru dari luar. Untuk Siauw, para suku bangsa Indonesia, termasuk keturunan Tionghoa, harus mempunyai keinginan keras untuk hidup bersama di dalam satu Negara, baru bisa menjadi satu bangsa. Salah satu syarat utama untuk mencapai keharmonisan dalam satu bangsa adalah dihilangkannya sikap saling mencurigai di antara suku. Setiap orang termasuk keturunan Tionghoa, harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang. Pada saat mengatakan demikian, Siauw menggunakan “suku dan “golongan keturunan asing” menjadi pengertian satu bangsa. Tidak nampak pengaruh definisi Marx atau Stalin tentang bangsa. Dengan uraian: “Keinginan keras untuk hidup bersama” Siauw menggunakan definisi terori non komunis.

Dalam sambutan Siauw itu, setelah membicarakan ttg konsep bangsa secara singkat, ia Siauw tidak lagi membicarakan masalah “suku”, tapi lebih banyak membicarakan “golongan keturunan Tionghoa”, dan ia menyamakan istilah golongan keturunan Tionghoa dengan suku keturunan Tionghoa. Yang tersirat, begitu golongan keturunan Tionghoa menjadi “warga negara Indonesia”, dengan sendirinya sudah menjadi “Suku Indonesia”. Pimpinan Baperki ketika itu, tidak memperhatikan bahwa “bangsa” adalah definisi kebudayaan, sedangkan warga negara adalah istilah hukum.

18

Wedjangan Presiden Sukarno kepada Delegasi Baperki”, Simposium Baperki tentang Sumbangsih apakah yang dapat diberikan oleh warganegara2 Indonesia keturunan asing kepada pembangunan dan perkembangan kebudayaan nasional Indonesia 1957, Halaman 1.

(10)

10 Sebelum tahun 1959, Siauw belum mempunyai satu konsep pengertian lengkap mengenai posisi Tionghoa dalam Bangsa Indonesia. Ia pertama-tama menempatkan keturunan Tionghoa sebagai golongan. Di dalam Anggaran Dasar Baperki 1954 juga tidak mengajukan Tionghoa sebagai salah satu Suku, hanya membicarakan HAK warga negara.

Tetapi di sebuah bulletin Baperki bahasa Tionghoa dalam laporan tujuan Baperki,

pernah muncul sebutan “Zhonghua Zu” (Suku Tionghoa) 19 . Ia tidak

menyatakannya sebagai pendapat Siauw. Pada tahun 1957 Siauw pernah menyatakan bahwa keturunan Tionghoa (istilah yang dipakai bukan “peranakan Tionghoa”), sebagai salah satu suku keturunan asing, adalah bagian dari Indonesia - mengaitkannya dengan suku Indonesia - yang harus diperlakukan sama sederajat dengan suku pribumi Indonesia lainnya. Ia juga menyatakan bahwa keturunan Tionghoa harus menjadi “warga negara Indonesia sedjati” .

Tapi ia tidak menjelaskan bagaimana keturnan Tionghoa berintegrasi dengan masyarakat Indonesia. Apa yang menjadi perhatiannya dan Baperki hanyalah “Kewarganegaraan Indonesia” dan sebagai warga bisa diperlakukan sederajat. Setelah keturnan Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, maka ia sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Pengertiannya saat itu, warga negara Indonesia adalah anggota Bangsa Indonesia, hakekatnya tidak perlu lagi integrasi ke dalam masyarakat yang pada pokoknya adalah pribumi.

Mungkin karena pengertian inilah Baperki tidak memasalahkan konsep integrasi pada waktu itu. Konsep Integrasi dikeluarkan dan dikembangkan setelah tahun 1959, setelah lahir konsep asimilasi dari pihak lawan Baperki yang menganjurkan keturunan Tionghoa berasimilasi total dengan pribumi Indonesia. Baperki menentang “asimilasi total” dan menganjurkan “integrasi”. Perbedaan antara kedua konsep ini akan dibicarakan secara lebih mendetail di bagian lain.

Patut dikemukakan bahwa ketika itu yang berlangsung adalah demokrasi parlementer di mana banyak pimpinan partai politik yang berkuasa masih dipengaruhi oleh rasisme. Para tokoh politik tersebut memilah penduduk dengan kategori “asli” dan “tidak asli”. Kedua kelompok ini harus dibedakan. Tionghoa termasuk peranakannya masuk dalam kategori “tidak asli”. UU Kewarganegaraan Indonesia yang baru masih belum dikeluarkan. Oleh karena itu perhatian utama dicurahkan ke upaya melawan rasisme.

19

Yinni guoji xieshanghui de zongzhi yu mubiao (Tujuan Dan Sasaran BAPERKI),dimuat di Berita Baperki, (Djakarta),

(11)

11

Siauw Giok Tjhan, Yap Thiam Hien dan Teori Asimilasi setelah tahun 1959

Untuk lebih lanjut memahami perkembangan pandangan Siauw Giok Tjhan dan Baperki tentang bangsa Indonesia, kita harus meneropong perkembangan politik Indonesia pada tahun 1949 hingga 1959.

Pada akhir tahun 1949 Belanda dan pemerintah Indonesia menandatangani Perjanjian Konperensi Meja Bunder (KMB), menerima sistem Federasi. Dengan demikian Belanda menyerahkan kedaulatan politik kepada Pemerintah Demokratis Indonesia. Tapi tak lama terjadi pemberontakan Maluku Selatan, yang memproklamasikan kemerdekaan. Pemerintah pusat melancarkan penindasan bersenjata, berhasil mengalahkan pemberontakan dan secara sepihak mengubah federasi menjadi negara kesatuan.

Dimulailah masa demokrasi parlementer dan pemerintah mengumumkan pada tahun 1955 akan melangsungkan pemilu legislatif. Pada pemilu tersebut muncul 4 Partai Besar, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Masyumi dan PKI.

Tetapi setiap pembentukan kabinet pemerintah, PKI tersisih. Pemerintah sering berganti dan sering terjadi kerusuhan di daerah-daerah. Akibatnya Soekarno sebagai presiden mengambil inisiatif membentuk kabinet. Akan tetapi kekacauan di daerah tetap terjadi. Demokrasi parlementer gagal. Soekarno membubarkan Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan di daerah, dan pada bulan Juli 1959 mendorong kembalinya UUD 45 sebagai UUD, yang menjamin kekuasaan utama di tangan Presiden. Dimulailah periode “Demokrasi Terpimpin” (1959-1965). Di masa ini, tokoh utama adalah Soekarno, diikuti oleh Angkatan Darat yang semakin berpengaruh dan PKI. Soekarno berfungsi sebagai pengimbang kekuatan antara Angkatan Darat dan PKI. Pada saat Angkatan Darat nampak lebih kuat, ia mendukung PKI. Sebaliknya bilamana PKI nampak lebih kuat, ia cenderung mendukung Angkatan Darat. Akan tetapi lama-kelamaan, ia lebih condong ke kiri dan mendukung PKI.

