• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pola Pengobatan Pasien Anak Dengue Haemorrhagic Fever di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Semester I Tahun

2. Golongan Obat yang Digunakan

Golongan obat yang diberikan pada pasien anak DHF, meliputi obat rehidrasi, analgesik non narkotik, diuretik kuat, kortikosteroid, stimulan adrenoreseptor β2 selektif, antibiotik, antihistamin sedatif, antitukak, obat-obat lain, antiemetik dan gastroprocinetic agent.

Tabel VI I. Kelas Terapi O bat yang Di berikan Pada Pas ien A nak Deng ue Haem orrhag ic Fever Non Ko mpl ika si di I ns talas i Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Semes ter I Tahu n

2008

No. Golongan Obat Jumlah

Kasus Prosentase (%) 1 Rehidrasi 31 100 2 Analgesik Antipiretik 21 67,7 3 Diuretik kuat 6 19,35 4 Kortikosteroid 5 16,13

5 Stimulan Adrenoreseptor β2 selektif 5 16,13

6 Antibiotik 4 12,9

7 Antihistamin 2 6,45

8 Antitukak 2 6,45

9 Obat-obat lain 2 6,45

10 Antiemetic, Gastroprokinetic Agent 1 3,23 ∑∑∑∑ total kasus = 31 kasus

Dari tabel di atas dapat diamati bahwa obat rehidrasi merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan pada pasien anak DHF. Obat golongan ini diberikan kepada semua pasien (100%). Golongan analgetik non narkotik merupakan golongan obat terbanyak kedua setelah golongan obat rehidrasi yang diberikan pada 21 pasien (67,7%). Diuretik kuat merupakan golongan obat urutan ketiga yang diberikan kepada 6 pasien (19,35%).

Obat kortikosteroid merupakan golongan obat urutan keempat yang diberikan kepada 5 pasien (16,13%). Golongan obat stimulan adrenoreseptor β

selektif merupakan obat urutan kelima yang diberikan kepada 5 pasien (16,13%). Golongan obat antibiotik merupakan obat urutan urutan keenam yang diberikan kepada 4 pasien (12,9%). Golongan obat antihistamin sedatif merupakan obat urutan ketujuh yang diberikan kepada 2 pasien (6,45%). Obat antitukak merupakan obat urutan kedelapan yang diberikan kepada 2 pasien (6,45%).

Obat-obat lain merupakan Obat-obat urutan kesembilan yang diberikan kepada 2 pasien (6,45%). Sedangkan obat antiemetic, gastroprokinetic agent diberikan kepada 1 pasien (3,23%).

3. Jenis Obat yang Digunakan a. Rehidrasi

Obat rehidrasi merupakan cairan elektrolit yang tersedia dalam bentuk sediaan infus dan diberikan kepada pasien secara parenteral. Terapi cairan parenteral ini digunakan untuk mempertahankan dan mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Tujuan rehidrasi adalah untuk menormalkan lingkungan kimiawi intraseluler dan ekstraseluler yang mengoptimalkan fungsi sel dan organ.

Obat rehidrasi merupakan golongan obat terbanyak yang diberikan kepada pasien anak DHF, karena dimaksudkan untuk mencegah terjadinya keparahan DHF yang berlanjut menjadi DHF grade III dan IV (Dengue Shock Syndrome), sehingga terapi rehidrasi memang mutlak harus diberikan kepada pasien DHF grade I dan II. Dengan demikian, pemberian cairan elektrolit secara oral tidak dimungkinkan. Oleh karena itu, untuk mencegah kondisi-kondisi lain yang akan menyebabkan keadaan pasien bertambah parah, maka dokter memberikan terapi cairan elektrolit. Cairan rehidrasi yang digunakan pada penelitian kasus DHF di sini ada 2 macam, yaitu cairan infus RL (Ringer Laktat) dan cairan infus asering, tetapi proporsi terbanyak yang digunakan di sini adalah cairan infus RL. Pemilihan dan jumlah obat rehidrasi disesuaikan dengan kondisi

individu pasien, yaitu disesuaikan dengan derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit.

Macam cairan dan sifat-sifat cairan untuk resusitasi volume, yaitu : 3). Kristaloid : Ringer Laktat (RL), Ringer Asetat (RA), NaCl 0,9%.

4). Koloid : Hydroxyethylstarch (HES), Gelatin, Albumin 5%, Dextran, Plasma Protein Fraction (PPF).

Ringer Laktat (RL) merupakan cairan kristaloid yang sudah lama digunakan untuk resusitasi dengue. RL adalah larutan isotonik yang komposisinya menyerupai komoosisi plasma. RL dapat diberikan dengan kecepatan tinggi pada berbagai keadaan darurat hiovolemik. Komponen karbonat yang dihasilkan dari metabolisme laktat memberikan efek dapar (buffer) yang diperlukan untuk mengatasi asidosis yang terjadi (Sutaryo, 2004).

