• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Karakteristik Umum Warga Internal Pesantren

5.3.1 Guru

Karakteristik umum guru yang diteliti mencakup tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang terkait dengan pendidikan konservasi. Hasil penelitian tentang karakteristik umum guru disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan guru terkait dengan pendidikan konservasi

No

Uraian Rendah Sedang Tinggi

N % n % n %

1. Pengetahuan (Kognitif) 4 18,18 12 54,55 6 27,27

2. Sikap (Afektif) 0 0,00 17 77,27 5 22,73

3. Keterampilan (Psikomotorik) 11 50,00 9 40,91 2 9,09

a. Pengetahuan

Pengetahuan guru yang diukur berkaitan dengan pendidikan konservasi dan pelaksanaannya. Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner yang disebarkan kepada guru diketahui bahwa secara umum rata-rata tingkat pengetahuan guru sebagian besar termasuk kategori sedang (54,55%), sebagian lain kategori tinggi (27,27%) dan kategori rendah (18,18 %). Ada tujuh pertanyaan yang terkait tingkat pengetahuan yang ditanyakan kepada guru (Lampiran 11). Ketujuh pertanyaan ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok pertanyaan yakni terkait dengan penguasaan tentang : (1) konsep pendidikan konservasi (PK), (2) Materi yang telah diikitui dan diajarkan, dan (3) teknis pelaksanaan pendidikan konservasi. Hasil perhitungan rata-rata tingkat pengetahuan guru untuk ketiga kelompok pertanyaan tersebut seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Rata-rata persentase tingkat pengetahuan guru untuk setiap aspek pengetahuan pendidikan konservasi

No. Aspek Rataan (%)

1. Konsep pendidikan konservasi 39,42

2. Penguasaan materi 15,33

3. Teknis pelaksanaan pendidikan konservasi 45,25

Jumlah 100

Hasil analisis kuesioner ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pengetahuan guru yang termasuk kategori sedang tersebut mencakup ketiga aspek pengetahuan di atas, yakni baik terkait dengan konsep pendidikan konservasi (PK) dan materi PK bahkan untuk aspek teknis pelaksanaan PK cenderung termasuk kategori kurang. Aspek teknis pelaksanaan pendidikan konservasi tersebut meliputi penguasaan materi yang akan disampaikan, media, metode, model evaluasi, dan pendekatan pelaksanaan program.

Kondisi tingkat pengetahuan guru yang termasuk kategori rendah sampai sedang tersebut dapat dimengerti karena sebagian besar guru memiliki latar

belakang pendidikan agama, dan hanya sebagian kecil yang berasal dari pendidikan umum. Hal ini tentu berpengaruh terhadap penguasaan pengetahuan guru tentang pendidikan konservasi, dan pada akhirnya dapat berpengaruh pada kemampuan penguasaan materi ajar dan penyampaiannya kepada santri sebagai sasaran belajar. Untuk itu, diperlukan peningkatan kompetensi guru terkait dengan pelaksanaan pendidikan konservasi agar pelaksanaan pendidikan konservasi dapat efektif dan berhasil. Peningkatan kompetensi guru sangat penting, terutama pada pelaksanaan pendidikan konservasi dengan pendekatan integratif.

Terkait dengan pelaksanaan pendidikan konservasi, hasil kuesioner juga menunjukkan ada beberapa saran yang disampaikan guru, sebagai berikut:

1. Materi pendidikan konservasi, ditekankan pada pengetahuan tentang alam dan lingkungan hidup.

2. Metode pembelajaran, ditekankan metode learning by doing (belajar sambil bekerja) dan doing by learning (bekerja dari belajar).

3. Media pembelajaran, disarankan memanfaatkan audio-visual, buku teks

ataupun potensi sumberdaya alam/lingkungan yang terdapat di dalam maupun di sekitar pesantren.

