• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji gigit (teeth cutting test) merupakan uji untuk menilai kekenyalan (springness) produk. Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 9.

 

Gambar 9 Histogram nilai uji gigit gel ikan lele dumbo (C. gariepinus)

Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 7,50. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit yang

dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo yaitu 7,10-7,50. Artinya gel yang terbentuk termasuk kriteria agak kuat. Pencucian

dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000). Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan, akan tetapi panelis tidak menemukan perbedaan yang nyata dari gel ikan yang dihasilkan.

4) Kekuatan gel (gel strength)

Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Nilai rata-rata kekuatan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Histogram nilai kekuatan gel ikan lele dumbo (C. gariepinus) Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 1 memiliki nilai terbesar yaitu 683,35 gf. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata kekuatan gel yang dihasilkan (Lampiran 6). Gambar di atas menunjukkan bahwa semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan maka nilai rata-rata kekuatan gel semakin rendah, hal ini diduga bahwa gel yang terbentuk pada frekuensi pencucian 1 masih sangat kokoh. Tujuan dari pencucian surimi adalah untuk meningkatkan kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma (Muhibuddin 2010), akan tetapi dengan frekuensi pencucian 3 kemampuan mengikat gel akan rendah karena diduga struktur gel yang terbentuk menjadi kurang kuat karena pencucian tanpa penambahan garam sebanyak 2 kali. Hal ini diduga karena menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Semakin banyak frekuensi pencucian maka konsentrasi protein larut garam pun akan menurun, sehingga kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun (Reynolds et al. 2002).

4.1.2 Karakteristik sensori

Analisis sensori dalam penelitian ini adalah uji kesukaan (hedonik) yang merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini, panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya mengenai kesukaan atau ketidaksukaan, di

samping itu, panelis juga mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan (Rahayu 2001).

1) Penampakan

Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen, karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual. Meskipun penampakan tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen (Soekarto 1985). Nilai rata-rata penampakan gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 11.

 

Gambar 11 Histogram nilai penampakan gel ikan lele dumbo (C. gariepinus)

Penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 7,00. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata penampakan yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo yaitu 6,73-7,00. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan gel ikan berada pada kriteria agak suka hingga suka. Proses pencucian dalam pembuatan surimi dapat meningkatkan kemampuan daging untuk membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma yang menghambat pembentukan gel (Lee 1984 diacu dalam

Muhibuddin 2010). Hal ini diduga mempengaruhi nilai rata-rata penampakan gel ikan yang dihasilkan. Penampakan secara keseluruhan, dari ketiga hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian yang dihasilkan tidak terlalu berbeda, akan tetapi panelis lebih menyukai penampakan yang utuh dan kompak.

2) Warna

Warna merupakan salah satu aspek penting bagi makanan, baik makanan yang tidak diproses maupun makanan yang diproses. Warna juga berperan penting dalam penerimaan makanan, bersamaan dengan parameter bau, rasa dan tekstur. Nilai rata-rata warna gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 12.

 

Gambar 12 Histogram nilai warna gel ikan lele dumbo (C. gariepinus)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) 

Warna gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 7,17. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata warna gel ikan yaitu 6,53-7,17. Artinya penilaian panelis terhadap warna gel ikan berada pada kriteria agak suka hingga suka. Semakin banyaknya jumlah pencucian, terlihat bahwa nilai rata-rata warna gel ikan semakin meningkat, yaitu semakin putih dan bersih.

Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter organoleptik warna gel ikan dapat dilihat pada Lampiran 7b. Tujuan dari pencucian adalah untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki warna dan flavor serta meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992). Hal ini berpengaruh terhadap nilai rata-rata warna gel ikan yang dihasilkan. Semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, zat-zat yang terlarut tersebut semakin banyak dan mengakibatkan warna surimi akan semakin bersih dan semakin disukai panelis (Suzuki 1981).

3) Rasa

Faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen adalah rasa. Walaupun parameter penilaian yang lain baik tetapi jika rasanya tidak disukai, maka produk tersebut akan ditolak. Hasil nilai rata-rata rasa gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 13.

 

Gambar 13 Histogram nilai rasa gel ikan lele dumbo (C. gariepinus)

Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 1 memiliki nilai terbesar yaitu 6,63. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata rasa gel ikan yaitu 6,43-6,63. Artinya penilaian panelis terhadap rasa gel ikan berada pada kriteria agak suka.

