• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Penelitian mengenai habitat pemijahan ikan air tawar endemik Sulawesi yang dikaitkan dengan preferensi arena pemijahan belum pernah dilakukan dan ini adalah penelitian pertama. Penelitian dilakukan di Danau Matano, salah satu danau tua di dunia yang terdapat di bagian tengah Pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea, yang merupakan habitat campuran dari fauna Asia dan Australia, serta menjadi arena evolusi berbagai fauna endemik. Keunikan flora fauna Sulawesi tidak terlepas dari sejarah geologinya; pertemuan daratan Asia dengan daratan Australia menyebabkan terjadinya perpindahan flora dan fauna dari kedua daratan tersebut. Oleh karena itu kekhasan ekosistem perairan umum dengan keanekaragaman fauna khasnya di Sulawesi tidak terlepas dari peristiwa sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi.

Whitten et al. (2002) mencatat 76% spesies ikan yang ditemukan di Sulawesi tidak ditemukan dimana pun di dunia. Danau Matano, Mahalona dan Towuti yang berada di bagian tengah Sulawesi merupakan salah satu tempat yang memiliki spesies ikan endemik. Ketiga danau ini berdekatan dan membentuk suatu sistem danau yang dikenal dengan sebutan ―Kompleks Danau-danau Malili‖. Ada dua danau lain yang termasuk dalam kompleks danau-danau ini yaitu danau Wawontoa dan Masapi.

Danau Matano merupakan hulu dari rangkaian sistem kompleks danau- danau Malili. Walaupun ketiga danau ini dihubungkan oleh sistem aliran dari dua danau yang ada di hilirnya, namun danau ini terisolasi dari sistem hilir oleh rintangan fisik bagi penyebaran biota akuatik.

Danau Matano diidentifikasi sebagai sumber utama kehadiran spesies- spesies endemik dalam kompleks danau-danau Malili (Hafner et al. 2001). Ikan- ikan endemik dari Danau Matano merupakan anggota dari famili ikan laut, dan diduga telah menguasai danau itu sejak awal kejadian danau. Saat ini tercatat ada empat famili ikan endemik yang menghuni Danau Matano yaitu: Telmatherinidae dengan sembilan anggota (T. sarasinorum, T. abendanoni, T. antoniae, T. opudi, T. obscura, T. wahjui, T. bonti dan T. albolabiosus), Gobiidae dengan empat

anggota (Glossogobius matanensis, G. intermedius, Mugilogobius adeia, M. latifrons), Adrianichthyidae, dan Hemirhamphidae masing-masing satu anggota yaitu Oryzias matanensis dan Dermogenys weberi (Tantu & Nilawati 2008). Menurut Soeroto (1997), mayoritas ikan air tawar Sulawesi adalah ikan sekunder, yaitu ikan yang mampu mentolerir kandungan garam; juga anggota dari famili ikan laut. Contoh ikan-ikan sekunder adalah Oriziidae dan Adrianichthyidae, sedangkan anggota dari famili ikan laut adalah Gobiidae, Eleotridae, Atherinidae dan Hemiramphidae.

Kelompok Telmatherinidae merupakan kelompok yang memiliki anggota paling banyak yang menghuni Danau Matano, dan T. sarasinorum adalah salah satu jenis dominan yang menempati daerah litoral danau. Studi mengenai T. sarasinorum belum banyak dilakukan, secara spesifik misalnya Gray et al. (2006) mempelajari tingkah laku kawin dari ikan ini. Umumnya studi yang berkaitan dengan Telmatherinidae ditujukan pada aspek keragaman dan evolusi, radiasi adaptif, genetika populasi, pemeliharaan polimorfisme warna jantan, dan perbandingan tingkah laku kawin (Herder et al. 2006; Heath et al. 2006; Gray et al. 2006; Gray & McKinnon 2006; Nilawati & Tantu 2007; Tantu & Nilawati 2007; Tantu & Nilawati 2008). Belum ada penelitian yang secara khusus mempelajari habitat pemijahan ikan endemik di Danau Matano, dan penelitian ini merupakan penelitian pertama dengan obyek ikan T. sarasinorum.

