• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Goal Setting

performansi atau kinerja (Asmus, Karl, Mohnen, Reinhart, 2015). Penelitian (Locke dan Latham, 2006) menunjukkan bahwa individu yang memiliki goal setting mencapai hasil lebih maksimal daripada individu yang tidak memiliki goal setting.

Luneburg (2011), Mooney dan Mutrie (2000) mengungkapkan bahwa goal setting digunakan sebagai teknik motivasional untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja dalam lingkup yang berorientasi pada prestasi seperti dalam pendidikan, kerja, dan olahraga. Bandura (1997), Locke dan Latham, (1990), Wehmeyer, Agran, dan Hughes (1998, dalam Copeland dan Hughes,

2002) menegaskan bahwa penelitian goal setting dalam berbagai bidang

(industri, atlet, dan pendidikan) memiliki dampak positif yang kuat pada

5

Latham (2007, dalam Kurose 2013) serta Locke dan Latham (2002) menunjukkan mekanisme goal setting sebagai alat untuk meningkatkan performansi. Mekanisme goal setting menuntun individu untuk memusatkan perhatian, mengerahkan usaha, bertahan dalam menghadapi tantangan, dan terlibat dalam pengembangan strategi. Mekanisme goal setting menggunakan motivasi untuk mencipta dan mengarahkan perilaku, sehingga tanpa mekanisme goal setting, motivasi menjadi tidak realistis (Kurose, 2013).

Penemuan terpenting dari goal setting theory adalah difficult goal dan specific goal yang menyebabkan kinerja individu lebih tinggi daripada tujuan yang samar-samar seperti “do your best”, tidak memiliki tujuan, dan tujuan yang mudah (Gomez-Minambres, Corgnet, dan Hernan-Gonzalez, 2012 ; Locke dan Latham, 2002). Kavoo-Linge, Van Rensburg, Sikalieh, (2011) menjelaskan bahwa specific goal setting adalah sebuah tujuan yang memiliki penjelasan secara detail mengenai bagaimana cara mencapai tujuan dan memiliki batasan waktu yang jelas.

Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Irmawati (2004) menunjukkan bahwa goal setting memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas kerja karyawan. Penelitian dalam ranah olahraga juga dilakukan oleh Firdaus, Maulana dan Erawan (2013) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara goal setting dan performa atlet bola voli di Klub ALKO Bandung. Beberapa penelitian yang dilakukan mengenai goal setting terhadap performansi mendukung teori goal setting, sedangkan penelitian lainnya menyatakan bahwa goal setting tidak memiliki hubungan dan pengaruh

terhadap performansi. Penelitian Arsanti (2009) dengan menggunakan anagram sebagai alat eksperimen menunjukkan hasil bahwa hubungan antara penetapan tujuan dan kinerja tidak signifikan dengan nilai korelasi (r = 0,128). Selain itu, penelitian Hartono (2014) dengan menggunakan skema sistem intensif berbasis quota sebagai moderasi menunjukkan hasil bahwa pemberian insentif quota kinerja individu tertinggi ada pada subjek dengan kondisi penetapan target yang mudah dan tidak spesifik. Hasil tersebut berlawanan dengan prinsip goal setting yang menyatakan bahwa motivasi kinerja tertinggi ada pada kondisi penetapan target sulit dan spesifik.

Berdasarkan paparan latar belakang tersebut maka peneliti akan menguji kembali pengaruh specific goal setting pada performance individu dengan menggunakan alat eksperimen berupa balok dan pola – pola tertentu yang merupakan adaptasi dan replikasi dari khos blog design SAMUEL.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut :

“Apakah specific goal setting mempengaruhi performance ?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh goal setting pada performansi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh specific goal setting dan non-specific goal setting pada performansi.

7

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumbangan sederhana dalam peneguhan teori motivasi kognitif, khususnya mengenai pengaruh specific goal setting pada performance.

2. Manfaat praktis

Diharapkan manfaat praktis penelitian ini adalah prestasi yang lebih baik dengan bukti tercapainya tujuan yang spesifik.

8 BAB II DASAR TEORI

A. Goal Setting

1. Sejarah Goal-Setting

Teori goal setting adalah teori motivasi yang menjelaskan penyebab individu bertindak dengan menetapkan tujuan (Locke dan Latham, 2013). Teori goal setting dikemukakan oleh Edwin A. Locke pada tahun 1968. Profesor Motivasi dan Kepemimpinan di Robert H. Smith School of Bussiness University of Maryland, Amerika tersebut menyadari pentingnya penetapan dan proses pencapaian tujuan.

