• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan UUD 1945

Dalam dokumen Politik Indonesia (Halaman 74-78)

ERA REFORMASI

E. Perubahan UUD 1945

Seperti harusnya sebuah negara modern, Indonesia memiliki konstitusi Negara sebagai basic law atau dasar hukum yang menjadi pilar dan sumber segala hukum dan aturan yang diberlakukan di Indonesia, konstitusi Republik Indonesia dikenal dengan Undang-Undang dasar 1945, yang isi awalnya dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berjumlah 62 orang dan diketuai oleh Mr. Radjiman Wedyodiningrat pada tanggal 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945.19

Proses penyusunan dan pengesahan konstitusi ini tidak mudah dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup panjang dengan agenda kerja yang dilakukan secara bertahap. Di dalam sidang pertama BPUPKI (28 Mei hingga 1 Juni 1945) dibentuk panitia kecil yang disebut dengan Panitia Sembilan yang bertugas membuat piagam Jakarta yang akan digunakan sebagai salah satu bagian Mukaddimah UUD, dan panitia Sembilan ini berhasil merampungkan naskah Mukaddimah UUD pada tanggal 22 Juni 1945, dimana naskah Mukadimah tersebut disetujui oleh sidang II BPUPKI pada tanggal 1 Juli 1945. Setelah masalah Mukaddimah selesai, Soekarno membentuk lagi panitia kecil yang dipimpin oleh Soepomo untuk menyusun rancangan isi Undang – Undang Dasar sekaligus sebagai pembentukan

ͳͻ Ǥ „ƒ‡†‹ŽŽƒŠǡ ƒ„†—Ž ‘œƒ ȋ’‡›—–‹‰ȌǡPendidikan Kewargaan: demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat madaniǡȋƒƒ”–ƒǣ›ƒ”‹ˆ‹†ƒ›ƒ–—ŽŽƒŠǡʹͲͳͲȌǡ ŠǤ͸͵

ၹၻႀ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š

Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berjumlah 21 orang dengan Ir Soekarno sebagai ketuanya.20 Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945.

Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi Negara Republik Indonesia di sahkan dan ditetapkan pada hari sabtu, 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan nama Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, baru pada awal tahun 1959 muncul istilah 1945 dibelakang UUD. Dengan konteks dan materi yang sama, UUD 1945 mengalami beberapa kali perubahan nama dan istilah21, yaitu:

1. Undang Undang Dasar 1945 (UUD) dengan masa berlaku sejak 18 agustus 1945 – 27 Desember 1949.

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang berlaku pada 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950. 3. Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik

Indonesia yang berlaku pada 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959.

4. Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan masa berlaku sejak 5 Juli 1959 – sekarang.

Walaupun perubahan nama dan Istilah untuk Undang Undang dasar 1945 tidak seringkali berubah mengikuti irama perubahan kondisi politik di Indonesia, mukaddimah dan isi UUD 1945 tersebut tidak mengalami perubahan secara signifikan sampai bergulirnya tuntutan reformasi. Dimana salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap isi dan kandungan UUD 1945, diantaranya tentang kekuasaan tertinggi yang

ʹͲ„‹†Ǥ ʹͳ„‹†ǤǡŠǤ͸Ͷ

Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၻႁ

seharusnya ada ditangan rakyat, tetapi pada kenyataannya justru ada di tangan MPR, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Banyak pihak yang menginginkan perubahan konstitusi Negara ini dilakukan secara keseluruhan dengan melakukan renewal,22

tetapi dengan banyak pertimbangan, hanya dilakukan perubahan secara Amandemen di beberapa pasal saja yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan sosial politik dan kebutuhan bangsa Indonesia. Yang paling utama adalah tetap dipertahankannya Mukaddimah UUD 1945, karena dianggap sebagai kesepakatan para pendiri bangsa23, dan didalamnya mengandung banyak dasar-dasar dan tujuan bernegara sebagai panduan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tetap bertahan dan kokoh sebagai sebuah bangsa yang merdeka.

