• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

6. Golongan penerima Zakat

Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.

Berdarkan ayat diatas manfaat di syariatkan itu diantaranya adalah supaya harta itu tidak hanya beredar dikalangan orang-orang kaya diantaranya adalah untuk membersihkan jiwa orang yang berzakat dari sifat sombong dan kikir, serta membersihkan hartanya dari bercampur baurnya dengan hak orang lain (Amir Syariffuddi, 2003 :39).

6. Golongan Penerima Zakat

Golongan penerima zakat ialah orang-orang yang berhak menerima harta zakat (mustahik) dapat diperinci menjadi delapan golongan sebagainya firman Allah dalam surat At- Taubah (9) : 60:



Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, pada Mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), dan orang-orang yang sedang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah: dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa zakat tidak dapat diserahkan kecuali untuk 8 kelompok (sektor) sebagai berikut:

a. Fakir

Seperti telah dijelasakan Allah dalam surat At-Taubah (9): 60, kelompok penerimaan Zakat pertama dan kedua adalah orang-orang fakir (fuqara) dan orang-orang miskin (masakin) di kalangan para ulama, terutama ahli tafsir, kata fakir dan miskin dimasukan dalam kategori dua kata artinya: “Apabila kedua kata itu disebut bersama-sama masing-masing memilki arti yang berbeda dengan yang lain. Tetapi apabila masing-masing disebut secara terpisah dari yang lain, maka kedua kata itu memiliki kesamaan arti”.

Pada kenyataannya ababila kita hubungkan penggunaan kata Fakir dan miskin dalam masyarakat indonesia yang kebanyakan tidak mengenal perbedaan antara keduanya maka pendapat Abu Yusuf dan Ibn al- Qasim nampak cukup relevan. Apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa pihak jumhur kontraversi yang berkepanjangan tentang devenisi serta kondisi ketidak mampuan ekonomi masing-masing, yang kontraversi ini sebenarnya tidak ada manfaatnya.

Menurut Muhammad „Abd Al-Mun‟im Jamal dalam kitab tafsirnya memberi pengertian bahwa, fakir adalah orang yang mempunyai harta sedikit, tapi kurang satu nisab, sedangkan miskin adalah tidak mempunyai apa-apa ia yang telah lemah dibanding orang fakir (Mu‟inan Rafi‟, 2011:

49- 51).

b. Miskin

Mereka adalah orang yang mampu untuk bekerja, namun untuk memenuhi kebetuhun sehari-harinya tidak mencukupi, seperti ia butuh sepuluh, tetapi ia hanya mampu tujuh saja, sehingga tidak mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papannya.

Menurut ulama syafi‟yah dan hanabila, orang fakir lebih buruk keadaannya dengan orang miskin, karena orang fakir merupakan orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali. Sementara orang miskin adalah orang yang memiliki atau mempunyai penghasilan tetapi penghasilannya tidak mencukupi kebutuhannya. Maksud dari kecukupan disini adalah orang yang bekerja dapat memenuhi kehidupan dari hari kehari. Jadi orang miskin adalah tidak memiliki ketetapan dalam setiap harinya, baik itu kebutuhannya, tempat tinggal dan lain-lain (Mu‟inan rafi‟, 2011: 48).

c. „Amil

Imam As-syafi‟i menyatakan bahwa „amilun adalah orang-orang yang diangkat untuk memungut zakat dari pemilik-pemiliknya, yaitu para sa‟i ( orang-orang yang datang ke daerah-daerah untuk memungut zakat) dan petunjuk jalan menolong mereka, karena tidak dapat memungut zakat tanpa pertolongan petujuk jalan itu. Sedangkan menurut Al-Qadawi,

„Amilun adalah semua orang yang bekerja dalam perlengkapan administrasi urusan zakat, baik urusan pengumpulan, pemeliharaan, ketatausahaan, perhitungan pendayagunaan dan seterusnya.

„Amil adalah para petugas yang mengelola zakat, baik dalam urusan pengumpulan, pendayagunaan, ketatausahaan dan lain sebagainya.

Seorang „amil haruslah yang diangkat oleh petugas pemerintah , dalam hal ini imam (kepala negara) atau pembantuny. Pendapat ini dolonggarkan oleh beberapa ulama kontemporer semacam Abu Zahrah, menurutnya, „amil adalah mereka yang bekerja untuk pengelolaan zakat, menghimpun, menghitung, mecari orang- orang yang butuh (Mustahiqqin), serta membagikanya kepada mereka (Mu‟inan Rafi‟, 2011: 58-59).

d. Muallaf

Pengertian muallaf adalah orang yang dilunakkan hatinya agar mereka tertarik pada agama islam karena belum keimanan mereka belum mantap, atau untuk menghindari petaka yang mungkin mereka lakukan terhadap kaum muslimin, atau mengambil keuntungan yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka (Sayyid Sabiq, 2012 :145).