Penelitian ini menguraikan aspek habitat yang berkaitan dengan faktor- faktor fisik kimiawi perairan. Tujuan penelitian adalah menganalisis profil habitat pemijahan yang meliputi substrat pemijahan dan aspek fisik kimiawi perairan yang mendukung keberadaan strategi reproduksi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu upaya-upaya konservasi ikan dan habitatnya di Danau Matano.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan di Danau Matano Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada batas wilayah geografis 02° 25 00 LS - 02° 34 00 LS dan 121° 12 00 - 121° 29 00 BT. Pengamatan di lapangan dilakukan pada bulan September 2008 – Agustus 2009 pada 15 lokasi sampling (Gambar 1). Pengamatan di lokasi sampling dilakukan untuk menganalisis keadaan lingkungan lokasi sampling, seperti pemanfaatan lahan di sekitar danau, vegetasi yang ada di

pinggiran danau dan aktivitas masyarakat yang diduga bermakna bagi habitat ikan. Penilaian habitat pemijahan dilakukan melalui pengamatan bawah air dengan melakukan snorkeling untuk menentukan keadaan habitat dan substrat pemijahan. Habitat pemijahan ditentukan melalui penilaian adanya aktivitas pemijahan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ikan dalam habitat spesifik. Gambaran utuh mengenai keadaan habitat diperoleh dengan mengukur parameter fisik kimiawi perairan secara in situ (suhu, oksigen terlarut, pH, kecerahan dan transparansi air) dan ex situ (padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total).

Penentuan lokasi pemijahan didasarkan pada hasil pengamatan bawah air oleh pengamat yang melakukan renang snorkeling dengan kecepatan lambat pada transek sepanjang 50 meter pada kedalaman antara 0,5 sampai dengan 2 meter sejajar garis pantai. Pengamat mengidentifikasi lokasi-lokasi yang secara khusus dijadikan sebagai arena pemijahan. Arena pemijahan didefinisikan sebagai area terbatas yang menjadi tempat berlangsungnya aktivitas kawin yang ditunjukkan oleh adanya pertunjukan pasangan jantan-betina, persaingan jantan-jantan untuk mendapatkan betina, aktivitas berpasangan, dan aktivitas kawin pasangan T. sarasinorum (Nilawati et al. 2010). Pengamat mencatat jumlah arena pemijahan yang terdapat dalam garis transek dan menilai persentase luas tutupan materi yang menyusun substrat pemijahan. Klasifikasi ukuran materi substrat mengikuti Wolman (1954) dalam Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi ukuran substrat

Materi Kisaran ukuran (mm)

Lumpur/lempung 0-0.06 Pasir halus 0.061-0.25 Pasir sedang 0.26-0.5 Pasir kasar 0.51-2 Kerikil 2-64 Batu bulat 65- 256 Batu besar 257-4096 Batuan dasar >4096

Catatan: Komposisi substrat menurut Wolman (1954)

Pengukuran kondisi fisik kimiawi perairan untuk suhu, oksigen terlarut dan pH dilakukan secara in-situ menggunakan Water Quality Checker Horiba. Pengukuran padatan tersuspensi total dan padatan terlarut total dilakukan di laboratorium. Sampel air dikoleksi di dalam botol sampel lalu diberi larutan

pengawet. Kecerahan diukur sebagai ukuran jarak pandang pengamat di dalam air terhadap benda berwarna putih berukuran 30 cm x 30 cm. Tinggi muka air danau dan curah hujan wilayah diperoleh berdasarkan data yang dikoleksi selama periode sampling dari stasiun pengamatan PT. INCO Sorowako.

