• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 5 Sel darah putih (leukosit), limfosit. (Sumber : http://Id.wikipedia.org)

Pada kondisi normal jumlah limfosit pada mencit yaitu 55%-85% dari total leukosit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Limfosit ini berdiferensiasi menjadi sel T dan sel B yang berperan penting dalam respon imun. Sel T berperan dalam imunitas seluler dan diperkirakan 70-75 % dari seluruh limfosit darah. Sel T menimbulkan respon imun selular sedangkan sel B akan menghasilkan antibodi pada respon imun humoral.

Dalam sistem pertahanan tubuh guna memberantas bahan-bahan infeksius atau toksin selain dilakukan dengan fagositosis juga dilakukan dengan pembentukan antibodi oleh limfosit. Limfosit berfungsi sebagai pembunuh alami yang dapat menghancurkan sel-sel asing atau sebagai penghasil antibodi untuk respon spesifik (Guyton & Hall 1997).

Organ Limfatik

Menurut Boedina (2000), organ dan jaringan limfoid terbagi dalam dua kelompok utama, yaitu organ limfoid primer yang fungsi utamanya adalah embriogenesis dari sel-sel yang berfungsi dalam respon imun dan organ limfoid sekunder yang disamping limfopoesis juga beraksi aktif terhadap stimulasi antigen. Termasuk kedalam organ limfoid primer antara lain timus dan bursa Fabricious pada unggas, sedangkan organ limfoid sekunder antara lain limpa, simpul limfe (lymph nodus).

13 

 

Timus

Timus terdiri dari sejumlah lobul berisi epitelial yang tersusun longgar dan setiap lobul dibatasi oleh kapsul jaringan ikat. Di bagian luar setiap lobulus, yaitu korteks, diinfiltrasi padat dengan limfosit, tetapi pada bagian dalam, yaitu medula, sel epitelial jelas terlihat (Gambar 6). Kelenjar timus berada di bagian anterior mediastinum, terbagi dalam dua lobus dan banyak lobulus yang masing-masing terdiri atas korteks dan medula. Sel induk pluripoten yang merupakan cikal bakal sel T, masuk ke dalam timus lalu berploriferasi menjadi sel yang disebut timosit.

Gambar 6 Gambaran mikroskopik timus. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/ Thymus).

Penyediaan darah ke timus berasal dari arteri yang masuk melalui jaringan ikat pembatas dan menjulur sebagai anteriol sepanjang pertemuan kortiko-medula. Kapiler yang terjadi dari arteriol ini dibatasi oleh penghalang yang terdiri dari endotel, membran basal yang sangat tebal dan lapisan luar dari sel epitelial yang berkesinambungan. Penghalang ini efektif mencegah antigen yang beredar memasuki korteks timus. Tidak ada saluran limfe yang masuk ke dalam timus (Tizard 1988).

Fungsi timus belum diketahui dengan jelas karena tidak adanya akibat yang terlihat nyata bila timus pada hewan dewasa dibuang. Namun, pada rodensia yang baru lahir dapat memberi dampak bila timusnya dibuang. Hal tersebut dikarenakan hewan menjadi lebih peka terhadap infeksi.

14  Limpa

Limpa berfungsi sebagai penyaring (filter) darah dan penyimpan zat besi (Fe) untuk dimanfaatkan kembali dalam sintesis hemoglobin yang terkait dengan respon imunologi terhadap antigen yang berasal dari darah dan menyimpan eritrosit serta trombosit.

Limpa dibungkus oleh jaringan ikat tebal sebagai kapsula dan dibagian luar dibalut oleh peritonium. Kapsula memiliki dua lapis jaringan ikat dan otot polos yang berfungsi sebagai penunjang parenkim limpa. Trabekula terdiri dari serabut kolagen, serabut elastik dan otot polos mulai dari kepala sampai ke hilus. Trabekula mengandung arteri, vena, pembuluh limfe dan syaraf (Gambar 7). Kapsula, trabekula dan serabut retikuler menunjang parenkim limpa yang terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih (Dellmann dan Brown 1989).