4. Pendekatan pembelajaran, lebih ditekankan melalui ekstrakurikuler

mengingat padatnya jam belajar santri, disamping juga dipandang lebih menyenangkan karena santri lebih banyak berinteraksi dengan suasana alami. 5. Sistem evaluasi hasil pembelajaran, dapat dilakukan baik secara tertulis

maupun non-tertulis (lisan dan observasi).

b. Sikap

Sikap guru terhadap pelaksanaan pendidikan konservasi (PK) di pesantren menunjukkan bahwa sebagian besar termasuk kedalam kategori sedang (77,27%), sebagian lain kategori tinggi (22,73%) dan tidak ada (0 %) yang termasuk kategori rendah. Artinya secara umum semua guru memberikan respon yang positif terhadap perlunya pemberian materi pendidikan konservasi di pesantren.

Secara keseluruhan ada delapan pertanyaan yang terkait dengan sikap (respon) guru terhadap pelaksanaan pendidikan konservasi (Lampiran 12), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni: (1) respon terhadap pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren, (2) respon terhadap upaya

peningkatan kemampuan guru, dan (3) respon terhadap partisipasi guru dalam pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren. Hasil analisis rata-rata persentase sikap guru dari kuesioner yang disebarkan kepada guru dari ketiga kategori pertanyaan tersebut ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata-rata persentase sikap guru untuk setiap aspek pelaksanaan pendidikan konservasi

No. Aspek Rataan (%)

1. Respon pelaksanaan pendidikan konservasi 12,5

2. Respon upaya peningkatan kemampuan guru 41,0

3. Respon partisipasi guru 46,5

Jumlah 100

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya guru menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren yang ditunjukkan dengan pernyataan kesediaan mengajar atau memasukkan materi pendidikan konservasi pada mata ajaran yang diajarkan, juga kesediaan mengikuti pelatihan untuk meningkatan kompetensi guru terkait pendidikan konservasi dan kerelaan berpartisipasi baik waktu, tenaga, pikiran, dan biaya di dalam pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren (Lampiran 12). Semua guru baik yang berlatar belakang pendidikan umum maupun pendidikan agama menyatakan sikap positif tentang pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren. Guru menunjukkan sikap antusias untuk mengikuti pelatihan maupun training dalam rangka peningkatan kompetensi untuk pembelajaran pendidikan konservasi. Hal ini dapat dinyatakan bahwa hampir semua guru juga menyatakan bersedia mengajar dan memasukkan materi konservasi pada mata ajaran yang diampunya, baik guru yang mengajar mata pelajaran umum, mata pelajaran agama menurut kurikulum Kemenag RI, maupun guru mata pelajaran agama berdasarkan kurikulum pesantren. Fakta ini menunjukkan bahwa guru memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan penambahan kompetensi agar lebih optimal dalam menyampaikan bahan ajar kepada santri.

Oleh karena secara umum kategori sikap guru masih tergolong sedang, maka untuk lebih memungkinkan pelaksanaan PK di pesantren berjalan lebih baik dengan keterlibatan partisipasi guru secara maksimal, maka masih diperlukan upaya pelatihan (training) dan/atau sosialisasi pendidikan konservasi sehingga

guru semakin memiliki sikap lebih positif dengan kerelaan yang tinggi untuk berpartisipasi aktif didalam pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren.

c. Keterampilan

Hasil analisis kuesioner tentang keterampilan guru terkait pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren menunjukkan bahwa sebagian (50 %) guru memiliki tingkat keterampilan guru dalam kategori rendah sebesar 50%, kategori sedang 40,91% dan kategori tinggi sebesar 9,09%. Dengan kalimat lain sebagian besar guru memiliki tingkat keterampilan dalam kategori sedang sampai rendah (90,91 %) dan hanya sebagian kecil (9,09 %) termasuk kategori tinggi. Ada lima pertanyaan terkait keterampilan yang diukur (Lampiran 13) yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok pertanyaan, yakni : (1) kompetensi keterampilan mengajar, (2) keterampilan pemanfaatan sumberdaya alam, dan (3) keterampilan pengelolaan limbah. Hasil perhitungan rata-rata persentase tingkat keterampilan untuk masing-masing kelompok pertanyaan tersebut ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-rata persentase tingkat keterampilan guru tentang konservasi