Analisis statistik

Analisis keragaman satu arah dilakukan untuk menilai perbedaan antara parameter-parameter lingkungan yang diamati di dalam suatu lokasi dengan menggunakan fasilitas yang terdapat dalam perangkat lunak Minitab versi 14. Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi di antara parameter-parameter lingkungan yang diukur dilakukan penghitungan koefisien korelasi Pearson r

dengan alat bantu perangkat lunak Minitab 14. Nilai uji statistik r bisa positif atau negatif tetapi selalu terletak di antara -1 dan +1. Nilai mendekati +1 menunjukkan korelasi positif yang kuat, sedangkan nilai mendekati -1 menunjukkan korelasi negatif yang kuat. Nilai 0 menunjukkan kurangnya korelasi, walaupun hal ini juga dapat berarti bahwa terdapat suatu korelasi yang lebih kompleks (McCleery et al. 2007).

Gambar 1 Sketsa lokasi sampling di Danau Matano

Ket.: 1) S. Lawa, 2) Desa Matano, 3) Paku, 4) Sokoio, 5) Pantai Kupu-kupu,

6,13) Pantai Salonsa, 7) Pantai Old Camp, 8) S. Tanah Merah,

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi lokasi sampling

Sebanyak 15 lokasi di daerah litoral Danau Matano dijadikan sebagai titik pengamatan. Kelima belas lokasi ini menyebar dari bagian barat danau sampai ke bagian timur danau. Secara spasial lokasi-lokasi ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 zona yaitu: zona 1 adalah lokasi sampling yang terletak di bagian barat danau (S. Lawa, Pantai Desa Matano, Pantai Paku dan Pantai Sokoio), zona 2 di bagian tengah danau (Pantai Kupu-kupu, Pantai Salonsa I-A, Pantai Salonsa I-B, Pantai Old-Camp, dan Pantai S. Tanah Merah) dan zona 3 di bagian timur danau (P. Otuno I-A, P. Otuno I-B, P. Otuno II-A, P. Otuno II-B, Pantai Sungai Petea, dan Pantai Sungai Soluro). Masing-masing lokasi secara ringkas dideskripsikan sebagaimana ditampilkan pada Lampiran 1. Beberapa vegetasi yang ditemukan di lokasi adalah Myrtacea (Lampiran 2), pohon sagu, Nephentes, pohon mangga dan Pandanus sp.

Menurut kontur dasar perairan kelima belas lokasi penelitian ini memiliki dua bentuk kontur dasar yaitu, kontur dasar landai dan kontur dasar curam (Gambar 2). Kontur dasar landai umumnya memiliki substrat dasar batu-batuan dan pasir.

Arena pemijahan

Pengamatan bawah air berhasil mengidentifikasi adanya habitat spesifik yang digunakan oleh T. sarasinorum untuk melakukan aktivitas perkawinan. Habitat pemijahan spesifik ini dalam penelitian ini disebut sebagai arena pemijahan, yang didefinisikan sebagai tempat berlangsungnya peristiwa perkawinan atau pemijahan kelompok ikan T. sarasinorum. Terdapat dua tipe arena pemijahan T. sarasinorum di Danau Matano (Gambar 3). Pertama arena pemijahan yang terletak di dasar perairan dengan kontur dasar landai yang substrat dasarnya terdiri dari pasir dan kerikil yang berada di antara batuan, atau ruang berbentuk kolam-kolam pasir bercampur kerikil. Kedua arena perakaran, ranting atau batang pohon yang terendam di perairan.

Gambar 3 Arena pemijahan T. sarasinorum: arena batu berpasir (atas) dan arena perakaran (bawah)

Sebuah arena dapat diidentifikasi dengan mengamati adanya peristiwa pemijahan yang ditandai oleh adanya rangkaian aktivitas kelompok ikan. Aktivitas itu berupa adanya beberapa ikan jantan yang sedang berusaha mendapatkan seekor betina yang ada di dalam arena pemijahan; adanya ikan betina yang berpasangan; serta ikan betina melakukan gerakan pelepasan telur dan dalam waktu yang hampir bersamaan ikan jantan melepaskan sperma yang ditandai oleh terlihatnya pasangan ikan jantan dan betina secara bersama-sama menekan abdomennya ke dasar substrat.

