• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik Indonesia"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

9

7

8

6

0

2

9

8

7

7

2

5

0

(2)

Politik indonesia

Haniah Hanaie

Suryani

(3)

Politik indonesia

Oleh: Haniah Hanafie Suryani

Diterbitkan oleh: Penerbit Penerbit Press. ... ... ...

Cetakan Pertama: Oktober 2011

ISBN

978-602-Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš

™

¨

KATA PENGANTAR

Bahan penulisan buku ini sebagian besar diambil dari bahan perkuliahan yang diberikan pada mahasiswa setiap semester di FISIP-UIN Jakarta.

Judul Buku Politik Indonesia adalah buku pertama kedua penulis yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LEMLIT) UIN Jakarta. Penulis mencoba menyajikan buku ini ke hadapan pembaca, dengan harapan dapat rnernberikan wawasan tentang politik di Indonesia. Di samping itu, khususnya bagi para mahasiswa yang mengambil matakuliah Politik Indonesia, semoga buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu bahan acuan dalam memahami mata kuliah Politik Indonesia yang diajarkan di FISIP-UMJ.

Harapan penulis. semoga buku ini dapat memotivasi penulis dan teman-teman di kampus agar dapat meningkatkan minat pada penulisan karya ilmiah dalam baik dalam bentuk buku, diktat maupun penelitian.

Sebagai sebuah karya, sudah pasti buku ini jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaan lebih lanjut.

Keberhasilan pembuatan buku daras ini tidak semata hasil kerja penulis berdua, tanpa bantuan Dekan FISIP-UIN Jakarta yang memberikan rekomendasi dan Lemlit-UIN Jakarta, mustahil dapat terwujud. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta Prof Dr. Bachtiar Efendi yang telah memberikan rekomendasi guna melengkapi proposal yang kami

(4)

¨“

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

ajukan dan Para Pembantu Dekan yang telah mcmberikan kesempatan kepada penulis berdua untuk membuat buku daras ini serta kepada LEMLIT-UIN Jakarta, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis berdua dengan diterimanya proposal kami, sehingga dapat mendanai penulisan buku daras ini. Selain itu, kepada mereka yang secara langsung dan tidak telah membantu kelancaran penulisan buku ini, penulis ucapkan terima kasih, semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua, amin.

Jakarta, Juli 2011 Penulis,

Haniah dan Suryani

i

Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš

™

¨““

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II AWAL MENUJU KEMERDEKAAN ... 7

A. Proses Menuju Indonesia Merdeka ... 7

B. Pembentukkan Panitia Kecil ... 8

C. Perjuangan Umat Islam ... 10

Rangkuman ... 12

BAB III DEMOKRASI PARLEMENTER ... 13

A. Munculnya Sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer .. 14

B. Kabinet–Kabinet Masa Demokrasi Parlementer ... 19

C. Berakhirnya Demokrasi Parlementer ... 44

Rangkuman ... 46

BAB IV DEMOKRASI TERPIMPIN ... 47

A. Munculnya Gagasan Demokrasi Terpimpin ... 48

B. Pembubaran Dewan Konstituante ... 51

C. Beberapa Kabinet diMasa Demokrasi Terpimpin ... 55

D. Ketidakikutsertaan Masyumi dalam Pemerintahan Soekarno ... 60

E. Keterlibatan NU, PSII, dan Perti dalam Pemerintahan Soekarno ... 64

Rangkuman ... 70

(5)

¨“““

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

BAB V

DEMOKRASI PANCASILA ... 71

A. Penumpasan G 30 S/PKI ... 50

B. Jalur ABG dalam Pemerintahan Soeharto ... 76

C. Kebijakan Orde Baru Terhadap Partai-Partai Politik ... 85

D. Hubungan Agama dengan Negara ... 87

E. Sistem Pemilihan Umum dan Kepartaian Masa Orde Baru .. 103

Rangkuman ... 114

BAB VI ERA REFORMASI ... 117

A. Jatuhnya Orde Baru, Munculnya Reformasi ... 117

B. Munculnya Partai – Partai Politik ... 120

C. Pemilihan Umum 1999 dan Sistem Kepartaian ... 122

D. Poros Tengah ... 128

E. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ... 137

F. Bikameralisme ... 141

G. Militer di Era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid .. 145

Rangkuman ... 151

BAB VII ERA REFORMASI ... 153

A. Pemilihan Umum 2004 dan Sistem Kepartaian ... 153

B. Pemilihan Umum 2009 dan Sistem Kepartaian ... 161

C. Oposisi dan Koalisi ... 170

D. Sekilas Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 178

E. Sekilas Pemerintahan SBY – JK ... 181

Rangkuman ... 185

BAB VIII PENUTUP ... 187

DAFTAR PUSTAKA ... 191

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... 195

Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš

™

“¬

DAFTAR TABEL

1. Tabel 2.1 : Susunan Panitia Kecil ... 9

2. Tabel 3.1 : Nama-nama Kabinet Setelah Kabinet Amir Syarifuddin II ... 28

3. Tabel 4.1 : Empat Besar Partai Besar Hasil Pemilu Dewan Konstituante ... 52

4. Tabel 4.2 : Susunan Pengurus Dewan Konstituante ... 52

5. Tabel 5.1 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971 ... 106

6. Tabel 5.2 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977 ... 108

7. Tabel 5.3 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1982 ... 109

8. Tabel 5.4 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1987 ... 110

9. Tabel 5.5 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992 ... 111

10. Tabel 5.6 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1997 ... 113

11. Tabel 6.1 : Hasil Pemilihan Umum Tahun 1999 ... 126

12. Tabel 7.1 : Hasil Perolehan Suara dan Perolehan Kursi Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR Tahun 2004 ... 156

13. Tabel 7.2 : Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Pertama ... 159

14. Tabel 7.3 : Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004 Putaran Kedua ... 160

15. Tabel 7.4 : Hasil Perolehan Suara dan Perolehan Kursi Pemilihan Umum Legislatif Anggota DPR Tahun 2009 ... 164

16. Tabel 7.5 : Hasil Perolehan Suara Secara Quick Count Pemilihan Presiden Tahun 2009 ... 168

17. Tabel 7.6 : Hasil Perolehan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 ... 169

(6)

¬

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš

™

BAB I

PENDAHULUAN

Politik Indonesia termasuk salah satu matakuliah wajib dalam kuri-kulum Program Studi Ilmu Politik FISIP-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sampai saat ini masih diberlakukan kepada mahasiswa Program Studi Ilmu Politik.

Sebagai dosen yang mengampu matakuliah Politik Indonesia dengan bobot 3 sks, secara moral berkewajiban memberikan materi-materi dalam perkuliahan matakuliah ini secara baik dan lengkap.

Namun tidak mudah mendapatkan literature sebagai referensi yang lengkap dalam satu buku. Untuk itu, dosen dituntut harus mampu mencari beberapa literature yang berisi materi-materi yang sesuai dengan Satuan Acara Perkuliahan (Sillabus) untuk dicombine sedemikian rupa dan dijadikan acuan dalam pengajaran, sehingga dapat dipahami mahasiswa dengan mudah.

Memiliki materi pegangan yang lengkap dalam sebuah buku, selain akan memudahkan mahasiswa untuk memahami materi-materi tersebut, juga memudahkan bagi dosen dalam pengajaran, karena mahasiswa akan terlibat lebih aktif mendiskusikannya, ketika menerima penjelasan dari dosen di kelas. Dengan demikian, efektifitas belajar akan dicapai.

(7)

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

perpustakaan, karena keterbatasan jumlah atau ketiadaan buku-buku yang diperlukan. Dengan demikian, proses pembelajaran akan sedikit terganggu, ketika dosen memberikan tugas-tugas yang harus segera dikerjakan mahasiswa.

Buku-buku tentang Politik Indonesia dapat ditemui di toko-toko buku, namun tidak semua buku memuat materi-materi yang dibutuhkan dalam Matakuliah Politik Indonesia. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis berdua mencoba menyusun buku ajar yang sesuai dengan syllabus yang telah digariskan oleh Program Studi Ilmu Politik FISIP-UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Buku ini mencoba melihat perjalanan politik Indonesia, baik pada masa sebelum kemerdekaan sampai Era Reformasi, yang terdiri dari delapan bab.

Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang kenapa buku daras ini diperlukan dan ringkasan materi-materi per bab.

Bab II Awal Kemerdekaan yang menjelaskan tentang bagaimana per juangan untuk menuju kemerdekaan. Di sini memperlihatkan perbedaan dalam mewujudkan kemerdekaan antara Islam Nasionalis dan Islam Sekuler. Selain itu, menjelaskan tentang bagaimana perjuangan umat Islam yang menonjol yang dilakukan tokoh-tokon Islam dalam merumuskan Dasar Negara serta pengorbanan mereka dengan merelakan perubahan beberapa kalimat dalam rancangan preambule yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta.

Bab III Demokrasi Parlementer. Demokrasi Parlementer adalah model Demokrasi Barat yang pernah diterapkan di Indonesia sekitar tahun 1950-1959 dan banyak yang mengakui sebagai model yang demokratis, meskipun umur kabinet tidak terlalu lama, karena sering dijatuhkan dengan berbagai mosi yang disampaikan anggota Parlemen. Pada masa ini cabinet berganti-ganti, sehingga program kerja tidak maksimal dilaksanakan. Partai Islam seperti Masyumi juga ikut memainkan perannya dan berhasil menduduki pos-pos penting sebagai Perdana Menteri dan memimpin beberapa Kabinet, seperti Kabinet Natsir, Sukiman dan Burhanuddin Harahab. Di

Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš

™

antara Kabinet tersebut, Kabinet Burhanuddin Harahab dari Partai Mayumi merupakan Kabinet yang dianggap sukses, karena berhasil mengadakan pemilu pertama kali di Indonesia pada tahun 1955 dan pemilihan Dewan Konstituante. Berakhirnya Demokrasi Parlementer ini dengan turunnya Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, karena Demokrasi ini dianggap Soekarno tidak sesuai lagi dengan bangsa Indonesia.

