• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masa remaja ditandai dengan pesatnya perkembangan dan pertumbuhan fisik serta perubahan mental atau psikologis sehingga merupakan masa-masa rawan bagi pemenuhan zat-zat gizi. Pertumbuhan normal dan status kesehatan yang optimal sebagai upaya pencegahan penyakit sangat bergantung pada tercukupinya intik zat-zat gizi (Alexander 1994).

Konsumsi pangan yang kurang baik pada remaja memungkinkan mereka mengalami malnutrisi. Malnutrisi remaja dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor budaya yang berperan dalam keluarga. Obesitas pada remaja timbul akibat konsumsi pangan yang berlebihan dan kurangnya aktivitas remaja. Masalah gizi lain yang sering dialami remaja terutama remaja puteri adalah anemia gizi besi. Dari data SKRT 1995 menunjukkan bahwa prevalensi anemia remaja puteri di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 57.1 persen.

Berkaitan dengan remaja putri yang nantinya menjadi seorang ibu, faktor social ekonomi, ukuran tubuh yang merefleksikan status gizi, dan pola konsumsi memberikan pengaruh terhadap status bayi yang akan dilahirkannya (Kusharto & Florencio 1994). Kesiapan fisik remaja diukur dari status gizi remaja. Sedangkan kesiapan mental remaja terhadap reproduksi diukur dari pengetahuan reproduksi serta persepsi remaja mengenai kesehatan reproduksi.

Persepsi remaja ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor struktural, faktor fungsional dan faktor kultural. Faktor struktural bersifat fisiologis, berkaitan dengan fungsi organ-organ persepsi seperti penglihatan, pendengaran, penciuman dan lain-lain. Faktor fungsional merupakan faktor yang dipengaruhi oleh ingatan, kebutuhan, kebiasaan, dan pengalaman yang diperoleh dari interaksi personal dan sosial. Sedangkan faktor kultural merupakan hal yang mempengaruhi individu dikaitkan dengan adat istiadat, norma, dan agama (Schiffman 1982). Persepsi terhadap kesehatan reproduksi diarahkan untuk tercapainya ketiga aspek kesehatan reproduksi yang mencakup tiga komponen, yaitu kemampuan (ability), keberhasilan (success), dan keamanan (safety) (Affandi 1995).

Keterangan: variabel yang diteliti variabel yang tidak diteliti

Gambar 2 Kerangka pemikiran pola konsumsi pangan, status gizi dan pengetahuan reproduksi remaja putri

Kesiapan Reproduksi STATUS GIZI IMT Kadar Hb POLA KONSUMSI PANGAN o Frekuensi o Jenis Keadaan Kesehatan Pengetahuan Gizi Karakteristik Remaja o Umur o Jenis Kelamin o Uang saku o Pendidikan orangtua o Pekerjaan orangtua o Besar Keluarga

Ling. Keluarga & Sosial o Peer group o Media massa Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi PENGETAHUAN REPRODUKSI

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dengan contoh siswi di SMA Negeri 1 Bangkinang dan Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib Bangkinang. Penentuan lokasi penelitian

dilakukan secara purposif (purposive sampling). Pemilihan Sekolah Menengah

Atas dengan pertimbangan sekolah tersebut merupakan sekolah favorit di Kecamatan Bangkinang dan sebagian besar lulusannya cenderung memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan pemilihan Pondok Pesantren berdasarkan pertimbangan setelah lulus sekolah mereka diharapkan segera mandiri (bekerja atau menikah). Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari sampai Maret 2007.