Secara keseluruhan ada 15 lokasi sampling yang diamati dan di dalamnya ditemukan 24 arena pemijahan yang terdiri atas 19 arena pemijahan pada substrat dasar perairan dan 5 arena pemijahan di perakaran. Luas keseluruhan arena pemijahan yang diamati dalam lokasi sampling kurang lebih 90 m² (Tabel 2). Susunan substrat dasar perairan di arena pemijahan bervariasi mulai dari substrat halus lumpur sampai dengam substrat batuan dasar. Tidak semua lokasi sampling memiliki arena pemijahan. Pantai Sokoio dan Sungai Petea tidak memiliki arena pemijahan. Tidak adanya arena pemijahan di Pantai Sokoio diduga berkaitan dengan tutupan substrat yang didominasi oleh batu-batuan besar yang tidak memiliki jebakan pasir atau kolam-kolam pasir. Di sekitar S. Petea substrat dasar perairannya banyak mengandung lumpur.

Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi bahwa arena pemijahan selalu berada di dekat tepian danau pada daerah bervegetasi pohon, dan berada dalam area bayang-bayang atau teduhan yang berasal dari pohon di tepi danau atau dari batu besar – batuan dasar di dekatnya. Umumnya jarak arena dari tepian berkisar antara 2 – 10 m, dan kedalaman arena berkisar antara 0,30 – 3,00 m.

Jumlah pasangan ikan yang berada di dalam arena berkisar antara 2 sampai 12 pasang. Umumnya arena perakaran memiliki jumlah pasangan ikan lebih banyak daripada arena batu berpasir. Menurut Vono & Barbosa (2001), kompleksitas struktur suatu habitat menentukan jumlah kehadiran ikan. Pemilihan arena dengan naungan dari bayang-bayang pohon atau batu besar di dalamnya mungkin berhubungan dengan strategi reproduksi ikan ini. Pada area yang mendapatkan bayang-bayang tersebut intensitas cahaya lebih rendah, telur-telur yang dilepaskan sulit kelihatan oleh predator telur T. sarasinorum dan atau

kompetitor pembuahan. Sejauh ini tidak ditemukan penelitian mengenai pengaruh bayangan pohon atau benda lain di dalam habitat pemijahan ikan terhadap preferensi habitat pemijahan di dalam sistem lain.

Pemilihan tempat pelepasan telur (oviposition) dapat berdampak pada kelangsungan hidup keturunan (Smith et al. 2001). Tempat pelepasan telur dapat berbeda-beda kualitasnya. Pada spesies yang ikan jantannya melakukan pengasuhan terhadap anak, pemilihan pasangan oleh betina sering dipengaruhi oleh karakteristik posisi sarang, selain memperhatikan resiko predasi dan kondisi oksigen yang ada (Spence et al. 2007). Pemilihan tempat pelepasan telur adalah salah satu cara betina menjamin kelangsungan hidup anak. Seperti halnya ikan T. sarasinorum, ikan zebrafish betina adalah pemilih tempat pelepasan telur (Smith

et al. 2001). Jadi jika ikan betina aktif memilih tempat pelepasan telur, ikan jantan bisa meningkatkan keberhasilan pemijahannya dengan mengamankan telur yang telah dibuahi. Hal ini tampak pada ikan T. sarasinorum; ikan jantan tampak berusaha menutupi telur yang telah dibuahinya dengan alga atau pasir. Dengan demikian usaha-usaha pemilihan tempat pelepasan telur dan perlindungan telur yang baru dilepaskan oleh ikan T. sarasinorum sesungguhnya adalah bentuk kepedulian induk (parental care).

Ikan ini memijah pada substrat batu berpasir, dan tidak ditemukan memijah pada substrat belumpur. Hal ini merupakan strategi reproduksi ikan untuk menjamin kelangsungan keturunannya. Telur yang dilepaskan pada substrat berlumpur bisa tertutup lumpur dan tidak mendapat oksigen, sehingga telur mati. Sebaliknya, substrat kerikil memungkinkan air bersirkulasi melalui ruang-ruang antara sehingga telur-telur teroksigenasi. Selain itu telur yang dilepaskan di antara kerikil terlindung dari kanibalisme dan predasi. Ikan salmon mengubur telur- telurnya di dalam kerikil yang longgar dan banyak ikan cyprinid melepaskan telur secara bebas (egg-scattering) lebih suka memijah pada substrat kerikil (Shackle et al. 1999). Komposisi substrat dan kedalaman habitat merupakan penentu keberadaan ikan-ikan siklid di Danau Malawi (Genner et al. 2004). Habitat pemijahan ikan T sarasinorum sebagian besar tersebar di sisi selatan danau. Hal ini disebabkan bagian selatan Danau Matano mempunyai daerah litoral yang lebih