Makna muallaf disni antara lain yaitu mereka yang diharapkan kecendrungan hatinya dan keyakinannya dapat bertambah kepada Islam, atau terhalang niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh (Mu‟inan Rafi‟, 2011: 63-64).

Kelompok kafir terdiri atas dua bagian, yaitu orang-orang yang ditakuti kejelekanya. Disebutkan bahwa Nabi SAW pernah memberikan sesuatu kepada orang kafir, untuk menundukan hatinya agar mereka mau masuk Islam. Di dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi SAW. Pernah memberi Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, Uyaynah bin Hishn, al-Aqra‟ bin Habis, dan Abbas bin Mirdas (Wahbah Al-Zuhayly, 2000: 283).

e. Riqab (Para Budak)

Para budak yang dimaksudkan di sini, menurut jumhur ulama, ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannya (al-mukatabun) untuk memerdekakan dan tidak memiliki unag untuk membayar tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang mati-matian. Mereka tidak mungkin melepaskan atas diri mereka yang tidak menginginkan kemerdekaannya kecuali telah membuat perjanjian. Jika seseorang hamba yang dibeli, uangnya tidak akan diberikan kepadanya melainkan kepada tuannya (Wahbah Al-Zuhayly, 2000: 285).

Menurut ulama hanafiyah dan syafi‟iyah, mereka adalah budak-budak mukatab. Yakni muslim yang tidak mempunyai harta untuk mencukupi

apa yang mereka lakukan, sekalipun sudah banting tulang untuk bekerja.

Karena tidak mungkin memberikan zakat kepada seseorang yang hendak melepas status budaknya. Melainkan mereka adalah budak mukatab. Jika seseorang budak dibeli dengan bagian zakat ini, maka zakatnya diberikan pada tuannya. Dan belum terealisasi memberikan hak milik sesuai yang diinginkan dalam menunaikan zakat.

Syarat memberikan zakat pada budak mikatab adalah dia harus beragama islam dan memang sedang membutuhkan, karena pada saat sekarang ini tidak ada lagi perbudakan didunia. Sebab telah dihapuskan dan dianggap tindak kriminal secara internasional maka bagian ini tidak mempunyai eksitensi secara nyata, maka itu tidak mempunyai jalur syariat yang membolehkannya.

f. Orang berhutang (gharimin)

Al-Gharimin adalah orang yang mempunyai hutang bertumpuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang kemudian tidak mampu untuk membayar hutangnya.Maka dengan Zakat diharapkan dapat dipergunakan untuk melunasi sebagian atau seluruh hutangnya. Para ulama membagi gharimin menjadi dua macam, pertama, orang yang berhutang untuk kemaslahatan dirinya dan keluarganya, dan yang kedua, orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain atau kepentingan umum.

Dengan demikian gharimin diberi bagian Zakat sekedar untuk melunasi hutangnya.

Gharim menurut ulama hanafiyah adalah orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang atau tidak memiliki satu nisab yang lebih dari hutangnya. Para ulama malikiyah mengatakan, bahwa gharim adalah orang yang terhimpit hutang kepada orang lain yang digunakan bukan untuk perbuatan keji dan merusak. Yaitu orang yang tidak mempunyai harta untuk membayar hutangnya.

Bentuk permashalaaan gharim yang dapat diberi zakat karena berhutang untuk kepentingan pribadi adalah:

a. Tidak mampu membayar seluruh atau sebagian hutangnya, apabila seseorang tidak mampu membayar hutang, akan tetapi ia mampu membayar hutangnya. Dia bisa diberi zakat untuk melunasi hutangnya.

b. Dia berhutang untuk bidang ketaatan kepada Allah SWT atau dalam bidang mubah ( diperbolehkan agama). Dengan demikian zakat tidak bisa didistribusikan kepada gharim yang berhutang untuk tujuan kemaksiatan.

c. Hutang yang harus selalu dilunasi, bukan hutang yang masih lama pembayaranya.