Cara Pengambilan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri SMA Negeri I Bangkinang dan Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib Bangkinang. Pada SMA Negeri I Bangkinang contoh yang diambil adalah pelajar kelas dua dan pada Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib kelas enam yang setingkat dengan

kelas dua SMA. Pengambilan contoh penelitian dilakukan secara acak (random

sampling). Jumlah contoh adalah 60 siswi, dengan rincian 30 siswi berasal dari SMA Negeri I Bangkinang dan 30 siswi berasal dari Pondok Pesantren Daarun Nadhah Thawalib Bangkinang.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data penelitian yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi keadaan umum sekolah dan daftar nama siswa. Data primer yang dikumpulkan meliputi sosial ekonomi keluarga dan contoh, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, frekuensi pangan, perilaku konsumsi,

hemoglobin), status fisiologis, tingkat kelelahan, pengetahuan dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengisian kuesioner oleh peneliti dengan metode wawancara, sementara untuk berat badan dan tinggi badan siswa diperoleh dengan pengukuran langsung, alat yang dipergunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan injak dengan ketelitian 0.5 kg, sedang tinggi badan menggunakan alat ukur microtois dengan ketelitian 0.1 cm.

Kadar hemoglobin diperoleh dari pengambilan darah oleh tenaga profesional laboratorium klinik dan analisis biokimia darah Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang dengan metode Sahli. Penelitian yang dilakukan oleh Muhilal dan Saidin (1980) menunjukkan bahwa faktor konversi antara cara Sahli dengan

Cyanmethemoglobin yaitu 1.1 dan hasil Uji t-test for paired sample perbedaan

cara Sahli dengan Cyanmethemoglobin pada taraf lima persen diperoleh hasil

yang tidak nyata. Menurut Supariasa et al. (2001) untuk pemeriksaan di daerah

yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode Sahli ini masih memadai dan bila pemeriksanya telah terlatih hasilnya dapat diandalkan.

Karakteristik Sosial Ekonomi

Karakteristik sosial ekonomi yang diukur meliputi pendidikan orangtua, pendapatan per kapita keluarga, besar keluarga dan uang jajan contoh.

Pendidikan orangtua contoh diukur berdasarkan lama sekolah dalam tahun, kemudian dikelompokkan dengan kategori pendidikan dasar (0-6 tahun), pendidikan menengah (7-12 tahun) dan pendidikan tinggi (>12 tahun).

Pendapatan per kapita keluarga diperoleh dari total pendapatan keluarga per bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan per kapita menurut Bank

Dunia dalam Sanim (2006) dikategorikan menjadi dua, yaitu miskin ( < 60 dolar

AS/ kap/ bulan ) dan tidak miskin (≥ 60 dolar AS/ kap/ bulan) jika disetarakan

dengan rupiah (1 dolar AS setara dengan Rp 9300) maka termasuk kategori

miskin (< Rp 558000 / kap/ bulan) dan tidak miskin (≥ Rp 558 000 / kap/ bulan).

Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga. Kriteria besar keluarga menurut BPS (2001) dibedakan atas keluarga kecil jika jumlah anggota

kurang dari atau sama dengan 4 orang, sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, serta besar jika jumlah anggota lebih dari 7 orang.

Data uang saku contoh diukur dari rata-rata uang jajan yang diterima per bulan. Uang saku dikelompokkan dengan kriteria rendah (X < x-1SD), sedang (x- 1SD < X < x+1SD), dan tinggi (X > x+1SD). X adalah uang saku, x adalah rata- rata uang saku dan SD adalah standar deviasi uang saku.

Pola Konsumsi

Pola konsumsi diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan mengenai frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi dalam sebulan, dan pertanyaan mengenai perilaku konsumsi remaja yang meliputi frekuensi makan, komposisi makanan empat sehat, produk pelangsing dan makanan pantangan (Lampiran 1).

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi dinilai dengan skor, yang dihitung dari jawaban contoh atas 18 pertanyaan mengenai jenis, fungsi dan sumber zat gizi; kebutuhan dan status gizi; dan masalah gizi remaja (Lampiran 1). Hasil penilaian akan memperoleh skor tertinggi 18 dan skor terendah 0. Pengetahuan gizi dikategorikan menjadi tiga, yaitu pengetahuan gizi baik, sedang, dan kurang (Khomsan 2000).