Di zaman “Demokrasi Terpimpin” Baperki memperoleh dukungan PKI dan Soekarno. Sedang parpol lain, khususnya partai-partai berhaluan kanan dan Angkatan Darat selalu menentang Baperki dan usul-usul yang ia ajukan. Baperki telah menjadi duri di mata kelompok Angkatan Darat dan partai-partai kanan. Oleh karena itu Partai-partai politik kanan, intelek anti Komunis dan Angkatan Darat bersatu mendukung kelompok asimilasi yang kemudian mendirikan Lembaga Pembinaan

(12)

12 Kesatuan Bangsa (LPKB). LPKB kemudian berkembang sebagai lawan Baperki. LPKB menganjurkan Tionghoa mengganti nama dan kawin campuran sehingga menjadi pribumi.

Sebelum kita memasuki diskusi panjang lebar tentang konsep asimilasi dan pendirian LPKB, sebaiknya kita perhatikan juga pendapat salah satu penentang gigih asimilasi, yaitu Yap Thiam Hien (1913-1989).

Pada tahun 1959 Siauw dan Yap bersama memimpin Baperki. Pikiran Siauw cenderung ke sosialisme dan komunisme. Sedang Yap, seorang penganut Kristen yang anti komunis. Karena perbedaan pandangan politik yang kian meruncing, Yap akhirnya mengundurkan diri dari posisi pengurus Baperki. Akan tetapi Ia tetap menjadi anggota Baperki.

Pada tahun 1960, Yap mengeluarkan tulisan di majalah Star Weekly yang

berpengaruh di masyarakat. Yap menjelaskan bahwa ada tiga terapi tentang penyelesaian masalah Tionghoa, Terapi Siauw Giok Tjhan, terapi 10 orang dan terapi Yap sendiri.

Yap menuturkan bahwa terapi Siauw Giok Tjhan – berdasarkan tulisan dan pidato-pidato Siauw dari tahun 1957 hingga Maret 1960 mengandung jalan keluar demikian: Struktur masyarakat Indonesia masih feodal, kolonial dan kapitalis. Dalam struktur masyarakat semacam ini terdapat banyak borok, di antaranya adalah pandangan rasis. Pelaksanaan konsep “integrasi” bisa mempertahankan keutuhan minoritas Tionghoa, tetapi ini hanya bisa mencegah borok untuk tidak menjadi parah dan meluas. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan borok-borok tersebut adalah mengubah struktur masyarakat feodal, kolonial dan kapitalis dengan masyarakat yang meniadakan borok-borok tersebut, sehingga terjamin keharmonisan masyarakat dan minoritas Tionghoa tidak lagi didiskriminasi. Masyarakat macam apakah itu? Masyarakat Komunis, contohnya Uni Soviet dan Tiongkok.

Yap menyatakan bahwa untuk Siauw, diskriminasi rasial baru hilang di Indonesia, setelah struktur masyarakat Indonesia berubah menjadi masyarakat komunisme. Jadi menurut Yap, usul Siauw tidak lain mewujudkan masyarakat komunisme di Indonesia. Mungkinkah Indonesia berubah menjadi masyarakat komunisme? Lalu, kapan bisa terlaksana? Yap berpendapat, penduduk Indonesia 94% adalah umat Islam dan Kristen, mereka dengan teguh menentang komunisme. Namun Yap juga menyatakan, “ia tidak mengecilkan kekuatan PKI, tetapi, untuk merubah Indonesia

(13)

13 menjadi masyarakat komunisme, sekalipun mungkin bisa, juga memerlukan waktu yang “Tidak pendek”.

Yap mengatakan bahwa Siauw pernah menandaskan, “asimilasi total secara alamiah” memerlukan proses “waktu yang sangat panjang”. Menurut Yap, sebenarnya pernyataan “Harus melalui proses waktu sangat panjang” ini juga berlaku untuk “terapi Siauw Giok Tjhan” sendiri.

Yap menyatakan bahwa Siauw hendak mempertahankan “golongan minoritas Tionghoa”. Pada waktu bersamaan ia hendak meng-integrasi-kan mereka dalam masyarakat Indonesia, yang bersandar atas prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi Ia tidak memberi penjelasan kongkrit tentang konsep “Integrasi” yang ia ajukan.

Akhirnya Yap bertanya apakah “terapi Siauw” mempunyai arti yang positif? Yap mengatakan, tentu saja “terapi Siauw” mempunyai unsur positif dalam pembangunan, tapi ia beranggapan terapi Siauw tidak akan dalam waktu dekat menyelesaikan masalah minoritas. Bagi Yap, menerima “terapi Siauw”, berarti

“berjuang membasmi rasisme serentak membangun masyarakat komunisme”20

Siauw di Star Weekly menyanggah21. Ia menyatakan bahwa yang ia tekankan

adalah “Masyarakat Adil dan Makmur” yang dianjurkan Soekarno untuk secepatnya mengakhiri sistem manusia menindas manusia. “Oleh Presiden Soekarno masjarakat adil dan makmur djuga dinamakan Masjarakat Sosialis a-la Indonesia”. Pikiran Presiden Soekarno tentang pembangunan masyarakat adil dan makmur itu diperjelas dalam Pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959, dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Indonesia”, yang kemudian diumumkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia, … Dan pidato Presiden Soekarno ini telah disahkan di DPA menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia, yang dinyatakan menjadi garis-garis besar haluan negara, dan wajib ditaati oleh tiap orang warga-negara Indonesia.

Siauw menyatakan bahwa yang mendukung Manipol tidak hanya orang komunis dan orang-orang yang di mata Yap Thiam Hien komunis, tapi juga diterima seluruh anggota DPA. Masyarakat Adil dan Makmur ini bisa dicapai dalam waktu lebih dekat. Bagi Siauw, “pertentangan jang digambarkan oleh sdr. Yap hanja terdapat dalam pikiran sdr. Yap sendiri” karena kelompok masyarakat Indonesia

20 Ibid. 21

(14)

14 non-Komunis juga tidak menentang Masyarakat Adil dan Makmur yang dicanangkan dalam Manipol.

Siauw selanjutnya menyatakan: “Sampai sekarang ini, tidak seorang sardjana ilmu sosial jang dapat menjangkal, bahwa penjelesaian golongan minoriteit di Sovyet Uni dan RRT adalah mentjapai tingkat ideal. Tidak sedikit sardjana anti-komunis

Amerika kepaksa musti mengakui kenjataan tersebut”22.

Akhirnya Siauw mengatakan, kongres Baperki terakhir ini juga telah menerima usul mewujudkan “Masyarakat Adil dan Makmur”. Menerima kenyataan yang diajukan Siauw cara memecahkan masalah minoritas berarti juga harus bersama-sama berjuang melaksanakan Manipol.

