• Tidak ada hasil yang ditemukan

zat gizi, kadar Hb dengan tingkat kelelahan 87 13 Hasil uji korelasi pearson

Indonesia sehat tahun 2010 merupakan salah satu agenda pembangunan nasional di bidang kesehatan dalam rangka mewujudkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang dicirikan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan mandiri. Upaya pencapaian sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas ini lebih difokuskan untuk membentuk manusia yang mampu hidup lebih lama, menikmati hidup sehat, mempunyai kesempatan meningkatkan ilmu pengetahuan dan hidup sejahtera (Moeloek 1999).

Anemia gizi akibat kekurangan zat besi merupakan masalah gizi dengan prevalensi terbesar di dunia. Menurut Soekirman (2000), saat ini diperkirakan kurang lebih 2,1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi termasuk pada tingkat berat. Meskipun anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih dari 50% kasus anemia yang tersebar di seluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan (intake) zat besi (INACG 2004).

Anemia gizi dapat terjadi pada berbagai kelompok umur. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) 1995 dalam Moeloek (1999) menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada balita sebesar 50.9%, anak usia sekolah sebesar 47.3 persen, ibu hamil sebesar 50.9 persen dan pada remaja (10-14 tahun) sebesar 51.5 persen dimana prevalensi pada remaja putera 45.8 persen dan remaja putri 57.1 persen. Dari semua kelompok umur tersebut, kejadian anemia pada remaja merupakan kelompok dengan prevalensi terbesar, karena pada masa remaja ini terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan dan adanya menstruasi pada remaja putri (Depkes 1998).

Beberapa penelitian pada remaja menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen menderita anemia. Prevalensi anemia pada santri remaja di Leuwiliang Kabupaten Bogor (Permaesih et al. 1998) dan remaja SLTA di Jakarta Timur (Wirawan 1995) adalah yaitu sebesar 44.4 persen. Bahkan hasil penelitian Hayatinur (2001) menunjukkan bahwa prevalensi anemia remaja SMU di Kuningan Jawa Barat lebih tinggi yaitu 61.02 persen.

Selama ini masalah kesehatan remaja kurang mendapat perhatian serius, karena remaja secara umum tidak mudah terserang penyakit daripada anak-anak dan orangtua. Keadaan status gizi remaja pada umumnya dipengaruhi oleh pola konsumsi makan yang berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi zat gizi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan makanan atau membatasi sendiri makanannya, karena faktor ingin langsing (Karyadi 1995).

Menurut Hurlock (1991) hanya sedikit remaja yang merasa puas dengan tubuhnya. Sedangkan ukuran tubuh, usia, dan status kesehatan wanita merupakan faktor penting yang mempengaruhi status bayi yang akan dilahirkannya (Senderowitz 1995). Oleh karenanya kesempurnaan dan kematangan fisik khususnya pada remaja putri merupakan salah satu penentu kesiapan remaja menghadapi masa reproduksi.

Kecenderungan untuk menikah pada usia muda, baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan menyebabkan persiapan pernikahan sebagai tugas perkembangan yang paling penting dalam masa-masa remaja. Khususnya bagi remaja putri yang nantinya menjadi seorang ibu, mengandung, melahirkan dan mengasuh anak. Kurangnya persiapan mental dan fisik ini menjadi masalah serius yang tidak hanya berdampak pada dirinya akan tetapi juga pada generasi yang dihasilkannya. Suatu penelitian menunjukkan bahwa kehamilan di masa remaja berpotensi melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Kusharto & Florencio 1994).

Kesiapan mental remaja diantaranya terlihat dari persepsi remaja tentang reproduksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi adalah pengetahuan reproduksi. Penelitian menunjukkan hanya sebagian kecil remaja di Indonesia memiliki pengetahuan reproduksi yang baik dan mendapat informasi tentang reproduksi dari sumber yang kompeten (Media 1995).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai pola konsumsi pangan, status gizi dan pengetahuan reproduksi remaja putri.

Tujuan

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pola konsumsi pangan, status gizi dan pengetahuan reproduksi remaja putri SMA dan Pondok Pesantren di Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau.

Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan karakteristik remaja putri SMA dan Pondok Pesantren dalam hal :

1. Sosial ekonomi remaja putri dan keluarga 2. Pola konsumsi dan tingkat konsumsi 3. Pengetahuan gizi

4. Status gizi secara antropometri (IMT) dan biokimia (kadar Hb) 5. Tingkat kelelahan

6. Pengetahuan dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi

7. Menganalisis kaitan sosial ekonomi, pola konsumsi, pengetahuan gizi, status gizi, pengetahuan dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi tentang kesiapan remaja putri menjadi calon ibu berkualitas yang menjalankan fungsi reproduksi, serta menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan, pendidik, dan orangtua untuk menentukan langkah tepat guna, peningkatan informasi dan kesadaran kesehatan reproduksi pada remaja sebagai upaya meningkatkan kualitas reproduksi (pregnancy outcome).

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan dewasa yaitu berumur antara 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian remaja menunjukkan ke masa peralihan sampai tercapainya masa dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya secara pasti. Masa remaja seperti banyak anggapan merupakan saat-saat yang tersulit dalam kehidupannya sebelum ia memasuki dunia kedewasaannya (Gunarsa & Gunarsa 1995). Remaja merupakan kelompok manusia yang berada diantara usia kanak-anak dan dewasa (Jones 1997). Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah menengah atau perguruan tinggi. Bila mereka bekerja, mereka melakukan pekerjaan sambilan dan belum mempunyai pekerjaan tetap (Monks et al. 1992).

Menurut Sarwono (1997), berdasarkan tahap perkembangannya masa remaja dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap remaja awal (14-17 tahun untuk laki-laki dan 13-17 tahun untuk wanita) dan tahap remaja akhir (19-21 tahun untuk laki-laki dan wanita). Ciri-ciri tahap remaja awal yaitu terjadi perubahan fisik dan kejiwaan yang pesat. Perubahan kejiwaan menyebabkan perubahan sikap terhadap diri sendiri maupun orang lain sedangkan pertumbuhan fisik pada tahap ini terjadi sangat pesat dibandingkan tahap akhir, masa peningkatan emosi, masa tidak stabil (cepat bosan, sulit berkonsentrasi dan lain- lain), merasa banyak masalah. Ciri-ciri tahap remaja akhir yaitu lebih stabil dalam emosi, minat, konsentrasi dan cara berpikir, bertambah realistis, bertambah kemampuan untuk memecahkan masalah, tidak terganggu lagi dengan perhatian orang tua yang kurang, dan pertumbuhan fisik pada tahap ini lambat.

Hurlock (1991) menyatakan selama masa remaja terjadi perubahan eksternal dan internal tubuh. Perubahan ekternal tubuh meliputi perubahan dalam tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder seperti payudara, suara, rambut dan sebagainya. Sedangkan perubahan internal tubuh yang terjadi pada masa remaja meliputi perkembangan sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin, dan jaringan tubuh terutama otot. Menurut Husaini (1989) pada anak laki-laki

pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak yang lebih banyak.

Menurut O’Dea (1996), masa pubertas remaja mengalami pertumbuhan yang pesat dalam hal tinggi badan, berat badan, lemak tubuh dan otot serta penyempurnan berbagai sistem organ. Menurut Husaini (1989) pada laki-laki pertumbuhan otot lebih menonjol sedangkan pada perempuan deposit lemak lebih banyak.

Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada remaja menyebabkan mereka memberi perhatian yang besar terhadap penampilan dirinya. Remaja mengharapkan gambaran tubuh yang ideal (body image), sehingga penyimpangan atau cacat anggota tubuh sangat merisaukan perasaannya terutama pada remaja putri (Monks et al. 1992). Salah satu upaya remaja untuk mencapai body image tersebut adalah menurunkan berat badan dengan mengubah kebiasaan makan. Perubahan kebiasaan makan yang tidak tepat memungkinkan terjadinya anorexia nervosa dan bulimia sebagai masalah kesehatan remaja (Heald et al.1998).

Menurut Sediaoetama (1991) remaja berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pada masa ini, pemenuhan kebutuhan gizi sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini dapat dilakukan oleh orang lain (penyedia makanan di rumah) ataupun dirinya sendiri. Selanjutnya bila terjadi defisiensi zat gizi, akan dapat terlihat pada keadaan fisik, status kesehatan dan status gizi.

