• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA PEMELIHARAAN ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA PEMELIHARAAN ANAK"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA PEMELIHARAAN ANAK

AKIBAT PERCERAIAN

( Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor Perkara 402/Pdt.G/2019/PA.JS )

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Sufiyudin

NIM. 11140440000109

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H/ 2021 M

(2)

Perkara 402/Pdt.G/2019/PA.JS )

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh:

Sufiyudin NIM. 11140440000109

Pembimbing:

Dr. Syahrul A`dam, M.Ag. NIP. 197305042000031002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1442 H / 2021 M

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Sufiyudin. NIM. 11140440000109. Penyelesaian Sengketa Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor Perkara 402/Pdt.G/2019/PA.JS. Skripsi Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/ 2021 M. (60 halaman).

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus perkara Penyelesaian Sengketa Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian dengan Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS perspektif Hukum Positif dan untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS perspektif Maqashid Syariah.

Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan bahan kepustakaan berupa buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang dibahas. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, pertama,pendekatan perundang-undangan (Statute Aprroch) yaitu menggunakan legislasi dan regulasi. Kedua, Pendekatan kasus (case approach) dengan cara memahami alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan putusan

Dalam putusan Nomor 402/PDT.G/2019 PA.JS, hakim sudah tepat dalam menjatuhkan putusan. Hakim menilai bahwa Ibu kandung selaku ibu kandung pantas untuk pemegang hadhanah anak di bawah umur. Dalam menetapkan hadhanah, hakim menggunakan dasar hukum Pasal 105 poin a Kompilasi Hukum Islam, yang mana anak di bawah umur diasuh oleh ibunya. Dalam persidangan ayah kandung tidak bisa membuktikan jika ibu kandung dalam hal ini Penggugat tidak pantas untuk mendapatkan hadhanah. Kemudian dalam menetapkan nafkah anak, hakim menggunakan dasar hukum Pasal 156 poin d jo Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang

(6)

putusan ini termasuk kepada maqashid daruriyyat, yang pertama dalam menetapkan pemegang hak asuh anak termasuk kepada (hifz al-nafs)atau memelihara jiwa. karena bila tidak dipenuhi akan berkaibat rusak dan binasa pada anak Dalam kasus ini, anak tersebut masih kecil, secara psikologis peran ibu tentu lebih dibutuhkan di sini. Karena jelas ibu lebih banyak waktu untuk merawat anak, Yang kedua, dalam menetapkan nafkah anak termasuk kepada menjaga keturunan (hifzh an-nasl), karena jika tidak ditetapkannya nafkah anak, anak tidak mendapatkan kepastian hukum terhadap nafkah dari ayahnya. Karena secara hukum, anak yang belum dewasa masih di bawah tanggung jawab ayahnya hingga anak berusia 21 tahun. Kata Kunci

Pembimbing Daftar Pustaka

: Pemeliharaan anak, Hadhanah, Nafkah Anak,

Maqashid daruriyyat, Hifzh An-nasl, Hifzh al-nafs

: Dr. Syahrul A`dam, M. Ag : 1985-2018

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada manusia yang membawa risalah kebenaran yakni baginda Nabi besar Muhammad SAW, keluarga serta para sahabatnya yang mulia yang merupakan panutan bagi seluruh umat manusia di dunia.

Skripsi ini tidak akan bisa selesai tanpa adanya bantuan bimbingan. arahan, dukungan. dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi tingginya kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I. II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Syahrul A`dam, M.Ag. Dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan akademik, memberikan motivasi, dan memberikan masukan-masukan dalam penyususnan skripsi ini dari awal hingga akhirnya dapat terselesaikan.

(8)

mengurangi rasa hormat penulis.

6. Seluruh staf Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memfasilitasi guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Yang teristimewa yaitu orang tua penulis, 8. Teman-teman seperjuangan penulis,

9. Seluruh teman-teman mahasiswa Hukum Keluarga angkatan 2014, yang telah menemani penulis dalam menempuh pendidikan di Program Studi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semoga Allah SWT membalasnya. Aamiin.

Penulis menyadari perlu adanya perbaikan dalam skripsi ini. maka dari itu kritik dan saran yang datang dari para pembaca akan penulis perhatikan dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 07 April 2021

Penulis

Sufiyudin

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING --- i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI --- ii

LEMBAR PERNYATAAN --- iii

ABSTRAK --- iv

KATA PENGANTAR --- v

DAFTAR ISI --- vii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

E. Kajian Studi Terdahulu ... 6

F. Metode Penelitian ... 7

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN, HADHANAH DAN TEORI MAQASHID SYARIAH A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian 1. Perceraian Menurut Hukum Islam ... 11

2. Perceraian Menurut Hukum Positif Indonesia... 21

B. Tinjauan Umum Tentang Hadhanah 1. Hadhanah Tinjauan Hukum Islam ... 24

2. Hadhanah Tinjauan Hukum Positif ... 26

(10)

B. Duduk Perkara

1. Posita --- 34

2. Petitum --- 37

3. Proses Pemeriksaan Perkara --- 38

C. Amar Putusan --- 50

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HADHANAH NOMOR 402/PDT.G/2019 PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN A. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 402/Pdt.G/2019 Perspektif Hukum Positif --- 51

B. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 402/Pdt.G/2019 Perspektif Maqashid Syariah --- 55

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………59 B. Saran-saran………60 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN ix

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama.1 Perkawinan adalah merupakan sunnatullah yang dengan sengaja diciptakan oleh Allah yang antara lain tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan lainnya. Allah menciptakan makhluknya bukan tanpa tujuan, tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-hambaNya di dunia ini menjadi tentram.2

Dengan adanya perkawinan maka akan muncul keinginan untuk mempunyai rumah tangga yang sakinah mawwadah warrahma. Rumah tangga yang bahagia jauh dari masalah adalah idaman bagi setiap pasangan suami istri. Akan tetapi, untuk memperoleh rumah tangga yang demikian diperlukan rasa saling percaya dan saling menyayangi. Dalam sebuah perkawinan pasangan Suami Istri pasti memiliki mimpi yang ingin dicapai berdua salah satunya hadirnya seorang anak untuk menghiasi perkawinannya.