Siauw menyangkal apa yang ia ajukan adalah “masyarakat komunisme”. Yang diajukan adalah “Masyarakat Adil dan Makmur” sebagai yang definisikan Soekarno. Namun demikian, ia mengakui bahwa dasar argumentasinya pada Soviet dan RRT sebagai model, tapi tidak menjelaskan apa perbedaan antara “Masyarakat Sosialisme” di kedua negara yang dikuasai Partai Komunis dengan “Sosialisme a-la Indonesia”.

Dari sanggahan di atas, jelas Siauw tidak ingin konsep yang diajukan itu dikatakan “terapi komunis”. Seiring dengan itu, Siauw juga merasakan kekuatan revolusioner yang mendukung Soekarno semakin kuat, sehingga baginya perwujudan “masyarakat Sosialisme ala Indonesia” bisa dicapai lebih cepat dari dugaan Yap Thiam Hien. Namun kenyataan membuktikan bahwa Siauw salah dalam memperhitungkan kekuatan revolusioner, dan meremehkan kekuatan anti-komunis dan anti-sosialisme dalam masyarakat Indonesia, yang didominasi oleh kekuatan kanan di TNI dan organisasi agama.

Marilah kita meneliti apa konsep Yap Thiam Hien dalam menyelesaikan masalah Tionghoa.

Dengan menentang “Terapi komunis Siauw”, Yap mencanangkan terapi-nya

dalam memecahkan masalah Tionghoa 23 . Sebagai seorang Kristen yang

anti-komunis, ia tidak percaya apa yang diajukan Siauw dengan “revolusi Komunis” bisa memecahkan masalah Tionghoa, karena menurutnya penduduk Indonesia lebih 94% adalah umat Islam dan Kristen yang gigih menentang komunisme. Ia menyatakan bahwa masyarakat komunisme akan memakan waktu lama sekali

22 Ibid. 23

(15)

15 sebelum bisa terwujud dan dalam waktu singkat terapi Siauw tidak akan memecahkan masalah Tionghoa.

Di mata Yap, inti masalah Tionghoa berkaitan dengan masalah hubungan antara

golongan mayoritas dan golongan minoritas24. Dan ini sudah berkembang dari

zaman penjajahan Belanda yang kemudian diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh karena itu rasisme terhadap minoritas Tionghoa tetap berlangsung.

Selama hubungan mayoritas dan minoritas bermasalah, masalah Tionghoa tidak akan terpecahkan. Bahkan asimilasi-pun tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Yap tidak setuju dengan “brain-washing” (cuci otak) dan “mengubah struktur masyarakat”. Menurut Yap, yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah

Tionghoa adalah melakukan “pembersihan hati”. Dengan demikian.

menghilangkan pandangan materialisme dan memusatkan perhatian pada manusia, sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut Yap, bilamana jalan Kristen ini ditempuh, rasa curiga, egoisme dan kemunafikan antara suku dan golongan akan hilang dan dibangkitkanlah jiwa mengabdi di pihak mayoritas yang berkuasa. Yap juga menekankan pentingnya adanya undang-undang hukum dan pelaksanaannya, yang berlaku untuk semua suku yang ada di Indonesia. Setiap pelanggaran harus dijerat dengan sanksi hukum.

Terapi Kristen ini juga tercermin dalam tulisan-tulisan Yap Thiam Hien di kemudian hari. Pada tahun 1967 ia menghimbau orang Indonesia yang mencintai bangsa dan negara, khususnya umat Kristen Indonesia, untuk memahami dan

menghormati perasaan dan budaya bangsa lain25.

Yap berpendapat bahwa di Indonesia terdapat rasa anti-pendatang asing, khususnya diskriminasi rasial terhadap Tionghoa. Ia menyatakan bahwa usaha mengganti nama tidak akan bisa memuaskan kelompok yang mengendap rasisme dan tidak akan membahagiakan mereka yang memiliki kesadaran dan bijaksana. Dan assimilasi tidak memiliki faedah untuk pembangunan nasion Indonesia. Selanjutnya ia juga menyatakan,

“adalah naif sekali untuk mengira bahwa mengganti nama merupakan suatu langkah positif kearah proses persatuan bangsa. Djuga proses asimilasi/integrasi

24 Yap Thiam Hien, “Terapi III”, Star Weekly, 21 May 1960, pp. 4-6.

25 Yap Thiam Hien, “Masalah Tjina dan Sikap Sementara Pemimpin-Pemimpin Kristen Keturunan Tjina”, Sinar Harapan, 25-27Januari 1967.

(16)

16

minoritas Tjina kedalam majoritas pribumi bukanlah conditio sine qua non bagi

kesatuan bangsa. Ini bergantung pada factor-faktor lain lebih banjak dan

kompleks.”26

Yap tidak menguraikan apa factor-faktor tersebut, hanya mengusulkan sebuah kerangka yang lebih luas, di dalamnya masalah minoritas sebagai bagian dari masalah kemanusiaan dapat diselesaikan. Ia mengatakan:

“Kita mempunjai dan mengakui prinsip-prinsip jang mengatur kehidupan sosial dan

nasional kita, jaitu Demokrasi Pantjasila, hak-hak asasi manusia dan rule of law

[peraturan-peraturan hukum]. Dan di atas segala-gala itu: the Rule of the Will of

God.[Aturan kehendak Tuhan]!”27

Yap adalah seorang yang patuh HAM. Ia menyatakan bahwa mempertahankan identitas etnik merupakan salah satu dari hak tersebut. Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang diajukan Yap tidak banyak berbeda dengan apa yang diajukan Siauw Giok Tjhan. Penekanan Yap terletak pada posisi hukum (warga negara Indonesia), bukan pada pengertian budaya (nasion/bangsa Indonesia). Ia menghimbau pribumi, khususnya umat Kristen Indonesia untuk menghormati suku dan bangsa lain, karena mereka semua juga diciptakan Tuhan.

Mari kita akhiri diskusi tentang perbedaan antara Yap Thiam Hien dan Siauw Giok Tjhan. Sebenarnya setelah tahun 1959, pertentangan di antara mereka semakin meruncing disebabkan kebijakan politik Siauw yang mendukung kembalinya UUD 45 sebagai UUD. UUD-45 mengandung sebuah pasal yang menentukan Presiden harus orang “Indonesia Asli”. Bagi Yap, asas itu yang terpenting, tetapi bagi Siauw, kenyataan politiklah yang terpenting. Baperki memerlukan perlindungan Presiden Soekarno dan UUD45 menguntungkan posisi Presiden Soekarno. Inilah sebab utama mengapa Siauw mendukung UUD 45. Disamping perbedaan tersebut di atas, berkembang pula pandangan ideologi yang berbeda di antara ke dua tokoh ini. Siauw semakin condong ke kiri. Karena Yap tidak memiliki dukungan luas dalam Baperki, kedudukannya semakin lemah dalam Baperki sehingga ia hanya menjadi

anggota biasa28.

Patut dibahas apa yang dianjurkan oleh sepuluh cendekiawan peranakan Tionghoa pada awal tahun 1960. Mereka menganjurkan Tionghoa berasimilasi

26

Ibid, 27 Januari 1967. 27 Ibid.