No. Aspek Rataan (%)

1. Kompetensi mengajar 23,64

2. Pemanfaatan sumberdaya alam 70,91

3. Pengelolaan limbah 13,64

Jumlah 100

Maksud dari kompetensi mengajar guru adalah kecukupan kompetensi yang dimiliki guru untuk dapat mengajar pendidikan konservasi. Adapun tentang keterampilan pemanfaatan sumberdaya alam adalah keterampilan guru di dalam pemanfaatan sumberdaya alam sebagai bahan dan media belajar, sedangkan keterampilan yang terkait pengelolaan limbah adalah keterampilan didalam membuat produk dari limbah melalui penerapan prinsip 4 R (reduce, reuse, recycle, dan replanting) (Lampiran 12).

Dilihat dari masing-masing kelompok pertanyaan tersebut di atas, maka hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar (59,09%) guru tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan sebagai guru pendidikan konservasi, karena sebagian besar guru di pesantren memiliki latar belakang pendidikan agama dan tidak disiapkan secara khusus untuk pengajaran pendidikan konservasi. Meskipun

demikian, ada beberapa guru yang diketahui memiliki keahlian (pengetahuan dan keterampilan) dalam bidang konservasi.

Sebagian besar (81,82%) guru mampu memanfaatkan sumberdaya alam pesantren sebagai bahan ajar. Namun, masih ada sebagian (18,18%) tidak mampu memanfaatkan sumberdaya alam pesantren sebagai bahan ajar. Sebagian besar (68,18%) guru mampu memanfaatkan sumberdaya alam pesantren sebagai media belajar, tetapi guru sebanyak 31,82% tidak mampu memanfaatkan sumberdaya alam pesantren sebagai media belajar.

Sebagian besar (72,73%) guru tidak memiliki keterampilan membuat produk dari sumberdaya alam, tetapi masih ada (27,27%) guru yang memiliki keterampilan membuat produk dari sumberdaya alam. Produk yang dapat dibuat oleh sebagian guru yaitu pupuk organik dari sampah organik, minyak kelapa dari kelapa, obat dari bunga rosela, mainan dari kayu bekas, dan baju anak dari potongan-potongan kain.

Sebagian besar (86,36%) guru tidak memiliki keterampilan terkait dengan reduce, reuse, recycle, dan replanting. Hanya sebagian kecil (13,64%) guru yang memiliki keterampilan terkait dengan reduce, reuse, recycle, dan replanting. Keterampilan yang dimiliki yaitu hanya sebatas memanfaatkan barang-barang bekas menjadi produk baru.

Rekapitulasi jawaban dari kuesioner menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil guru yang memiliki keterampilan terkait dengan lingkungan dan konservasi. Guru membutuhkan peningkatan keterampilan yang dapat diperoleh melalui pendidikan formal, kerjasama, ataupun pelatihan. Jika guru memiliki berbagai keterampilan terkait dengan lingkungan dan konservasi, maka akan memudahkan seorang guru memberikan bekal keterampilan kepada santri.

5.3.2 Santri

a. Karakteristik umum

Karakteristik santri yang diidentifikasi meliputi jenis kelamin, umur, alamat asal, sekolah asal, lama mukim di pesantren, keanggotaan dalam organisasi, dan aktivitas ekstrakurikuler. Total jumlah santri Madrasah Aliyah tahun ajaran 2010-2011 yang menjadi subyek penelitian sebanyak 191 orang,

terdiri dari 92 santri laki-laki (48,17%) dan 99 santri perempuan (51,83%). Jumlah santri perempuan relatif lebih banyak dibanding santri perempuan.

Umur santri Madrasah Aliyah rentang 14-21 tahun, dengan jumlah terbanyak berumur 15 tahun (62 santri) (Gambar 17).Adapun santri yang berumur di atas 18 tahun merupakan santri kelas 3 MA yang sebelum naik ke tingkat MA terlebih dahulu mengikuti program kelas intensif, dan melakukan pengabdian (program salafy), sehingga saat memasuki jenjang MA usianya lebih tua daripada rata-rata usia santri lainnya.