Locke dan Latham (2002) sejak tahun 1968 mengembangkan teori goal setting. Sebanyak 400 penelitian memperlihatkan bahwa goal setting mempengaruhi performansi dalam mengerjakan tugas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan goal setting mencapai hasil yang lebih maksimal daripada individu yang tidak memiliki goal setting (Locke dan Latham, 2006). Teori mengenai konsep dan manfaat goal setting ditemukan ketika individu belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan tugas secara efektif (Locke dan Latham, 2013)

Menurut Luneburg (2011) goal setting menjadi teori yang terkenal dan banyak diaplikasikan di dunia akademik, dunia kerja, dan olahraga. Mooney dan Mutrie (2000) menjelaskan pula bahwa goal setting digunakan sebagai teknik motivasional untuk meningkatkan produktivitas

9

dan performansi. Teknik tersebut menjadi lebih dikenal dalam bidang yang berorientasi prestasi seperti bisnis dalam dunia kerja, pendidikan, dan olahraga. Melalui berbagai penelitian, goal setting terbukti membantu meningkatkan performansi. Penelitian Morisano, Peterson, Pihl, dan Shore (2010) memperlihatkan pengaruh goal setting pada bidang akademik. Mahasiswa dengan goal setting pada awal semester memperoleh IPK (Indeks Prestasi Akademik) yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tidak menetapkannya. Penelitian Clarke dkk (2009) menemukan bahwa pelatihan goal setting meningkatkan usaha pencapaian tugas.

Pada setting dunia kerja, goal setting berpengaruh positif pada manajer perusahaan. Goal setting membuat para manajer lebih mudah memotivasi dan mengarahkan perilaku karyawan agar mampu mencapai target (Bandura & Locke, 2003). Lokce dan Latham (1984, dalam Locke dan Latham, 2002) menyatakan bahwa sejumlah penelitian menunjukkan goal setting yang sulit dan spesifik secara signifikan meningkatkan produktivitas karyawan. Locke dan Latham (2002, dalam Lunenburg, 2011) menegaskan bahwa tujuan spesifik meningkatkan tujuan organisasi, seperti mengurangi ketidakhadiran, keterlambatan, dan turnover.

Dalam bidang olahraga goal setting meningkatkan performansi para atlet agar mendapat hasil yang maksimal dalam berlatih dan bertanding. Kornspan (2016) menegaskan pula bahwa goal setting merupakan kemampuan yang sangat penting untuk altet olahraga dalam meraih performansi yang optimal. Penelitian deskriptif dari Weinberg, et al (1993)

memperoleh hasil bahwa hampir semua atlet berlatih beberapa jenis goal setting untuk meningkatkan performansi dan menemukan tujuan mereka supaya efektif. Penelitian meta-analysis dari 36 studi yang dilakukan Hedges dan Olkin (1985, dalam Kyllo dan Landers, 1995) menjelaskan bahwa secara keseluruhan goal setting meningkatkan performansi dalam olahraga.

2. Pengertian Goal

Locke, et al (1981) menegaskan bahwa goal adalah objek atau tujuan dari suatu tindakan yang diraih individu. Locke dan Latham (2002) menambahkan bahwa goal adalah objek atau tujuan sebuah tindakan untuk mencapai standar tinggi yang biasanya dibatasi dengan waktu. Locke dan Latham (2006) mendefinisikan goal sebagai tujuan dari suatu tindakan atau tugas yang merupakan keinginan sadar individu untuk mencapai dan memperolehnya. Goal juga didefinisikan sebagai alasan motivasional dan tujuan individu (Aarts, Gollwitzer, dan Hassin, 2004).

Tujuan merupakan usaha yang individu lakukan secara sadar (Weinberg, 2007). Pintrich dan Schunk (2008) menyatakan bahwa goal merupakan sesuatu yang berada di luar diri individu dan secara sadar diusahakan individu sampai berhasil. Locke dan Latham (2013) menjelaskan bahwa goal merupakan objek atau tujuan dari suatu tindakan.

11

Peneliti ini menyimpulkan bahwa goal adalah suatu objek atau tujuan dari perilaku yang memiliki sebuah standar dan diusahakan secara sadar dengan batas waktu tertentu.