Sedangkan untuk syarat gharim berhutang karena kepentingan orang lain yang tanpa adanya syarat tentang ketidak mampuannya. Jadi apabila gharim ini kaya tetap berhak menerima dana zakat. Hal demikian sangat jelas dikemukakan oleh sebagian ulama syafi‟iyah (Mu‟inan Rafi‟, 2011:

70).

g. Pada jalan Allah (fisabilillah)

Fisabilillah adalah jalan yang menyampaikan kepada ridha Allah SWT. Baik berupa ilmu pengetahuan maupun amal perbuatan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fisabilillah adalah berperang dijalan Allah SWT. Pada masa sekarang yang di utamakan adalah mendanai sekaligus menyiapkan para da‟i muslim dan kemudian menugaskan mereka berdakwa di Negara Non muslim.

Mereka adalah para mujtahid yang berperang yang tidak mempunyai hak dalam honor sebagai tentara, karena jalan mereka adalah mutlak berperang dijalan Allah.

Seperti firman Allah dalam surat AS.-Shaff: 4 :























“sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur, maka seakan-akan seperti suatu bagunan yang tersusun kukuh.

Mereka diberi zakat karena telah melaksanakan misi penting mereka dan kembali lagi. Menurut Jumhur Ulama, mereka tetap diberi zakat sekalipun orang kaya, karena yang mereka lakukan adalah kemaslahatan bersama. Adapun orang yang mempunyai honor tertentu maka tidak diberi zakat, karena orang yang mempunyai honor tertentu maka tidak diberi zakat, karena orang yang menerima rezeki rutin yang mencukupi dianggap sudah cukup.

Seseorang tidak boleh melaksanakan ibadah haji dengan zakat maalnya, juga tidak berjihad dijalan Allah dengan zakat mallnya tersebut.

Demikian juga seseorang tidak boleh dihajikan dengan menggunakan zakat maalnya.dan zakat maalnya tidak boleh diniatkan untuk berjihad dijalan Allah atas namanya, karena Hal itu tidak sesuai dengan apa yang telah diperintahkan. Abu Hanifah mengatakan, orang yang berperang dijalan Allah tidak diberi zakat melainkan dia fakir (Wahbah al-Zuhaili,:

2005 : 286).

Al-Razi mengatakan bahwa Fi-sabilillah bukan berarti terbatas pada perperangan, melainkan berarti segala jalan kebaikan, oleh sebab itulah boleh-boleh saja zakat diberikan untuk mengkafani jenazah, memakmurkan mesjid dan lain-lain. Bahkan menurut al-maraghi fi‟sabilillah adalah segala kemaslahatan untuk kaum muslimin seluruhnya menuju tegaknya agama.

Sejalan dengan itu, Yusuf al-Qardawi dalam penelitiannya, bahwasannya fisabilillah berarti jihad dalam pengertian komperehensif, tidak hanya berdimensi militer, melainkan juga berdimensi pemikiran, pendidikan sosial , ekonomi dan politik. Artinya bahwa bisa suatu proyek kebajikan di suatu negeri dalam satu kurun waktu merupakan bentuk jihad fisabilillah , akan tetapi proyek yang sama dilakukan pada negeri lain hanya dianggap sebagai amal kebajikan biasa. Masalahnya tergantung pada sejauh mana proyek kebajikan itu merupakan respon terhadap tantangaan yang dihadapi agama Allah SWT ataukah ia hanya sekedar merupakan sesuatu terjadi dalam situasi yang biasa-biasa saja (Mu‟inan Rafi‟, 2011 : 73).

Menurut mazhab Syafii dan Hambali, fisabilillah adalah orang-orang yang berperang dengan sukarela sedang mereka tidak memperoleh hak gaji dari negara bafian tentara muslim. Karena sesungguhnya mereka tidak diberi zakat dari bagian orang yang berperang, karena memperoleh rezeki dari rampasan perang.

h. Orang yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil)

Ibn as-Sabil adalah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tidak dapat mendatangkan uang dari rumahnya.Orang tersebut diberi Zakat hanya sekedar untuk sampai pada tujuan yang dimaksud.Ibn as-Sabil dapat memperoleh bagian Zakat apabila benar-benar membutuhkan uang Zakat, artinya tidak mempunyai atau kekurangan biaya untuk kembali ke daerahnya, dan tidak sedang dalam perjalanan maksiat, dan tidak mendapatkan orang yang memberi pinjaman pada saat meneruskannya.

Menurut syafi‟i zakat wajib diberikan kepada delapan golongan tersebut jika zakat dibagikan oleh imam atau pemimpin dan terdapat petugas pengumpul zakat(amil), jika amil tidak ada maka diberikan kepada tujuh golongan saja, jika tidak ada sebagian golongan maka

berikan saja kepada golongan yang ada (Ad-dimasyqy Abdurrahman, 2004: 149).

Dokumen terkait