Gambar 17 Persentase distribusi umur santri MA.

Dilihat dari daerah asalnya, maka santri berasal dari berbagai daerah, dengan jumlah terbesar berasal dari Jabodetabek (81,68 %). Secara umum sebagian besar santri berasal dari pulau Jawa (Gambar 18). Kondisi daerah asal santri ini menggambarkan bahwa santri memiliki latar belakang sosial budaya yang beragam, sehingga apabila dikaitkan dengan pembelajaran pendidikan konservasi maka materi pendidikan konservasi yang akan diajarkan dapat memuat materi berskala lokal maupun nasional.

Dilihat dari asal sekolah, maka sebagian besar santri Madrasah Aliyah Darul Muttaqien berasal dari MTs (88,48%), sisanya berasal dari SMP (11,52%). Hal ini menunjukkan bahwa santri madrasah aliyah sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan tingkat pertama di MTs, khususnya berkaitan dengan bekal pengetahuan agama yang cukup.

Gambar 18 Persentase distribusi asal daerah santri

Rata-rata lama bermukim santri di Pesantren Darul Muttaqien berkisar 1 tahun sampai lebih dari 3 tahun. Lamanya mukim di pesantren menjadikan santri terbiasa dan tidak canggung dengan kehidupan pesantren, terutama yang menekankan perilaku baik.

Kepengurusan Organisasi Pelajar Darul Muttaqien (OPDM) sepenuhnya dipegang oleh kelas 2 MA, sedangkan kelas 1 MA dan 3 MA keaktifan di organisasi hanya pada tingkat kepengurusan kelas. Kelas 1 MA merupakan kelas adaptasi, sehingga santri kelas 1 MA belum diperkenankan terlibat aktif di kepengurusan organisasi kesantrian, sedangkan kelas 3 MA tidak dilibatkan lagi secara aktif di kepengurusan OPDM karena kelas 3 MA difokuskan untuk persiapan Ujian Nasional dan Program Pengabdian Masyarakat sebagai laporan ilmiah syarat kelulusan dari MA. Peningkatan kompetensi pengurus OPDM dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan mengikutsertakan pada pelatihan, seminar, dan magang di instansi pendidikan, instansi pemerintahan, maupun instansi swasta.

Santri MA Darul Muttaqien mayoritas (82,19%) mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler di Pesantren Darul Muttaqien meliputi ekstrakuler wajib dan ekstrakurikuler pilihan. Ekstrakurikuler wajib merupakan kompetensi atau keterampilan yang harus dikuasai oleh semua santri tanpa terkecuali, sedangkan ekstrakurikuler pilihan hanya bersifat menampung serta mengembangkan bakat dan minat santri terhadap keterampilan tertentu sesuai pilihan santri, yakni satu atau lebih. Ekstrakurikuler wajib mencakup dua kegiatan utama yakni muhadhoroh (pidato) dan pramuka. Adapun ekstrakurikuler pilihan,

meliputi paskibra, pasus pramuka, seni beladiri (karate, wushu, dan tapak suci), kesenian (marawis, qosidah, nasyid, band, dan angklung), dan olahraga (sepak bola, basket, bulu tangkis, tenis meja, bola volly, dan kasti).

Terkait dengan kemungkinan pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren, maka kebijakan tentang kegiatan ekstrakurikuler pilihan ini memberi peluang bagi santri Kelas 1 sampai Kelas 3 MA untuk memilih aktif di dalam kegiatan pendidikan .

b. Pengetahuan, sikap, dan keterampilan santri terkait permasalahan lingkungan

Secara umum, santri memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan konservasi (Tabel 10).