3. Goal Setting

Asumsi dasar penelitian goal setting adalah bahwa goal merupakan pengatur langsung dari tindakan manusia (Locke dan Latham, 1990 dalam Weinberg, 1993 ; Locke, et al, 1981). Lunenburg (2011) mengungkapkan bahwa goal setting adalah penjelasan yang mendasar untuk semua teori-teori besar motivasi kerja yang meliputi teori-teori ekspektasi dari Vroom (1994) ; teori motivasi dari Maslow (1970) atau Herzberg (2009) ; teori kognitif sosial dari Bandura (1986) dan teori behaviorsm dari Skinner (1979).

Darvis (1981, dalam Irmawati 2004) mengemukakan bahwa goal setting digunakan untuk keberhasilan mencapai performansi (performance). Penerapan goal setting yang efektif membutuhkan tiga tahapan, yaitu menjelaskan arti dan maksud penetapan target, menetapkan target yang jelas, dan memberikan umpan balik (feedback) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan. Goal setting didasarkan pada pengarahan tingkah laku terhadap suatu tujuan. Casio (1987, dalam Irmawati) memberikan penjelasan atau informasi kepada individu mengenai cara mengerjakan tugas dalam suatu tujuan dan mengarahkan bahwa tujuan penting untuk diselesaikan.

Peneliti menyimpulkan bahwa goal setting merupakan penetapan tujuan yang didasarkan pada pengarahan perilaku untuk keberhasilan mencapai performansi (performance).

4. Atribut Goal-Setting

Locke dan Latham (2013) menyatakan bahwa goal setting memiliki dua atribut utama, yaitu nilai (content) dan niat (intensity). Nilai atau content tujuan mengacu pada objek atau hasil yang dicari (misalnya, meningkatkan nilai yang dicapai individu dalam mengerjakan tugas, meningkatkan profit sebesar 20%, dan meningkatkan kemampuan berlari pada para atlet). Atribut nilai (content) berfokus pada pengaruh dari tingkat tujuan spesifik dan tingkat kesulitan pada nilai tugas yang berbeda dalam berbagai setting.

Niat (intensity) tujuan mengacu pada usaha yang diperlukan untuk menetapkan tujuan, posisi tujuan dalam tingkatan tujuan individu, dan sejauh mana individu berkomitmen untuk pencapaian tujuan tersebut. Nilai diri individu menciptakan keinginan untuk melakukan sesuatu secara konsisten.

5. Penemuan Penting Goal-setting

Penemuan inti pada literatur goal setting adalah tujuan yang sulit namun realistis dan tujuan spesifik (Locke dan Latham, 2013). Performansi lebih tinggi pada individu yang memiliki tujuan sulit dan

13

spesifik daripada tujuan yang samar-samar, tidak memiliki tujuan, dan memiliki tujuan yang mudah (Gomez-Mminambres, Corgnet, dan Hernan-Gonzalez, 2012 ; Locke dan Latham, 2002). Locke (dalam Mooney dan Mutrie, 2000) menemukan bahwa tujuan yang sulit dan dapat diterima mengakibatkan performansi lebih tinggi daripada tujuan yang mudah. Jika secara kognitif tujuan dianggap terlalu sulit dan tidak mungkin dicapai, maka membuat individu menjadi frustrasi dan tidak termotivasi (Zander dan Newcomb (1967, dalam Gibson, et al, 1985)

Locke dan Latham (2002) menambahkan bahwa tingkat tertinggi dari usaha terjadi ketika tugas cukup sulit dan tingkat terendah dari usaha terjadi ketika tugas sangat mudah atau sangat sulit. Tujuan yang sulit dimulai dari usaha keras untuk memulai suatu tujuan dengan mengarahkan perhatian, memobilisasi usaha dan ketekunan serta mendorong pengembangan dan penggunaan strategi dalam menyelesaikan tugas (Kliengeld, Merlo dan Arends, 2011). Asmus, et al (2015) memberikan informasi bahwa beberapa penelitian menunjukkan kesulitan tujuan yang semakin tinggi dapat meningkatkan performansi individu dalam melaksanakan tugas.