Bab IV Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini Soekarno sangat berkuasa dengan menggadeng PKI dan Militer. Masyumi sebagai Partai Islam terbesar pada waktu itu, tersingkir dari panggung politik, karena perbedaan pemikiran dengan Soekarno dan dianggap terlibat dalam PRRI, sehingga akhirnya Masyumi dibubarkan Tahun 1960. Meskipun Masyumi tidak tampil lagi, Soekarno tetap menggandeng umat Islam dengan mengajak NU, PSII dan Perti ikut dalam gerbongnya-Demokrasi Terpimpin. Meskipun ketiga partai masuk dalam pemerintahan Soekarno, tetapi tidak dominan sebagaimana Partai Islam masa Demokrasi Parlementer.

(8)

politik-ၼ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

selalu dipinggirkan. Hubungan Islam dengan pemerintah dikatakan oleh Abdul Aziz Thaba ada tiga. Pertama hubungan yang bersifat Antagonistik. Resiprokal Kritis dan Akomodatif. Pada hubungan yang bersifat Antagonistik, hubungan Islam dengan pemerintah ditandai dengan saling bermusuhan, sehingga Islam dipinggirkan. Sedangkan yang kedua, hubungan tersebul ditandai dengan saling penjajakan dengan munculnya penerimaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4), Asas Tunggal oleh ormas-ormas yang ada. Dan terakhir ditandai dengan munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Nasional, Peradilan agama, Kasus Monitor, Pendirian Amal Bakti Muslim Pancasila (ABMP), Pengiriman dai-dai ke daerah-daerah, Pendirian Bank Muamalat, sampai dengan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI). Pada akhir bab akan dibahas bagaimana Orde Baru me nyelenggarakan pemilihan umum dan bagaimana pengebirian partisipasi politik masyarakat dilakukan dengan kebijakan fusi partai-partai politik.

Bab VI Era Reformasi. Setelah pemerintahan Orde Baru runtuh dengan lengsernya Soeharto, maka peta kekuatan politik berubah dengan drastis. Semula kekuatan politik berada di tangan Militer, Golkar dan Birokrasi. Namun kini telah berubah kepada kekuatan mahasiswa dan sipil. Perwujudan tampilnya sipil, yaitu dengan lahirnya partai-partai politik yang berjumlah kurang lebih 181 buah, termasuk partai-partai politik Islam. Kesemuanya ini, karena kran demokrasi telah dibuka. Berdirinya banyak partai politik membangkitkan gairah politik banyak pihak yang selama lebih dari lima dasa warsa merasa terkoptasi dan terpiintervensi, sistim multy partai yang mulai diterapkan membuat pemilihan umum 1999 menjadi lebih semarak dan dinamis, ditambah dengan kemunculan kelompok-kelompok elit di DPR MPR pada pemilihan presiden, poros tengah yang muncul sebagai kekuatan kelompok Islam mencoba melakukan loby elite politik demi terpilihnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Fenomena reformasi juga di tandai dengan dilakukannya beberapa kali amandemen UUD 1945 yang berhasil merubah beberapa pasal penting

Š‹ဓŽšŠ’¦—¦Šš

™

dalam batang tubuh UUD 1945, perubahan yang cukup signifikan dan menjadi landasan konstitusi diberlakukannya beberapa undang-undang yang mendukung proses transisi demokratisasi di Indonesia, seperti perubahan struktur lembaga tinggi negara, dimana legislative berubah system menjadi bicameral dari system unicameral, dimana anggota legislatif berisikan dua kelompok (DPR dan DPD) yang diharapkan bisa berposisi secara berimbang dan saling melengkapi. Akan dibahas pula bagaimana mas pemerintahan Abdurrahman Wahid sebagai presiden pertama masa reformasi, terutama beberapa kebijakan Gus Dur yang dianggap controversial yang berhubungan dengan eksistensi militer di Indonesia dan bagaimana upaya Gus Dur melakukan supremasi sipil atas militer seperti yang m,enjadi salah satu agenda dan tuntutan reformasi.

(9)

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

pihak yang menilai, pasangan ini bukanlah pasangan yang cukup serasi dalam memimpin, walaupun sudah dilakukan pembagian tanggungjawab, ketidakserasian diantara mereka kerap dimunculkan dalam bentuk candaan dan guyonan yang pertontonkan ke publik.

Bab VIII adalah Penutup yang berisi kesimpulan sebagai rang kaian dari seluruh bab yang telah ditulis.

Š‹ဓªŠ—Žš¦”¦Ž˜Ž¡Ž–ŠŠš

™

BAB II

AWAL MENUJU KEMERDEKAAN

Pada bab ini akan dibahas tentang bagaimana Bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan melalui BPUUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dan Panitia Kecil dalam perumusan Piagam Jakarta. Selain itu, akan dijelaskan perjuangan yang dilakukan umat Islam (Islam Nasionalis) dan Nasionalis dalam merumuskan piagam tersebut dan consensus dengan umat Islam dalam penghapusan tujuh kata demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

A. Proses Menuju Indonesia Merdeka

Saat memasuki kemerdekaan RI, masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok yang mempunyai strategi yang berbeda dalam mencapai kemerdekaan1.

Pertama, kelompok Nasionalis Oportunis yang menghendaki kemer dekaan melalui Tokyo.

Kedua, kelompok Pemuda Indonesia yang memilih cara berdiri untuk mencapai kemerdekaan dan bila perlu merebutnya dengan kekerasan dari pihak Jepang.

Ketiga, kelompok Nasionalis Muslim dalam Masyumi yang terbagi dua sub kelompok yaitu:1). Golongan Islam yang mem punyai sikap moderat terhadap Jepang dan menganggap Tokyo sebagai tuan

(10)

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

yang memberi kemerdekaan-golongan politisi yang berpendidikan Barat, sedangkan 2). Golongan pemuda Islam non akademis yang menginginkan kemerdekaan atas usaha sendiri.

Dari berbagai kelompok yang ada, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua kelompok dalam masyarakat Indonesia yaitu kelompok Nasionalis, tanpa mengikutsertakan Islam sebagai doktrin perjuangan dankelompok Islam Nasionalis yang mengikutsertakan Islam sebagai doktrin perjuangan. Endang Saifuddin Anshari2 menyebut kedua

kelompok tersebut sebagai Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islami. Kedua kelompok inilah yang berperan memunculkan Piagam Jakarta.

B. Pembentukan Pani a Kecil

Dalam rangka persiapan kemerdekaan, Jepang membentuk suatu badan persiapan kemerdekaan dengan nama BPUUPK (badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang beranggotakan 60 orang3. Dalam sidangnya yang pertama, badan ini bertugas untuk

merumuskan Dasar Negara dan Bentuk Pemerintahan (negara). Setelah sidang pertama, dari keenam puluh orang tersebut, 38 orang anggota melanjutkan pertemuan dengan membentuk “panitia kecil”4 yang terdiri dari sembilan orang antara lain sebagai berikut:

ʹ†ƒ‰ƒ‹ˆ—†‹•Šƒ”‹ǡPiagam Jakarta 22 Juni 1945, (ƒ†—‰ǣ—•–ƒƒǡͳͻͺ͵ȌǡŠǤ

ʹ͸Ǥ ͵Ibid.,ŠǤʹͷǤ

ͶIbid.,ŠǤʹ͸Ǥ

Š‹ဓªŠ—Žš¦”¦Ž˜Ž¡Ž–ŠŠš

™

Tabel: 2.1. Susunan Pani a Kecil

NO NAMA JABATAN

1 Soekarno Ketua

2 Muhammad Ha a Anggota

3 Achmad Soebardjo Anggota

4 Muhammad Yamin Anggota

5 Abdul Kahar Muzakkir Anggota

6 Haji Agus Salim Anggota

7 Abikoesno Tjokrosoejoso Anggota

8 Abdul Wahid Hasjim Anggota

9 A.A Maramis Anggota

Sumber: Endang Saifuddin Anshari

Kesembilan nama-nama tersebut di atas berasal dari kelompok Islam Nasionalis 4 orang, Islam Sekuler 4 orang dan 1 orang Kresten. Dengan demikian ada keseimbangan antara kelompok Islam dan Nasionalis, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Selain itu, sejak awal perjuangan bangsa Indonesia umat Islam telah ikut berjuang bersama-sama dan partai pertama yang terbentuk adalah partai Islam, yaitu Syarikat Islam (SI). Akhirnya dari panitia kecil tersebut diperoleh kesepakatan (modus vivendi) tentang “rancangan preambule”5 yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (The

Jakarta Center)6. Semula perumusan tersebut mengalami kesulitan,

karena antara Kelompok Islam dan Kebangsaan (Nasionalis lslami) bersikukuh memasukkan pandangannya masing-masing, Namun akhirnya Panitia Kecil yang diketuai Soekarno dapat menyetujui sebulat-bulatnya Rancangan Preambule tersebut.

Adapun bunyi asli Rancangan Preambule yang disepakati adalah sebagai berikut7:

“Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala

bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan kemanusiaan dan

peri-ͷIbid.,h. 26. ͸Ibid.,ŠǤʹ͹Ǥ

(11)

ၹၸ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkn rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan

kepada: KeTuhanan, dengan kewajiban mcnjalankan Syari’at Islam

bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan penwakilan serta dengan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluiuh Rakyat Indonesia”.