Tabel 2 Kategori pengetahuan gizi menurut skor pengetahuan gizi

Skor Pengetahuan Gizi Pengetahuan Gizi

< 60% 60 - 80% > 80% Kurang Sedang Baik Sumber: Khomsan (2000)

Konsumsi Energi dan Zat Gizi

Data konsumsi energi dan zat gizi diperoleh dari pencatatan recall 2x24

jam yaitu pada hari libur dan hari sekolah yang meliputi jumlah dan jenis pangan yang kemudian dikonversikan ke dalam kandungan energi dan zat gizi dengan

menggunakan Food Proccesor dan Microsoft Excel.

Tingkat Kelelahan

Data tingkat kelelahan diperoleh dari jawaban contoh atas pertanyaan

tingkat kelelahan dengan rating scale 1-10 (Lampiran 1). Tingkat kelelahan

o Lelah : 1-4

o Sangat Lelah : 5-10

Status Gizi

Status gizi remaja dinilai dengan rumus indeks massa tubuh (IMT), yaitu dengan cara menghitung data dari berat dan tinggi badan dengan rumus IMT sebagai berikut (WHO 1995):

Klasifikasi status gizi remaja yang dihitung dari IMT tersebut dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu kurus, normal, dan gemuk yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi status gizi remaja menurut indeks massa tubuh (IMT)

IMT Status Gizi

< 18,5 18,5 - 25,0 > 25,0 Kurus Normal Gemuk Sumber: Depkes (1996)

Status besi (kadar hemoglobin) ditentukan dengan membandingkan hasil pemeriksaan kadar Hb contoh dengan kadar Hb rujukan untuk anemia yaitu kurang dari 12 g/dl (WHO 1982).

Pengetahuan Reproduksi

Pengetahuan reproduksi contoh juga ditentukan menurut skor terhadap 10 pertanyaan (Lampiran 1), dengan skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk jawaban salah sehingga diperoleh skor maksimal 10 dan skor minimal 0. Kriteria baik jika skor lebih dari 80% skor maksimal, sedang jika skor antara 60-80% dari skor maksimal dan kurang jika skor 60% dari skor maksimal .

Persepsi terhadap Kesehatan Reproduksi

Persepsi terhadap kesehatan reproduksi dinilai dengan menggunakan skor, yang dihitung dari jawaban contoh atas 25 pertanyaan (Lampiran 1) mengenai

aspek kemampuan (ability) yaitu usia reproduksi dan perawatan alat reproduksi,

keberhasilan (success) yaitu status gizi dan konsumsi, serta hubungan seksual,

Indeks massa tubuh (IMT) = berat badan (kg)

keamanan (safety) meliputi alat kontrasepsi, aborsi dan penyakit menular seksual (Lampiran 1). Hasil penilaian persepsi akan memperoleh skor tertinggi 50 dan

skor terendah 0. Pengelompokan persepsi terdiri dari kategori baik (total skor ≥

nilai median atau persentil 50) dan kategori kurang baik (total skor < nilai median atau persentil 50).

Status Fisiologis

Status fisiologis pada remaja diukur dari usia pertama kali mendapatkan menstruasi. Usia pertama kali menstruasi dikelompokkan menjadi lebih awal (11 tahun), normal (11-15 tahun), dan lebih lambat (>15 tahun).

Kesiapan Reproduksi

Kesiapan reproduksi dinilai dari skor gabungan antara status gizi (IMT), status besi dan persepsi. Status gizi normal, status besi tidak anemia dan persepsi baik masing-masing diberi skor 2. Sebaliknya status gizi kurus atau gemuk, status besi anemia dan persepsi kurang baik masing-masing diberi skor 1. Sehingga hasil penilaian kesiapan reproduksi memperoleh skor tertinggi 6 dan skor terendah 3. Kesiapan reproduksi dikategorikan baik apabila memperoleh skor 6, kategori sedang apabila memperoleh skor 5, dan kategori kurang apabila skor kurang dari 5.

Analisis Data

Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Pearson. Uji beda t digunakan untuk menganalisis perbedaan berbagai variabel kuantitatif di SMA dengan Pondok Pesantren.

