• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guncangan Penawaran (Harga Minyak Dunia)

VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP

6.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap

6.1.1 Guncangan Penawaran (Harga Minyak Dunia)

Shock harga minyak dunia sebesar 1 standar deviasi menyebabkan harga

minyak dunia langsung meningkat sekitar 13% pada periode impact. Selanjutnya harga minyak dunia menurun dan mencapai respon terendah pada triwulan ke-3. Respon harga minyak dunia mencapai keseimbangan jangka panjangnya pada triwulan ke-8 atau sekitar 2 tahun setelah guncangan, dengan level baru yang lebih tinggi dibanding level sebelum ada guncangan. Guncangan 1 standar deviasi atas harga minyak dunia menyebabkan harga minyak dunia lebih tinggi 10% di keseimbangan jangka panjangnya (Gambar 22).

Sumber: Hasil pengolahan

Gambar 22 Respon harga minyak dunia terhadap guncangan dirinya sendiri

Bagi perekonomian domestik, ternyata guncangan harga minyak ini tidak direspon secara signifikan. Gambar 23 menunjukkan selang kepercayaan dari IRF masih mengandung nol artinya respon dari makroekonomi domestik tidak berbeda nyata dari nol.

Sumber: Hasil pengolahan

Gambar 23 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan harga minyak dunia

Respon suku bunga domestik sedikit berbeda dengan respon makroekonomi domestik lainnya. IRF suku bunga domestik pada beberapa periode terlihat signifikan terutama di triwulan pertama hingga triwulan ke-3 dimana suku bunga domestik meningkat hingga 0,6%. Bank sentral menanggapi guncangan kenaikan harga minyak dunia dengan tight money policy sehingga meningkatkan suku bunga dalam rangka stabilisasi inflasi. Di jangka panjang, suku bunga domestik lebih tinggi 0,4% dibanding tingkat sebelum ada guncangan.

Meski PDB merespon negatif atas kenaikan harga minyak dunia, namun respon tersebut tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan hasil hubungan

contemporaneous pada bab sebelumnya disampaikan bahwa ada dua

kemungkinan atas tidak signifikannya efek contemporaneous harga minyak dunia terhadap PDB, dimana ketika harga minyak dunia meningkat tidak langsung direspon oleh PDB secara signifikan pada triwulan yang sama. Kemungkinan

Respon PDB Respon kurs riil

Respon suku bunga domestik Respon permintaan uang riil

pertama adalah PDB memerlukan lag dalam merespon perubahan harga minyak dunia atau kemungkinan kedua yaitu memang perubahan harga minyak dunia tidak memiliki efek pada PDB. Hasil IRF pada sub bab ini memperjelas temuan tidak signifikannya hubungan contemporaneous antara harga minyak dunia terhadap PDB di sub bab sebelumnya.

Dapat disimpulkan bahwa guncangan harga minyak dunia memang tidak berdampak signifikan terhadap PDB. Kondisi ini disebabkan karena pemerintah terus mengakomodasi kenaikan harga minyak dunia dengan menaikkan subsidi BBM. Hal ini dilakukan agar harga BBM domestik tidak ikut mengalami kenaikan atau setidaknya harga BBM domestik naik namun tidak sampai pada harga keekonomiannya, sehingga masih terjangkau oleh masyarakat domestik. Realita ini ditunjukkan oleh perkembangan subsidi BBM pada Gambar 24.

Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah

Gambar 24 Perkembangan subsidi BBM dan defisit APBN

Besaran subsidi BBM mengalami kenaikan yang sekaligus memperbesar defisit fiskal ketika harga minyak dunia meningkat tajam pada tahun 2008 dan 2011. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005, juga direspon pemerintah dengan kenaikan subsidi BBM. Ketika harga minyak dunia meningkat hingga mencapai rata-rata 60 US$/barel pada tahun 2005 (dari sekitar 40 US$/barel pada tahun 2004), subsidi juga ikut meningkat menjadi 95,6 triliun rupiah (dari sekitar 69 triliun di tahun 2004. Tambahan subsidi BBM untuk tahun 2005 dari tahun sebelumnya sekitar 26,58 triliun rupiah.

