• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Landasan Teori

3. Gharar

a. Pengertian Gharar

Gharar yang menurut bahasa berarti tipuan, kecurangan dan ketidakjelasan yang mengandung kemungkinan besar tidak adanya kerelaan menerimanya ketika diketahui. Hal ini termasuk memakan harta orang lain secara tidak benar (batil) (Zuhaili, 2007, hal. 101). Padahal Allah Swt.

melarang hal tersebut, seperti dalam Surat An- Nisa‟ ayat 29:

















….



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,,,” (QS. An- Nisa‟ ayat 29)

Suatu akad yang mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecil jumlah objek yang diakadkan maupun dalam penyerahan objek akad tersebut (Hasan, 2004, hal. 147)

Menurut Imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat islam (Hasan, 2004, hal. 148), yang dalam hal ini gharar juga dilarang dalam transaksi muamalah termasuk dalam transaksi sewa.

Para ulama fikih mengemukakan definisi gharar sebagai berikut:

1) Imam al-Qarafi, mengemukakan bahwa gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak.

2) Imam al-Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah, memandang gharar dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad.

3) Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, bahwa gharar adalah suatu objek akad yang tidak mampu diserahkan, baik objek itu ada maupun tidak.

4) Ibnu Hazam juga memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi akad tersebut (Hasan, 2004, hal. 148).

5) Menurut Ibn Rusyd : “Gharar ditemukan dalam akad-akad jual beli ketika penjualnya dirugikan akibat kekurangtahuannya mengenai harga, atau akibat kekurangtahuannya tentang kriteria penting dalam akad, barang yang ia jual, kualitas barang maupu waktu penyerahan barang itu”

(Ruysd, 2007, hal. 746)

6) Menurut Ibn Abidin gharar adalah ketidakpastian mengenai keberadaan barang dalam jual beli.

7) Perdagangan gharar adalah sejenis penjualan yang berbelit-belit yang tidak pasti, misalnya menjual ikan atau burung sebelum ditangkap oleh penjualnya. Jual beli gharar dengan kata lain menimbulkan resiko spekulasi didalam akadnya.

8) Jual beli gharar juga dapat diartikan sebagai jual beli yang mengandung unsur-unsur penipuan, baik karena ketidakjelasan dalam objek jual beli atau ketidakpastian dalam cara pelaksanaannya (Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, 2010, hal. 201).

Menurut penulis gharar adalah ketidakjelasan terhadap sesuatu barang baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gharar berisi karakteristik-karakteristik tertentu seperti risiko, bahaya, spekulasi, hasil yang tidak pasti, dan keuntungan mendatang yang tidak diketahuiatau dapat dikatakan jual beli secara gharar (yang tidak jelas sifatnya) yaitu segala bentuk jual beli yag didalamnya terkandung jahalah (unsur ketidakjelasan), atau didalamnya terdapat unsur taruhan atau judi.

Sebuah akad melibatkan gharar, menyebabkan keuntungan dan kekayaan yang tak pantas pada satu pihak atas tanggungan kerugian pihak lain. Oleh karena itu, Nabi Saw telah melarang akad-akad yang mengandung gharar. Beliau mengidentifikasikan sejumlah transaksi sebagai transaksi gharar apabila transaksi-transaksi itu melibatkan elemen ketidakpastian, risiko, judi, tidak adanya ketentuan, dan kurangnya pengetahuan mengenai fakta-fakta material dalam akad.

b. Hukum Jual Beli Gharar

Jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan Al-Quran didasarkan kepada ayat-ayat yang melarang memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. Sebagaimana yang tersebut dalam QS. An-Nisa‟:

29 yang berbunyi :



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa‟: 29)

Adapun larangan jual beli gharar dalam hadits Nabi Saw dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:

للها ىلص للها لوسر ىى ررغلا عيب نع و ةاصلحا عيب نع ملس و ويلع

“Nabi Muhammad Saw melarang jual beli hushah dan jual beli gharar”.

Alasan haramnya adalah tidak pasti dalam objek, baik barang atau uang atau cara transaksinya itu sendiri. Karena larangan dalam hal ini langsung menyentuh essensi jual belinya, maka di samping haram hukumnya transaksi itu tidak sah (Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, 2010, hal. 201) c. Jenis-Jenis Gharar

Kelebihan yang dimiliki oleh Mazhab Maliki yang tidak dimiliki mazhab lain adalah terletak pada pengembangan hadits yang terkait dengan masalah gharar, bahkan ada diantara mereka (ulama mazhab Maliki) yang membahas secara spesifik permasalahan tentang gharar, serta mengetengahkan pembagian-pembagian gharar dengan berbagai ragamnya (Husain Syahatah, 2005, hal. 146).