Tabel 2 Lokasi pengamatan, jumlah arena pemijahan dan deskripsi karakter substrat pemijahan Lokasi Pengamatan Arena pemijahan Habitat 1/ Habitat 2 Jumlah arena (dalam transek) Luas arena (m2) Jarak dari tepi danau (m) Kedalaman arena (m) Jumlah pasangan dalam arena

Karakter substrat dan % tutupan pada arena

No Lumpur/

lempung Pasir Kerikil

Batu bulat Batu besar Batuan dasar 1 S. Lawa Habitat 1 2 6 4,0 - 8,0 0,30 - 0,60 2 - 5 - 30 20 50 - -

2 Desa Matano Habitat 1 1 8 5,0 - 10,0 0,40 - 0,60 2 - 4 - 20 80 - - -

3 Paku Habitat 1 2 8 5,0 - 10,0 0,40 - 0,60 3 - 6 - 20 30 50 - -

4 Sokoio - - - 60 40 -

5 Pantai Kupu-kupu Habitat 1 3 8 5,0 - 6,0 0,30 - 0,65 4 - 6 - 20 20 60 - -

6 Pantai Salonsa-A Habitat 1 2 10 5,0 - 10,0 0,30 - 0,75 4 - 8 - 30 20 40 10 -

7 Old Camp Habitat 1 3 6 3,0 - 5,0 0,40 - 0,60 3 - 5 - 30 55 15 - -

8 S. Tanah Merah Habitat 1 1 10 3,0 - 5,0 0,40 - 0,60 2 - 5 - 40 40 20 - -

9 P. Otuno I-A Habitat 1 2 10 2,0 - 5,0 0,40 - 0,60 3 - 4 - 40 20 20 20 -

10 P. Otuno II-A Habitat 1 2 5 4,0 -5,0 0,40 - 0,60 3 - 4 - 30 60 10 - -

11 S. Petea - - - 50 30 20 - - -

12 S. Soluro Habitat 1 1 5 3,0 - 5,0 0,60 - 0,80 3 - 6 - 30 40 30 - -

13 Pantai Salonsa-B Habitat 2 1 4 2,0 - 3,0 0,30 - 0,60 2 - 4 - 30 40 30 - -

14 P. Otuno I-B Habitat 2 2 4 3,0 - 5,0 2,50 - 3,00 5 - 12 - - 30 70 - -

15 P. Otuno II-B Habitat 2 2 6 2,0 - 4,0 2,00 - 2,50 5 - 10 10 20 40 - 30 -

Ket: Habitat 1 : Substrat dasar batu berpasir Habitat 2 : Substrat perakaran

lebar daripada bagian utara. Selain itu, pada sisi utara Danau Matano banyak terdapat batuan besar yang tidak disertai pasir.

Sementara itu, vegetasi adalah gambaran umum dari habitat alami zebrafish (Spence et al. 2007). Larvae zebrafish mempunyai perlengkapan untuk melekat dan mampu menempel pada tumbuhan setelah menetas sampai pecahnya gelembung renang. Penjelasan adaptif untuk preferensi ini ditunjukkan dengan meningkatnya kelangsungan hidup telur-telur di dalam kerikil. Telur-telur yang diinkubasi di dalam kerikil menunjukkan kelangsungan hidup yang secara signifikan lebih tinggi daripada di dalam lumpur. Pengaruh ini mungkin karena telur-telur yang diinkubasi di dalam kerikil mengalami oksigenasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang diinkubasi di dalam lumpur; di dalam lumpur telur mungkin menghadapi resiko lebih besar terhadap mati lemas/kekurangan nafas atau infeksi oleh mikroorganisme (Wootton 1990). Unsur oksigen sangat diperlukan untuk perkembangan embrio.