C. Perjuangan Umat Islam

Ternyata hasil kesepakatan yang telah dicapai dengan bersusah payah tersebut berubah dalam sekejab saja pada tanggal 7 agustus 1945, saat rapat. Perubahan tersebut antara lain menyangkut sebagai berikut8:

Pertama, kata “mukaddimah” diganti “pembukaan”.

Kedua, anak kalimat dalam Piagam Jakarta yang berbunyi: “Berdasarkan

kepada ke-Tuhanan; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya”. diubah menjadi “Berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.

ͺIbid.,ŠǤͶʹǤ

Š‹ဓªŠ—Žš¦”¦Ž˜Ž¡Ž–ŠŠš

™

ၹၹ

Ketiga, pasal 6, ayat I, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama

Islam”, kata-kata “dan beragama Islam”, dicoret.

Keempat, konsekuensi dari perubahan no.2, maka pada pasal 29 ayat 1

berbunyi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan-perubahan tersebut di atas sangat mengecewakan umat Islam, tetapi untuk menjaga persatuan, akhirnya umat Islam menyetujuinya. Di sini terlihat perjuangan umat Islam yang telah bersusah payah memeras otak dan tenaga untuk merumuskan Piagam Jakarta, ternyata dalam jangka waktu “dua jam” dapat dirubah. Hal

ini menjadi “pertanyaan sejarah”9 dan menurut Isa Anshary, hal itu

karena “jiwa toleransi umat Islam”10. Mantan Menteri Agama RI H.

Alamsjah ratu Perwiranegara11 mengatakan bahwa penghapusan tujuh

kata tersebut merupakan hadiah umat Islam dan pengorbanan terbesar bagi kemerdekaan RI dan hidupnya Pancasila.

Dengan jiwa besarnya, umat Islam bersedia menerima perubahan tersebut. Hal ini menandakan bahwa dalam perjuangan negara Republik Indonesia, peran umat Islam tidak dapat diabaikan begitu saja, karena tokoh-tokoh Islam pada waktu itu benar-benar terlibat menyumbangkan pemikirannya agar dapat membentuk suatu negara yang merdeka, berdaulat dan bersatu.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, me nurut Deliar Noer12, rakyat Indonesia tidak lagi pasif dan diam seperti “tempo

doeloe”. Mereka tampak aktif, pasti dan tegas dalam bersikap dan siap memegang nasib di masa depan di tangan sendiri.

ͻ…ƒ’ƒ”ƒ™‘–‘ƒ‰—•ƒ•‹–‘†ƒŽƒ†ƒ‰ƒ‹ˆ—††‹•Šƒ”‹ǡIbid.,ŠǤͶͶǤ

ͳͲIbid.ŠǤͶͶǤ

ͳͳIbid.ŠǤͶͻǤ

ͳʹ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam di Pentas Nasional,ȋƒƒ”–ƒǣ—•–ƒƒ–ƒƒ”ƒϐ‹–‹ǡͳͻͺ͹Ȍǡ

(12)

ၹၺ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

RANGKUMAN

Meskipun terjadi perbedaan cara dalam menuju kemerdekaan antara kelompok Nasionalis dan Islami, tetapi alhamdulillah dapat diselesaikan dengan baik dan kemerdekaan Republik Indonesia dapat diraih.

Pada saat perumusan Piagam Jakarta, umat Islam yang diwakili K.H. Hasyim Asy’ari, Agus Salim, Kahar Muzakkir dan Abikusno dilibatkan dalam Panitia Kecil (Panitia Sembilan) dan tokoh Islam ini mencoba memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam pembuatan Preambule Undang-Undang Dasar.

Namun pada akhir menjelang proklamasi kemerdekaan, isi Preambule tersebut diubah sesuai dengan permintaan “wakil Indonesia Timur”. Akhirnya ada beberapa kalimat dalam Preambule tersebut dirubah dan umat Islam pada waktu itu menyetujui, tanpa rasa benci dan dendam. Pengorbanan umat Islam tersebut demi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di masa depan, meskipun sebelumnya, perumusan tersebut telah disepakati oleh wakil non Muslim.

Sikap toleransi semacam ini seyogyanya melekat pada diri bangsa Indonesia, sehingga Nasionalisme tetap tejaga untuk mem bangun bangsa Indonesia ke depan. Kenyataan saat ini, jauh panggang dari api, sikap tersebut mulai luntur. Egoisme individu dan kelompok mulai tampak manakala terjadi perebutan kekuasaan yang telah didesentralisasikan dalam wujud otonomi daerah. Suri tauladan dari

the founding fathers kini bagaikan angin lalu.

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၹၻ

BAB III

DEMOKRASI PARLEMENTER

Sejak dikeluarkannya Maklumat No. X, Tanggal 16 Oktober 19451

tentang pendirian partai-partai politik, maka demokrasi Indonesia diramaikan dengan munculnya partai-partai politik seperti PNI, PSI, Masyumi, Pesindo, PBI dan lain-lain. Dengan demikian, menurut Bibit Suprapto2, sistem pemerintahan akan mengarah ke Sistem

Parlementarisme.

Untuk itu, pada bab ini akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan Sistem Parlementer dan Kemunculan Kabinet-kabinet yang dimulai dengan kemunculan Kabinet Syahrir I pada tahun 1945 sampai dengan Kabinet Ali-Rum-Idham (Ali II) pada tahun 1957.

Dalam bab ini akan terlihat bagaimana politik umat Islam yang diwakili Partai Masyumi (bukan Partai Masyumi bentukan pemerintah penjajah Jepang) dapat memimpin beberapa kabinet, antara lain Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman dan Kabinet Burhanuddin Harahab dan yang terakhir menjadi pendukung utama pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II sebagai hasil dari Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 1955.

Pembentukan kabinet pada masa Demokrasi Parlementer meng-alami pergantian terus menerus, yang diakibatkan mosi tidak percaya dari para anggota parlemen. Pergantian atau perubahan kabinet yang

ͳ‹„‹–—”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia,ȋƒƒ”–ƒǣŠƒŽ‹ƒ

(13)

ၹၼ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

berkali-kali, menandakan bahwa demokratisasi berjalan dengan baik, meskipun dampaknya kepada kemandegan program kerja yang pada akhirnya prioritas utama untuk meningkatkan kesejahteraan tertunda.

A. Munculnya Sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer

A.1. Penger an Sistem Pemerintahan Parlementer

Sebelum membahas kemunculan system Pemerintahan Parlementer di Indonesia, ada baiknya diuraikan sedikit tentang pengertian Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat dua sistem pemerintahan yaitu Sistem Pemerintahan Parlementer dan Sistem Pemerintahan Presidensial.

Sistem Parlementer3 adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerin tahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya.

Perdana Menteri memilih menteri-menterinya dalam pemerin-tahan, membentuk suatu cabinet4, sehingga kabinetnya disebut

“Kabinet Parlementer”5 dengan cirri-ciri sebagai berikut:

1. Anggota parlemen dipilih langsung.

2. Anggota dan pemimpin cabinet (Perdana Menteri) dipilih oleh parlemen.

3. Kabinet bisa bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas parlemen.

4. Apabila kebijakannya tidak mendapat dukungan par lemen, Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen dan

͵Dz‹•–‡ƒ”Ž‡‡–‡”dzǤ”–‹‡Ž†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒʹ͵—‹ʹͲͳͳ†ƒ”‹Š––’ǣȀȀ‹†Ǥ™‹‹’‡†‹ƒǤ‘”‰Ȁ ™‹‹Ȁ‹•–‡Ǧƒ”Ž‡‡–‡”Ǥ

Ͷƒ”Ž–‘Ž›‡”‘†‡‡ǡ†ǤǡPengantar Ilmu Politik, ȋƒƒ”–ƒǣǤƒŒƒ™ƒŽ‹ǡͳͻͺͺȌǡŠǤ

͹ͺǤ

ͷǤƒŽƒ—”„ƒ–‹ǡMemahami Ilmu Politik, ȋƒƒ”–ƒǣ”ƒ‡†‹ƒ‹†‹ƒƒ”ƒƒǡͳͻͻʹȌǡ

ŠǤͳ͹ͲǤ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၹၽ

menetapkan waktu untuk menyelenggarakan pemilu dalam rangka memben tuk parlemen baru.

5. Fungsi kepala pemerintahan dan kepala Negara dijabat oleh orang yang berbeda. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini.

Apa yang dikatakan oleh A. Ramlan Surbakti pada nomor 4, agak berbeda dengan yang disampaikan Carlton Clymer Rodee,6

bahwa apabila pemerintah menjalankan suatu program yang tidak mendapat dukungan dari mayoritas anggota dewan perwakilan (parlemen), pemerintah dapat dicopot dari jabatannya dan digantikan dengan pemerintahan baru yang mempunyai komitmen pada program yang berbeda. Hal terlihat di Negara Perancis selama pemerintahan Republik Keempat (1946 sampai 1958), peristiwa ini terjadi rata-rata setiap enam bulan. Di Italia sejak Perang Dunia Kedua rata-rata terjadi setiap tahun. Peristiwa di Perancis dan Italia juga terjadi di Negara Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer, yaitu dengan jatuh bangun kabinet-kabinet yang ada, sehingga tidak berumur panjang dan program kerja (pembangunan) tidak terlaksana secara efektif.

Meskipun demikian, Sistem Parlemen dipuji, dibanding dengan Sistem Presidensial, karena kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis.

Ciri-ciri pemerintahan parlemen yaitu:

• Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.

(14)

ၹၾ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

• Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi berdasarkan undang-undang. • Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa)

untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.

• Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada ke kuasaan legislatif.

• Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.

• Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.

Sistem Presidensial atau disebut juga dengan Sistem Kong-resional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana

kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif7.

Menurut Rod Hague8, pemerintahan presidensial terdiri dari 3

unsur yaitu:

• Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. • Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan

yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.

• Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.

Dengan demikian, Sistem Presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan, tetapi masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden, jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Model ini dianut oleh Amerika

͹Dz‹•–‡”‡•‹†‡•‹ƒŽdzǤ”–‹‡Ž†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒʹ͵—‹ʹͲͳͳ†ƒ”‹Š––’ǣȀȀ‹†Ǥ™‹‹’‡†‹ƒǤ‘”‰Ȁ ™‹‹Ȁ‹•–‡Ǧ”‡•‹†‡•‹ƒŽ

ͺIbid.

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၹၿ

Serikat, Filipina, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Amerika Latin dan Amerika Tengah.

Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu:

• Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerin tahan sekaligus kepala negara.

• Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan rakyat.

• Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen dan non-departemen.

• Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada ke kuasaan eksekutif bukan kepada kekuasaan legislatif.

• Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.

• Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh le gislatif.

A.2. Munculnya system Pemerintahan Parlementer

Munculnya Sistem Pemerintahan Parlementer, karena Kabinet Pertama Presidensial (Presidensil) yang berkuasa pada Tanggal 2 September 1945 dan berakhir pada Tanggal 14 Nopember 1945. Kejatuhan kabinet ini disebabkan awal mulanya dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X/1945 Tanggal 16 Oktober 1945 dan diikuti Maklumat Pemerintah Tanggal 3 Nopember 1945 yang berisi tentang seruan untuk mendirikan partai-partai politik di Indonesia9.

Seruan diikuti dengan pendirian partai-partai politik sebanyak 10 partai, antara lain10:

ͻ—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤʹͶǤ

(15)

ၹႀ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

1. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada Tanggal 17 Nopember 1945, yang diketuai oleh Sukiman Wiryosanjoyo.

2. PKI (Partai Komunis Indonesia) pada Tanggal 7 Nopember 1945, yang diketuai oleh Mr. Muh. Yusuf.

3. PBI (Partai Buruh Indonesia) pada Tanggal 8 Nopember 1945, yang diketuai oleh Nyono.

4. PRJ (Partai Rakyat Jelata) pada Tanggal 8 Nopember 1945, yang diketuai oleh Sutan Dewanis.

5. PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) pada Tanggal 10 Nopember 1945, yang diketuai oleh Ds. Probowinoto. 6. PSI (Partai Sosialis Indonesia) pada Tanggal 10 Nopember

1945, yang diketuai oleh M. Amir Syarifudin.

7. PRS (Partai Rakyat Sosialis) pada Tanggal 20 Nopember 1945, yang diketuai oleh Sutan Syahrir. Partai ini kelak bergabung dengan PSI dan diketuai oleh Sutan Syahrir pada Desember 1945.

8. PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia) pada Tanggal 8 Desember 1945, yang diketuai oleh I.J. Kasimo.

9. PERMEI (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia) pada Tanggal 17 Desember 1945, yang diketuai oleh J.B. Assa. 10. PNI (Partai Nasional Indonesia) pada Tanggal 29 Januari

1946, yang diketuai oleh Joyosukarto sebagai gabungan dengan PRI (Partai Rakyat Indonesia), GRI (Gerakan Republik Indonesia) dan SRI (Serikat Rakyat Indonesia) yang masing-masing berdiri pada Nopember dan Desember 1945.

Keberlanjutan dari Maklumat untuk pendirian partai dan pendirian partai-partai politik, muncul pengumuman dari Badan Pekerja KNIP (BPKNIP) tentang perubahan pertanggungjawaban Menteri kepada Parlemen, dalam hal ini KNIP. Usulan BPKNIP ini disetujui Presiden. Dengan demikian, maka otomatis Kabinet Indonesia pada waktu itu berubah menjadi Kabinet Parlementer,

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၹႁ

sehingga pada tanggal 14 Nopember 1945 berakhirlah Kabinet Presidensial Pertama dan awal bagi Kabinet Parlementer atau dengan kata lain Sistem Pemerintahan Indonesia telah menjadi Sistem Pemerintahan Parlementer pada tanggal 14 Nopember 1945 sampai dengan 12 Maret 1946 yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, sehingga Kabinet Pertama dalam Sistem Pemerintahan Parlementer adalah Kabinet Syahrir I. Menurut Bibit Suprapto11, pengumuman BPKNIP

yang diketuai Sutan Syahrir adalah suatu kelihaian Sutan Syahrir naik ke panggung politik dan menyingkirkan lawan-lawan politik nya.

B. Kabinet-Kabinet Masa Demokrasi Parlementer

1. Kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945 – 12 Maret 1946).

Kabinet Syahrir I dimulai pada Tanggal 14 Nopember 1945 dan berakhir pada Tanggal 12 Maret 1946. Kemunculan Kabinet Syahrir I, ketika Kabinet Pertama Presidensial berakhir yang ditandai dengan munculnya partai-partai politik yang dikarenakan Maklumat X pada Tanggal 16 Oktober 1945 dan disusul Maklumat Pemerintah Tanggal 3 Nopember 1945 serta pengumuman BPKNIP pada Tanggal 11 Nopember 1945, agar kebinet bertanggungjawab kepada parlemen.

Sesuai dengan namanya, kabinet ini dipimpin oleh Sutan Syahrir yang pada waktu sebelumnya menjabat sebagai ketua BPKNIP. Sistem Pemerintahan Parlementer ini yang mengamanahkan menteri-menteri (cabinet) bertanggungjawab kepada parlemen, menurut Muhammad Yamin12 tidak sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang

Dasar 1945. Berbeda dengan Muhammad Yamin, Supomo dan Ismail Suny13, menganggap itu sebagai “konvensi dalam ketatanegaraan”.

Pringgodigdo14 sendiri mengatakan bahwa kedua pendapat itu “tidak

benar”. Dan tokoh terakhir, yaitu Tolchah Mansyur15 mengatakan

ͳͳIbid.,ŠǤʹͷǤ

ͳʹIbid.,ŠǤʹ͹Ǥ

ͳ͵Ibid.,ŠǤʹ͹†ƒʹͺǤ

ͳͶIbid.,ŠǤʹ͹Ǥ

(16)

ၺၸ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

bahwa perubahan itu adalah suatu perubahan Undang-Undang dasar, tetapi tidak melalui Undang-Undang Dasar dan menurut Tolchah, perubahan berdasarkan convension juga tidak benar.

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa Kabinet de ngan Parlementer adalah suatu kebiasaan (Convension) yang tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bisa saja hal ini dianggap menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar. Menurut hemat penulis, hal ini terjadi, karena Negara Indonesia pada waktu itu, masih dalam keadaan transisi, sehingga pemahaman terhadap konstitusi belum sempurna. Sampai saat inipun tokoh–tokoh (elit-elit) politik belum menyelaraskan dan mengimplementasikan secara utuh Sistem Presidensial, Sistem Kepartaian dengan Sistem Pemilu, secara konstitusional Indonesia adalah System Presidensial, tetapi prakteknya, terlihat Sistem Parlementer, meskipun kini Sistem Presidensialnya telah didukung oleh Sistem Pemilu Presiden secara Langsung.

Kabinet Syahrir II memiliki 13 Kementrian yang diketuai Sutan Syahrir sebagai Perdana Menterinya. Selain itu, tampak bahwa Kementerian didominasi Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin, karena Syahrir merangkap juga sebagai Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri yang keduanya adalah posisi-posisi penting. Sedangkan Amir Syarifuddin selain menteri Penerangan juga sebagai Menteri Keamanan Rakyat (Pertahanan Keamanan). Keduanya berasal dari partai politik yang sama, yaitu Partai Sosialis (PS). Menurut Bibit Suprapto16, Kabinet ini bukan cabinet koalisi, karena

menteri-menterinya tidak mewakili partai politik, hanya didominasi oleh kelompok Sutan Syahrir.

Adapun program cabinet antara lain ialah17:

a) Menyempurnakan susunan Pemerintah Daerah berdasar kan kedaulatan rakyat.

ͳ͸Ibid.,ŠǤ͵ͳǤ

ͳ͹Ibid.,ŠǤ͵ͲǤ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၺၹ

b) Mencapai segala koordinasi segala tenaga rakyat di dalam usaha menegakkan Negara Indonesia serta membangun masyarakat yang berkeadilan dan perikemanusiaan. c) Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat

diantara-nya dengan jalan pembagian makanan.

d) Berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia.

Selain program kerja di atas, keberhasilan yang dapat dilihat pada Kabinet ini adalah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada Tanggal 5 Oktober 1945 sebagai kelanjutan dari BKR dan pembentukan Akademi Militer di Tangerang dan Yogyakarta. Selain itu terdapat perundingan dengan sekutu (Inggris) pada Tanggal 17 Nopember 1945.

Tantangan yang dihadapi Pemerintahan Syahrir dapat dibagi menjadi dua, yaitu yaitu tantangan eksternal dan internal. Tantangan eksternal dengan kedatangan tentara sekutu yang diboncengi oleh NICA yang berniat menjajah kembali dan beberapa pertempuran di daerah seperti Semarang, Surabaya, Ambarawa dan Medan. Tantangan internal adalah oposisi yang dilancarkan Tan Malaka dengan membentuk Organisasi Persatuan Perjuangan (OPP) di Purwokerto untuk menjatuhkan Kabinet Syahrir. Dan akhirnya Kabinet Syahrir I dapat dijatuhkan pada Tanggal 12 Maret 1946 oleh kelompok OPP dalam KNIP melalui mosi tidak percaya KNIP kepada Kabinet Syahrir.

2. Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946)

(17)

ၺၺ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

dipimpin Assaat. Dan Tanggal 1 Maret 1946 KNIP mengadakan sidang kembali menentukan politik luar negeri Indonesia. Dari sidang ini, menunjukkan setuju terhadap kebijakan pemerintah, sehingga pada Tanggal 2 Maret 1946 Sutan Syahrir ditunjuk kembali sebagai formatur cabinet dan Tanggal 3 Maret 1946 Presiden masih mempercayakan cabinet dipimpin Syahrir18. Agar tidak tidak terjadi peristiwa pada

Kabinet Syahrir I, maka pada cabinet ini Syahrir melibatkan beberapa partai politik dalam kabinetnya (Koalisi).

Partai-partai politik yang terlibat dalam cabinet ini adalah sebagai berikut:

1. Partai Sosial (5 orang) 2. PSII (1 orang) 3. Partai Masyumi (3 orang) 4. Partai Parkindo (2 orang) 5. Partai PNI (1 orang) 6. Perwari (1 orang) 7. BKM (1 orang) 8. Non Partai (13 orang)

Total = 27 orang

Terlihat dari 7 partai politik yang terlibat, Partai Sosialis jumlahnya paling banyak dengan menduduki posisi Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Menteri Muda Pertanian. Empat posisi menteri yang diduduki Partai Sosialis tersebut adalah posisi strategis yang diamanatkan dalam UUD 1945. Meskipun demikian, cabinet ini telah mencoba melakukan koalisi, jika dibandingkan dengan Kabinet Syahrir I.

Program Kabinet Syahrir II adalah sebagai berikut 19:

1. Berunding atas dasar pengakuan RI Merdeka 100 %.

ͳͺIbid.,ŠǤ͵ͻ

ͳͻIbid.,ŠǤͶͳǤ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၺၻ

2. Mempersiapkan rakyat Negara di segala lapangan politik, ketentaraan, ekonomi dan social dan untuk mempertahankan kedaulatan RI.

3. Menyusun Pemerintahan Pusat dan Daerah yang demokratis.

4. Berusaha sekuat-kuatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian.

5. Pemerintah diminta mengambil tindakan yang sesuai dengan UUD, pasal 33 tentang perusahaan dan perkebunan.

Selain tantangan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabinet Syahrir II, tapi juga terdapat keberhasilan antara lain 20:

1. Di bidang Militer terdapat konsolidasi (lahirnya TNI AU, POLRI dan ALRI).

2. Memperingati Hari Kemerdekaan Pertama (17 Agustus 1946).

3. Melakukan perundingan dengan Belanda dan Sekutu Tanggal 20 September 1967.

Adapun tantangan yang masih harus dihadapi adalah21:

a. Kliek OPP masih terus berusaha menjatuhkan cabinet ini. b. Percobaan Kudeta dari Jenderal Mayor Sudarsono, termasuk

Tan Malaka, M Yamin, dkk. Pada Tanggal 3 Juli 1946. c. Masih banyak Kliek-kliek, sehingga cabinet rapuh

(lemah).

d. Perang melawan Belanda masih berlanjut di Bandung, Bali, Medan, Lombok, Sulawesi, dll.

e. Belanda masih terus ingin berkuasa dengan cara mendirikan boneka-boneka Belanda di daerah-daerah (Devide et Impera).

ʹͲIbid.,ŠǤͶͳǦͶ͵Ǥ

(18)

ၺၼ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

Berakhirnya Kabinet Syahrir II karena Tanggal 27 Juni 1946 Syahrir sebagai Perdana menteri diculik oleh OPP di bawah pimpinan Tan Malaka, kemudian diikuti kudeta oleh Mayor Jenderal Sudarsono Tanggal 3 Juli 1946. Sejak Tanggal 28 Juni 1946 sebenarnya kekuasaan Syahrir telah demisioner, karena telah diambil alih oleh Presiden Soekarno dan Tanggal 2 Oktober baru diserahkan kembali kepada Syahrir.

3. Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)

Meskipun Syahrir dari Kabinet Syahrir I dan II mendapat perlawanan dari musuh-musuhnya, tetapi Soekarno sebagai presiden masih tetap memberi kepercayaan kepada Syahrir untuk membentuk Kabinet Syahrir III pada Tanggal 2 Oktober 1946. Setali tiga uang, kabinet ini sama dengan kabinet Syahrir II hanya berumur pendek, yaitu delapan bulan dan berakhir pada Tanggal 27 Juni 1947.

Sebagaimana Kabinet Syahrir II, cabinet ini juga melibatkan beberapa partai politik antara lain:

a) Partai Sosialis (4 orang, 5 posisi Menteri). b) PSII (2 orang)

c) Partai Masyumi (6 orang) d) Partai BTI (1 orang) e) PNI (3 orang) f) PBI (1 orang) g) Parkindo (2 orang) h) BK Pemuda (1 orang) i) Non Partai (11 orang)

Total = 31 Orang

Tampaknya dalam kabinet ini, Masyumi sebagai partai islam diberi posisi cukup banyak, meskipun selisih satu posisi dibandingkan dengan Partai Sosialis. Posisi strategis, tidak lagi dikuasai Partai Sosialis, karena posisi Menteri Dalam Negeri telah dipercayakan kepada M. Rum ari

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၺၽ

Masyumi dan Menteri Luar Negeri kepada Agus Salim dari PSII. Sedangkan Menteri Pertahanan diserahkan kepada Amir Syarifuddin dari Partai Sosialis dan Harsono Cokroaminoto dari PSII. Sedangkan kelompok OPP yang melakukan oposisi tidak diberi kursi seperti Tan Malaka, M Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, A. Subarjo, Sukarni, dll.

Program kerja kabinet ini sama dengan program Kabinet Syahrir II , belum ada perubahan. Meskipun demikian, ada yang menonjol, yaitu22:

1. Berhasil membuat ejaan baru yaitu ejaan Suwandi dan mengubah ejaan Belanda.

2. Berhasil mendapat pengakuan de facto dari luar negeri (Timur Tengah), yang diawali oleh Mesir pada Tanggal 10 Juni 1947.

3. Melakukan perundingan dengan Belanda pada tanggal 7 Oktober 1946

4. Persetujuan genjatan senjata dengan Inggris 9 Oktober 1946

5. Perundingan Linggar Jati 15 Nopember 1946 dan di tandatangani 25 Maret 1947.

Meskipun keberhasilan telah ditunjukkan oleh Kabinet Syahrir III, tetapi bukan berarti tidak ada tantangan, karena tantangan yang dihadapinya masih ada yaitu terdapat kelompok yang kontra terhadap perjanjian Linggar Jati.

Kejatuhan Kabinet Syahrir III bukan dikarena oleh kelompok opo sisi, tetapi oleh para pendukung (teman) Syahrir sendiri yaitu Amir Syarifuddin (disebut sayap kiri) dan kawan-kawan yang tidak menyetujui adanya nota ultimatum dari pihak Pemerintah Belanda yang menginginkan pembentukan Pemerintahan Peralihan. Jatuhnya Kabinet Syahrir III persis setahun setelah penculikan Sutan Syahrir yaitu Tanggal 27 Juni 1946.

(19)

ၺၾ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

4. Kabinet Amir Syarifuddin I (3 Juli 1947 – 11 Nopember 1947)

Berakhirnya Kabinet Syahrir III dan Pembentukan Kabinet Amir Syarifuddin I persis setahun setelah kejadian penculikan Perdana Menteri Syahrir dan Kudeta Mayor Jenderal Sudarsono, yaitu pada Tanggal 27 Juni 1946 dan 3 Juli 1947. Apakah tanggal-tanggal tersebut merupakan scenario, hal ini belum diungkap. Dengan berakhirnya Kabinet Syahrir III, maka seminggu setelah itu, presiden menyerahkan mandatnya kepada Amir Syarifuddin, sehingga kabinetnya disebut Kabinet Amir Syarifuddin I. Kabinet ini juga sama halnya dengan kabinet-kabinet sebelumnya, umurnya tidak panjang, hanya berumur empat bulan, yaitu mulai Tanggal 3 Juli 1947 – 11 Nopember 1947.

Dalam kabinet ini, Masyumi sebagai Partai Islam tidak dilibatkan. PSII yang mewakili umat Islam dan mendapat enam buah posisi antara lain Mendagri, Menag, Menlu, Menmud Penerangan, Menmud Sosial dan Menmud Pendidikan. Menurut Bibit Suprapto23, hal ini pertama

kali terjadi keretakan dalam Partai Islam.

Kabinet ini menggandeng 9 buah partai dan dalam cabinet ini, PKI baru mulai dilibatkan. Beriku ini partai-partai yang terlibat, yaitu:

1. Partai Sosialis (6 orang). 2. Partai PNI (7 orang). 3. PBI (4 orang). 4. PSII (6 orang). 5. PKRI (1 orang). 6. BK Muda (1 orang). 7. BTI (1 orang). 8. Parkindo (1 orang) 9. PKI (1 orang).

Total = 28 orang

ʹ͵Ibid.,ŠǤ͸ʹǤ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၺၿ

Umurnya cabinet ini hanya empat bulan, sehingga belum mampu mencanangkan program kerja dengan baik. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada tantangan, karena tantangan tetap ada dari pihak Belanda yang tidak mau mengakui Perjanjian Linggarjati yang telah ditandatanganinya pada masa Kabinet Syahrir. Selain itu, perang masih berkecamuk antara daerah-daerah melawan agresi Belanda, sehingga akhirnya diplomasi yang dilakukan Indonesia melalui Sutan Syahrir dan Agus Salim ke PBB berhasil membuahkan keputusan genjatan senjata antara Indonesia dengan Belanda dan membentuk KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai arbitrage (pewasitan), yaitu Belgia, Australia dan Amerika.