Pengetahuan Gizi

Kesehatan tubuh belum terjamin hanya dengan konsumsi makanan yang berkualitas baik. Tanpa mengetahui jumlah dan jenis bahan makanan yang baik dikonsumsi untuk kesehatan mustahil kesehatan tubuh dapat terjaga dengan baik. Untuk mengatasi hal itu dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi yang kurang akan menimbulkan anggapan bahwa makanan sehat adalah makanan mahal serta timbulnya kepercayaan dan kebiasaan yang merugikan (Martoatmojo 1978). Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Selain itu juga dapat diperoleh dengan melihat dan mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi, seperti

membaca surat kabar dan majalah, mendengar siaran radio dan menyaksikan siaran televisi ataupun melalui penyuluhan kesehatan gizi (Suhardjo 1989).

Konsumsi Pangan

Menilai status gizi seseorang dapat melalui pola konsumsi yang ada. Pola konsumsi seseorang tidak lepas dari kebiasaan makan yang dilakukannya. Kebiasan makan seringkali merupakan suatu pola yang berulang atau bagian dari rangkaian panjang kebiasaan hidup secara keseluruhan yang dapat diukur dengan pola konsumsi pangan. Kebiasaan makan adalah cara-cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan memakan makanannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh psikologis, fisiologis, serta budaya dan sosial (Harper et al. 1986).

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang tertentu dengan tujuan tertentu. Sedangkan perilaku konsumsi pangan (food consumption behavior) dapat dirumuskan sebagai cara-cara atau tindakan yang dilakukan oleh individu, keluarga atau masyarakat di dalam pemilihan makanannya yang dilandasi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan tersebut (Susanto 1997). Dalam aspek gizi tujuan mengkonsumsi pangan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989).

Selanjutnya pola konsumsi pangan adalah jenis frekuensi beragam pangan yang biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Sedangkan tingkat konsumsi adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui (Muhilal & Hardinsyah 2004).

Kecukupan zat-zat gizi bagi remaja putri yang dianjurkan menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan energi dan zat gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari)

Umur (th) BB (kg) TB (cm) Energi (kkal) Protein (g) Vit. C (mg) Besi (mg)

10-12 th 38 145 2050 50 50 20

13-15 th 49 152 2350 57 65 26

16-18 th 50 155 2200 55 75 26

Sumber : WNPG 2004

Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam Suhardjo (1989) berpendapat bahwa ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu: 1) karakter individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi dan kesehatan; 2) karakter makanan/pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk dan kombinasi makan; 3) karakter lingkungan seperti musim, pekerjaan, mobilitas dan tingkat sosial masyarakat. Selain beberapa faktor tersebut, Tarwotjo & Suyuti (1979) juga berpendapat bahwa konsumsi makanan dipengaruhi oleh status kesehatan.

Cukup dan tidaknya konsumsi makanan ditentukan dengan menganalisis kandungan zat gizinya, kemudian dibandingkan dengan standar yang dianjurkan untuk mencapai suatu tingkat gizi dan kesehatan yang optimal. Standar yang dimaksud adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Suhardjo 1989).

Keperluan utama tubuh ialah energi yang apabila tidak terpenuhi, maka kemungkinan besar keperluan tubuh akan protein tidak dapat terpenuhi, karena sebagian dari protein yang ada dalam diet akan dipergunakan untuk memperoleh energi. Apabila keperluan akan energi sudah dapat tercukupi dengan makanan sehari-hari yang seimbang, maka persoalan tentang cukupnya protein, lemak, vitamin dan mineral tidak akan merupakan suatu persoalan lagi. Secara otomatis keperluan akan zat-zat gizi tadi akan dipenuhi dari makanan sehari-hari yang seimbang (Lie 1979).

Survei yang dilakukan Hurlock (1991) menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, pastry serta permen, sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah- buahan yang mengandung banyak Vitamin C tidak populer atau jarang dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan vitamin C, serat dan lain- lain. Disamping itu hasil survey juga menunjukkan bahwa remaja suka minum-

minuman ringan (soft drink), teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan minum susu.

Penilaian Konsumsi Pangan

Gibson (2005) mengklasifikasikan metode survei konsumsi pangan individu ke dalam dua kelompok besar yaitu secara kuantitatif yang terdiri dari recall (mengingat) dan record ( pencatatan). Kelompok yang kedua (kualitatif) meliputi riwayat makan dan frekuensi makan.

Metode recall 24 jam, merupakan metode mengingat kembali jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang asupan makanan selama 24 jam yang lalu, atau yang dapat dijadikan patokan setiap hari. Informasi seperti ini dapat digunakan untuk menggambarkan rata-rata asupan makanan pada kelompok, jika kebiasaan makan individu merupakan gambaran kebutuhan yang sebenarnya selama 24 jam (Gibson 2005).