Dan setelah kita amati dalam pembagian gharar tersebut maka akan didapati permasalahan cabang yang sangat banyak menurut mazhab Maliki, dan begitu juga menurut mazhab lainnya, yaitu:

1) Gharar dalam sighat akad (kalimat transaksi) (Husain Syahatah, 2005, hal. 152), yang meliputi:

a) Dua kesepakatan satu transaksi

Bai‟atani fii bai‟ah adalah merupakan satu kesepakatan dengan dua transaksi, baik dengan terlaksananya salah satu dari dua transaksi tersebut (atau dari segi harganya). Sebagai contoh ketika seorang penjual mengatakan : “saya jual komoditi ini kepada anda seharga seratus secara tunai dan seratus sepuluh dengan cara kredit”.

Kemudian pembeli menjawab: “saya terima”, akan tetapi si pembeli tidak menentukan akad (kesepakatan) atau harga mana yang ia pilih untuk dibeli, yang semestinya salah satu dari kedua kesepakatan atau harga tersebut harus diputuskan oleh pembeli. Betuk lain dari bai‟atani fii bai‟ah dapat juga berlaku dengan terlaksananya kedua kesepakatan atau harga tersebut, seperti pernyataan pihak penjual:”saya jual rumahku kepada anda seharga sekian dengan syarat anda menjual mobil anda kepada saya dengan harga sekian”.

b) Jual beli dengan hilangnya uang muka

Bai‟ urban atau Urbun adalah seorang membeli sebuah komoditi dan sebagian pembayaran diserahkan kepada penjual (DP/uang muka). Jika si pembeli jadi mengambil komoditi tersebut maka uang pembayaran tersebut termasuk dalam perhitungan harga. Akan tetapi, jika calon pembeli tidak jadi mengambil komoditi tersebut maka uang muka tersebut menjadi milik penjual.

c) Jual beli jahiliyah (dengan batu, sentuhan dan lemparan) (1) Bai al Hashah (jual beli dengan batu)

Suatu transaksi bisnis di mana penjual dan pembeli bersepakat atas jual beli suatu komoditi pada harga tertentu dengan hashah (batu kecil) yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang dijadikan pedoman atas berlangsung tidaknya transaksi tersebut, atau juga dengan meletakkan batu kecil tersebut di atas komoditi, dan juga jatuhnya batu di pihak manapun yang mengharuskan orang tersebut melakukan transaksi.

(2) Bai‟ al-mulamasah (jual beli dengan sentuhan)

Ketika kedua pihak (penjual dan pembeli) melakukan aktivitas tawar menawar atas suatu komoditi, kemudian apabila calon pembeli menyentuh komoditi tersebut (baik sengaja maupun tidak) maka dia harus membelinya baik sang pemilik komoditi tersebut rela atau tidak. Atau seorang penjual berkata kepada pembeli, “jika anda menyentuh baju ini maka itu berarti anda harus membelinya dengan harga sekian, sehingga mereka menjadikan sentuhan terhadap obyek bisnis sebagai alasan untuk berlangsungnya transaksi jual beli.

(3) Bai‟ al-minabadzah (jual beli dengan lemparan)

Seorang penjual berkata kepada calon pembeli, “jika saya lemparkan sesuatu35 kepada anda maka transaksi jual beli harus berlangsung diantara kita, atau juga ketika pihak penjual dan calon pembeli melakukan tawar menawar komoditi kemudian penjual melemparkan sesuatu kepada pembeli maka ia harus membeli komoditi tersebut dan ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima transaksi tersebut, atau dengan gambaran lain seorang penjual berkata kepada calon pembeli, “jika saya melemparkan komoditi ini kepada anda maka itu berarti saya jual komoditi ini kepada anda dengan harga sekian”.

d) Jual beli bergantung

Bai‟ al-Mu‟allaq adalah suatu transaksi jual beli di mana keberlangsungannya tergantung pada transksi lainnya (yang disyaratkan). Keberhasilan transaksi dapat terjadi dengan (mengikuti) instrument-instrumen yang ada dalam ta‟liq (persyaratan dalam akad yang berbeda). Sebagai contoh adalah tatkala seorang penjual mengatakan kepada calon pembeli, “Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian jika si Fulan menjual rumahnya kepada saya”.

Kemudian calon pembeli menjawab, “Saya terima”. Kesepakatan

dalam suatu transaksi jual beli semestinya tidak dapat menerima pergantungan atau pernyataan tertentu yang dijadikan ikatan atau dasar berlangsungnya transaksi. Jika hal tersebut dilakukan maka transaksi bisnis jual beli tersebut menjadi rusak menurut mayoritas ulama fiqh.36

e) Jual beli al-Mudhaf

Bai‟ al-mudhaf adalah kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli untuk waktu yang akan datang, contoh dari transaksi ini adalah perkataan seseorang (penjual) kepada pihak lain, “Saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian pada awal tahun depan”. Kemudian orang itu menjawab,”Saya terima”.