Kabinet Amir Syarifuddin I ini disebut Kabinet Nasional, Karena melibatkan seluruh partai, kecuali Masyumi. Agar lebih representatif sesuai dengan namanya, maka cabinet ini akhirnya direshufle (reformasi) dan melibatkan Masyumi di dalamnya. Kemudian diteruskan oleh Amir Syarifuddin sebagai Kabinet Amir Syarifuddin II.

5. Kabinet Amir Syarifuddin II

(11 Nopember 1947 - 29 Januari 1948)

Kabinet ini tetap dipimpin Amir Syarifuddin sebagai Perdana Men-terinya dan Wakil Perdana MenMen-terinya tiga orang Mr. Syamsudin, Wondoamiseno dan Setiyajid. Kabinet Amir Syarifuddin II lahir, karena terjadireshufle Kabinet Amir Syarifuddin I. Reshufle ini dalam rangka mewujudkan Kabinet Nasional yang harus melibatkan semua partai. Dan dalam cabinet inilah Masyumi masuk bergabung, meskipun pada awalnya tidak mau bergabung. Dengan demikian, kabinet ini telah merangkul beberapa partai antara lain:

(20)

ၺႀ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

5) PNI (7 orang). 6) Parkindo (1 orang). 7) PKRI (1 orang). 8) BK Pemuda (1 orang). 9) BTI (1 orang). 10) PKI (1 orang). 11) Non partai (4 orang).

Total = 34 orang

Program cabinet tidak pernah diumumkan, mengikuti program Kabinet Syahrir yang terdahulu. Sedangkan KTN yng telah dibentuk tetap bekerja dalam menghasilkan Perundingan Renvile. Namun dalam Perundingan Renvile, Pemerintahan Indonesia kalah berdiplomasi, karena pihak Belanda diwakili oleh orang Indonesia sendiri yaitu Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Akibat kekalahan dalam Perundingan Renvile inilah, Kabinet Amir Syarifuddin II jatuh, karena PNI bersikap masa bodoh dan Masyumi mengundurkan diri dari cabinet dan meminta cabinet dibubarkan. Akhirnya Kabinet Amir Syarifuddin II demisioner Tanggal 23 Januari 1948.

Setelah Kabinet Amir Syarifuddin II berakhir, muncul Sistem Pemerintahan Presidensial dan dalam system pemerintahan ini telah terbentuk beberapa cabinet , antara lain lihat tabel di bawah ini:

Tabel: 3.1.

Nama-nama Kabinet setelah Kabinet Amir Syarifuddin II

NO NAMA KABINET MASA PEMERINTAHAN SEBAB KEJATUHAN 1 Kabinet Ha a I 29 Januari 1948 –

4 Agustus 1949

Reshu e Kabinet , karena selama 7 bulan dilanda perang.

2 Kabinet Darurat Perang

19 Desember 1948- 13 Juli 1949

Pengembalian mandate kepada Presiden Soekarno, karena Soekarno dan Ha a telah kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949.

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၺႁ

3 Kabinet Ha a II 4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949

Terbentuknya Negara RIS

4 Kabinet RIS (Kabinet Ha a III)

20 Desember 1949- 6 September 1950

Perubahan poli k dari Negara RIS ke negara Kesatuan 5 Kabinet Susanto

(Kabinet Peralihan)

20 Desember 1949-21 Januari 1950

Terbentuknya Kabinet Halim

6. Kabinet Halim (Kabinet RI Yogya)

21 Januari 1950- 6 September 1950

Bubarnya RIS dan

terbentuknya NKRI, meskipun begitu, Kabinet ini masih bekerja sampai terbentuknya Kabinet Natsir

Sumber:diolah dan diringkas dari buku Bibit Suprapto, 1985.

Pada Tanggal 29 Januari 1948 terbentuk Kabinet Hatta I, tapi sistem pemerintahannya telah berubah menjadi Sistem Presidensial, meskipun tidak murni, karena ada Perdana Menteri yang dipegang oleh Wakil Presiden. Pada cabinet ini banyak perang yang terjadi dan pihak oposisi bergerak. Di sini Muso mulai tampil setelah kembali dari Rusia. Dalam cabinet ini pula Belanda akan melakukan agresi kembali dan meninggalkan Perundingan Renvile. Pada masa ini para pimpinan Negara di tangkap dan diasingkan, sehingga terpaksa Soekarno memberikan mandate kepada Syafruddin Prawiranegara, maka munculllah Kabinet Darurat Perang.

Kabinet Darurat Perang adalah pada saat para pimpinan Negara ditangkap Belanda, sehingga terjadi kekosongan pemerintahan dan Soekarno memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara pada waktu itu sebagai Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan RI Darurat di Sumatera pada Tanggal 19 Desember 1948. Kabinet ini berakhir setelah para pimpinan kembali dari dari Yogyakarta.

(21)

ၻၸ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

sebagai Wakil Presiden dan dilantik pada Tanggal 17 Desember 1949 di Yogyakarta.

Berhubung Negara telah berubah bentuk menjadi Negara RIS, maka kabinetpun berubah(reformasi) menjadi Kabinet RIS (Kabinet Hatta III). Persoalan yang dihadapi cabinet ini adalah persoalan Irian Barat yang belum masuk ke wilayah Indonesia, masih ada perlawanan Belanda di Bandung, Istilah Uni RIS-Belanda, pemberontakan di daerah-daerah: Kapten Andi Azis di Makassar, RMS di Maluku dan DI/TII di Jawa Barat.

Kabinet Susanto (Kabinet Peralihan) adalah cabinet yang berada di RI Yogya, tatkala Presiden dan Wakil Presiden RIS telah terbentuk dan harus pindah ke Jakarta, sehingga RI sebagai salah satu ibukota Negara bagian harus ada yang memimpin. Di sinilah terbentuk Kabinet Susanto yang masa kerjanya hampir bersamaan dengan Kabinet RIS (Kabinet Hatta III). Namun Kabinet Susanto hanya sebagai cabinet peralihan saja, karena pada Tanggal 21 Januari 1950, RI Yogyakarta telah membentuk Kabinet aslinya yaitu Kabinet Halim.

Alhamdulillah, usaha Kabinet RIS untuk mengembalikan Indonesia dari Negara RIS ke NKRI berhasil, sehingga Kabinet Hatta III (Kabinet RIS) berakhir dan muncullah Kabinet Natsir dengan UUD yang baru, tetapi masih tetap menggunakan Sistem Pemerintahan Parlementer.

6. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951)

Kabinet ini lahir setelah Kabinet RIS berusaha mengembalikan RIS ke NKRI atau dikenal dengan adanya Mosi Integral yang dilancarkan Natsir dari Farksi Masyumi24, yaitu mengembalikan Indonesia dari

negara Serikat ke Negara Kesatuan. Dalam kabinet ini telah digunakan UUD baru yaitu UUDS 1950, karena RIS telah bubar dan kembali ke NKRI. Kabinet yang pertama kali menggunakan UUDS 1950 ini di

ʹͶ——‡”‹‡’‘ǡNatsir Politik Santun di antara Dua Rezim,ȋƒƒ”–ƒǣ‡’‘ǡ

ʹͲͳͳȌǡŠǤͶ͵Ǥ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၻၹ

bawah pimpinan M. Natsir dari Partai Masyumi dan Wakil Perdana Menteri Sultan Hamengku Buwono IX. Kabinet ini dinamaka Kabinet Natsir atau zakenkabinet25,karena orang-orang yang duduk dalam

kabinet adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, bukan dikarenakan pertimbangan partai.

Masa kekuasaan kabinet ini mulai dari Tanggal 6 September 1950 sampai dengan 27 April 195126. Kabinet Natsir merangkul 18 orang,

13 orang dari delapan partai politik dan 5orang dari non partai di antaranya adalah:

1) Masyumi (4 orang) 2) PIR (2 orang) 3) Demokrat (1 orang) 4) PSI (2 orang) 5) Parkindo (1 orang) 6) Katholik (1 orang) 7) Parindra (1 orang) 8) PSII (1 orang) 9) Non Partai (5 orang)

Total =18 Orang

Pada masa Kabinet Natsir, beberapa partai lama mulai redup seperti PSI dan PSII yang pada kabinet sebelumnya cukup ber-kontribusi. Dan justru partai-partai baru mulai tampak seperti Partai Katholik, Demokrat dan Parindra. Selain itu, PNI dan PKI tidak mendukung kabinet ini.

Program kerja Kabinet yaitu27:

a) Mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu untuk konstituante.

ʹͷIbid,ŠǤͶ͵Ǥ

ʹ͸‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam di Pentas Nasionalǡȋƒƒ”–ƒǣ”ƒϐ‹–‹‡”•ǡͳͻͺ͹ȌǡŠǤʹͲʹǤ‹Šƒ–

Œ—‰ƒ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳʹͶǤ

(22)

ၻၺ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

b) Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintah serta membentuk peralatan Negara yang bulat.

c) Mencapai keamanan dan ketentraman.

d) Mengembangkan dan memperkokoh kekuatan ekonomi rakyat sebagai dasar ekonomi nasional yang sehat dan Melaksanakan keragaman antara burh dan majikan. e) Membantu pembangunan perumahan rakyat serta

mem-perluas usaha-usahanya yang meningkatkan derajat kese-hatan dan kecerdasan rakyat.

f) Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan pemulihan bekas anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat. g) Menyelesaikan persoalan Irian Barat.