Nilai rata-rata rasa yang dihasilkan untuk setiap perlakuan relatif sama. Hal ini diduga karena dalam pembuatan gel ikan tidak menggunakan bahan tambahan lain (bumbu) selain garam dengan konsentrasi yang sama yaitu 2,5% (b/b). Fungsi garam yang ditambahkan sewaktu penggilingan bukan sebagai bumbu atau penambah cita rasa, tetapi untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan melarutkan aktomiosin sehingga terbentuk sol (Suzuki 1981). Selain itu, kadar air juga mempengaruhi nilai rata-rata rasa, saat pencucian, ada air yang masuk ke dalam jaringan sehingga terjadi penggelembungan protein miofibril. Hal itu disebabkan pengaruh ion Cl- dari penambahan garam, dimana ion tersebut berikatan dengan pigmen yang bermuatan positif sehingga ruang antar filamen

akan menjadi luas sehingga air akan masuk dan terjebak di dalamnya (Koswara 1992).

4) Aroma

Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidak enaknya makanan, bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks dari pada rasa dan kepekaan indera pembauan biasanya lebih tinggi dari indera pencicipan, bahkan industri pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan

cepat memberikan hasil penilaian apakah produk disukai atau tidak (Soekarto 1985). Nilai rata-rata aroma gel ikan dengan perlakuan frekuensi

pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 14.

 

Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 1 memiliki nilai terbesar yaitu 6,17. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma yang dihasilkan (Lampiran 6). Nilai rata-rata aroma gel ikan yang dihasilkan yaitu 5,90-6,17. Artinya penilaian panelis terhadap aroma gel ikan berada pada kriteria biasa atau netral hingga agak suka. Hal ini karena pada proses pembuatan gel ikan ini tidak ada penambahan bumbu lain pada adonan kecuali garam. Panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma gel ikan yang dihasilkan dan memperlihatkan kesukaan yang sama pada semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori yang diperoleh.

5) Tesktur

Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk gelikan karena sifat elastisitas dan kekenyalannya. Tekstur meliputi keras, halus, kasar, berminyak dan lembab (Soekarto 1985). Nilai rata-rata tekstur gel ikan dengan perlakuan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 15.

 

Gambar 15 Histogram nilai tekstur gel ikan lele dumbo (C. gariepinus)

Gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian 3 memiliki nilai terbesar yaitu 6,80. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian tidak

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur yang dihasilkan (Lampiran 6). Berdasarkan Gambar 15. dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tekstur gel ikan yang dihasilkan adalah 6,57-6,80. Artinya penilaian panelis terhadap tekstur gel ikan berada pada kriteria agak suka. Nilai rata-rata tekstur yang cenderung naik diduga karena pada setiap proses pencucian dapat

memperbaiki tekstur gel ikan yang dihasilkan dengan menghilangkan senyawa-senyawa yang menghambat pembentukan gel. Tujuan dari pencucian

surimi adalah untuk meningkatkan kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma (Muhibuddin 2010).

4.2 Penelitian Utama

Pada penelitian utama ini dilakukan pembuatan sosis ikan lele dumbo dengan menggunakan frekuensi dua kali pencucian hasil penelitian pendahuluan. Dalam pembuatan sosis diberikan perlakuan penambahan isolat protein kedelai dengan konsentrasi yang telah ditentukan, kemudian dilihat karakteristik sensori, karakteristik fisika-kimia dan mikrobiologinya.

4.2.1 Karakteristik sensori

Nilai sensori suatu bahan pangan merupakan indikator penting yang dapat menunjukkan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk. Mutu sensori pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau diukur dengan proses penginderaan (Soekarto 1985). Mutu organoleptik mempunyai peranan penting dalam penilaian mutu produk pangan, baik sebagai bahan pangan hasil pertanian, bahan mentah industri maupun produk olahan, terlebih sebagai makanan hidangan.

Penilaian mutu dengan uji organoleptik dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, tetapi uji ini memiliki kelemahan, yaitu dipengaruhi oleh kondisi fisik, psikologis panelis dan lingkungan. Uji sensori yang dilakukan yaitu uji kesukaan yang meliputi penampakan, warna, rasa, aroma dan tekstur. Uji tersebut dilakukan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk yang dihasilkan dan tingkat kesukaannya.