Apabila pengukuran recall hanya dilakukan satu kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Gibson 2005). Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu (Sanjur 1982). Frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intik konsumsi zat gizi (Gibson 2005). Dengan metode ini kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (misalnya : sumber lemak, sumber protein, dsb) selama kurun waktu tertentu ysng spesifik (misalnya : per hari, minggu, bulan, tahun). Kuesioner mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan.

Status gizi merupakan keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik (Gibson 2005).

Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada masa remaja kebutuhan akan zat gizi mencapai maksimum. Kebutuhan zat gizi yang tinggi ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tubuh yang cepat. Jika kebutuhan zat gizi tersebut tidak terpenuhi maka akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan tubuh (Williams 1980).

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung melalui pengukuran antropometri dan penilaian biokimia. Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga dan tingkat ketelitian penelitian yang diharapkan serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya (Riyadi 2003).

Status Gizi Antropometri

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengukuran antropometri adalah indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Menurut Riyadi (2003), indikator IMT menurut umur merupakan indikator terbaik untuk remaja. Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas dan juga sejalan dengan indikator yang sudah direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah tersedia.

Penentuan batasan berat badan normal pada orang dewasa berdasarkan nilai indeks massa tubuh dihitung menurut rumus berat badan dalam kilogram dibagi kuadrat tinggi badan dalam meter. Batasan nilai IMT normal bagi wanita adalah 18,7-23,8, atau sekitar 20,8 (Atmarita & Veronica 1992). Depkes mengkategorikan nilai IMT menjadi lima, yaitu kurus sekali (IMT<17,0), kurus (IMT 17,0-18,4), normal (IMT 18,5-25,0), gemuk (IMT 25,1-27,0) dan gemuk sekali (IMT >27,0). Becker et al. (1999) menyatakan bahwa nilai IMT <20

dikategorikan underweight, nilai IMT 20 sampai 25 dikategorikan normal, nilai IMT 25 sampai 30 dikategorikan overweight, dan >30 dikategorikan obese.

Status Gizi Biokimia

Penilaian status gizi secara laboratorium atau biokimia digunakan untuk mendeteksi tahap defesiensi subklinis dan untuk mengkonfirmasi diagnosa klinis. Melalui cara ini dapat ditentukan status gizi secara obyektif, yakni bebas dari emosi dan faktor subyektif lainnya (Gibson 2005).

Defisiensi zat gizi dalam tubuh biasanya berlangsung secara bertahap. Untuk mengetahui seberapa berat defisiensi zat gizi tersebut, maka dapat dilakukan dengan uji biokimia dalam cairan dan jaringan tubuh tertentu. Untuk menganalisis zat besi dalam darah dapat didekati dengan pengukuran kadar hemoglobin (Gibson 2005). Berdasarkan kadar Hb, maka individu dapat dikelompokkan menjadi anemia dan normal.

Anemia merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan dalam pembentukan energi. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal, yaitu kurang dari 12 g/dl (INACG 2004) dan berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Soekirman 2000). Remaja putri dikategorikan anemia apabila kadar Hb kurang dari 12 g/dl (WHO 1982).

Hemoglobin (Hb) merupakan substansi di dalam eritrosit (sel darah merah) yang mengandung protein globin dan komponen nonprotein dalam pigmen merah heme yang mengandung zat besi dan merupakan 33 persen dari volume sel dan terlibat dalam transport oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) (Tortora &

Anagnostakos 1990).

Hb mengandung protein (globin) yang terdiri dari empat rantai polipeptida dan empat komponen nonprotein dalam pigmen merah (heme), masing-masing polipeptida tersebut mengandung zat besi (Fe+2). Masing-masing zat besi dalam Hb dapat berikatan dengan molekul oksigen pada saat eritrosit melewati paru- paru. Pada tahap ini oksigen diangkut ke jaringan lain dalam tubuh. Di dalam jaringan tersebut reaksi zat besi-oksigen berbalik, sehingga oksigen dibebaskan untuk berdifusi ke dalam sel. Pada perjalanan sebaliknya, globin berkombinasi dengan karbondioksida. Kompleks ini diangkut ke paru-paru dan di dalam paru-

paru karbondioksida dibebaskan dan kemudian dikeluarkan dari tubuh (Tortora & Anagnostakos 1990). Penggunaan Hb sebagai indeks status zat besi memiliki beberapa keterbatasan (Gibson 2005), yaitu ketergantungan terhadap usia, jenis kelamin, dan ras, serta faktor lainnya.