Tujuan dari dilakukannya amandemen UUD 1945 adalah untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan di antaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan atau staat structuur, kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:24 ʹʹRenewal ƒ†ƒŽƒŠ •ƒŽƒŠ •ƒ–— ‡–‘†‡ ’‡”—„ƒŠƒ ‘•–‹–—•‹ †‡‰ƒ …ƒ”ƒ ‡Žƒ—ƒ ’‡„ƒŠƒ”—ƒ •‡…ƒ”ƒ –‘–ƒŽ †ƒ ‡•‡Ž—”—Šƒ †ƒ ‡„—ƒ– ‘•–‹–—•‹ „ƒ”— •‡„ƒ‰ƒ‹ ’‡‰‰ƒ–‹Ǥ‡–‘†‡Žƒ‹ƒ†ƒŽƒŠ†‡‰ƒ amandemen†‹ƒƒ’‡”—„ƒŠƒ–‹†ƒ†‹Žƒ—ƒ •‡…ƒ”ƒ–‘–ƒŽǡ–‡–ƒ’‹Šƒ›ƒ„‡„‡”ƒ’ƒ’‘‹–•ƒŒƒ†ƒ‘•–‹–—•‹›ƒ‰ƒ•Ž‹–‡–ƒ’„‡”Žƒ—†ƒ ’‡”—„ƒŠƒ›ƒ‰†‹Žƒ—ƒ‡Œƒ†‹Žƒ’‹”ƒ†ƒ”‹‘•–‹–—•‹›ƒ‰ƒ•Ž‹Ǥ ʹ͵Ǥ„ƒ‹†‹ŽŽƒŠǡ‡†‹†‹ƒ‡™ƒ”‰ƒƒǤǤǡ‹„‹†ǤǡŠǤ͸͸ ʹͶŠ––’ǣȀȀƒ•‹…Ǥ—–‡šƒ•Ǥ‡†—Ȁƒ•‹…Ȁ…‘—–”‹‡•Ȁ‹†‘‡•‹ƒȀ…‘•–‹†‘‡•‹ƒǤŠ–ŽǤConstitution of Indonesiaǡ†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͶ—‹ʹͲͳͳǤ

ၹၼၸ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š

1. Amandemen pertama pada Sidang Umum MPR tahun 1999 (14-21 Oktober 1999). Fokus amandemen UUD 1945 pertama ini membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan rakyat sebagai lembaga legislatif.

2. Amandemen kedua pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 ( 7-18 Agustus 2000). Pada amandemen kedua ini, dihasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah Negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan terperinci tentang Hak Asasi Manusia atau HAM.

3. Amandemen ketiga pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001, (1-9 November 2001). Amandemen ketiga ini mengubah dan menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.

4. Amandemen keempat pada Sidang Tahunan MPR 2002, (1-11 Agustus 2002). Amandemen keempat ini membahas ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pasal pasal tentang pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.

Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 sekitar12% butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 atau sekitar 88%

Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼၹ

butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.25

Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat.

Selanjutnya yang menjadi tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia, adalah melaksanakan apa yang sudah menjadi amanat amandemen UUD 1945 demi terciptanya masyarakat berdasarkan hukum yang berkeadilan dan menuju tatanan kenegaraan yang lebih baik.

F. Bikameralisme

Hal terpenting dari terjadinya transisi demokratisasi di Indonesia adalah dengan dilaksanakannya reformasi yang cukup signifikan dibidang ketatanegaraan dengan diamandemennya UUD 1945 sebagai konstitusi Negara kesatuan Republik Indonesia.

Struktur ketatanegaraan Indonesia berubah sejak diamandemen-nya UUD 1945 pasal VIIA (pasal 22C dan pasal 22D) tentang pembentukan, pemilihan, tugas dan wewenang, serta pemberhentian Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga baru representasi kepentingan seluruh daerah yang termasuk wilayah Republik Indonesia, dan sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk membahas rancangan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi daerah(UUD 1945 Bab VIIA pasal 22D ayat 2), dan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan implementasi undang-undang yang berhubungan dengan undang –undang otonomi daerah (UUD 1945 Bab VIIA pasal 22D ayat 3).26

ʹͷUUD’45 dan Amandemenyaȋƒƒ”–ƒǣ—–‹ƒ”ƒ†ƒŠ—„Ž‹•Š‹‰ǡʹͲͳͲȌǡŠǤʹ ʹ͸„‹†ǤǡŠǤͳ͹

ၹၼၺ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š

Dengan dimasukkannya bab serta pasal-pasal mengenai DPD tersebut, menandai bagaimana sistem unicameral yang dianut Indonesia lebih dari 32 tahun berubah menjadi sistem bicameral. Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negaranegara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi. Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Inggris sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan istilah Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons).27 Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan di Indonesia diimplementasikan dengan Dewan Perwakilan rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), keduanya sebagai organ yang saling melengkapi didalam lembaga legislatif.