Keuntungan lain dari kerikil sebagai substrat pemijahan adalah telur-telur jatuh di antara kerikil dan dengan demikian terlindung dari gangguan atau kanibalisme (Spence et al. 2007). Ikan T. sarasinorum yang memijah mencari daerah substrat yang lebih berpori berupa alga pada perakaran dan pasir. Pemilihan arena pemijahan di daerah yang ternaungi mungkin lebih berhubungan dengan kondisi intensitas cahaya yang lebih rendah (Goddard & Mathis 1997). Adanya preferensi tempat pemijahan demikian penting dalam menentukan manajemen habitat.

Keadaan hidrologis dan parameter fisik kimiawi perairan Danau Matano Curah hujan dan fluktuasi muka air

Curah hujan dan tinggi muka air danau berfluktuasi secara temporal (Gambar 4 dan Lampiran 3). Curah hujan dan fluktuasi muka air dalam satu tahun menunjukkan ketidak serasian, terutama pada periode bulan Mei sampai dengan Agustus. Data tersebut menunjukkan saat curah hujan menurun, tinggi muka air danau justru bergerak naik. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dan Mei masing-masing 14,78 mm dan 11,37 mm, dan terendah pada bulan Juni yaitu 2,98 mm.

Tinggi muka air danau jika dilihat mulai dari Februari – Agustus 2009 tampak periode ini merupakan periode pengisian air danau. Hal ini karena pola yang terbentuk adalah peningkatan tinggi muka air secara terus-menerus tanpa fluktuasi mengikuti periode pola curah hujan. Puncak-puncak muka air danau tampaknya berada dalam periode bulan Agustus - Desember. Keadaan muka air terendah pada bulan Februari berada pada ketinggian 391,46 m dpl, sedangkan muka air tertinggi berada pada bulan September dengan ketinggian 392,65 m dpl. Gambar 4 memberikan informasi bahwa terdapat penurunan air yang terjadi sangat drastis pada periode bulan Desember - Januari dan titik terendahnya terjadi pada bulan Februari. Data ini menunjukkan bahwa tidak terjadi fluktuasi alami pada tinggi muka air danau. Data yang ditampilkan pada periode Desember, Januari dan Februari menunjukkan ada kegiatan pelepasan massa air Danau Matano.

Pola tersebut dikhawatirkan akan mengganggu biota perairan yang memanfaatkan daerah litoral sebagai tempat bereproduksi. Hal ini disebabkan pada saat muka air terendah sebagian daerah litoral menjadi kering. Pada saat itu ikan berpindah ke daerah yang masih tergenangi air dengan kedalaman sekitar 0,50 m.

Gambar 4 Curah hujan rata-rata harian wilayah dan tinggi muka air di Danau Matano selama penelitian

391,00 391,20 391,40 391,60 391,80 392,00 392,20 392,40 392,60 392,80 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 T in g g i m u k a ai r ( m dpl ) C u ra h h u ja n ( m m ) Waktu

Fluktuasi muka air memengaruhi proses dan pola ekologis danau dalam beberapa hal (Wantzen et al. 2008). Pada tahun 2003 dibangun dam di S. Petea yang dimaksudkan untuk pengadaan listrik bagi keperluan industri. Dam tersebut selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 2005. Pada waktu pintu air dam ditutup, massa air Danau Matano meningkat. Daerah pinggir danau yang tergenang menjadi bertambah luas. Naiknya muka air menyebabkan daerah- daerah yang tadinya tidak tergenangi menjadi tergenang. Pada saat itu pinggiran danau mengalami abrasi yang menyebabkan tanah bagian atas turun ke perairan menutupi daerah litoral yang menjadi tempat hidup ikan. Sedimentasi ini dapat memengaruhi keberadaan ikan di daerah tersebut.