Meskipun umur cabinet ini tidak begitu panjang, hanya tujuh bulan, tetapi cabinet telah berhasil melaksanakan tugasnya antara lain:

1. Pada Tanggal 27 September 1950, PBB menerima Indonesia sebagai anggota ke 60. Dan Tanggal 28 September 1950 diadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih di markas PBB.

2. Dalam UUDS 1950 barulah diatur masalah Wakil Presiden dan pada Tanggal 14 Oktober 1950 Muhammad Hatta terpilih sebagai Wakil Presiden dengan meraih suara 113 dengan mengalahkan 7 orang pesaingnya.

Selain keberhasilan juga terdapat kegagalan antara lain ialah: a) Pemberontakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada

Tanggal 10 Oktober 1950. Pemberontakan ini sebagai lanjutan dari DI/TII Kartosuwiryo.

b) Kurang mendapat dukungan dari rakyat. Koalisinya terbatas pada partai-partai tertentu. Jadi bukan sebagai Koalisi Nasional.

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၻၻ

c) Perpecahan dalam tubuh Masyumi antara Sukiman (Pro Nasionalis: PNI) dan Natsir (Pro pada PSI) serta unsur NU yang dikesampingkan Natsir cs.

Kejatuhan kabinet ini, dikarenakan beberapa hal antara lain mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar “Peraturan Pemerintah no. 39 tahun 1950 tentang pembekuan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut”28.

Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para Menteri dari PIR. Selain itu, Natsir dianggap gagal menyelesaikan Irian Barat dengan pihak Belanda. Natsir dianggap terlalu berdiplomasi, sedangkan Soekarno menginginkan ketegasan kepada pihak Belanda29

. Akhirnya pada Tanggal 21 Maret 1951 Kabinat M. Natsir demisioner dan mandate dikembalikan kepada Presiden Soekarno.

7. Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951 – 3 April 1952)

Setelah Kabinet Natsir berakhir, maka Presiden menyerahkan mandatnya kepada Sukiman dari Partai Masyumi. Kabinet Sukiman berumur satu tahun dari Tanggal 27 April 1951 sampai dengan 3 April 1952. Meskipun Kabinet Natsir yang berasal dari Masyumi telah berakhir, bukan berarti Masyumi jatuh, karena pada cabinet Sukiman ini terlihat Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu. Meskipun nasib Sukiman serupa dengan M. Natsir, karena kabinetnya tidak bertahan lama.

Dalam Kabinet Sukiman, dr. Sukiman sebagai Perdana Menteri-nya (Masyumi) dan dr Suwiryo (PNI). KeduaMenteri-nya berprofesi sebagai dokter yang berkecimpung di dunia politik. Kabinetnya tetap kabinet koalisi yang melibatkan beberapa partai seperti30: Masyumi (5 orang), PNI (5 orang), PIR (3 orang), PKRI (1 orang), Partai Buruh (1 orang), Parkindo (1 orang), Demokrat 91 orang), Parindra (1 orang) dan Non

ʹͺ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam , ŠǤʹͳͲǤ

ʹͻ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳ͵ʹǤ

(23)

ၻၼ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

partai (2 orang). Tampaknya Sukiman lebih berkerjasama dengan PNI, sehingga posisi-posisi penting dikuasai Masyumi dan PNI. Dalam cabinet terlihat PSII mulai tidak terpakai.

Terdapat tujuh program kabinet , yaitu:

1) Menjalan secara tegas sebagai Negara hukum dan menyem-purna kan alat-alat Negara.

2) Melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jang-ka pendek untuk meningjang-katjang-kan kehidupan social ekonomi rakyat. Memperbaharui hokum agrarian untuk kepentingan petani.

3) Mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam lapangan pembangunan.

4) Menyelesaikan persiapan pemilu untuk konstituante, Me nyelenggarakan Pemilu dalam waktu singkat dan mem-percepat Otonomi daerah.

5) Menyipkan UU tentang pengakuan Serikat Buruh, per janjian kerjasama, penetapan upah minimum dan penyelesaian pertikaian perburuhan.

6) Menjalankan politik luar negeri bebas aktif, Menyeleng-garakan hubungan Indonesia Belanda atas dasar hubungan berdasarkan perjanjian Internasional biasa. Meninjau kembali hasil KMB dan meniadakan perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat.

7) Memasukkan Irian Barat ke wilayah Indonesia secapat-cepatnya.

Yang menarik dari program-program di atas adalah perhatian terhadap masalah perburuhan. Namun demikian, belum banyak yang dapat dikerjakan kabinet ini, akhirnya harus berakhir dengan tragis, karena Kabinet Sukiman dijatuhkan oleh teman sendiri yaitu Natsir yang satu kliek dengan Syahrir. Menurut Bibit 31, dua masalah yang

͵ͳIbid.,ŠǤͳͶͲǤ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၻၽ

menjadi perhatian oposisi teman separtai sendiri adalah masalah perjalanan haji tahun 1951 yang dianggap belum melakukan koordinasi secara intensif dan penandatangan kerjasama dengan Amerika Serikat (MSA), Namun yang menjatuhkan Kabinet Sukiman, karena perjanjian “San Francisco”32 yang dianggap cenderung berpihak ke luar

negeri (Amerika). Hal ini berarti “meninggalkan politik luar negeri bebas aktif” yang telah menjadi komitmen sejak tahun 1945.

8. Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 – 30 Juli 1953)

Munculnya Kabinet Wilopo-Prawoto (PNI-Masyumi) pada tanggal 3 April 1952 dan berakhir Tanggal 30 Juli 195333, menggantikan posisi

Sukiman dari Masyumi. Dengan demikian, peran Masyumi telah bergeser pada posisi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun demikian, Kabinet Wilopo tetap merangkul seluruh komponen partai yang ada seperti: PNI (4 orang), Masyumi (4 orang), PSI (2 orang), Partai Buruh (1 orang), PSII (1 orang), PKRI (1 orang), Parkindo (1 orang), Parindra (1 orang) dan 3 orang non partai.

Program cabinet meliputi enam bidang yaitu: 1) Bidang Organisasi Negara

2) Bidang Kemakmuran 3) Bidang Keamanan 4) Bidang Perburuhan

5) Bidang Pendidikan dan pengajaran 6) Bidang Luar negeri

Tantangan kabinet ini adalah keretakan dalam tubuh Masyumi sebagai tulang punggung cabinet dan keretakan dalam cabinet itu sendiri. Keluarnya NU dari Masyumi dengan mendirikan partai sendiri (1952) adalah merupakan keretakan dalam tubuh Masyumi yang kedua setelah keluarnya PSII dari Masyumi (1947). Selain itu konflik

͵ʹ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam ŠǤʹͳͻǤ

(24)

ၻၾ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

antara kelompok Natsir dan kelompok Sukiman. Ada beberapa alasan NU keluar, salah satu di antaranya persoalan perolehan jatah kursi34.

NU merasa bahwa jumlah pendukung cukup banyak, tetapi kursi yang diperolehnya tidak proporsional. Selain itu, perbedaan pandangan antara orang NU yang berpendidikan Pesantren dengan orang-orang Masyumi yang ber pendidikan Barat (umum).

Nasib Kabinet Wilopo serupa pula dengan Kabinet-kabinet yang lain, tidak bertahan lama dan akhirnya dapat dijatuhkan dengan adanya Peristiwa Demonstrasi Pembubaran Parlemen di Jakarta pada Tanggal 17 Oktober 1952. Hal ini dikarenakan Rasionalisasi

dengan pengurangan jumlah pegawai sipil dan militer dengan alasan penghematan.

9. Kabinet Ali–Wongso–Ari n (Kabinet Ali I)

(30 Juli 1953–12 Agustus 1955)

Setelah Kabinet Wilopo dari Partai Nasionai Indonesia (PNI) jatuh, Presiden sampai tiga kali menunjuk formatur untuk membentuk kabinet, tetapi gagal dan keempat kalinya baru bisa terwujud menjadi Kabinet Ali I (Ali-Wongso-Arifin). Yang menarik dari cabinet ini, meskipun Mr. Wongsonegoro ditunjuk sebagai formatur, tetapi tidak egois menjadikan dirinya sebagai Perdana Menteri.

Partai-partai yang tergabung dengan cabinet ini sebanyak 11 partai politik yang meliputi: PNI (4 kursi), PIR (3 orang), NU (3 orang), Progresif (1 orang), PRN (1 orang), SKI (2 orang), PSII (2 orang), Partai Buruh (2 orang), BTI (1 orang), Parindra (1 orang), Non Partai (1 orang)35.

Yang menarik di sini adalah NU sebagai partai politik telah diakui eksistensinya. Sedangkan Masyumi yang telah memiliki reputasi seblum nya tidak diikutsertakan dalam cabinet ini. Dengan demikian, partai Islam diwakili oleh PSII dan NU.

͵Ͷ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳͶ͸Ǥ

͵ͷ Ibid., ŠǤͳͷʹ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၻၿ

Adapun program kerjanya sebagai berikut:

1) Di Bidang Dalam Negeri meliputi keamanan, pemilu, keuangan & keuangan, organisasi Negara, perburuhan dan perundang-undangan.

2) Masalah Irian Barat: mengusahakan Irian Barat kembali ke pangkuan wilayah NKRI.

3) Di Bidang Politik Luar Negeri: menjalankan politik luar negeri bebas aktif, merubah hubungan Indonesia – Belanda atas dasar stuut uni menjadi hubungan Internasional biasa dan meninjau kembali perjanjian KMB dan perjanjian-perjanjian lain yang merugikan rakyat.