Gambar 7 Gambaran mikroskopik organ limpa. (Sumber: http://www.deltagen. com/target/histologyatlas/atlas_files/hematopoietic/spleen_4x.htm).

Bagian pulpa merah untuk menyimpan eritrosit, untuk penjerat antigen dan untuk eritropoiesis (Tizard 1988). Sebagian besar dari pulpa limpa berwarna merah dan banyak mengandung darah yang disimpan dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari arteriol pulpa (pulp arterioles), kapiler selubung serta kapiler terminal, sinus venous atau venula dan bingkai limpa (Dellmann dan Brown 1989). Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang menyebar di seluruh limpa sebagai nodulus limpa dan seperti selubung limfatik periarterial

15 

 

(Periarterial Lymphatic Sheaths, disingkat PALS). Pada kedua lokasi, serabut retikuler dan sel retikuler membentuk jalinan stroma dalam tiga dimensi mengandung pecahan limfosit, makrofag dan sel-sel aksesori lain (Dellmann dan Brown 1989). Pada bagian pulpa putih inilah terjadi tanggap kebal (Tizard 1988).

Daerah marginal adalah daerah yang berbatasan langsung dengan lapis terakhir dari lapisan konsentris yang dibentuk oleh retikulum pada permukaan pulpa putih. Daerah marginal merupakan filter paling utama bagi darah. Daerah ini merupakan tempat ideal bagi antigen darah untuk mengadakan kontak dengan elemen limfatik, sebab begitu banyak kapiler disini. Aktifitas limfloblas di daerah perifer dari pulpa putih merupakan indikasi pertama awal respons kekebalan humoral (Dellmann dan Brown 1989). Dari sini darah mengalir perlahan menuju sinus venous atau venula pulpa merah. Banyak makrofag dan populasi limposit khusus terdapat di daerah marginal. Semua unsur dari darah, juga antigen mengadakan kontak dengan makrofag dan limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam plasma darah difagositosis secara efisien oleh makrofag dan merupakan kondisi ideal untuk penampilan antigen (Dellmann dan Brown 1989).

Mekanisme filtrasi limpa dapat meningkat bila jaringan retikuler banyak berisi sel-sel retikuler dan makrofag. Umumnya tiap sediaan pulpa merah banyak mengandung makrofag yang memfagositose pecahan pigmen darah merah yang disebut dengan hemosiderin.

Limfonodus (lymph node)

Berbentuk bulat atau seperti kacang, ditempatkan strategis pada saluran limfatik sehingga dapat menjerat antigen bagian perifer tubuh menuju aliran darah. Terdiri dari jaringan-jaringan retikuler yang diisi dengan limfosit, makrofag dan sel dendrit. Simpul limfe terbagi atas korteks perifer, medula sentral dan suatu daerah yang tidak beraturan antara korteks dan medula yang disebut wilayah parakortikal (Gambar 8).

16 

Gambar 8 Gambaran mikroskopis limfonodus. (Sumber : http://www.upei.ca/ ~morph/webct/Modules/Lymphoid/tonsil.html.

Sel darah korteks terutama terdiri dari limfosit B dan tersusun dalam nodul sebelum kontak dengan antigen, nodul ini disebut nodul primer. Pada simpul limfe yang sudah dirangsang oleh antigen, sel dalam folikel primer meluas membentuk struktur yang khas dan dikenal sebagai germinal center. Folikel yang mengandung germinal center ini kemudian dikenal sebagai folikel sekunder sedangkan folikel tersier adalah sel dalam zone parakortikal terutama terdiri dari limfosit T dan tersusun dalam nodul yang kurang teratur (Boedina 2000).

Simpul limfe mempunyai dua sistem penjeratan antigen yang terpisah, yakni menggunakan makrofag yang terdapat dalam medula dan melibatkan sel dendrit yang terdapat dalam korteks, terutama dalam folikel sekunder. Efisiensi dari sistem yang melibatkan makrofag relatif efektif pada kontak pertama dengan antigen sedangkan sistem yang melibatkan dendrit sebagai alat penjeratan antigen tergantung pada adanya antibodi yang diperlukan supaya antigen bisa menempel pada penjuluran-penjuluran sel dendrit (Tizard 1988).