28 Tetapi, Yap Thiam Hien meneruskan perjuangan HAM, melakukan gerakan tidak sebatas golongan Tionghoa, akhirnya menjadi seorang sarjana hukum pembela HAM yang berpengaruh besar di Indonesia.

(17)

17 dengan masyarakat pribumi. Mereka berpendapat bahwa hanya dengan asimilasi, masalah Tionghoa bisa diselesaikan. Mereka berpendapat bahwa Tionghoa seharusnya tidak membentuk organisasi etnik dan dan memencilkan diri sendiri. Orang Tionghoa jangan ragu untuk membaur ditengah-tengah pribumi Indonesia. Yang harus dilakukan pertama adalah membubarkan organisasi-organisasi Tionghoa, mengganti nama, melakukan kawin campur dan sepenuhnya terjun masuk dalam masyarakat pribumi Indonesia.

Pada tahun 1961 ada lagi peranakan Tionghoa Kristen berhaluan kanan mengorganisasi diri dan mengeluarkan Manifes Asimilasi. Mereka menyatakan demi melaksanakan cita-cita “Sumpah Pemuda” 1928 Satu bangsa, Satu Tanah air

dan Satu Bahasa, mereka bertekad menjadi “Patriot Indonesia sedjati”29.

Mereka berpendapat bahwa untuk menjadi “Patriot Indonesia sedjati”, Tionghoa harus membaur ditengah-tengah pribumi, agar keturunan Tionghoa tidak menjadi golongan yang menyendiri. Mereka menghimbau golongan mayoritas untuk bisa

menerima “kenyataan objektif”, dan mendorong maju proses asimilasi ini30

Salah seorang juru bicara kelompok ini adalah Junus Jahja yang bernama asal Lauw Chuan Tho, seorang ekonom lulusan Roterdam. Ia berpendapat, selama golongan Tionghoa terus mempertahankan “posisi sosial dalam masyarakat”,

mereka akan tetap menjadi sasaran rasisme31. Oleh karena itu, menurutnya, untuk

menghapus diskriminasi rasial satu-satunya cara adalah berasimilasi

ditengah-tengah penduduk Indonesia. Lebih lanjut ia mengatakan “Terapi asimilasi”

merupakan sebuah cara untuk membasmi diskriminasi rasial32.

Ong Hok Ham, seorang sarjana yang dipengaruhi budaya Jawa, mengajukan pandangan yang lebih konkrit. Ia berpendapat bahwa golongan peranakan Tionghoa yang menyendiri seringkali merupakan golongan yang mempertahankan ciri khusus kolektif yang eksklusif. Menurutnya:

“…. halangan-halangan dari majoriteit di Indonesia ini sedikit sekali dan kesukaran terbesar terletak pada minoriteit. Di Indonesia rintangan-rintangan seperti agama adalah ketjil. Prasangka warna kulit dan tjiri-tjiri rasial hampir tidak ada. Rintangan-rintangan lain seperti adat istiadat, larangan larangan beberapa makanan jang haram dan lain-lain makin lama makin tak terasa di kota-kota dan

29 “Piagram Asimilasi” Asimilasi dalam Kesatuan Bangsa, p.8 30

Ibid.

31 Lauwchuantho “Untuk direnungkan Bersama”, Star Weekly, 7 May 1960, p.7. 32

(18)

18

pun hal-hal ini tak merupakan halangan besar”33.

Ong menegaskan bahwa halangan terbesar bagi masyarakat minoritas untuk meleburkan diri ialah kurangnya mereka berorientasi ke Indonesia. “Pikiran ini dipengaruhi oleh djalan pikiran zaman kolonial ketika memang pemerintah kolonial memberi kesan bahwa perbaikan kedudukan hanja bisa datang dari Tiongkok. Sekarang pikiran ini harus ditinggalkan karena sudah tak sesuai lagi dengan

zaman”34.

Ong juga mengusulkan pada pemerintah untuk mendirikan sekolah campuran suku-bangsa. Ia menganjurkan agar keturunan Tionghoa mengganti nama untuk lebih lanjut mendorong mereka tidak merasa dirinya khusus dan hanya berada dalam lingkungan kelompok keturunan Tionghoa saja. Oleh karenanya harus berasimilasi dalam masyarakat mayoritas. Ia beranggapan, persatuan itu penting. Hanya dengan asimilasi persatuan bisa tercapai dan ini bisa menghilangkan sifat eksklusif Tionghoa. Dengan demikian keturunan Tionghoa bisa membaur dengan kelompok mayoritas, perkawinan silang dengan suku berbeda bisa terus bertambah banyak. Ia menegaskan bahwa, dengan demikian “asimilasi dapat tercapai, baik secara biologis, ekonomis, sosioal, politis dan lain-lain.”

Gagasan Ong Hok Ham dan “penganut asimilasi” lainnya pada waktu itu masih belum jelas. Dalam menganjurkan asimilasi mereka tidak membicarakan apakah kaum minoritas Tionghoa harus lebih dulu terasimilasi ke dalam suku-suku asli sebelum terlebur dalam bangsa Indonesia. Mereka tidak mengamati posisi Tionghoa di daerah-daerah tempat kebudayaan Islam sangat kuat. Mereka tidak menganjurkan orang Tionghoa menjadi Islam karena banyak di antara pemimpin LPKB adalah orang Kristen dan Katolik. Mereka lupa membicarakan posisi Tionghoa di daerah-daerah tempat orang Tionghoa hidup dalam kesendirian atau tempat mereka merupakan golongan mayoritas.

Kelompok “Penganut asimilasi” berakar di kota, dimana umumnya kontradiksi Tionghoa dengan setempat tidak tajam. Mereka tidak jelas tentang bagaimana menerapkan asimilasi di daerah, di mana terdapat pertentangan yang tajam antara Tionghoa dan penduduk mayoritas. Mereka tidak memiliki program yang kuat dan dapat dilaksanakan untuk menerapkan gagasan mereka. Namun demikian, konsep mereka diterima pemerintah, sehingga terbentuklah “Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa” (disingkat LPKB) yang berafiliasi dengan Badan

33 Onghokham Assimilasi dan Manifesto Politik”, Star Weekly, 2 April 1960, pp.4-5 34

(19)

19 Intelijensi Indonesia.

Entah mengapa banyak penganut asimilasi yang semula menganjurkan konsep ini, ternyata tidak tergabung dalam LPKB yang dipimpin oleh seorang peranakan Tionghoa katolik, Mayor (AL) K. Sindhunata, nama aslinya Ong Tjong Hai. LPKB kemudian memperoleh dukungan kuat dari kekuatan politik kanan termasuk Angkatan Darat. Ia berkembang tidak hanya sebagai lawan politik Baperki, tetapi juga lawan politik partai-partai politik kiri.