1) Penampakan

Penampakan merupakan karakteristik utama yang dinilai oleh konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan baik atau disukai, maka konsumen melihat karakteristik lainnya. Meskipun penampakan tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen (Soekarto 1985).

Nilai rata-rata uji sensori pada parameter penampakan dari empat perlakuan konsentrasi isolat protein kedelai yang dihasilkan adalah 6,33-6,73. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria agak suka. Nilai rata-rata penampakan sosis ikan lele dumbo dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP (isolat soy protein) dapat dilihat pada Gambar 16.

 

Gambar 16 Histogram nilai penampakan sosis lele dumbo (C.gariepinus)

Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata penampakan sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Perlakuan penambahan isolat protein kedelai tidak mempengaruhi penilaian kesukaan panelis terhadap penampakan dari sosis, hal ini diduga karena sosis yang dihasilkan memiliki penampakan yang seragam, yaitu sosis yang dihasilkan relatif sama dengan penampakan yang kompak dan lentur sehingga penilaian panelis tidak berbeda. 2) Warna

Warna merupakan salah satu aspek penting bagi makanan, baik makanan yang tidak diproses maupun makanan yang diproses. Warna juga berperan penting

dalam penerimaan makanan, bersamaan dengan parameter bau, rasa dan tekstur. Menurut Winarno (1997), penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dibeli apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Nilai rata-rata warna sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 17.

 

Gambar 17 Histogram nilai warna sosis lele dumbo (C. gariepinus)

Nilai rata-rata uji sensori pada parameter warna dari empat perlakuan yang dihasilkan adalah 6,17-6,53. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi ISP yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Hal ini terjadi karena sosis yang dihasilkan dari penelitian ini bewarna putih kecoklatan karena tidak menggunakan bahan pewarna alami maupun sintetik, akan tetapi menurut Wulandhari (2007) warna sosis dipengaruhi oleh bahan pengisi dan bahan pengikat yang ditambahkan. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi kecoklatan sehingga menurunkan mutu sensori yaitu warna dan rasa pada produk akhir.

3) Rasa

Faktor-faktor yang menentukan suatu produk diterima atau tidak oleh konsumen adalah dari segi rasa. Rasa memegang peranan penting dari keberadaan

suatu produk, hal ini terkait dengan selera konsumen. Menurut Rompis (1998), konsumen bersedia membayar mahal pada makanan enak atau makanan yang mereka sukai, tanpa mempertimbangkan komposisi gizi dan sifat-sifat objektif lainnya. Apabila parameter penilaian yang lain baik, tetapi jika rasanya tidak disukai, maka produk tersebut akan ditolak. Nilai rata-rata rasa sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Histogram nilai rasa sosis lele dumbo (C. gariepinus)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Nilai rata-rata uji sensori pada parameter rasa dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,57-6,43. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria netral hingga agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi ISP berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata rasa sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Hasil uji lanjut multiple comparisons

parameter organoleptik rasa sosis ikan lele dumbo dapat dilihat pada Lampiran 9a. Rasa sosis dipengaruhi dari beberapa faktor, yaitu jenis bumbu, konsentrasi bumbu, bahan pengisi serta bahan pengikat yang ditambahkan. Penambahan isolat protein kedelai sebanyak 10% menunjukkan nilai rasa yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena semakin banyaknya penambahan isolat protein kedelai maka akan menimbulkan rasa pahit yang kurang disukai panelis.

4) Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas bahan makanan. Dalam industri pangan, uji terhadap aroma dianggap penting

karena dengan cepat dapat dianggap memberikan penilaian terhadap hasil produknya, apakah produk tersebut disukai atau tidak oleh konsumen (Soekarto 1985). Aroma atau bau dapat dikenali bila berbentuk uap, umumnya

bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 1997). Nilai rata-rata aroma sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 19.

 

Gambar 19 Histogram nilai aroma sosis lele dumbo (C. gariepinus)

Nilai rata-rata uji sensori pada parameter aroma dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,83-6,37. Artinya penilaian panelis terhadap penampakan sosis ikan berada pada kriteria netral hingga agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma sosis yang dihasilkan (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma sosis yang dihasilkan dan memperlihatkan bahwa panelis masih menyukainya pada semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori yang diperoleh. Aroma dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan.