Antigen masuk ke limfonodus melalui sel dendrit, berinteraksi dengan sel T dan kemudian mengaktifkannya. Limfonodus amat berperan dalam mengikat antigen yang masuk melalui saluran limfe aferen. Antigen akan berinteraksi dengan makrofag, sel B dan sel T. Interaksi ini akan menimbulkan adanya reaksi imun.

17 

 

Antibiotik

Antibiotik termasuk jenis obat yang cukup sering diresepkan dalam pengobatan modern. Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh nakteri atau virus. Antibiotik dijuluki ”peluru ajaib” : obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya. Antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Salah satunya adalah yang bekerja sebagai inhibitor dan sintesis (cephalosphorin).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu kegiatan dimulai dari bulan April 2006 hingga Agustus 2006 yang dilanjutkan dengan pengamatan preparat dan pengolahan data pada bulan Februari hingga Mei 2007.

Materi • Hewan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus) sebanyak 45 ekor.

• Minyak obat luka Rantau

Minyak obat luka Rantau diperoleh langsung dari daerah Rantau, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan yang telah diolah dan dikemas baik.

• Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pakan dan minum mencit, BNF (Buffer Neutral Formalin) 10%, eter, NaCl fisiologis, alkohol 70%, akuades, obat cacing dengan zat aktif imidazol, antibiotik (cephalosphorin yang diberikan sehari pasca laparotomi dan penisilin- streptomisin diberikan setelah penjahitan laparotomi dilakukan), serta obat bius (ketamin dan xylazin).

• Peralatan

Peralatan penelitian yang digunakan adalah: kandang adaptasi dan kandang percobaan mencit, timbangan digital, anaerobic jar, kertas buram, sonde lambung, spoit 1 ml, pipet mikrometer, botol minum mencit, silet, jarum jahit, cat gut, talenan, stiroform, aluminium foil, 1 set jarum pentul, alat bedah dan nekropsi (pinset, scalpel, gunting), kertas label, kapas, tissue, plastik tempat sampel, cawan petri, gelas objek, gelas penutup (cover glass), mikroskop, video micrometer dan video foto mikroskop.

19 

 

Metode • Kandang

Kandang yang digunakan ada dua macam yaitu kandang adaptasi dan kandang percobaan. Kandang adaptasi dan kandang percobaan berupa kotak plastik dengan ukuran 20 x 30 cm sebanyak 15 buah dan tutup dari kawat untuk sirkulasi udara.

• Perlakuan terhadap Mencit Percobaan

Mencit yang digunakan berjumlah 45 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu kontrol positif yang diberi antibiotik (cephalosphorin) pasca laparotomi flank, kontrol negatif tanpa pemberian obat dan kelompok perlakuan yang diberi minyak obat luka pasca laparotomi flank. Tiap perlakuan dibagi lagi menjadi 5 kelompok kecil (masing-masing dengan 3 ekor ulangan) berdasarkan waktu pengambilan sampel yaitu pada hari kedua, keempat, keenam, ketiga belas dan kedua puluh pasca pengobatan (pp).

Masa adaptasi mencit dipelihara pada kandang-kandang yang telah disediakan dengan diberi makan, minum, obat cacing dan antibotik (cephalosphorin) peroral. Pemberian obat cacing hanya sekali saja sedangkan untuk antibiotik diberikan selama 5 hari berturut-turut. Setelah pemberian obat cacing dan antibiotik, mencit dibiarkan selama 7 hari tanpa perlakuan dan selanjutnya dilakukan laparotomi (Gambar 10).

14 hr

L O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 2 0

Gambar 10 Skema Metodelogi Penelitian.       Hari Pengamatan Laparotomi Flank Pemberian Obat

Pengambilan Sampel Pengambilan Sampel Pengambilan Sampel Adaptasi

20 

Dokumen terkait