Definisi Operasional

Remaja puteri adalah siswi yang duduk di kelas 2 pada Sekolah Menengah Atas dan kelas 6 pada pondok pesantren.

Status gizi remaja adalah keadaan gizi remaja yang diakibatkan konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang diukur secara

Karakteristik sosial ekonomi merupakan keadaan sosial dan ekonomi keluarga dari remaja yang meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, besar keluarga dan uang saku contoh.

Perilaku konsumsi remaja dinilai dari jawaban contoh atas empat pertanyaan mengenai frekuensi makan, komposisi makan makanan empat sehat, produk pelangsing, serta makanan pantangan.

Pola Konsumsi merupakan frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi selama satu bulan dan perilaku konsumsi remaja yang meliputi frekuensi

makanan utama, komposisi makanan empat sehat, produk pelangsing

dan makanan pantangan.

Pengetahuan gizi diukur dari kemampuan remaja untuk menjawab pertanyaan mengenai jenis, fungsi dan sumber zat gizi, kebutuhan dan status gizi dan masalah gizi remaja. Skor atas jawaban pengetahuan gizi dikelompokkan dalam pengetahuan gizi rendah, sedang, dan tinggi.

Pengetahuan reproduksi diukur dari kemampuan remaja untuk menjawab pertanyaan tentang alat, proses, dan faktor-faktor yang berpengaruh pada reproduksi. Penilaian terhadap pengetahuan reproduksi dikelompokkan menjadi rendah, sedang, tinggi.

Persepsi terhadap kesehatan reproduksi adalah pandangan atau pemahaman remaja terhadap segala aspek yang mendukung reproduksi sehat.

Status Fisiologis diukur dari usia pertama kali mendapatkan menstruasi. Usia pertama kali menstruasi dikelompokkan menjadi lebih awal (11 tahun), normal (11-15 tahun), dan lebih lambat (>15 tahun).

Kesiapan reproduksi adalah kemampuan fisik dan kesiapan mental remaja dalam hal reproduksi yang diukur dari status gizi (IMT dan kadar Hb) dan persepsi terhadap kesehatan reproduksi. Kesiapan reproduksi contoh dikategorikan menjadi kurang, sedang, baik.

Sekolah Menengah Atas

Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bangkinang berlokasi di tengah- tengah Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau atau tepatnya di

Jalan Jenderal Sudirman No. 65, berdiri di atas areal tanah seluas 16.615 m2.

SMA Negeri 1 Bangkinang dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan dibantu oleh empat wakil kepala sekolah yang membidangi kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana dan hubungan masyarakat. Memiliki 64 orang staf pengajar (guru) serta 21 orang staf tata usaha.

Seluruh siswa SMA Negeri 1 Bangkinang berjumlah 953 orang, terdiri dari 321 orang laki-laki dan perempuan 632 orang. Jumlah kelas pada tiap jenjang kelas adalah 10 kelas untuk kelas satu, tujuh kelas untuk kelas dua (4 kelas IPA dan 3 kelas IPS), dan sembilan kelas untuk kelas tiga (4 kelas IPA, 4 kelas IPS dan 1 kelas Bahasa).

Sebagai SMA favorit di Bangkinang, SMA tersebut dilengkapi berbagai fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar. Fasilitas tersebut adalah ruang kelas, ruang guru, ruang tata usaha, ruang laboratorium, ruang perpustakaan, masjid, ruang ekstrakurikuler, gudang, kantin dan kamar mandi/WC.

Selain kegiatan belajar mengajar, SMA tersebut juga menyediakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler guna mewadahi dan mengembangkan bakat, kreativitas serta minat siswa. Kegiatan ekstrakurikuler tersebut antara lain adalah pramuka, palang merah remaja (PMR), siswa pecinta alam (sispala), dan kerohanian Islam.

