• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hadhanah Tinjauan Hukum Positif

Dalam dokumen PENYELESAIAN SENGKETA PEMELIHARAAN ANAK (Halaman 36-45)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN, HADHANAH

B. Tinjauan Umum Tentang Hadhanah

2. Hadhanah Tinjauan Hukum Positif

a. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Dalam hal kewajiban antara orang tua dan anak sudah dijelaskan secara umum dalam pasal-pasal di Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Berikut bunyi pasal-pasal yang mengatur mengenai kewajiban orang tua terhadap anak:

Pasal 45:

35 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, t.tp, tth, h.216

27

1) Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2) Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan antara kedua orang tua putus.37

Kedua orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak hingga anak tersebut berumah tangga. Adapun jika orang tua anak bercerai sebelum ia menikah, maka kedua orang tua tetap memiliki kewajiban atas anaknya. Baik ayah maupun ibu memiliki kewajiban yang sama atas anak. Pasal 46:

1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.

2) Jika anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya38

Pasal 47:

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.39

Pasal 48:

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila

37Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

38Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

kepentingan anak itu menghendakinya.40 Pasal 49:

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

a) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b) Ia berkelakuan buruk sekali.

2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.41

Orang tua jika lalai dalam mendidik atau memelihara anaknya maka kuasa asuhnya bisa dicabut. Namun ia tetap memiliki kewajiban dalam hal finansial anak. Kuasa asuh bisa di cabut lewat proses pengadilan.

Dalam hal suami dengan isteri bercerai, bapak dan ibuk tetap memiliki kewajiban untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam undang-undang:

1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

2) Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

40Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

29

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.42

b. Kompilasi Hukum Islam

Ketika bapak dan ibu becerai, hadhanah atau hadhanah dijelaskan dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:

1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.43

Pada pasal di atas, apabila terjadi perceraian antara bapak dan ibu, anak yang belum mumayiz hak asuhnya ditetapkan kepada ibu kandungnya. Tolak ukur mumayiz di sini adalah anak yang usianya belum mencapai 12 tahun. Adapun aturan-aturan dalam Kompilasi hukum Islam di atas, materinya hampir keseluruhannya mengambil dari fiqh khususnya Syafi’iyah. Kemudian dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan terkait hadhonah anak yang orang tuanya bercerai:

1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a) Wanita-wanita garis lurus keatas dari ibu. b) Ayah.

c) Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayah. d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

42Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

e) Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu. f) Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah. 2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau dari ibunya.

3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga;

4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi diri sendiri (21 tahun)

5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);

6) Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.44

Hadhanah wajib bagi kedua orang tuanya, sebagaimana wajib

memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Jadi anak yang diasuh akan terancam masa depannya apabila tidak dapat pengasuh dan pemeliharaan dari orang tua maka dari itu wajib bagi hadhin (pengasuh) untuk menjaganya.

44

31

C. Teori Maqhasid Syariah

Maqashid syariah terdiri dari dua kosa kata yaitu al-maqasid dan al-shariah. Al-maqasi adalah bentuk plural dari kata al-maqsad dari akar kata al-qasd. Secara

etimologi mempunyai makna jalan yang lurus (istiqamah al-tariq), tujuan yang paling utama (al-i’timad wa al-amm), sedangkan lawan kata dari al-qasd adalah al-jair (jalan yang menyimpamg).45 Syariah, secara etimologi bermakna jalan menuju mata air,

jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan46

Ibnu Ashur (w 1393 H/ 1973 M) memberikan definisi terkait maqashid syariah adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yaitu moderasi (al-wastiyah), toleran (al-tasamuli) dan holistik (al-shumul).47 Maqasid al-syariah hadir untuk mewujudkan kebaikan dan menghindari keburukan atau mengambil manfaat dan menolak mudarat.48 Dari segi tujuan yang hendak dicapai, maslahah dibagi dalam dua kelompok, yaitu:49

1. Mendatangkan manfaat kepada umat manusia, baik bermanfaat untuk hidup di dunia maupun akhirat.

2. Menghindarkan kemudaratan (bahaya) dalam kehidupan manusia, baik kemudaratan di dunia maupun akherat.

Pada prinsipnya maqashid syari’ah terbagi dalam tiga macam inti pokok:50

45Musolli, Maqasid Syariah: Kajian Teoritis dan Aplikatif Pada Isu-Isu Kontemporer, Jurnal At-Turas, Vol V, No. 1, Januari-Juni 2018, h. 62.

46Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur, Jurnal Ulul Albab Volume 14, No. 2 Tahun 2013, h. 195.