5) Tesktur

Tekstur adalah halus atau tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis. Aspek yang dinilai pada kriteria tekstur adalah kasar

serta halusnya dan empuk tidaknya sosis yang dihasilkan. Nilai rata-rata tekstur sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 20.

 

Gambar 20 Histogram nilai tekstur sosis lele dumbo (C. gariepinus)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Nilai rata-rata uji sensori pada parameter tekstur dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,73-6,67. Artinya penilaian panelis terhadap tekstur sosis ikan berada pada kriteria netral hingga agak suka. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata tekstur yang dihasilkan (Lampiran 8). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter organoleptik tekstur sosis ikan dapat dilihat pada Lampiran 9b. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan, nilai rata-rata tekstur sosis cenderung meningkat karena kandungan air pada bahan akan banyak terserap, karena sifatnya yang higroskopis sehingga menyebabkan teksturnya lentur dan kompak (Yulianti 2003). Untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk juga perlu ditambahkan lemak dengan konsentrasi 5-25% (Datulong 2009).

4.2.2 Karakteristik fisika

Analisis fisika-kimia yang dilakukan terhadap produk sosis pada penelitian ini terdiri dari analisis uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cutting test), kekuatan gel (gel strength), stabilitas emulsi dan daya mengikat air (WHC).

1) Uji lipat

Uji lipat bertujuan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis secara subyektif. Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas kekuatan gel dan secara luas digunakan oleh industri karena sederhana dan dengan cepat dapat menunjukkan kekuatan gel dari suatu produk.

Nilai rata-rata uji sensori pada parameter uji lipat dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 3,70-4,30. Artinya penilaian panelis terhadap uji lipat sosis ikan berada pada kriteria agak kuat (retak berangsur-angsur setelah dilipat menjadi setengah lingkaran) hingga cukup kuat (tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran). Nilai rata-rata uji lipat sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 21.

 

Gambar 21 Histogram nilai uji lipat sosis lele dumbo (C. gariepinus)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat yang dihasilkan (Lampiran 8). Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter uji lipat sosis dapat dilihat pada Lampiran 9c. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan, nilai rata-rata tekstur sosis cenderung meningkat karena kandungan air pada bahan akan banyak yang terserap, karena sifat isolat protein kedelai yang higroskopis (Yulianti 2003). Semakin tinggi kadar isolat protein kedelai yang ditambahkan, maka akan semakin banyak air dalam adonan yang akan terserap.

Hal ini yang menyebabkan tekstur sosis menjadi lebih kompak. Penambahan ISP akan meningkatkan jumlah ikatan silang antar protein (Widodo 2008). Semakin kompak tekstur dari sosis maka uji lipat yang dihasilkan pun akan semakin lebih baik.

2) Uji gigit (cutting test)

Uji gigit dilakukan untuk memberikan taksiran secara subjektif untuk

mengetahui kekuatan gel dan kekenyalan sosis ikan yang dihasilkan. Nilai rata-rata uji gigit sosis ikan dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat

protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 22.

 

Gambar 22 Histogram nilai uji gigit sosis lele dumbo (C. gariepinus)

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript

yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Nilai rata-rata uji sensori pada parameter uji gigit dari empat perlakuan yang dihasilkan berkisar antara 5,07-6,90. Artinya penilaian panelis terhadap uji gigit sosis ikan berada pada kriteria agak diterima, sedikit kuat hingga daya lenting

dapat diterima. Berdasarkan hasil uji chi-square dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat

protein kedelai yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit yang dihasilkan (Lampiran 8).

Hasil uji lanjut multiple comparisons parameter uji gigit sosis dapat dilihat pada Lampiran 10a. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan, nilai rata-rata uji gigit sosis cenderung meningkat karena kandungan air pada bahan akan banyak yang terserap karena sifat isolat protein kedelai yang

higroskopis. Semakin tinggi konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan maka akan semakin meningkat kekenyalannya, dan mempengaruhi hasil uji gigit, karena semakin tinggi kandungan protein dari ISP maka akan semakin banyak

Dokumen terkait