2) Gharar dalam objek transaksi : (Husain Syahatah, 2005, hal. 165) a) Ketidakjelasan jenis objek transaksi (هيلعدوقعولا سنج يف ةلاهجلا)

Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ru‟ya (hak melihat komoditinya) ( Nasroun, 2000, h. 137). Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru‟yah tanpa dengan adanya syarat, berdasarkan hadis berikut:

“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”.

Akan tetapi ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak.Oleh sebab itu, menurut mereka, khiyar ru‟yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsur penipuan (gharar).

b) Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi (هيلعدوقعولا عون يف ةلاهجلا)

Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad.Tidak sahnya akad seperti ini karena mengandung unsurketidakjelasan dalam obyeknya.

Seperti seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda binatang dengan harga sekian” tanpa menjelaskan binatang apa dan yang mana(Husain , 2005, h. 167).Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukan secara jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. Mengenai jual beli kerikil (Bai‟ al-Hashah) yang mirip judi dan biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah, yaitu jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.

c) Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek transaksi يف ةلاهجلا(

هيلعدوقعولا ةفصلا

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat, bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya.Tetapi jika objek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.

Beberapa contoh dari transaksi jual beli terlarang karena faktor gharar yang disebabkan dari unsur ketidaktahuan dalam sifat dan karakter obyek transaksi.

(1) Jual beli sesuatu yang ada dalam kandungan tanpa induknya.

(2) Jual beli janin, sperma jantan, dan segala bentuk materi pembuahan janin.

d) Ketidakjelasan dalam takaran objek transaksi هيلعدوقعولا )ردقلا يف ةلاهجلا) Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan) hukum dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan Syafi‟i dengan jelas memaparkan pendapatnya.

Transaksi jual beli yang dilarang karena unsur gharar yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek transaksi antara lain, Jual beli (barter antara) buah yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib (anggur kering), dan tanaman dengan makanan dalam takaran tertentu.

e) Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi هيلعدوقعولا )تاذلا يف ةلاهجلا) Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah bentuk dari gharar yang terlarang.Hal ini karena dzat dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam penentuan.Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-macam pada dasarnya komoditi di sini menjadi tidak jelas dalam volumenya yang besar dan dapat menimbulkan perselisihan yang pelik yang pada akhirnya berakibat pada rusaknya transaksi jual beli.

f) Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi هيلعدوقعولا )نهزلا يف ةلاهجلا) Ketidaktahuan dalam waktu pembayaran adalah transaksi habl al hablah. Transaksi ini ditafsirkan dalam banyak terminology, salah satunya adalah jual beli dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau hingga seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya. Maka dalam transki bisnis semacam ini disimpulkan adanya unsur gharar yang timbul akibat penangguhan pembayaran hingga waktu yang tidak dapat diketahui secara konkrit.

Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.

g) Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi (نيلست ىلع ةردفلا مدع) Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat sahnya dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan, secara otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar (tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui tempatnya. Contoh lainnya dari ketidakmampuan dalam penyerahan obyek transaksi yang sering dipaparkan oleh para ulama ahli fiqh adalah bai al dain bi al dain (jual beli hutang dengan hutang), menjual sesuatu yang bukan miliknya, dan penjualan yang dilakukan pembeli sebelum adanya mekanisme pemberian kuasa.

Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak (Syamsul, 2007, h. 191).

h) Melakukan akad atas sesuatu yang ma‟dum (tidak nyata adanya).

Bentuk lain gharar yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli yaitu keberadaan obyek transaksi yang tidak ada pada waktu transaksi dilakukan. Ataupun keberadaan obyek tidak jelas pada masa yang akan datang, bisa bersifat spekulatif dimana mungkin obyek ada dan kemungkinan juga tidak ada, maka jual beli semacam ini tidak sah.

Sebagai contoh dari transaksi ini adalah jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta (mengandung) bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran/mati) begitu juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.

i) Tidak adanya hak melihat atas obyek transaksi (Husain Syahatah, 2005, hal. 146).

Ada kalanya obyek transaksi diketahui macam, jenis, sifat, ukuran, waktu, berwujud, dan dapat diserahkan, akan tetapi masih

dikategorikan kedalam unsur gharar oleh sebagian para ulama ahli fiqh. Yaitu, ketika obyek tersebut tidak dapat dilihat oleh salah satu dari pihak penjual atau pembeli. Dan itu terjadi ketika obyek transaksi tidak ada pada waktu transaksi berlangsung, atau ada pada waktu akad berlangsung akan tetapi tidak terlihat karena berada dalam pembungkus, dan inilah yang dikenal dengan jual beli „ain ghaib, yaituobyek transaksinya ada di luar (tidak terindera) dan dimilki secara penuh oleh penjual akan tetapi tidak dapat dilihat oleh pembeli.

4. Wanprestasi Secara Umum

Dokumen terkait