-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 % t hd P D B tr iliu n r u p ia h

Dilihat dari perkembangan penerimaan negara (Gambar 25), ternyata ada kenaikan penerimaan negara berupa pajak, yang mengalami peningkatan pertumbuhan dari 16,89% di tahun 2004 menjadi 23,48% di tahun 2005. Tingginya penerimaan pajak memungkinkan pemerintah dapat membiayai belanjanya termasuk subsidi yang lebih besar tanpa meningkatkan defisit anggaran. Sehingga kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 relatif tidak terlalu membebani APBN mengingat besarnya penerimaan pajak pada tahun bersangkutan.

Selain pemerintah tetap mensubsidi harga BBM domestik atas kenaikan harga minyak mentah dunia pada tahun 2005, pemerintah juga menaikkan harga BBM domestik meski tidak sampai pada harga keekonomian. Akibatnya terjadi inflasi tinggi pada tahun 2005 yaitu sekitar 17,11%. Untuk mengurangi dampak negatif bagi perekonomian, pemerintah memberikan kompensasi bagi masyarakat tidak mampu melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT), program pemberdayaan usaha rakyat misalnya dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta berbagai stimulus fiskal. Oleh karena itu, dampak kenaikan harga minyak dunia yang direspon pemerintah dengan menaikkan harga BBM domestik tidak terlalu mengkontraksi perekonomian domestik karena pemerintah melakukan ekspansi fiskal.

Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah

Gambar 25 Perkembangan penerimaan pajak dan pembiayaan defisit anggaran

-40 -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1,000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 tr iliu n r u p ia h tr iliu n r u p ia h penerimaan pajak pembiayaan DN (sumbu kanan) pembiayaan LN neto (sumbu kanan)

Kenaikan harga minyak dunia juga terjadi pada tahun 2008 dan 2011. Hal ini juga direspon pemerintah dengan menaikkan subsidi yang berdampak pada membesarnya defisit fiskal. Minyak dunia mencapai harga tertinggi pada tahun 2008 sekitar 139,96 US$/barel (dari harga tertinggi tahun 2007 sebesar 95,95 US$/barel). Agar tidak menyebabkan kontraksi perekonomian, pemerintah menaikkan subsidi BBM domestik menjadi 139,11 triliun rupiah dari 83,79 triliun rupiah di tahun 2007. Sehingga tambahan subsidi untuk tahun 2008 dibanding tahun sebelumnya sekitar 55,31 triliun rupiah. Bila dibandingkan dengan tambahan subsidi pada tahun 2005, maka tambahan subsidi pada tahun 2008 adalah sebesar dua kali lipatnya.

Penerimaan pajak di tahun 2008 yang tumbuh 34,15% tidak mampu menutupi membengkaknya subsidi tersebut sehingga defisit fiskal meningkat dari 1,5% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun 2008. Untuk membiayai defisit fiskal tersebut, pemerintah mengutamakan perolehan tambahan dana dari pinjaman dalam negeri yang resikonya lebih rendah, dalam rangka menurunkan ketergantungan pada pinjaman luar negeri.

Respon pemerintah dengan meningkatkan subsidi tetap disertai dengan kenaikan harga BBM meski tidak sampai pada harga keekonomiannya. Akibatnya terjadi inflasi karena peningkatan biaya produksi sehingga harga output juga ikut meningkat. Inflasi pada tahun 2008 tercatat 11,06%, meningkat dari sekitar 6,59% pada tahun 2007. Ketika pendapatan tetap maka terjadi penurunan daya beli masyarakat. Hal ini menjadi disinsentif bagi produsen untuk meningkatkan output di periode selanjutnya. Selain itu, terjadi krisis keuangan global yang bermula dari krisis perumahan di AS serta krisis hutang di zona Euro, yang sedikit banyak berdampak bagi perekonomian domestik pada tahun 2009 (misalnya melalui jalur penurunan ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa). Faktor-faktor ini berkontribusi pada perlambatan PDB di tahun 2009 dan akhirnya berpengaruh pada turunnya penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak. Oleh karena itu terjadi defisit fiskal yang mencapai tingkat tertinggi sepanjang tahun 2000 yaitu sekitar minus 2,4% terhadap PDB pada tahun 2009.