Sebelum di sahkannya keberadaan DPD sebagai reperesentasi kepentingan daerah di tingkat pusat, berkembang kuat pandangan tentang perlu tidaknya keberadaan lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta menjaga keseimbangan antar-daerah dan antara pusat dengan antar-daerah secara adil dan merata. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya sentralisasi kekuasaan seperti yang terjadi pada masa Orde Baru

Gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk permasalahan yang berkaitan langsung

ʹ͹ Šƒ† —Š‡Ž‹ǡPemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, masyarakat dan Kekuasaan,ȋƒƒ”–ƒǣƒ”—Ž ƒŽƒŠǡͳͻͻͻȌǡŠǤͳ͵ͺ

Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼၻ

dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari pemikiran dan pelajaran periode terdahulu bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa Orde Baru ternyata telah mengakibatkan ketimpangan pembangunan masyarakat dan rasa ketidakadilan, sehingga dapat membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR selama ini (sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.28

Ide tentang model dua kamar dalam satu lembaga legislatif ini bukanlah hal yang mudah dipahami banyak orang termasuk para elit politik yang berada di kekuasaan, apalagi dengan terlalu panjangnya kekuasaan Orde Baru yang bersifat sentralistis dengan lembaga legislative (DPR MPR) sebagai lembaga super kuasa yang memiliki wewenang tanpa control dalam urusan perundang-undangan di Indonesia, , Indonesia selalu menganut sistem unicameral, kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah system seperti ini cocok untuk Indonesia yang merupakan Negara kesatuan, sedangkan biasanya system bicameral diimplementasikan di Negara dengan system federal. Dengan pertimbangan penerapan undang-undang otonomi daerah dan sangat luasnya wilayah Indonesia dengan kondisi geografis yang beragam serta pluralitas suku, ras, bahasa dan budaya yang ada, system bicameral ini dianggap cocok untuk diterapkan. System bicameral pertama diterapkan di Inggris pada abad ke-14. Selain lahir dari tradisi dan sejarah yang panjang, diterapkannya bikameralisme dalam sistem perwakilan diberbagai negara pada umumnya didasarkan atas dua pertimbangan29, yaitu:

ʹͺ ‹ƒ†Œƒ” ƒ”–ƒ•ƒ•‹–ƒǡBikameralisme di Indonesiaǡ †‹ƒ•‡• †ƒ”‹™™™Ǥ‰‹ƒ†Œƒ”Ǥ …‘ǡ†‹ƒ•‡•’ƒ†ƒͳͲŒ—‹ʹͲͳͲǤ

ʹͻƒ—‡ŽǤƒ––‡”•‘Ƭ–Š‘›—‰ŠƒǡSenates: Bicameralism in the Contemporary World.(Š‹‘ǣŠ‹‘–ƒ–‡‹˜‡”•‹–›”‡••ǡ‘Ž—„—•ǡͳͻͻͻȌŠǤ͹͵

ၹၼၼ™œ—“¤“–šœšŽ£“Š

1. Representasi, dimana dibutuhkannya system perwakilan yang lebih luas dari system proporsional yang dilakukan berdasrkan jumlah penduduk. Hingga seringkali dikatakan bahwa majlis rendah atau house oh commons adalah representasi dimensi jumlah penduduk, dan majlis tinggi atau house of lord adalah representasi dari dimensi territorial.

2. Redundancy, perlu adanya sistem yang menjamin bahwa keputusan-keputusan politik yang penting, dibahas secara berlapis (redundancy) sehingga berbagai kepentingan dipertimbangkan secara masak dan mendalam. Menurut pendapat para ahli, sistem bikameral mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka system bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas

Di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih berbarengan dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD dalam pemilihan umum legislative, dengan status sebagai majlis tinggi dalam Majlis Perwakilan rakyat (MPR), DPD dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai perwakilan dari setiap provinsi tanpa melalui partai politik seperti halnya anggota DPR dan DPRD. Secara historis, DPD pertama dalam sejarah politik Indonesia dilantik pada 1 Oktober 2004 dengan 128 anggota dengan segala keterbatasan konsep dan pemahaman tentang system dua kamar dalam sejarah legislatif di Indonesia. Namun demikian, pada perkembangannya, keberadaan DPD masih dipertanyakan banyak pihak, baik dari kewenangan yang diberikan kepada DPD yang sangat terbatas, lingkup kerja dan tanggung jawab yang maih sangat minim dan masih terlalu besarnya kewenangan DPR disbanding kewenangan DPD, hingga menimbulkan kesan tidak berimbangnya keberadaan dua kelompok elit dalam MPR ini. Hal tersebut membuat keberadaan Dewan Perwakilan Daerah tampak sebagai aksesoris hiasan politik atas nama demokrasi yang

Š‹ဓ¡ŠŽœ¡™Š£“™ၹၼၽ

dipakai oleh system perwakilan yang ada di Indonesia, hal ini sangat disayangkan, karena bila dapat dimaksimalkan, keberadaan DPD bisa dijadikan sebagai pelengkap tugas dan kewenangan DPR sekaligus bisa dijadikan sebagai penguat mekanisme check and balances dalam system politik Indonesia

Dalam dokumen Politik Indonesia (Halaman 74-78)