47Musolli, Maqasid Syariah: Kajian Teoritis dan Aplikatif Pada Isu-Isu Kontemporer, h. 63. 48Arne Huzaimah & Syaiful Aziz, Urgensi Penerapan Lembaga Dwangsom pada Perkara Hadhanah di Pengadilan Agama dalam Perspektif Maqashid al-Syari’ah, Jurnal Al-‘Adalah, Vol. 15, Nomor 1, 2018, h. 141.

49Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet. IV, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Prenada Media Group, 2008), 233

50Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013), h. 108-109.

1.

Maqashid daruriyyat ialah kepentingan esensi dalam kehidupan. Diantaranya

adalah Memelihara agama (hifzh ad-din),

a.

Memelihara jiwa (hifzh an-nafs, b.

Memelihara akal (hifzh al- aql), c.

Memelihara keturuanan (hifzh an-nasl) d.

Memelihara harta (hifzh al-maal). e. Kebutuhan ad-daruriyyah adalah kebutuhan yang mendasar yang

menyangkut dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima tujuan syariah. Kelima tujuan syariah itu adalah dengan memelihara agama (hifzh

ad-din),, memelihara jiwa (hifzh an-nafs, akal (hifzh al- aql), keturuanan (hifzh an-nasl), dan harta (hifzh al-maal).

Menurut imam asy- Syathiby, di kelima hal inilah agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan apabila dipelihara akan mendapatkan kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi. Kelima unsur ini disyariatkan Allah

SWT dalam firmannya surat al- Mumtahanah ayat 12 yang berbunyi: َ َ َ َ َ ل نا ىۖلع ك نع يابيُ ُتۖنم َِ ؤملا كءۖاج اذاِ يبنلا اهيا َ َُ ۖي ا ۖي َ َ َُ َِ َ َ َُ َِ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َُ اب نكرشي َُ ي َ ش ِۖللۖ نلتقي لو ني ن ِزي لو نقر سي لو ا ۖـ ناته بُب ني تِأي لو نهد لو ا َِ َِ َِ َ َ َ َِ َ َ َ َ َ َ َ ا ني ب ه ني رِت في نهِي دِي َ نهِل َُِجر او يفِ ك ني َ ِصع ي لو َ ۖللۖا نهُل ر فِغت َ ساو نهُع َِياب ف فو رُع م َ َُ مي ح ِر روف غ ۖللۖا نا َِ َ َ Artinya: “Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang

kepadamu untuk mengadakan bai‘at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka

dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Para ahli ushul fikih menyatakan bahwa adapaun kasus yang dijelaskan dalam ayat tersebut setuju kepada wanita, akan tetapi hal itu juga berlaku bagi kaum laki-laki. 51

Kelima dharuriyyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia, karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.52

2. Maqashid al-hajjiyat ialah kepentingan esensial di bawah derajat daruriyyat, tujuannya untuk menghilang kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi.

3. Maqashid al-tahsiniyah (kepentingan pelengkap), yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya. Menurut al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma akhlak. 53

51Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1109

52Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet. IV, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Prenada Media Group, 2008), 233

BAB III

DESKRIPSI PUTUSAN HADHANAH NOMOR 402/PDT.G/2019/PA.JS

A. Posisi Kasus

Perkara Nomor 402/PDT.G/2019/PA.JS merupakan perkara hadhanah atau pemeliharaan anak. Penggugat dengan Tergugat merupakan mantan suami isteri yang sudah resmi bercerai sebelumnya. Bahwa, Penggugat dengan Tergugat telah resmi bercerai sebagaimana tertera dalam Akta Cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0750/Pdt.G/2018/PA.JS, yang diputuskan pada tanggal 24 April 2018.

Sejak awal terjadinya perceraian, anak berada di bawah pengasuhan ibu kandung yang dalam hal ini selaku Penggugat. Namun pada suatu hari, Tergugat membawa izin anak untuk diajak pergi jalan-jalan. Akan tetapi, Tergugat tidak mengembalikan anak tersebut kepada ibu kandung yang dalam hal ini selaku Penggugat.

Penggugat yang merasa tidak mendapatkan keadilan, karena Penggugat selalu dibatasi oleh Tergugat jika ketemu dengan anak. Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, karena berdasarkan aturan perundang-undangan mengenai kewenangan relatif, dalam hal perkawinan, gugatan diajukan ditempat pihak isteri bertempat tinggal. Dalam persidangan, Peggugat dan Tergugat menghadap masing-masing dan tidak menggunakan jasa advokat.

B. Duduk Perkara

Setiap gugatan diajukan ke Pengadilan Agama, para pihak harus menjelaskan dalil-dalil gugatan. Maksud dalil gugatan atau posita adalah alasan-alasan yang menjadi keberatan bagi para pihak.

Dalam dokumen PENYELESAIAN SENGKETA PEMELIHARAAN ANAK (Halaman 36-45)

Dokumen terkait