Tujuan yang sulit dan spesifik mengarah pada tingkat performansi yang lebih tinggi daripada tujuan yang umum seperti “do your best” Locke (dalam Mooney dan Mutrie, 2000). Locke, Chah, Harrison, & Lustgarten (1989, dalam Kliengeld, Merlo dan Arends, 2011) menyatakan bahwa tujuan spesifik mencerminkan sejauh mana tujuan menunjukkan standar

performansi tertentu. Krietner dan Kinicki (2004, dalam Kavoo-Linge, Van Rensburg, dan Sikalieh, 2011) menegaskan bahwa goal specific berkaitan dengan sejauh mana tujuan terukur. Sebuah tujuan dikatakan spesifik ketika individu mengetahui secara rinci apa yang harus dicapai, cara mencapai tujuan, dan batas waktu yang pasti (Kavoo-Linge, Van Rensburg, Sikalieh, 2011). Asmus, et al (2015) memberikan kesimpulan bahwa tujuan spesifik lebih mengarah pada prestasiyang tinggi dibandingkan tujuan yang tidak spesifik atau tujuan umum.

6. Prinsip Goal-Setting

Locke dan Latham (1990, dalam Bakar, Yun, Keow, dan Li, 2014) menunjukkan lima prinsip utama goal-setting sebagai berikut:

a. Clarity

Clarity didefinisikan sebagai goal yang produktif, jelas, dan terukur. Goal harus didefinisikan dengan baik, memiliki batas waktu yang jelas dan mengurangi informasi yang tidak mengarah pada harapan dan pencapaian.

b. Challenging

Goal yang menantang adalah goal dengan tingkat kesulitan yang memotivasi individu untuk memberikan usaha lebih dalam mencapai tujuan. Ketika individu merasa tertantang, muncul ketertarikan dan keharusan untuk mencapai goal tersebut. Goal yang menantang menimbulkan rasa percaya diri dalam proses pencapaian. Hal tersebut

15

diimbangi dengan optimisme, keyakinan menyelesaiakan tantangan yang harus dilakukan untuk mencapai goal.

c. Commitment

Komitmen merupakan usaha untuk mengerahkan seluruh kemampuan, waktu dan tenaga dalam mengejar, memperoleh, serta menjaga tujuannya. Komitmen berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas, yaitu menerima goal dengan tingkat kesulitan tinggi sehingga terdorong dan terinspirasi untuk mencapai goal. Komitmen muncul karena individu merasa menjadi bagian dari pencapaian tujuan. Komitmen tampak dalam keterlibatan membuat perencanaan, menetapkan tujuan, dan proses pengambilan keputusan.

d. Feedback

Feedback merupakan umpan balik yang diberikan ketika individu melakukan sesuatu untuk mengejar goal. Dalam membuat tujuan perlu monitoring dan feedback berupa evaluasi untuk mengetahui kendala yang dialami, sejauh mana proses pencapaian goal dilakukan, memberikan solusi dan kebutuhan sumber daya tambahan. Monitoring dan evaluasi lebih memberikan pengaruh jika dilakukan oleh diri sendiri daripada orang lain atau lingkungan.

e. Complexity Task

Suatu goal terdiri dari beberapa hal yang saling berhubungan dan kompleks untuk diselesaikan. Goal yang kompleks memastikan individu merasa tidak mudah untuk mencapainya, sehingga harus

memiliki waktu yang cukup, memperoleh pelatihan dan bimbingan untuk mencapainya.

7. Aspek Goal Setting

Locke dan Latham (dalam Free Management E-book, 2013) mengungkapkan lima aspek dasar dalam goal setting sebagai berikut: a. Specific

Goal yang ingin dicapai harus rinci, fokus dan beralasan. Goal yang spesifik juga disertai cara atau strategi pencapaian tujuan dan tenggat waktunya. Goal yang spesifik merupakan goal yang menjawab pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, dan mengapa.

b. Measurable

Goal yang ingin dicapai sesuai dengan batas kemampuan dan memiliki kriteria yang konkret untuk mengukur pencapaian goal. Misalnya memiliki waktu dalam pencapaian goal.

c. Attainable / Achievable

Goal yang diinginkan harus realistis untuk dicapai, maksudnya tidak terlalu sulit maupun terlalu mudah. Goal yang attainable / achievable membantu individu menemukan kesempatan atau strategi untuk membuat mereka lebih dekat dengan pencapaian tujuannya. Strategi mengandung langkah konkret untuk mencapai suatu goal.

17

d. Relevant

Goal harus realistis, sesuai dengan keadaan serta kemampuan individu. Goal juga harus selaras dengan organisasi, kelompok, atau orang lain.

e. Time Bond

Proses pencapaian goal harus memiliki batasan waktu yang jelas. Dengan memiliki batasan waktu yang jelas dalam mencapai goal, maka menunjukkan sense urgency untuk segera mencapai goal.

Dokumen terkait