Pada waktu pintu air di dam tersebut dibuka, massa air danau keluar menuju danau-danau di bagian hilir yaitu Danau Mahalona dan Towuti. Hal tersebut menyebabkan penurunan muka air secara tiba-tiba. Daerah-daerah litoral yang tadinya tergenang menjadi kering. Habitat pemijahan ikan asli danau itu yang umumnya terdapat di daerah litoral tiba-tiba menjadi kering. Telur-telur ikan yang baru dilepaskan diduga menjadi mati. Hal ini tentu berpengaruh terhadap keberadaan spesies ikan di habitatnya.

Secara alami, pada waktu air surut daerah litoral yang biasanya mengering dimanfaatkan oleh organisme terestrial seperti serangga untuk menjalankan sebagian siklus hidupnya untuk bereproduksi. Daun-daun dari pinggiran danau yang jatuh ke daerah litoral mengering. Pada waktu muka air meningkat, daerah tersebut tergenang air dan daun-daun mengalami dekomposisi. Serangga di perairan dan hasil dekomposisi tumbuhan itu menjadi sumber makanan bagi ikan- ikan di Danau Matano.

Tetapi perlu ditekankan bahwa fluktuasi muka air adalah pola alami yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup banyak spesies. Fluktuasi muka air alami di danau menjamin produktivitas dan biodiversitas. Hanya banjir dan kekeringan yang ekstrim dan yang bukan waktunya memberikan pengaruh berbahaya bagi biota.

Pengaturan muka air danau untuk produksi listrik dan mengontrol banjir adalah sebagian dari pengaruh antropogenik utama dalam ekosistem akuatik boreal. Lebih dari 300 danau di Finlandia, yang merupakan sepertiga dari total

luas perairan daratan di negara itu, telah mengalami pengaturan oleh manusia (Aroviita & Hämäläinen 2008). Fluktuasi muka air yang diubah adalah sebagian dari pengaruh antropogenik besar di dalam ekosistem danau dan sungai. Konstruksi dam dan reservoir untuk produksi listrik tenaga air dan pengontrol banjir, pemindahan air untuk irigasi, bersama-sama dengan penggunaan air lainnya, telah mengubah rejim alami hidrologis perairan tawar di seluruh dunia. Bagian perairan yang terutama rentan terhadap perubahan muka air adalah zona litoral danau. Organisme di daerah litoral danau mungkin terpengaruh langsung oleh kekeringan, dan terpengaruh tidak langsung oleh berkurangnya ketersediaan habitat dan sumber-sumber makanan.

Banyak faktor abiotik terutama di zona litoral danau-danau besar, yang dapat memengaruhi interaksi biotik pada berbagai kedalaman air: tekanan hidrolik pada organisme yang disebabkan oleh aksi gelombang lebih rendah di perairan yang lebih dalam (Baumgärtner et al. 2008). Stabilitas habitat, ukuran partikel substrat dan tempat berlindung makroavertebrata berubah dengan kedalaman air. Sampainya cahaya dan spektrum cahaya menjadi lebih sempit dengan kedalaman, dan komunitas alga epilitik—sumber makanan bagi peramban—berubah. Suhu dan kisaran suhu harian bervariasi bergantung pada kedalaman air dan musim.

Fluktuasi muka air jangka panjang berhubungan dengan pergeseran garis pantai yang besar, oleh karena itu dampak utama fluktuasi muka air jangka panjang terhadap ekositem danau adalah perubahan habitat (Hofmann et al. 2008). Fluktuasi muka air jangka panjang membanjiri/menggenangi daerah pinggiran yang sebelumnya kering atau permukaan sedimen di bawah permukaan air yang terpapar pada atmosfir. Jadi, fluktuasi muka air jangka panjang berperan dalam pemilihan spesies sessil yang beradaptasi pada kondisi kering atau basah. Selain itu, fluktuasi muka air jangka panjang menghasilkan suatu perubahan sifat permukaan sedimen di zona litoral, karena ukuran butiran di wilayah pantai tidak tersebar secara homogen tetapi berubah dari besar ke kecil menuju wilayah yang

Dokumen terkait