Setelah sempat melambat di tahun 2009, perekonomian mulai membaik sehingga penerimaan negara dari pajak pada tahun 2010 ikut meningkat yaitu

mampu tumbuh sekitar 21,48% dibanding penerimaan pajak tahun sebelumnya. Harga minyak pun sempat turun bahkan mencapai 44,60 US$/barel. Namun pada tahun 2011, harga minyak dunia kembali meningkat. Pemerintah kembali meresponnya dengan meningkatkan subsidi BBM dalam jumlah yang sangat besar.

Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang direspon pemerintah dengan menaikkan subsidi atas harga BBM domestik ternyata tidak dilakukan dengan menurunkan subsidi non energi seperti subsidi pupuk, subsidi pangan dan lainnya (Gambar 26). Subsidi non energi ikut meningkat untuk menjaga pertumbuhan ekonomi seluruh sektor tetap baik meski harga minyak dunia meningkat. Konsekuensi dari hal ini adalah pada membesarnya subsidi yang memperbesar defisit anggaran. Meski demikian, besaran defisit anggaran terhadap PDB masih dalam batas wajar yaitu masih dibawah 3%. Oleh karena itu perekonomian domestik tidak terlalu terimbas dampak kenaikan harga minyak dunia yang negatif.

Sumber: Kementrian Keuangan 2012 (diolah)

Gambar 26 Perkembangan subsidi BBM dan subsidi non energi

Wangke (2012) menemukan bahwa dampak kenaikan subsidi BBM adalah pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Subsidi tersebut menjaga harga BBM domestik tetap terjangkau masyarakat sehingga tidak menekan inflasi dan akhirnya dapat menurunkan kemiskinan. Penurunan subsidi BBM dan realokasi

- 50.00 100.00 150.00 200.00 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 triliun rupiah

subsidi non energi subsidi BBM

dana subsidi BBM ke sektor produktif mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2011 yang menembus angka diatas 100 US$/barel ternyata banyak menyedot anggaran pemerintah sehingga alokasi subsidi non energi menjadi lebih rendah dari tahun sebelumnya. Untuk membiayai defisit anggaran utamanya pada tahun 2008 dan 2011, pemerintah memperoleh pinjaman dari dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama, pemerintah memperolah penerimaan dari pajak yang melonjak tinggi akibat membaiknya perekonomian dan reformasi di bidang perpajakan dalam hal transparansi dan akuntabilitas administrasi perpajakan.

Seiring dengan kenaikan harga minyak mentah maka sumber energi alternatif seperti biofuel mulai diminati. Hal ini menjadi pemicu naiknya harga produk pertanian seperti minyak sawit di pasar komoditas internasional. Indonesia merupakan negara pengekspor produk-produk pertanian ini sehingga ikut memperoleh keuntungan atas kenaikan harga tersebut. Pemerintah memperoleh tambahan penerimaan dari peningkatan pajak ekspor, sehingga bisa dipergunakan untuk membiayai impor minyak mentah dan produk-produk olahannya.

Sumber: IFS 2012 (diolah)

Keterangan: indeks harga terhadap base year 2000=100

Gambar 27 Perkembangan indeks harga minyak mentah dan indeks harga produk pertanian

Gambar 27 menunjukkan bahwa pergerakan indeks harga karet, kopi dan minyak sawit mengikuti pergerakan indeks harga minyak mentah dunia. Kenaikan harga minyak dunia utamanya pada tahun 2008 dan 2011 memicu kenaikan harga

0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 20 01: 1 20 01: 3 20 02: 1 20 02: 3 20 03: 1 20 03: 3 20 04: 1 20 04: 3 20 05: 1 20 05: 3 20 06: 1 20 06: 3 20 07: 1 20 07: 3 20 08: 1 20 08: 3 20 09: 1 20 09: 3 20 10: 1 20 10: 3 20 11: 1 20 11: 3 20 12: 1

ekspor produk pertanian Indonesia di pasar komoditas internasional, sehingga pendapatan pemerintah dari pajak ekspor ikut meningkat.