Sebagian besar penyebab anemia di Indonesia adalah kekurangan zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, sehingga disebut anemia kekurangan besi. Menurut Latham (1979), penyebab terjadinya anemia gizi adalah tidak cukupnya zat-zat gizi terutama yang diserap dalam makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah maka terjadi keseimbangan negatif antara pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh. Selain itu zat-zat penyerta yang meningkatkan daya serap, seperti protein dan vitamin C juga tidak cukup.

CDC (1998) menyatakan bahwa anemia gizi dapat disebabkan oleh defisiensi zat gizi, infeksi dan pendarahan. Pendapat lain (Husaini 1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadi anemia, yaitu kehilangan darah karena pendarahan, kerusakan sel darah merah dan produksi darah merah tidak cukup. Pada Gambar 1 diuraikan penyebab langsung maupun tidak langsung dari anemia gizi besi.

Kekurangan hemoglobin dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang ditransportasi ke sel tubuh maupun otak, sehingga menimbulkan gejala- gejala letih, lesu, cepat lelah. Hal ini berakibat pada menurunnya kebugaran dan prestasi pada atlit, pada anak sekolah dapat menurunkan prestasi belajar dan dapat menurunkan produktivitas kerja pada pekerja yang berdampak pada rendahnya tingkat pendapatan (Soekirman 2000). Selain itu, kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan/hambatan pada pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak sehingga pada ibu hamil dapat mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir rendah (BBLR), pendarahan sebelum dan pada waktu melahirkan serta pada anemia berat dapat menimbulkan kematian ibu dan bayi. Pada anak dan remaja yang menderita anemia dapat mengalami gangguan pertumbuhan yang optimal dan menjadi kurang cerdas. Penderita kekurangan zat besi akan turun daya tahan tubuhnya, akibatnya mudah terkena penyakit infeksi (Depkes RI 1996).

Penyebab tidak langsung Penyebab langsung Status besi Ketersediaan zat besi dalam

makanan rendah

Praktek pemberian makanan kurang baik

Sosial ekonomi rendah Komposisi makanan kurang beragam

Terdapat zat-zat yang menghambat absorpsi Pertumbuhan fisik

Kehamilan dan menyusui

Pendarahan Parasit, infeksi

Pelayanan kesehatan rendah

Gambar 1 Penyebab langsung dan tidak langsung anemia gizi besi remaja putri (Husaini 1989).

Menurut Pollit (1985) dalam Almatsier (1989) menyatakan bahwa defisiensi besi dapat mempengaruhi pemusatan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ), dan prestasi belajar di sekolah. Dengan diberikan besi, maka nilai kognitif tersebut naik secara nyata. Penelitian terhadap anak balita dan anak sekolah didapatkan hasil bahwa anak yang menderita anemia gizi besi mengalami gangguan intelektual, seperti kemampuan verbal, kemampuan mengingat, berkonsentrasi, berpikir analog dan sistematis serta prestasi belajar yang rendah.

Sebelum zat besi diabsorpsi, zat besi ferri harus dirubah bentuk menjadi zat besi ferro melalui proses reduksi. Dalam proses perubahan ini harus ada asam,

Absorpsi zat besi rendah

Kebutuhan naik Jumlah zat besi dalam

makanan kurang

Kehilangan darah

Keadaan kurang besi

baik HCl yang secara normal terdapat di dalam lambung atau adanya vitamin C yang berasal dari beberapa jenis buah-buhan dan sayuran, atau daging, atau ikan (Husaini 1989).

Wirakusumah (1999) menyatakan bahwa zat besi dalam makanan dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Bentuk zat besi yang terdapat dalam makanan juga mempengaruhi penyerapan zat besi oleh tubuh. Ada dua macam bentuk zat besi dalam makanan, yaitu: (a) zat besi heme yaitu zat besi yang berasal dari hewan seperti daging, ikan dan ayam. Penyerapannya tidak tergantung pada jenis kandungan makanan lain dan lebih mudah diabsorpsi. Walaupun kandungan zat besi heme dalam makanan hanya antara 5-10 persen, tetapi penyerapannya mencapai 25 persen; dan (b) zat besi non heme yang terdapat pada pangan nabati, seperti sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Derajat absorpsi zat besi non heme termasuk rendah (hanya

Dokumen terkait