Data SMA Negeri 1 Bangkinang menunjukkan bahwa pada penerimaan siswa tahun ajaran 2005/2006 nilai Danun (Daftar Ujian Akhir Nasional) SMP tertinggi yang diterima 26.53 dan terendah 22.93. Dari seluruh siswa yang lulus pada tahun 2006 maka sekitar 30 persen diterima di perguruan tinggi negeri.

Pondok Pesantren

Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang (PDNTB) terletak di Jalan Letkol M. Syarifuddin Syarif KM.1 Gg. Pesantren, Kota Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Luas areal tanah yang ditempati

pondok pesantren ini adalah 10.000 m2.

Tidak jauh berbeda dengan SMA, pondok pesantren juga dipimpin oleh seorang kepala sekolah dengan dibantu 3 orang wakil kepala sekolah. Jumlah staf pengajar (ustadz) pondok pesantren sebanyak 28 orang dan 2 orang staf tata usaha.

Seluruh siswa Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang berjumlah 494 orang, terdiri dari 224 orang laki-laki dan 270 orang perempuan. Setiap jenjang kelas di Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang terdiri dari kelas satu sebanyak empat kelas, kelas dua sebanyak empat kelas (1 kelas IPA dan 3 kelas IPS) serta kelas tiga sebanyak empat kelas (1 kelas IPA dan 3 kelas IPS).

Pada umumnya fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren hampir sama dengan SMA. Perbedaannya terutama pada jumlah ruang kelas, ruang laboratorium dan ruang kantin serta kamar mandi/WC di pondok pesantren lebih sedikit dibandingkan dengan SMA (Tabel 4).

Tabel 4 Jumlah fasilitas fisik yang dimiliki sekolah

Fasilitas Fisik SMA Pesantren

Ruang kelas 26 12

Ruang guru 1 1

Ruang tata usaha 1 1

Laboratorium 3 1 Ruang praktek 1 - Perpustakaan 1 1 Masjid 1 1 Ruang ekstrakurikuler 1 - Gudang 1 - Kantin 3 - KM/WC 8 4

Jumlah ruang kelas di Pesantren lebih sedikit dibandingkan dengan SMA karena jumlah siswa Pesantren lebih sedikit jika dibandingkan dengan siswa SMA. Laboratorium di Pesantren juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan SMA karena jumlah kelas jurusan IPA lebih sedikit jika dibandingkan dengan SMA.

Kegiatan ekstrakurikuler yang menonjol dikembangkan di Pesantren

adalah marching band. Nilai Daftar Ujian Akhir Nasional (Danun) Madrasah

Tsanawiyah tertinggi yang diterima tahun ajaran 2005/2006 adalah 28.95 sedangkan nilai terendah adalah 17.65. Dari seluruh siswa yang lulus pada tahun 2006 maka sekitar 5 persen diterima di perguruan tinggi negeri.

Karakteristik Contoh

Usia contoh di kedua sekolah berkisar antara 16 sampai 19 tahun, dengan rata-rata 17±0.65 tahun. Pada umumnya (sebagian besar) contoh di SMA dan Pesantren berusia 17 tahun dengan persentase usia contoh di SMA dan di Pesantren berturut-turut 60 persen dan 66.7 persen (Tabel 5).

Tabel 5 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan usia

SMA Pesantren Jumlah Usia (tahun) n % n % n % 16 11 36.7 - - 11 18.3 17 18 60.0 20 66.7 38 63.3 18 1 3.3 8 26.7 9 15.0 19 - - 2 6.7 2 3.3 Jumlah 30 100.0 30 100.1 60 99.9

Menurut Ramsey (1957) diacu dalam Hasselt dan Hersen (1987) rentang usia remaja dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 19-21 tahun. Turner dan Helms (1991) mengelompokkan usia remaja antara 13-19 tahun. Monk (1992) melakukan pembagian perkembangan remaja adalah pra remaja (10-12 tahun), remaja awal atau pubertas (12-15 tahun) dan remaja pertengahan usia (15- 18 tahun) dan remaja akhir usia (18-21 tahun).