Meski tidak signifikan, namun efek kenaikan harga minyak dunia bagi perekonomian Indonesia adalah negatif. Ketika pemerintah tetap menjaga harga BBM domestik dibawah harga keekonomiannya atas kenaikan harga minyak dunia, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang dapat memperbesar defisit anggaran dan menyebabkan postur belanja APBN menjadi tidak sehat. Selain itu, peningkatan penerimaan dari pajak ekspor ini seharusnya bisa dialokasikan ke belanja yang lebih produktif seandainya tidak ada kenaikan subsidi BBM.

Dijadikannya minyak mentah sebagai salah satu komoditas spekulasi sepertinya dapat menjawab penyebab kenaikan harga minyak dunia yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti ulasan di Bab 4 bahwa kenaikan harga minyak dunia pada era 2000an ternyata tidak disebabkan oleh penawaran dan permintaan secara riil.

Temuan dalam penelitian ini bahwa dampak guncangan harga minyak dunia ternyata tidak signifikan bagi perekonomian didukung oleh temuan Nordhaus (2007). Nordhaus menyatakan bahwa invasi AS ke Irak tahun 2002 yang diperkirakan akan menurunkan supply minyak dunia ternyata memang menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Namun dampak negatif dari kenaikan harga minyak ini pada perekonomian tidak terjadi dimana pertumbuhan ekonomi tetap positif dengan inflasi yang moderat.

Kemungkinan penyebab respon perekonomian yang moderat atas guncangan harga minyak tahun 2003 menurut Nordhaus adalah penurunan volatilitas perekonomian secara keseluruhan. Kondisi ini disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, guncangan di era 2000-an lebih kecil dibanding era 1970-an untuk dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kedua, mekanisme transmisi harga energi terhadap output telah berubah dari negatif menjadi netral selama 3 dekade terakhir. Ada bukti bahwa The Fed bereaksi lebih sensitif terhadap harga energi di tahun 2000-an, lebih memperhatikan core

inflation dibanding total inflasi. Selain itu adanya ingatan tentang sejarah

tingginya inflasi dan memutuskan untuk berusaha agar tidak terulang kembali. Ketiga, adanya faktor lain misalnya variabel lain yang mungkin memperkuat

dampak kontraksi atas guncangan di tahun 1970-an sedangkan di tahun 2000-an variabel lain tersebut cenderung meminimalisir dampak negatif guncangan.

Faktor lain tersebut diantaranya adalah ekspektasi perilaku ekonomi yaitu konsumen, pelaku bisnis dan pekerja yang memandang bahwa pergerakan harga minyak di tahun 2000-an adalah fluktuatif dan hanya sementara dibandingkan kenaikan harga yang sangat mengguncang di tahun 1970-an. Oleh karena itu, rumahtangga menganggap guncangan harga minyak seperti guncangan pajak, sehingga reaksi mereka tidak seperti reaksi pada era 1970-an. Bagi pelaku bisnis, saat ini mereka sudah memperhitungkan perubahan harga minyak yang besar dalam perencanaan dan investasi mereka sehingga perubahan besar dalam harga minyak tidak merubah operasi bisnis mereka. Sedangkan pekerja dan serikat pekerja tidak banyak menuntut kenaikan upah karena ternyata upah menjadi lebih fleksibel dalam merespon guncangan harga minyak dunia dibanding pada era 1970-an.