4) Di Bidang Kebijaksanaan Pemerintah.

Keberhasil cabinet ini adalah mengadakan perundingan de-ngan Belanda untuk menghapus Uni Indonesia-Belanda, berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang didahului Konferensi Colombo (18 April 1954) dan Konferensi Bogor (28030 Desember 1954)36 serta membentuk panitia pemilu.

Tantangan cabinet ini adalah oposisi yang dilancarkan oleh oarng-orang PIR pada tanggal 17 Oktober 1954. Dengan demikian, Kabinet Ali-Wongso-Arifin akhirnya di reshufle dan Wongso tidak ikut ke dalam cabinet, sehingga menjadi Kabinet Ali-Arifin.

Dibandingkan dengan kabinet-kabinet sebelumnya, Kabinet Ali I lebih lama masa pemerintahannya (selama 2 tahun). Meskipun demikian, Kabinet inipun dapat dijatuhkan, karena peristiwa pemboikotan pelantikan KSAD oleh Militer pada Tanggal 27 Juni 1955 yang dipimpin oleh Zulkifli Lubis, karena iri hati.

(25)

ၻႀ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

10. Kabinet Burhanuddin Harahab37

(12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956)

Kali ini Masyumi sebagai Partai Islam diberi kepercayaan kembali oleh Presiden Soekarno untuk memimpin cabinet dan Burhanuddin Harahab terpilih sebagai Perdana Menteri pada Tanggal 12 Agustus 1955-24 Maret38. Kini Masyumi tampil kembali menggantikan posisi

Partai Nasionai Indonesia (PNI) yang berturut-turut memegang posisi.

Burhanuddin Harahab juga menggandeng 12 partai dan non partai yang menduduki 23 kursi menteri. Adapun partai-partai tersebut antara lain:

1) Masyumi (4 orang) 2) PIR Hazairin (2 Orang) 3) PSII (2 orang) 4) Demokrat (1 orang) 5) NU (2 orang) 6) PSI (2 orang) 7) PKRI (1 orang) 8) Partai Buruh (2 orang) 9) PRN (2 orang) 10) Parindra (2 orang) 11) Parkindo (1 orang) 12) PRI (1 orang) 13) Non partai (1 orang)

Total = 23 orang

Dari jumlah kursi menteri, Masyumi yang paling dominan (4 orang). Dalam kabinet ini PNI dan PKI tidak dilibatkan Masyumi.

͵͹‡—Ž‹•ƒ—Šƒ—††‹ƒ”ƒŠƒ„–‡”†ƒ’ƒ–†ƒŽƒ——‹„‹–—’”ƒ–‘Ǥ‡†ƒ‰ƒ†ƒŽƒ ——‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡ’‡—Ž‹•ƒ›ƒ‘‡”Šƒ‘‡†‹ƒ”ƒŠƒ’Ǥ

͵ͺ‹„‹–—’”ƒ’–‘ǡPerkembangan Kabinet, ŠǤͳ͸Ͷ†ƒ‡Ž‹ƒ”‘‡”ǡPartai Islam, ŠǤʹͶ͵

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၻႁ

Pada masa inilah Masyumi mampu menunjukkan prestasi yang dapat dibanggakan, karena pada masa ini, kabinet Burhanuddin Harahab dapat menyelesaikan hal-hal sebagai berikut:

a) Menyelenggarakan pemilu pertama tahun 1955 dalam sejarah Indonesia

b) Dibubarkannya Uni Indonesia-Belanda secara Unilateral c) Mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan

Darat

d) Berhasil mengadakan perbaikan di bidang ekonomi, harga-harga menjadi stabil.

Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan pertama kali dalam sejarah RI setelah kemerdekaan. Partai-partai yang menjadi kontestan pemilu juga terlibat dalam kepanitian pemilu, agar dapat menghindari kecurangan dari setiap partai politik. Hal ini juga pernah dilakukan pada saat pemilu 1999 di Era Reformasi. Dari hasil pemilu tersebut yang diselenggarakan pada Tanggal 29 September 1955 terdapat 28 partai yang mendulang 257 kursi di parlemen, tetapi dari 28 partai itu, terdapat sepuluh besar dan empat partai terbesar, yaitu:39

1) PNI = 57 kursi.

2) Masyumi = 57 kursi 3) Partai NU = 45 kursi

4) PKI = 39 kursi

5) PSII = 8 kursi 6) Parkindo = 8 kursi 7) Partai Katholik = 6 kursi

8) PSI = 6 kursi

9) Perti = 5 kursi 10) IPKI = 4 kursi

Total = 235 kursi

(26)

ၼၸ

™

œ—“¤“–šœšŽ£“Š

Apabila empat partai besar disandingkan, maka akan terlihat kursi yang diraih partai Islam lebih banyak (57 + 45=102 kursi). Sedangkan diantara 235 kursi dari sepuluh parai besar, maka Partai Islam mencapai 115 kursi (Masyumi, NU, PSII dan Perti). Meskipun sebagai pendatang baru, Perti sebagai Partai Islam dapat menunjukkan eksistensinya. Hal ini sampai dengan Demokrasi Terpimpin, Perti, NU dan PSII masih melibatkan diri dalam pemerintahan Soekarno.

Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam memiliki peluang besar untuk meraih kekuasaan, apabila tidak terpecah-pecah alias bersatu. Namun ketika akan dilantik, perolehan kursi mengalami perubahan, Masyumi menempati posisi paling atas. Hal ini karena didasarkan jumlah penduduk40:

1) Masyumi = 60 anggota 2) PNI = 58 anggota 3) Partai NU = 47 anggota 4) PKI = 32 anggota

Selain pemilu legislative, Kabinet Burhanuddin Harahab berhasil menyelenggarakan pemilu anggota konstituante pada Tanggal 15 Desember 1955, yaitu lembaga yang bertugas membuat Undang-undang . Posisi empat besar dari 543 kursi pada pemilu anggota dewan konstituante ini, hasil yang diperoleh sama dengan pemilu legislative, yaitu41:

1) PNI = 118 kursi 2) Masyumi = 113 kursi 3) Partai NU = 91 kursi 4) PKI = 59 kursi

Berakhirnya Kabinet Burhanuddin Harahab bukan dijatuhkan oleh lawan-lawan politiknya sebagaimana kabinet-kabinet ter-dahulu, tetapi dikarenakan tugasnya telah usai yang menghasilkan

ͶͲIbid.,ŠǤͳ͹ͳǤ

ͶͳIbid.,ŠǤͳ͹ʹǤ

Š‹ဓŽ˜œ–¡Š£“Š¡—Ž˜Žš¤Ž¡

™

ၼၹ

pemerintahan hasil pemilu 1955 dengan terbentuknya Kabinet Ali-Rum-Idham (Ali II).

11. Kabinet Ali – Rum – Idham (24 Maret 1956 – 9 April 1957)

Setelah pemilu pada Tanggal 29 September 1955 dan pemilu ang-gota Dewan Konstituante pada Tangga 15 Desember 1955, maka terbentuklah kabinet koalisi yang sesuai dengan hasil pemilu tahun 1955. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Ali II dengan komposisi Ali-Roem Idham. (PNI-Masyumi-NU) yang berkuasa pada Tanggal 24 Maret 1955- 9 April 195742.

Dalam kabinet ini umat Islam diwakili oleh Masyumi dan NahdlatuI Ulama (NU), karena semula NahdIatuI Ulama (NU) yang bergabung dengan Masyumi, mulai melepaskan diri menjadi partai sendiri dan kini berhasil meraih suara pada pemilu tahun 1955 dan menduduki posisi ketiga setelah Masyumi. Hal ini menunjukkan bahwa NU memiliki eksistensi di tengah masyarakat dengan para konstituennya. Jadi keluarnya NU dari Masyumi tidak sia-sia. Masyumi sebagai wakil umat Islam, terakhir memainkan peran politik dalam kabinet ini.

Adapun susunan kabinet terdiri dari 25 posisi yang melibatkan delapan partai dan satu non partai. Dan partai islam yang pal

Gambar

Tabel 2.1 : Susunan Panitia Kecil .......................................
Tabel 4.1.
Tabel 5.1Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai
Tabel 5.4daerah. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kasus Partai Hijau bukan hanya visi mengenai lingkungan yang ditransfer ke lembaga politik di parlemen, namun entitas gerakan sosialnya juga turut berubah menjadi entitas

Dalam partai politik Amir Syariffudin tergabung Partai Indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Gabungan Politik Indonesia (Gapi), dan Partai

Skripsi berjudul , Gerakan Partai Komunis Indonesia: Strategi Partai Dalam Mencapai Kekuasaan Politik Di Indonesia (1920-1965), karya Ami Abdullah Fahmi, 2013

Politik transaksional dalam pilkada serentak di Indonesia pada dasarnya dapat dilihat dari fenomena adanya barter politik antar partai politik dalam pilkada, munculnya boneka politik

Setelah terjadi pemberontakan G30 S/PKI yang dilakukan oleh partai komunis Indonesia terhadap penyebaran paham komunisme di Indonesia, akhirnya pada masa pemerintahan

Oligarki di tubuh partai politik dapat dilihat dari kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik lebih didasarkan atas keinginan elit partai, bukan melalui mekanisme

Sebelum menjadi sebuah museum sejarah, tempat ini merupakan tanah atau kebun kosong yang dijadikan sebagai tempat latihan Partai Komunis Indonesia PKI dan pembuangan terakhir para

maka pembubaran partai politik bukan hanya berakibat hukum pada ketidakikutan partai politik tersebut sebagai peserta Pemilihan Umum, tetapi lebih jauh lagi adalah pembatalan terhadap