Masalah asimilasi bukan lagi merupakan “hubungan antara mayoritas dan minoritas”, tapi berkembang sebagai sebuah perjuangan politik antara pihak kanan dan pihak kiri. Baperki dan kekuatan politik kiri menuntut agar LPKB bersikap revolusioner dan me-Nasakom-kan diri. LPKB yang didukung oleh kekuatan kanan menentangnya.

Terjun Masuk ke Masyarakat Indonesia dan Terlibat dalam Revolusi Indonesia

Politik Indonesia setelah tahun 1960 kian condong ke kiri dan dengan demikian kekuatan kiri berkembang pesat. Hubungan RI-RRT pun semakin akrab. Oleh para

sarjana asing era 1959-1965 dinyatakan sebagai masa “Poros

Jakarta-Hanoi-Beijing”.

Soekarno dibawah dukungan PKI dan kekuatan kiri lainnya, aktif mendorong “revolusi” untuk mencapai “Sosialisme”. Pimpinan Indonesia hendak menjadikan Indonesia pramuka kekuatan Negara yang sedang Berkembang (New Emerging Forces). Indonesia mulai Banting Stir, berusaha berlari di jalan “Sosialisme”. Tetapi, kekuatan kanan tidak menghentikan kegiatan. Mereka bekerjasama dengan Amerika Serikat, dengan sekuat tenaga mencegah gabungan Soekarno dan kekuatan kiri untuk berada di atas angin. Ternyata kekuatan kiri memandang enteng kekuatan kongkrit kelompok kanan.

Kekuatan “Revolusioner” yang “sangat kuat” tampak jelas di pidato-pidato Soekarno. Juga tampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Soekarno. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw Giok Tjhan menunjukkan dukungannya terhadap Soekarno. Kata-kata ekstrim yang digunakan oleh Soekarno digunakan pula oleh Siauw. Sebelum tahun 1957, ketika Siauw mencanangkan formulasinya tentang nasion Indonesia, ia tidak terang-terangan menyitir teori Lenin atau Stalin. Akan tetapi setelah tahun 1959, kecenderungan ke kiri semakin nyata. Ada 2 sebab. Pertama, Baperki sudah berkembang dan kian bersandar pada Soekarno dan PKI. Kedua, Siauw semakin dalam dipengaruhi

(20)

20 Marxisme-Leninisme.

Pada tahun 1962, Siauw memformulasikan definisi bangsa/nasion. Ia menyatakan bahwa bangsa Indonesia terwujud karena hadirnya beberapa faktor utama:

1. Adanya kesamaan wilayah…karena penjajahan Belanda mempersatukan kepulauan Indonesia dengan menggunakan kekerasan bersenjata.

2. Adanya kesamaan kehidupan ekonomi, yang diciptakan oleh Imperialisme Belanda dengan membangun infra-struktur transportasi di seluruh Indonesia sehingga timbul kesatuan ekonomi.

3. Adanya kesamaan bahasa yang terwujud dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dimana bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa pemersatu di seluruh Indonesia.

4. Adanya kesamaan susunan kejiwaan yang menampakkan diri dalam kesamaan ciri-ciri khas kebudayaan nasional yang muncul setelah Sumpah Pemuda tahun 192835

Keempat ciri bangsa yang diajukan diatas adalah pengertian bangsa dari ajaran Stalin. Stalin di buku Marxisme dan Masalah Bangsa, memberikan pengertian bangsa yang terkenal: “Bangsa adalah kumpulan manusia yang dalam sejarahnya mempunyai kesamaan bahasa, kesamaan wilayah, kesamaan kehidupan ekonomi dan termanifestasi oleh kesamaan budaya di dalam kehidupan bersama yang

stabil dengan kesamaan psikologi”36.

Sebelum Stalin, Marx, Engels, Lenin di dalam banyak tulisan tentang bangsa memberikan perincian yang mencakup pengertian serupa. Mereka hanya menyinggung tiga hal yaitu: “Kesamaan bahasa, kesamaan wilayah dan

kesamaan hubungan ekonomi bersama”37.

Sangat jelas, Siauw bersandar atas teori Stalin tentang formulasi Nasion Indonesia. Pada tahun 1963, situasi politik di Indonesia lebih menguntungkan kekuatan kiri. Soekarno makin condong ke kiri. Retorika “revolusi” dan “sosialisme” berubah menjadi mantra. Masyarakat Indonesia, khususnya golongan kiri memilah kekuatan politik Indonesia dalam dua kategori, “Kekuatan Revolusioner” dan

35 Saya belum pernah melihat “Kuliah Ideologi Negara, Universitas Res Publica, 17 Oktober 1962”. Di sini hanya mengutip tulisan Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan (1999), halaman 364.

36 Sidalin Quanji (Tulisan Lengkap Stalin), jilid-2, halaman 294. Dikutip dalam Minzu da cidian (Kamus Besar Bangsa), Penerbit Bangsa Shichuan, 1984, halaman 57.

37

(21)

21 “Kekuatan Reaksioner”. Kekuatan yang “Mendukung Sosialisme” dan “Anti-Sosialisme”.

Presiden Soekarno mendorong setiap organisasi Indonesia harus “NASAKOMISASI”, yaitu harus mengandung Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Akan tetapi, organisasi kanan menentangnya.

Pada bulan Maret 1963 di depan pembukaan Kongres ke-8 BAPERKI, Presiden Soekarno memberikan pidato sambutan. Dengan tandas ia mendukung pendirian Baperki dan Siauw, Tionghoa tidak harus ganti nama, lebih-lebih tidak usah ganti kepercayaan agama, karena ini adalah masalah pribadi. Ia mengatakan:

“… di Indonesia, ada banjak suku, Suku itu artinja sikil, kaki. Ya, suku artinja kaki. Djadi bangsa Indonesia itu banjak kakinja, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Djawa, kaki Sumatera, kaki Dajak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa,

kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia”38.

Pidato ini jelas mengakui “Peranakan Tionghoa” adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Sekalipun peranakan Tionghoa tidak memiliki “wilayah” khusus, tetapi Soekarno sudah mengakui mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Saya akan bahas lebih banyak di akhir tulisan ini.

Di acara yang sama, Siauw memberi sambutannya. Di samping menyatakan kecintaan dan hormat terhadap Soekarno, ia menyatakan: Baperki berjuang menyelesaikan cita-cita Bangsa, yaitu menjadikan “warga negara Indonesia

sedjati”, menjadi “pembela Pantjasila” dan “peserta aktif revolusi Indonesia”.39

Di penutup kata sambutan, Siauw menandaskan bahwa ukuran apakah seseorang itu adalah seorang warganegara Indonesia baik atau jelek, tidak berkaitan dengan seberapa jauh ia melaksanakan asimilasi, akan tetapi bersandar atas apakah ia benar-benar seorang Manipolis sejati atau hanya “pendukung Manipol di mulut”

saja, atau bahkan “Anti-Manipol” dan “Kontra revolusioner”40.