Tabel 10 Tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan santri terkait dengan permasalahan lingkungan

No Uraian Rendah Sedang Tinggi

N % n % n %

1 Pengetahuan (Kognitif) 12 6,3 107 56 72 37,7

2 Sikap (Afektif) 0 0 37 19,4 154 80,6

3 Keterampilan (Psikomotorik) 28 14,7 144 75,4 19 9,9

b.1 Pengetahuan

Pengetahuan santri yang diukur berkaitan dengan lingkungan hidup dan permasalahannya. Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner yang disebarkan kepada santri diketahui bahwa secara umum rata-rata tingkat pengetahuan santri sebagian besar termasuk kategori sedang (56%), sebagian lain kategori tinggi (37,7%) dan kategori rendah (6,3%). Ada empat belas pertanyaan yang terkait tingkat pengetahuan yang ditanyakan kepada santri (Lampiran 5), yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok pertanyaan yakni terkait dengan penguasaan tentang: (1) konsep konservasi (6 pertanyaan), (2) jenis dan penyebab permasalahan lingkungan (4 pertanyaan), dan (3) pemanfaatan sumberdaya hayati (4 pertanyaan). Hasil perhitungan rata-rata tingkat pengetahuan santri untuk ketiga kelompok pertanyaan tersebut seperti disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Rata-rata persentase tingkat pengetahuan santri untuk setiap aspek pengetahuan konservasi

No. Aspek Rataan (%)

1. Konsep konservasi 33,44

2. Jenis dan penyebab permasalahan lingkungan 35,27

3. Pemanfaatan sumberdaya hayati 31,29

Jumlah 100

Hasil analisis kuesioner ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pengetahuan santri yang termasuk kategori sedang tersebut mencakup ketiga aspek pengetahuan di atas, yakni baik terkait dengan konsep konservasi (PK), jenis dan penyebab permasalahan lingkungan, dan pemanfaatan sumberdaya alam cenderung termasuk kategori kurang. Aspek teknis pelaksanaan pendidikan konservasi tersebut meliputi penguasaan materi yang akan disampaikan, media, metode, model evaluasi, dan pendekatan pelaksanaan program.

Kondisi tingkat pengetahuan santri yang termasuk kategori rendah sampai sedang tersebut dapat dimengerti karena tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal santri sendiri, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Peran guru sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat pengetahuan santri. Guru yang memiliki tingkat pengetahuan rendah sampai sedang terkait pendidikan konservasi, akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan santri. Di samping itu, pendidikan guru yang sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan agama akan mempengaruhi penyampaian materi kepada santri.

Hasil dari rekapitulasi jawaban kuesioner menggambarkan bahwa tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh santri terkait dengan konservasi, lingkungan hidup, dan masalah lingkungan hidup masih bervariasi dan cenderung kurang. Fakta di atas menunjukkan bahwa upaya untuk memberikan pengetahuan yang benar tentang konservasi melalui pendidikan konservasi sangat diperlukan dengan komponen materi yang sesuai.

b.2 Sikap

Sikap santri yang diukur berkaitan dengan konservasi dan permasalahan lingkungan hidup. Sebagian besar santri (80,63%) telah memiliki sikap yang tinggi terkait dengan lingkungan dan konservasi. Sebanyak 19,37% responden santri masuk dalam kategori sedang dan tidak ada responden santri (0,00%) yang

masuk dalam kategori rendah. Artinya secara umum semua santri memberikan respon yang positif terhadap pengelolaan lingkungan hidup.

Secara keseluruhan ada delapan pertanyaan yang terkait dengan sikap (respon) santri terhadap konservasi dan permasalahan lingkungan (Lampiran 6), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni: (1) tanggungjawab, (2) prinsip diri, dan (3) kebiasaan sehari-hari. Hasil analisis rata-rata persentase sikap santri dari kuesioner yang disebarkan kepada santri dari ketiga kategori pertanyaan tersebut ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Rata-rata persentase tingkat sikap santri untuk setiap aspek sikap konservasi

No. Aspek Rataan (%)