Tabel VIII. Daftar Penggunaan Rehidrasi

No. Jenis Rehidrasi Jumlah Kasus

1. Ringer Laktat 31

2. Asering 1

Terapi rehidrasi yang lain dapat diberikan dalam bentuk transfusi FFP (Fresh Frozen Plasma), yaitu pada 3 kasus, untuk mengatasi terjadinya hemokonsentrasi yang berakibat pada kebocoran plasma dan transfusi PRC (Packed Red Cell), yaitu pada 3 kasus, untuk mengatasi trombositopenia dan perdarahan yang terjadi pada pasien.

b. Analgesik Antipiretik

Analgesik antipiretik merupakan obat yang ditujukan untuk mengobati demam sekaligus mengurangi rasa nyeri yang menyertai demam. Pasien DHF

yang masuk RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta juga menderita demam, sehingga diperlukan analgetik antipiretik.

Pada penelitian ini, obat golongan analgetik antipiretik yang paling banyak digunakan adalah parasetamol, meskipun juga terdapat 2 merk dagang dari parasetamol, yaitu sanmol dan pamol. Penggunaan merk dagang sebagai terapi kurang begitu efektif dalam hal biaya. Golongan analgetik antipiretik merupakan golongan obat terbanyak kedua setelah golongan obat rehidrasi, yaitu 21 pasien (67,7%). Hal ini disebabkan karena gejala umum pada penyakit DHF adalah suhu tubuh yang tinggi melebihi suhu tubuh normal.

Obat analgetik antipiretik yang ditemukan pada penelitian ini merupakan obat golongan analgetik non narkotik. Sebagai analgetik, obat-obat ini bekerja dengan jalan merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dan sebagai antipiretik. Obat ini bekerja dengan jalan merangsang pusat pengaturan kalor di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat (Tjay dan Rahardja, 2002).

Parasetamol merupakan analgetik antipiretik yang paling sering digunakan pada anak-anak. Menurut dokter yang menangani pasien anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, parasetamol merupakan obat analgetik antipiretik yang paling aman atau ringan dibandingkan dengan obat analgetik antipiretik lain. Parasetamol juga cepat dan hampir sempurna diabsorpsi pada pemberian oral. Efek samping yang ditimbulkan dari pemakaian parasetamol jarang terjadi kecuali

ruam kulit, kelainan darah, pankreatitis akut (dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang), dan kerusakan hati setelah overdosis (Anonim b, 2000).

c. Diuretik Kuat

Diuretik kuat diindikasikan untuk mengatasi udem pada pasien. Obat golongan diuretik kuat pada penelitian ini diberikan kepada 6 pasien (19,35%). Jenis diuretik yang diberikan adalah furosemid (lasix).

Furosemid adalah golongan diuretika kuat. Furosemid digunakan segera, untuk mengeluarkan kelebihan cairan, seperti ascites (pengumpulan cairan di rongga abdomen) dan udem paru (pengumpulan cairan di dalam pleura). Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul komplikasi yang berbahaya seperti sesak nafas atau infeksi bakterisidal. Kondisi kelebihan cairan ini nantinya dapat memicu terjadinya kebocoran plasma, sehingga diperlukan obat diuretik kuat untuk mengatasinya (Sutaryo, 2004).

d. Kortikosteroid

Obat golongan kortikosteroid yang digunakan di sini adalah sebagai antiinflamasi sistemik saat transfusi trombosit atau FFP. Fungsi lain dari kortikosteroid adalah untuk mengatasi reaksi alergi pada kulit akibat injeksi ataupun transfusi (misalnya gatal-gatal dan kemerahan pada kulit) yaitu dexamethason. Obat golongan kortikosteroid di sini menduduki porsi terbanyak keempat, yaitu digunakan pada 5 pasien (16,13%).

Dexamethason digunakan dengan indikasi menekan reaksi radang dan reaksi alergi. Obat golongan kortikosteroid ini dapat menimbulkan efek samping,

yaitu gangguan pertumbuhan pada anak (Anonim b, 2000), sehingga penggunaan kortikosteroid harus digunakan sesuai dengan aturan pakai (dosis yang sesuai untuk tiap individu).

e. Stimulan Adrenoreseptor ββββ2 selektif

Obat golongan stimulan adrenoreseptor β2 selektif merupakan obat urutan kelima (16,13%) yang digunakan pada penelitian ini. Obat yang digunakan pada golongan ini adalah Salbutamol (generik), Ventolin, dan Lasal. Ventolin dan Lasal juga berisi salbutamol.