Pada bulan Desember tahun 1963, dalam laporan tahunan Baperki, Siauw banyak mengutip retorika Soekarno yang berusaha membela posisi Baperki. Ia sekali lagi

38

“Amanat P.M. Presiden Sukarno pada Kongres Nasional ke VIII Baperki, 14 Maret 1963”, Siauw Giok Tjhan, ed. Gotong Rojong Nasakom melaksanakan Ampera, Jakarta, 1963, halaman 14.

39 Gotong Rojong Nasakom Melaksanakan Ampera, halaman 76. 40

(22)

22 berterimakasih kepada “Presiden Soekarno, Pemimpin Negara, Pemimpin Besar Revolusi” atas dukungannya terhadap Baperki. Ia menandaskan bahwa Baperki

akan selalu mendukung Soekarno41.

Siauw berulang kali menyatakan bahwa Soekarno menjalankan revolusi untuk mewujudkan sosialisme. Baperki menurutnya adalah “Alat Revolusi”. Baperki akan berpartisipasi dalam segenap kekuatan revolusioner: PKI, Partindo, Perti dan juga kekuatan revolusioner lainnya untuk menyelesaikan tugas revolusi sosialisme. Siauw menyatakan pula bahwa sebelum masyarakat sosialisme terwujudkan tidak perlu “asimilasi”. Keberadaan suku Tionghoa masih diperlukan dan tetap harus ikut aktif

dalam “revolusi sosialisme” Indonesia42.

Pada tahun 1964, Siauw tetap mengibarkan tinggi-tinggi panji “Revolusi” Soekarno. Sebenarnya ia sudah mengibarkan panji Soekarno sejak tahun 1957. Akan tetapi karena perkembangan politik Indonesia yang makin ekstrim ke kiri, ia semakin tampak bersandar pada Soekarno. Siauw juga terang-terangan bersependapat dengan PKI dan menggunakan formulasi Nasion dari Lenin. Contoh kecenderungan

ini bisa dilihat dari wawancara Siauw dengan harian Zhong Cheng Bao (Warta

Bhakti edisi Tionghoa) yang saya kutip di sini43 :

Harian Zhong Cheng Bao tanya: Beberapa waktu yang lalu, LPKB di depan pertemuan Persatuan Wartawan mengajukan pertanyaan sehubungan dengan “asimilasi” dan “Integrasi”. Bagaimanakah pandangan Anda dengan pertanyaan ini? Bagaimana pula pandangan Anda mengenai masalah perkembangan penyelesaian hak kewarganegaraan?

Siauw menjawab: Saya sepenuhnya setuju dengan apa yang dinyatakan Njoto, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat, di pertemuan itu. Kita harus menggunakan dialektika revolusioner dalam memahami pidato Presiden Soekarno 15 Juli 1963 yang menggunakan istilah “asimilasi”. Agar lebih mengerti masalah, ada baiknya kita memperhatikan apa yang dikatakan Njoto. Pada saat ia mendiskusikan masalah “asimilasi” dan “Integrasi” dengan Presiden Soekarno, Presiden Soekarno mengatakan: Ia tidak melihat adanya perbedaan antara kedua istilah ini. Ia berpendapat, yang lebih penting adalah, pada saat kita membangun persatuan bangsa, kita harus mengajak dan bertolak dari kesederajatan dan keadilan seluruh

41 Maju Terus, Pantang Mundur” (Jakarta, 1963), dikutip Leo Suryadinata, ed. Pemikiran politik etnis Tionghoa

Indonesia 1900-2002. (Jakarta, LP3ES, 2005), pp.174-191. 42 Ibid.

43 “Ketua Baperki, Siauw Giok Tjhan menyerukan warga Tionghoa Indonesia ikut serta dalam perjuangan Revolusi Indonesia, …”, harian Zhong Cheng Bao, 16 Agustus 1964. Aslinya dalam bahasa Tionghoa.

(23)

23 suku yang ada, termasuk suku Tionghoa.

Kemudian, kita harus memperhatikan juga kata Lenin berdasarkan pengalaman perkembangan masyarakat, bahwa setelah revolusi dunia berakhir, setelah seluruh dunia memasuki masyarakat tidak berkelas, asimilasi akan terjadi secara alamiah di antara suku-suku yang ada.44 Tetapi, kalau membicarakan “asimilasi” sebelum

revolusi dunia selesai, tidak hanya membuktikan penganjuran asimilasi adalah tidak bijaksana, tapi juga membuktikan “mereka adalah intelektual anarkis”. Penganjur asimilasi ini disebut “intelektual feodal”. Sebenarnya saja, asimilasi adalah sebuah proses sejarah yang tidak seharusnya dipermasalahkan, selama berlangsung secara wajar/alamiah dan akan berhasil dengan sehat. Tetapi, kalau dilangsungkan dengan tidak wajar dan mengandung paksaan, akan terjadi hasil yang jelek.45

Sekarang ini ada orang “menjual koyo”, seringkali menggunakan -- atau lebih tepat dikatakan menyalah gunakan -- kenyataan di dalam masyarakat masih ada diskriminiasi rasial dan kekerasan rasis, sebagai dalih mempropagandakan obat mujarab yang dinamakan -- “asimilasi total” – Propaganda demikian ini, jelas mempunyai tujuan tertentu: mendorong warga keturunan asing, khususnya Tionghoa untuk “ganti nama”, “kawin campur”, lalu di bidang perdagangan mendorong apa yang dinamakan “politik asli”, “melaksanakan joint venture”. Dengan demikian di dalam masyarakat keturunan Tionghoa timbul sebuah hayalan bahwa dengan cara asimilasi ini, mereka dalam kehidupan bisa mendapatkan perlakuan adil, tanpa perjuangan mewujudkan revolusi sosialisme, memperoleh pemecahan. Rupanya mereka yang melakukan propaganda “asimilasi total” ini ingin mengalihkan perhatian Tionghoa dari revolusi. Sebenarnya, sebagai warga negara Indonesia yang menerima “Pancasila”, konsekwen mendukung perjuangan politik “Manipol”, tugas kita justru harus menyadarkan Tionghoa untuk membangkitkan kesadaran dan keberanian untuk menjadi peserta revolusi, dengan aktif mewujudkan masyarakat sosialisme yang tidak mengenal penindasan manusia atas manusia.

Daripada membuang waktu, energi dan dana untuk “ganti nama”, “kawin campur” dan mempropagandakan “faedah” kebijakan “politik asli” di bidang perdagangan melakukan “joint venture” dengan pribumi, akan jauh lebih baik memberi

44 Masalah Integrasi Bangsa, Stalin memberikan penjelasan rinci dalam tulisan Minzu wenti yu Lienin (Masalah Bangsa dan Leninisme), lihat Minzu da cidian (Kamus Besar Bangsa), halaman 82.

45 Lenin dalam menjelaskan 2 pengertian “Asimilasi Bangsa”. Yang satu asimilasi secara alamiah dan yang lain asimilasi secara paksa.

(24)

24 pengertian, bahwa upaya membasmi rasisme tidak terpisahkan dari perjuangan melaksanakan tujuan revolusi 17 Agustus 1945.