1. Tanggungjawab 46,32

2. Prinsip diri 27,88

3. Kebiasaan sehari-hari 25,80

Jumlah 100

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya santri menunjukkan sikap positif terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang ditunjukkan dengan pernyataan sikap positif terhadap pernyataan aspek konsep konservasi yaitu konservasi dalam teologi umum dan teologi Islam, pernyataan prinsip diri terdiri dari pernyataan yang mengandung keyakinan tentang sikap konservasi, dan pernyataan aspek kebiasaan sehari-hari meliputi sikap yang berhubungan dengan sampah baik organik maupun non organik, serta penggunaan sumberdaya. Sikap positif santri didukung adanya kehidupan pesantren yang selalu mendorong untuk selalu menjaga keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) merupakan hubungan yang bersifat vertikal

yang terangkum dalam pengamalam aqidah dan syari’ah, dan hubungan manusia

dengan sesama manusia dan alam merupakan penjabaran dari pengamalan

syari’ah dan tasawuf yang dalam kehidupan sehari-hari teraplikasi dalam wujud fiqih dan akhlaq.

Sikap santri tergolong tinggi merupakan kekuatan dalam penyelenggaraan pendidikan konservasi. Maka untuk lebih memungkinkan munculnya perilaku positif yang masuk kategori tinggi, perlu dilakukan upaya-upaya pemberian materi yang praktis dan mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya sikap positif diharapkan akan terbentuk perilaku positif yang dapat diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari dan dapat mempengaruhi masyarakat untuk turut serta berperilaku positif selaras dengan lingkungan dan konservasi.

b.3 Keterampilan

Hasil analisis kuesioner tentang keterampilan santri terkait dengan konservasi dan lingkungan hidup pelaksanaan pendidikan konservasi di pesantren menunjukkan bahwa mayoritas masuk kategori sedang dengan persentase 75,39%. Sebanyak 9,95% responden santri kategori tinggi dan bahkan responden sebanyak 14,66% masih memiliki tingkat keterampilan dalam kategori rendah. Dengan kalimat lain sebagian besar santri memiliki tingkat keterampilan dalam kategori sedang sampai rendah (90,05%) dan hanya sebagian kecil (9,95 %) termasuk kategori tinggi. Ada sepuluh pertanyaan terkait keterampilan yang diukur (Lampiran 13) yang dikelompokkan menjadi empat kelompok pertanyaan, yakni: (1) pemanfaatan sumberdaya alam, (2) pengelolaan sampah dan limbah, (3) penanaman, dan (4) pemeliharaan satwa. Hasil perhitungan rata-rata persentase tingkat keterampilan untuk masing-masing kelompok pertanyaan tersebut ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Rata-rata persentase tingkat keterampilan santri tentang konservasi

No. Aspek Rataan (%)

1. Pemanfaatan sumberdaya alam 41,23

2. Pengelolaan sampah dan limbah 31,78

3. Penanaman 15,50

4. Pemeliharaan satwa 11,49

Jumlah 100

Dilihat dari masing-masing kelompok pertanyaan tersebut di atas, maka hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar (90,05%) santri tidak memiliki kompetensi terkait pemanfaatan sumberdaya alam dan pengolahan limbah dan sampah, karena sistem pendidikan di pesantren cenderung pada pembelajaran yang tekstual dan teroritis dengan indikasi banyaknya mata ajaran yang disampaikan, sempitnya jam pelajaran, dan adanya keterampilan guru yang cenderung kurang. Meskipun demikian, ada beberapa santri yang diketahui memiliki keahlian (pengetahuan dan keterampilan) dalam bidang pengolahan limbah.

Maksud dari kompetensi santri adalah kecukupan kompetensi terkait pemanfaatan sumberdaya alam, pengolahan sampah dan limbah, penanaman, dan

perawatan satwa. Keterampilan dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki santri sejauh mana dapat memanfaatkan sumberdaya alam menjadi sebuah produk baru. Keterampilan terkait dengan pengolahan sampah dan limbah yaitu keterampilan santri dalam pemanfaatan sampah organik maupun non organik menjadi produk baru, sedangkan pengolahan limbah terkait dengan keterampilan didalam membuat produk dari limbah melalui penerapan prinsip 4 R (reduce, reuse, recycle, dan replanting). Adapun penanaman terdiri dari keahlian santri bercocok tanam, sedangkan pemeliharaan satwa merupakan tips yang dimiliki santri dalam memelihara satwa (Lampiran 7).