Pada penelitian ini, pasien DHF non komplikasi juga diberi salbutamol dengan indikasi untuk mengatasi sesak pasien. Salbutamol merupakan obat bronkodilator yang bekerja melalui stimulasi reseptor β2 di trakea dan bronki, yang akan meningkatkan kadar cAMP (adenosin monophosphate cyclic) yang menghasilkan efek, antara lain bronkodilatasi. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh salbutamol, yaitu tremor halus (terutama pada tangan), ketegangan saraf, sakit kepala, vasodilatasi perifer, takikardi, dan hipokalemia sesudah dosis tinggi (Anonim b, 2000). Dosis salbutamol untuk anak usia 6 – 12 tahun menurut IONI (2000) adalah 2 mg.

f. Antibiotik

Antibiotik (antimikroba) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia (Setiabudy dan Gan, 1995). Tujuan pemberian antibiotik di sini sebagai profilaksis, yaitu untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder yang dapat timbul selama perawatan, bukan untuk mengobati infeksi vius Dengue.

Antibiotik pada penelitian ini digunakan pada 4 kasus (12,9%). Jenis antibiotik yang digunakan di sini ada 4 macam, yaitu :

1). Golongan sefalosporin (Sefiksim) 2). Golongan penisillin (Ampisillin) 3). Golongan aminoglikosida (Gentamisin)

4). Kombinasi golongan sulfonamid dan trimetoprim (Kotrimoksazol)

Antibiotik golongan sefalosporin dan penisilin merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel, sedangkan aminoglikosida merupakan antibiotik yang bersifat bakterisidal terhadap bakteria gram negatif dan gram positif. Kombinasi golongan sulfonamid dan trimetoprim bekerja dengan menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi (Ganiswara, 2005).

g. Antihistamin

Obat antihistamin juga digunakan pada 2 kasus (6,45%). Antihistamin adalah obat yang diberikan untuk mengobati alergi, namun pada kasus DHF umumnya tidak terdapat gejala alergi, sehingga proporsi penggunaan antihistamin di sini hanya sedikit.

h. Antitukak

Penggunaan golongan obat antitukak yang digunakan pada kasus di sini hanya 2 kasus (6,45%). Obat antitukak yang digunakan di sini ada 2 macam, yaitu:

1). Antagonis reseptor H2 (Ranitidin) 2). Antasida

Antasida adalah senyawa yang mempunyai kemampuan menetralkan asam klorida (lambung) atau mengikatnya. Sediaan antasida dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu : dengan kandungan aluminium dan atau magnesium, dengan kandungan natrium bikarbonat, dan dengan kandungan bismut dan kalsium. Efek samping utama dari antasida adalah diare, yang potensial berbahaya pada btante dan anak-anak kecil, sehingga efek samping ini harus juga diperhatikan pemberiannya pada kasus anak DHF (Anonim b, 2000).

Semua antagonis reseptor H2 menyembuhkan tukak lambung dan duodenum dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat hambatan reseptor H2. Ranitidin diindikasikan untuk tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H. pylori, syndrome Zollinger Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat (Anonim b, 2000).

i. Obat-obat Lain

Penggunaan obat-obat lain pada penelitian ini terdapat pada 2 kasus (6,45%). Obat-obat lain yang ditemukan pada penelitian ini adalah Dialac, Zinc, dan Dulcolax. Obat-obat ini diberikan pada 2 kasus yang berbeda.

Dialac diindikasikan untuk memelihara fungsi normal usus pada anak dan dewasa. Dulcolax digunakan untuk mengatasi konstipasi pada pasien. Sedangkan Zinc berfungsi memacu penyembuhan jaringan dan diperlukan untuk pembentukan kolagen, yang merupakan bahan penting untuk penyembuhan dan

perbaikan jaringan, serta memiliki aktivitas imunitas seluler, dibutuhkan untuk metabolisme nutrien dan sintesis asam nukleat (DNA dan RNA) (Darmawan, 2008).

j. Antiemetic, Gastroprokinetic Agent

Obat golongan ini hanya digunakan pada 1 kasus saja (3,23%). Obat yang digunakan pada golongan ini adalah metoklopramid. Obat ini berkhasiat memperkuat motilitas dan pengosongan lambung berdasarkan stimulasi saraf-saraf kolinergik, khasiat antidopamin di pusat perifer, serta kerja langsung terhadap otot polos. Metokloporamid berdaya antiemetik sentral kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ).

Tujuan pemberian obat-obat ini adalah untuk mengatasi mual dan muntah yang terjadi akibat proses infeksi. Efek samping dari metoklopramid yaitu gejala ekstrapiramidal, hiperprolaktinemia, mengantuk, gelisah, diare, depresi, sindrom neuroleptik maligna, abnormalitas konduksi jantung pada pemberian intravena (Anonim b, 2000).

C. Gambaran Kasus Masalah-masalah yang Berkaitan dengan Obat (Drug

Dokumen terkait