Kalau sebelum tahun 1959, Siauw dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya, tidak dengan jelas menggunakan sebutan perjuangan kelas, tapi pada tahun 1964 dalam wawancara tertulis, tanpa tedeng aling-aling menyatakan pandangan Marxisme-Leninisme.

Pada saat membicarakan hak warganegara, ia mengatakan: “ketidakadilan hak warganegara yang terjadi sekarang ini disebabkan karena adanya kelas dan penindasan kelas. Hanya setelah membasmi kelas, hak warganegara bisa mendapatkan pemecahan dan mendapatkan perlakuan adil yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemecahan masalah hak warganegara tidak bisa dipisahkan dari perjuangan menyelesaikan tujuan revolusi sosialisme. Golongan keturunan asing, khususnya keturunan Tionghoa, harus ikut dalam barisan revolusioner Rakyat

Indonesia, bersama-sama melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera)”46.

Tidak beda dengan sebelumnya, Siauw menegaskan keturunan Tionghoa harus terlibat dalam perjuangan revolusi Indonesia, secepatnya mewujudkan masyarakat sosialisme. Sangat jelas, Siauw menghendaki keturunan Tionghoa “berintegrasi” ke dalam perjuangan Revolusi Indonesia.

Suku Peranakan Tionghoa atau suku Tionghoa?

Sekalipun Siauw aktif mendukung Soekarno dan berterimakasih pada Soekarno atas dukungannya terhadap Baperki dan keturunan Tionghoa, tetapi, dalam masalah “peranakan Tionghoa” Indonesia, di antara mereka berdua rupanya terdapat perbedaan.

Di atas sudah dikemukakan bahwa pada bulan Maret 1963 di depan pembukaan Kongres ke-8 Baperki, Soekarno mengajukan pengertian “Suku Peranakan Tionghoa”. Soekarno mengerti, di tengah masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara “Peranakan Tionghoa” dan “Tionghoa Totok”. Pada saat Soekarno menyebut Tionghoa menjadi salah satu suku di tengah suku-suku yang ada di Indonesia, ia secara khusus menekankan “Peranakan Tionghoa”, bukan seluruh Tionghoa. Sekalipun ia tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksudkan “peranakan Tionghoa”.

46

(25)

25 Tetapi, Siauw sendiri juga tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian ini. Ini adalah satu pertanyaan yang menarik. Pada saat Soekarno sudah bicara tentang suku Indonesia, Siauw justru masih membicarakan masalah Warganegara Indonesia. Disini bisa ditarik 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, seandainya Siauw menerima konsep “Suku peranakan Tionghoa”, maka kelompok “Tionghoa totok” di Indonesia berada di luar “suku” tersebut. Mungkin Siauw beranggapan, semua Tionghoa yang sudah berkewarganegaraan Indonesia, tidak peduli Peranakan Tionghoa atau Tionghoa Totok, semua termasuk dalam suku Tionghoa di Indonesia ini, oleh karena itu, ia tidak menanggapi gagasan tersebut dan tidak lebih lanjut menjelaskan untuk menghindari perbedaan dengan Soekarno.

Kemungkinan kedua, ini ada hubungan dengan kemungkinan pertama. Siauw saat memperbincangkan masalah suku, terkadang menggunakan sebutan peranakan Tionghoa, di lain kesempatan menghilangkan kata peranakan. Dengan demikian, Siauw mencampuradukkan “Suku Peranakan Tionghoa” dan “Suku Tionghoa”, se-akan-akan kedua itu sama. Ini untuk menghindarkan perbedaan dengan gagasan Soekarno dan tidak mempersulit masalah. Namun, saya masih belum memperoleh bukti tertulis bahwa diantara 1963 dan 1965, Siauw menggunakan istilah “Suku Peranakan Tionghoa”.

Pada tahun 1950-1960-an dalam komunitas Tionghoa terdapat perbedaan jelas antara golongan Tionghoa Indonesia, antara peranakan Tionghoa dan Tionghoa totok. Peranakan Tionghoa lahir di Indonesia dan bahasa di rumah yang digunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal. Tionghoa totok lahir di Tiongkok dan bahasa di rumah adalah dialek Tiongkok (bahasa asal Kampung di Tiongkok) atau Mandarin. Keturunan pertama mereka, seringkali masih hidup dalam lingkungan Tionghoa Totok, maka masih besar dipengaruhi kebudayaan orang-tua mereka dan masih fasih dialek Tiongkok atau Mandarin.

Kedua golongan Tionghoa ini eksis dalam waktu bersamaan. Tetapi, Baperki tidak hanya mendapatkan dukungan dari peranakan Tionghoa, tapi juga dari Tionghoa

Totok, khususnya yang mendukung Beijing juga sangat mendukung Baperki.47.

Pada tahun 1981 Siauw menerbitkan buku biografi. Ada bab yang berjudul

“Minoritas Peranakan Tionghoa”48. Di situ ia tekankan: “Masyarakat Indonesia

adalah masyarakat pluralistis. Di dalamnya terdapat banyak macam suku. Ada

47 Charles Coppel, “Siauw Giok Tjhan”, in Leo Suryadinata, ed. Southeast Asian Personalities of Chinese Descent, pp.970-973, terutama halaman 972.

48

(26)

26 besar, ada kecil dalam jumlah. Di sampingnya terdapat banyak macam keturunan asing, yang karena turun-temurun menetap di Indonesia berkembang menjadi

suku-suku baru”49 Tetapi kalau saya tidak salah, di buku biografi ini, meskipun Siauw

menyebut pidato Soekarno tahun 1963, namun ia tidak membahas konsep “peranakan Tionghoa” menjadi suku di Indonesia yang dibicarakan Sukarno. Dalam biografi tersebut, memang benar Siauw sering menggunakan istilah “peranakan Tionghoa”, tetapi istilah tersebut tidak digunakannya pada tahun 1950-1960an. Sebagaimana telah saya jelaskan, ia hanya bicara tentang “keturunan Tionghoa”. Setelah Soeharto berkuasa 32 tahun, tidak ada imigran suku Tionghoa baru, 3 pilar penyanggah kebudayaan Tionghoa (Ormas Tionghoa, Sekolah Tionghoa dan Media Bahasa Tionghoa) semua dilarang. Kita bisa mengatakan, bahwa mayoritas Tionghoa di Indonesia kini adalah peranakan Tionghoa. Berdasarkan gagasan Soekarno, mereka semua sudah berubah menjadi suku di Indonesia.

Kesimpulan:

Mengenang kembali pandangan Siauw Giok Tjhan dan Baperki mengenai kedudukan Tionghoa dalam Nasion/Bangsa Indonesia, saya memperoleh kesimpulan sebagai berikut:

Siauw tidak membedakan Bangsa/Nasion dan warganegara. Titik berat penyelesaian diletakkan pada hak warganegara, memberikan sumbangsih dalam memperjuangkan hak warganegara untuk peranakan Tionghoa Indonesia. Penyelesaian Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT atas keuletan Siauw membatasi jumlah Tionghoa yang harus melakukan pemilihan kewarganegaraan Indonesia. Hanya mereka yang dianggap memiliki kewarganegaraan ganda harus melalui proses memilih kewarganegaraan Indonesia. Ini bisa dikatakan sebagai keberhasilan Tionghoa di Indonesia.