Sosial Ekonomi Keluarga dan Contoh Besar Keluarga

Besar keluarga contoh di kedua sekolah berkisar antara 3 sampai 10 orang, dengan rata-rata 6.2 ±1.68 orang. Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga contoh termasuk kategori sedang, dengan persentase di SMA 56.7 persen dan di Pesantren 46.7 persen (Tabel 6 ).

Besar keluarga diukur dari jumlah anggota keluarga dengan kategori keluarga kecil jika jumlah anggota kurang dari atau sama dengan 4 orang, sedang jika jumlah anggota 5 sampai 7 orang, serta besar jika jumlah anggota lebih dari 7 orang. Apabila dibedakan antara SMA dan Pesantren maka tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) besar keluarga contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2). Tabel 6 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan besar keluarga

SMA Pesantren Jumlah Besar Keluarga n % n % n % Kecil (≤4 orang) 9 30.0 3 43. 3 12 20.0 Sedang (5-7 orang) 17 56.7 14 46.7 31 51.7 Besar (>7 orang) 4 13.3 13 10.0 17 28.3 Jumlah 30 100 30 100 60 100

Besar keluarga sangat penting untuk diperhatikan karena terbatasnya bahan makanan yang tersedia, terutama pada keluarga yang berpendapatan rendah. Dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga, maka konsumsi pangan hewani akan berkurang dan makanan pokok diganti dengan yang lebih murah, atau dapat pula berkurang, sehingga asupan zat gizi tiap anggota keluarga akan

berkurang pula (Hartog et al. 1995).

Pendidikan Orang Tua

Lama sekolah bapak berkisar antara 6 sampai 18 tahun dengan rata-rata 10.5±3.5 tahun. Pendidikan orangtua contoh diukur berdasarkan lama sekolah dalam tahun, kemudian dikelompokkan dengan kategori pendidikan dasar (0-6 tahun), pendidikan menengah (7-12 tahun) dan pendidikan tinggi (>12 tahun). Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka sebagian besar tingkat pendidikan bapak di SMA termasuk kategori pendidikan menengah (70 %) dan di Pesantren

termasuk kategori pendidikan dasar (46.7%). Apabila dibedakan antara SMA dan Pesantren maka terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) lama pendidikan bapak contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2).

Lama pendidikan ibu berkisar antara 4 sampai 18 tahun dengan rata-rata 9.9±3.5 tahun. Secara umum, tingkat pendidikan ibu di SMA termasuk kategori pendidikan menengah (63.3%) dan Pesantren termasuk kategori pendidikan dasar (43.3%). Apabila dibedakan antara SMA dan Pesantren maka terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) lama pendidikan ibu contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2).

Tabel 7 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pendidikan orang tua

Pendidikan Orang Tua SMA Pesantren Jumlah n % n % n % Pendidikan Bapak Dasar (0-6 tahun) 5 16.7 14 46.7 19 31.7 Menengah (7-12 tahun) 21 70.0 5 16.7 26 43.3 Tinggi (>12 tahun) 4 13.3 11 36.7 15 25.0 Jumlah 30 100.0 30 100.1 60 100.0 Pendidikan Ibu Dasar (0-6 tahun) 6 20.0 13 43.3 19 31.7 Menengah (7-12 tahun) 19 63.3 8 26.7 27 45.0 Tinggi (>12 tahun) 5 16.7 9 30.0 14 23.3 Jumlah 30 100.0 30 100 60 100.0

Leslie (1985) menyatakan bahwa pendidikan ibu akan mempengaruhi pengetahuan mengenai praktek kesehatan dan gizi anak. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dan berkualitas dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah.

Tingginya tingkat pendidikan orang tua dapat berpengaruh pada jenis pekerjaannya, yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga. Hal ini lebih lanjut akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam keluarga. Tingkat pendidikan berhubungan erat dengan pengetahuan, karena semakin tinggi pendidikan maka semakin besar kesempatan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas, demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Orang yang berpendidikan tinggi diharapkan memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang lebih baik sehingga memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik dan

mempengaruhi konsumsi pangan melalui cara pemilihan bahan pangan (Sediaoetama 1991).