Dampak guncangan harga minyak dunia yang tidak memperburuk perekonomian juga ditemukan oleh Blanchard dan Gali (2010). Mereka menyatakan bahwa dampak kenaikan harga minyak terhadap makroekonomi berbeda antara era 1970-an dibandingkan era 2000-an. Ketika era 1970-an berbagai konflik seperti perang Yom Kippur dan revolusi Iran menyebabkan produksi atau supply minyak mentah dunia menurun dan memicu kenaikan harga minyak mentah dunia. Dampaknya bagi perekonomian adalah terjadinya stagflasi, yaitu inflasi tinggi disertai kontraksi perekonomian, dan tingginya pengangguran. Sehingga guncangan harga minyak dunia pada era tersebut sangat signifikan memiliki efek negatif bagi perekonomian. Di akhir era 1990-an, dunia juga menghadapi guncangan harga minyak dunia dengan besar guncangan relatif sama dengan era 1970-an namun dampaknya pada makroekonomi ternyata berbeda dimana inflasi dan PDB di negara-negara industri ternyata relatif stabil. Blanchard dan Gali menyatakan bahwa kredibilitas bank sentral dalam menjaga inflasi meningkat setelah era 1970-an, sehingga mampu membatasi ekspektasi inflasi.

Purwanti (2011) menemukan bahwa guncangan harga minyak dunia justru berpengaruh positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena ada peningkatan pendapatan ekspor minyak mentah dan produk olahannya,

pendapatan ekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga minyak, peningkatan permintaan agregat dan pemberian subsidi bahan bakar.

Dapat disimpulkan dari uraian-uraian diatas mengenai alasan-alasan tidak signifikannya dampak guncangan harga minyak bagi perekonomian domestik adalah sebagai berikut:

1. Harga BBM domestik masih disubsidi atas setiap kenaikan harga minyak dunia. Meski subsidi tersebut memperbesar defisit anggaran namun tingkat defisit anggaran terhadap PDB masih dalam batas sehat yaitu masih dibawah 3%. Dalam pembiayaan defisit anggaran tersebut, pemerintah mengandalkan penerimaan pajak dan pinjaman dalam negeri yang beresiko rendah serta menurunkan pinjaman luar negeri untuk mengurangi ketergantungan dengan asing.

2. Adanya kenaikan pendapatan pemerintah dari pajak ekspor yang mampu membiayai pengeluaran pemerintah untuk impor minyak. Kenaikan pendapatan ini bersumber dari kenaikan harga ekspor produk pertanian unggulan Indonesia serta kenaikan harga ekspor batu bara dan gas alam, yang ikut meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.

3. Ada indikasi bahwa Bank Indonesia serius menjaga stabilitas inflasi. Temuan Nordhaus (2007) serta Blanchard dan Gali (2010), bahwa bank sentral makin sensitif dalam menanggapi guncangan harga minyak dunia, mendukung respon suku bunga domestik atas guncangan harga minyak dunia hasil IRF dalam penelitian ini. Satu-satunya makroekonomi domestik yang merespon signifikan atas guncangan ini adalah suku bunga domestik. Sedangkan bagi pelaku ekonomi seperti rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja, kenaikan harga minyak dunia dianggap hanya sementara dan reaksi mereka tidak berlebihan. 4. Adanya penurunan volatilitas perekonomian domestik. Analisis deskriptif pada

Bab 4 menemukan bahwa fluktuasi pertumbuhan triwulanan PDB sebelum krisis masih dalam rentang plus minus 10%, namun rentang tersebut menjadi makin pendek di era 2000-an yang menjadi plus minus 4%. Kondisi ini merupakan representasi fundamental makroekonomi domestik yang bertambah baik sehingga berbagai guncangan yang terjadi pada era 2000-an tidak sampai mengkontraksi perekonomian.

Selain itu ada fenomena kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2000-an lebih disebabkan ulah spekulasi, bukan faktor penawaran dan permintaan. Berbagai faktor ini yang cenderung mengurangi dampak guncangan harga minyak dunia terhadap makroekonomi Indonesia setelah tahun 2000-an meski Indonesia sudah menjadi negara net importir minyak.

Dokumen terkait