Hanya sebagian kecil santri yang memiliki keterampilan dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Sebagian santri (79,06%) dapat membuat berbagai jenis obat-obatan dari tumbuhan, hal ini berdasarkan pengalaman santri di lingkungan keluarganya, bahkan mereka pernah mengonsumsi beberapa jenis obat alami dari tumbuhan (Lampiran 9). Sebagian besar (72,25%) tidak dapat membuat obat-obatan dari satwa, hal ini dikarenakan santri sebagian besar memiliki latar belakang keluarga ekonomi menengah ke atas, sehingga ketika sakit lebih menyukai untuk mengonsumsi obat-obatan generik, karena dinilai lebih efektif dan efisien. Bahkan hanya 35,6% santri yang memiliki keterampilan membuat produk dari sumberdaya alam. Keterampilan santri terhadap pemanfaatan sumberdaya alam tergolong sedang dikarenakan lingkungan rumah dan lingkungan pesantren tidak mendukung pengembangan keterampilan santri. Padatnya jam pelajaran yang ada di pesantren serta sistim penyampaian materi cenderung lebih teoritis, menjadi latar belakang tingkat sedangnya keterampilan santri.

Santri memiliki keterampilan dalam mengelola sampah dan limbah. Santri secara keseluruhan santri (95,81%) mengaku dapat membedakan antara sampah organik maupun non organik, akan tetapi berdasarkan pengamatan lapang, para santri mencampur sampah organik dengan non organik pada satu tempat dikarenakan tempat sampah yang disediakan memang tidak dikhususkan untuk masing-masing jenis sampah. Beberapa jenis kerajinan tangan dapat dihasilkan oleh santri, diantaranya pupuk kompos dari daun dan ranting tanaman, anyaman dari bambu, tas dari daun tanaman, dan kompos dari kotoran hewan. Hanya

sebagian kecil santri yang dapat membuat produk dari sampah non organik, seperti tempat alat tulis, vas bunga, tas, tikar, lampion, mainan anak-anak, bunga, dan bingkai poto. Responden santri mayoritas (79,06%) tidak dapat mengolah limbah air, bahkan hanya 47,64% santri yang memiliki keterampilan yang berkaitan dengan reduce, reuse, recycle, dan replanting. Rendahnya keterampilan santri pada aspek pengelolaan sampah dan limbah disamping karena pengetahuan santri yang kurang memadai, sarana prasarana pesantren yang kurang mendukung, dan tidak adanya fasilitator yang membimbing untuk pengembangan keterampilan santri.

Bercocok tanam dapat dilakukan oleh sebagian besar santri (91,1%) baik santri yang memiliki asal pedesaan maupun perkotaan. Pesantren memiliki program untuk menjaga kondisi lingkungan, salah satunya dengan menanam pohon. Penanaman pohon di lahan pesantren juga melibatkan santri. Selain itu, program penelitian dari mahasiswa salah satunya juga menanam tanaman obat yang dalam praktiknya melibatkan peran santri. Peran santri yang selalu dilibatkan dalam kegiatan penanaman melatarbelakangi mahirnya santri dalam bercocok tanam.

Santri sebesar 67,54% memiliki kiat dalam memelihara satwa. Satwa yang mereka pelihara di rumah berupa satwa domestikasi seperti kucing dan burung. Kiat memelihara satwa umumnya yang mereka lakukan yaitu dengan pemberian pakan dan minum, pembersihan kandang, dan perawatan kesehatan. Pada dasarnya santri menguasai teknis umum dalam pengelolaan satwa, meski baru sebatas satwa domestikasi, akan tetapi ke depannya dapat dikembangkan terhadap pengelolaan pada satwaliar.

Keterampilan santri sangat beragam dan sebagian besar cenderung belum menguasai keterampilan di bidang lingkungan hidup dan konservasi. Hal ini

Dokumen terkait