Pekerjaan Orang Tua

Jenis pekerjaan bapak contoh di SMA yang paling banyak (40 %) adalah wiraswasta, kemudian diikuti PNS, yaitu sebanyak 26.7 persen. Jenis pekerjaan bapak contoh di Pesantren paling banyak PNS (23.3 %) dan pegawai swasta (20 %). Sedangkan ibu contoh di SMA dan Pesantren sebagian besar sebagai ibu rumah tangga dengan persentase di SMA sebanyak 56.7 persen dan di Pesantren 53.3 persen (Tabel 8).

Tabel 8 Sebaran contoh SMA dan Pesantren berdasarkan pekerjaan orang tua

Pekerjaan Orang Tua SMA Pesantren n % n % Jumlah n % Pekerjaan Bapak Wiraswasta 12 40.0 3 10.0 15 25.0 PNS/TNI 8 26.7 7 23.3 15 25.0 Pedagang 1 3.3 4 13.3 5 8.3 Pegawai Swasta 5 16.7 6 20.0 11 18.3 Pensiunan 1 3.3 0 0.0 1 1.7 Petani Lain-lain 1 2 3.3 6.7 4 6 13.3 20.0 5 8 8.3 13.3 Jumlah 30 100.0 30 99.9 60 99.9 Pekerjaan Ibu 1. PNS/TNI 6 20.0 5 16.7 11 18.3 2. Pedagang 0 0.0 5 16.7 5 8.3 3. Pegawai Swasta 2 6.7 0 0.0 2 3.3 4. Pensiunan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 5. Lain-lain 5 16.7 4 13.3 9 15.0

6. Ibu Rumah Tangga 17 56.7 16 53.3 33 55.0 Jumlah 30 100.1 30 100.0 60 99.9

Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003) jenis pekerjaan orang tua merupakan salah satu indikator besarnya penghasilan keluarga. Dengan semakin besarnya penghasilan maka diharapkan konsumsi keluarga menjadi semakin baik dalam hal kualitas dan kuantitas gizinya.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga yang berimplikasi terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan anggota keluarga. Pendapatan keluarga per kapita per bulan berkisar antara Rp.125.000 hingga Rp1.000.000 dengan rata-rata sebesar Rp333.344 ±145.707.

Pendapatan keluarga per kapita contoh seluruhnya termasuk pada kategori miskin, dengan persentase di SMA dan di Pesantren masing-masing 100 persen. Jika dibedakan SMA dan Pesantren maka tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05) pendapatan perkapita keluarga contoh di SMA dan Pesantren (Lampiran 2).

Pendapatan keluarga per kapita contoh seluruhnya termasuk kategori miskin kemungkinan disebabkan karena tidak tergali informasi tentang pendapatan dari sumber lain.

Khumaidi (1989) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menjadi latar belakang tingginya prevalensi anemia gizi di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orang tua dan penghasilan yang rendah serta keadaan kesehatan lingkungan yang buruk.

Pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga untuk pangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Menurut Sajogyo (1978) pendapatan berpengaruh terhadap daya beli dan perilaku manusia dalam mengkonsumsi pangan. Dengan demikian pendapatan keluarga merupakan faktor yang menentukan jumlah dan macam pangan yang tersedia dalam keluarga apabila pendapatan cukup, maka jumlah dan macam pangan yang ada di rumah tangga akan tercukupi, sebaliknya pendapatan yang rendah akan menjadi kendala dalam penyediaan pangan keluarga yang akan berakibat buruk terhadap status gizi keluarga. Hal senada memperkuat pendapat ini dikemukakan oleh Hardinsyah dan Suhardjo (1987) yang menyatakan bahwa rendahnya pendapatan merupakan salah satu sebab rendahnya konsumsi pangan serta buruknya status gizi.

Uang Saku Contoh

Uang saku contoh per bulan berkisar antara Rp.80.000 sampai Rp.940.000

Dokumen terkait