Di samping itu, Siauw dan Baperki berhasil membatasi dampak rasisme dengan menyerang kelompok yang mendukung rasisme dan mencegah kelompok ini bertindak sewenang-wenang. Karena tema saya adalah hubungan Siauw dengan Tionghoa dan bangsa Indonesia, terutama pandangannya tentang kedudukan Tionghoa dalam bangsa Indonesia, saya tidak akan membahas sumbangsihnya yang sangat besar dalam bidang pendidikan untuk masyarakat Tionghoa di Indonesia. Saya yakin ada tulisan lain yang membahas prestasi Siauw Giok Tjhan dalam bidang pendidikan.

49

(27)

27 Oleh karena Siauw tidak membedakan konsep warganegara dan bangsa, maka sejak awal tidak memperbincangkan masalah bangsa Indonesia. Baru setelah golongan yang menganut paham asimilasi muncul menyerang Baperki, Siauw baru mulai berbicara mengenai masalah Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia. Dan jelas ia dipengaruhi Marx dan Stalin. Setelah masyarakat tidak berkelas terwujud, asimilasi bisa terlaksana. Contoh yang ditonjolkan Siauw adalah masyarakat sosialisme Soviet dan Tiongkok, yang ia gambarkan sebagai masyarakat yang melaksanakan kebijakan yang ideal untuk penyelesaian masalah minoritas, karena di sana tidak ada lagi masalah golongan dan suku lagi. Sebenarnya, masalah bangsa di Soviet juga tidak mendapatkan pemecahan baik, Soviet terpecah-belah sebagai akibat adanya masalah etnis. Masalah etnis di Tiongkok juga tetap terjadi. Siauw ketika itu tidak berhasil memprediksikan ini. Situasi politik ketika itu sangat mempengaruhi Siauw. Setelah tahun 1959 kekuatan kiri Indonesia membusungkan dada. Hanya partai-partai politik kiri dan Presiden Soekarno yang bisa menerima Tionghoa sebagai kelompok tersendiri. Siauw dan Baaperki mengikuti jalan Soekarno, dengan sekuat tenaga menganjurkan sosialisme ala Indonesia. Seluruh golongan di Indonesia tampak mendukung revolusi sosialis. Siauw mungkin salah menilai kekuatan revolusi ketika itu, oleh karenanya menghendaki peranakan Tionghoa mendukung gerakan revolusioner Indonesia. Sebenarnya, Siauw sendiri juga berpendapat bahwa penyelesaian masalah minoritas hanya bisa dicapai dengan terwujudnya masyarakat sosialisme. Oleh karena itu ia mendorong Tionghoa untuk berjuang mewujudkan masyarakat sosialisme.

Siauw dan Baperki menyerukan Tionghoa ber “Integrasi” dalam gerakan revolusioner Indonesia. Kalau saja gerakan revolusioner berhasil mewujudkan sosialisme, menurutnya, pemecahan masalah Tionghoa juga tercapai. Tetapi, tanpa diduga, situasi berkembang ke arah kebalikan. Kekuatan anti-revolusi justru yang menang.

Dalam sejarah Indonesia tahun 1965 bagaikan batas air (watershed) atau garis pemisah. Apa yang dikatakan “G30S” telah membasmi komunis Indonesia, menggulingkan Soekarno dan menampilkan kekuasaan militer di bawah pimpinan Soeharto yang bertahan selama lebih 32 tahun. Begitu Soeharto naik ke atas panggung, Baperki dibubarkan. Siauw sendiri ditangkap. Soekarno berada dalam tahanan rumah. kebijakan “peranakan Tionghoa” sebagai bagian bangsa Indonesia juga dicampakkan.

(28)

28 Soeharto melaksanakan kebijakan asimilasi-total, dengan memilah warga Indonesia menjadi “Pribumi” dan “Non-Pribumi”. Warganegara Indonesia Tionghoa, tidak peduli “peranakan Tionghoa” atau “Tionghoa Totok” masuk dalam kategori “Non-Pribumi” yang harus segera berasimilasi dengan masyarakat pribumi Indonesia. Peraturan mengganti nama diumumkan tahun 1966. Walaupun ini tidak berbentuk paksaan akan tetapi merupakan tekanan berat untuk peranakan Tionghoa Indonesia, sehingga sebagian besar Tionghoa mengganti namanya. Kerusuhan rasial Mei 1998, yang menyerang Tionghoa, membuktikan bahwa rasisme masih ada di Indonesia. Tetapi, lengsernya Soeharto mengakhiri kekuasaan militer yang anti-Tionghoa dan memulai era demokratis. Tionghoa bisa kembali memulai kehidupan normal. Tionghoa kembali ikut bergerak di bidang politik. Pada bulan Oktober 2003, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia di Pakan Baru Sumatera Utara, melangsungkan Kongres Nasional ke-5. Mereka mengumumkan Tionghoa sebagai “Suku Tionghoa” adalah bagian dari bangsa

Indonesia50.

Apakah Tionghoa sudah diterima sebagai bangsa Indonesia? Apakah perjuangan Siauw Giok Tjhan dan Baperki melawan rasisme sudah selesai? Pelajaran apakah yang bisa diperoleh dari perjalanan sejarah yang dilalui Siauw dan Baperki? Ini adalah sebuah masalah penting yang patut kita renungkan bersama.

 Penulis saat ini menjabat Peneliti Senior Lembaga Studi Asia Tenggara di Singapura; Profesor di Sekolah Internasional S Rajaratnam, Universitas Teknologi Nanyang.

 Makalah ini ditulis dalam bahasa Tionghoa, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Chan Chung Tak dengan bantuan penulisnya.

50

Referensi

Dokumen terkait

dengan diperbolehkannya terdakwa mengakui semua hal yang didakwakan kepadanya dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang diancam tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun,

Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kedudukan pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam rangka mempermudah terbongkarnya suatu tindak

kurangnya alat bukti dan dilakukannya pemisahan ( splitsing ) terhadap berkas perkara, sedangkan, pihak yang mendukung atas penggunaan saksi mahkota tersebut dalam proses

Halaman isi makalah terdiri atas (a) judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, (b) abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimum 200 kata yang tersusun dalam

Dilihat dari keseluruhan bentuk-bentuk aksara yang  digunakan  dalam  penulisan  Prasasti  Raja Soritaon  ini  tidak  jauh  berbeda  dengan  bentuk- bentuk  aksara 

Hasil klasifikasi citra landsat 8 untuk mengetahui lahan yang bervegetasi dan tidak bervegetasi dapat dilihat pada tabel 2, sedangkan untuk sebaran vegetasi