Setiap rumah tangga pasti memiliki pertengkaran baik kecil maupun besar tergantung bagaimana setiap pasangan menyikapinya. Dalam pertengkaran itu adakalanya terjadi masalah yang dapat diselesaikan dan yang tidak dapat diselesaikan. Masalah yang tidak dapat diselesaikan ini biasanya akan berujung dengan perceraian.

Perceraian merupakan perbuatan yang halal tetapi di benci oleh Allah SWT, karena suatu perceraian menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak terlebih bila pasangan tersebut telah dikaruniai Anak, maka Anak tersebut yang akan

1Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), Cet. II, h. 3

2M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003), Cet.1, h. 1-2

(12)

memperoleh pengaruh paling besar. Karena ketika Orang Tua berpisah maka Anak akan berpisah dari salah satu Orang tuanya. Oleh sebab itu, Orang Tua harus mempertimbangkan untuk sebisanya menghindari perceraian.

Adanya suatu perceraian maka akan menimbulkan akibat hukum yang mengikutinya, yaitu:

1. Ayah dan Ibu tetap memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan dan melaksanakan pemeliharaan atas anak-anaknya demi kepentingan Anak, jika ada perselisihan antara Ayah dan Ibu tentang penguasaan Anak, maka Pengadilan berhak memberikan keputusan

2. Untuk biaya pendidikan dan pemeliharaan yang bertanggung jawab adalah Ayahnya, jika Ayah tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya, maka Pengadilan dapat menentukan Ibu ikut dalam memikul biaya pendidikan dan pemeliharaan Anak.

3. Pengadilan juga dapat memberikan kewajiban kepada mantan Suami untuk memberi mantan Istrinya biaya untuk hidup, atau sebaliknya.3

Pemeliharaan anak atau hak asuh anak atau dalam bahasa Undang- Undang Perlindungan Anak disebut sebagai kuasa asuh atau dalam literature hukum Islam disebut dengan hadhanah, merupakan kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak, sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya.

Sebagai upaya memberikan kemaslahatan pada anak, ketentuan-ketentuan hukum positif telah memberikan perlindungan hukum terhadap masalah pemeliharaan anak, baik yang telah terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2001, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan yang terdapat dalam Hukum Islam yang terakomodasi dalam Kompilasi Hukum Islam maupun yang bersumber dari nash-

(13)

3

nash al-Qur‟an dan Hadis, serta aturan-aturan Fikih yang telah mengatur masalah pemeliharaan anak.

Dapat disimpulkan meski telah terjadi perceraian Orang Tua tetap memiliki kewajiban kepada anak-anaknya. Mengasuh Anak merupakan kewajiban kedua Orang Tua, tetapi jika kedua Orang Tua bercerai, maka akan muncul hak asuh anak yang jatuh pada salah satu orang tua. Bila Anaknya masih dibawah umur (mummayiz) maka hak asuh anak secara otomatis jatuh kepada Ibunya.

Sesuai dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjadinya perceraian :4

1. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya

2. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya 3. biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya.

Dalam banyak kasus perceraian, setelah Pengadilan memutuskan untuk mengabulkan gugatan atau Permohonan Perceraian, biasanya selain menentukan pembagian harta bersama, maka turut pula ditentukan perihal Hak Asuh Anak jika pasangan tersebut mempunyai keturunan dari hasil pernikahannya.

Berikut ini penulis akan menjelaskan peran pengadilan dalam melaksanakan tugasnya sebagai badan peradilan dari beberapa kasus yang terdapat dalam putusan pengadilan tentang pemeliharaan anak/ hak asuh anak/ hadhanah dalam perkara perceraian di beberapa Pengadilan Agama di Indonesia.

Dalam perkara putusan nomor 0591/Pdt.G/2013/PA.Mlg dalam hal pemeliharan anak yang belum mumayyiz dan belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Tapi dalam pertimbangan hakim dan dalam putusan perkara tersebut menerangkan bahwa dalam perkara penguasaan anak (hadhanah), Hakim

(14)

Pengadilan Agama Malang memutuskan bahwa pengasuhan anak (hadhanah) yang belum mumayyiz berada dibawah asuhan ayah.

Dalam perkara putusan nomor 10/Pdt.G/2016/PTA.JK. Pada tahun 2003 telah dilangsungkan perkawinan sepasang suami istri yang karena beberapa alasan akhirnya mengakhiri perkawinannya pada tahun 2012. Dari perkawinan tersebut telah lahir seorang anak perempuan yang bernama AFD yang lahir di Singapura, tanggal 17 September 2009. Ketika terjadi perceraian antara suami dan istri pada putusan nomor No. 10/Pdt.G/2016/PTA.JK tersebut hak asuh anak jatuh kepada istri atau ibu karena memang anak tersebut tergolong belum mumayyiz.

Masa sekarang banyak terjadinya perceraian menimbulkan berbagai masalah dan harus diselesaikan di sidang pengadilan,di antaranya sengketa hak asuh anak. Pada dasarnya para pihak yang berperkara di muka sidang pengadilan untuk menentukan status hukum, hak dan kewajiban serta hal lain yang berkekuatan hukum tetap dengan adanya suatu putusan hakim. Sebenarnya hak asuh anak tiada mengandung sengketa karena putusan pengadilan adalah sebuah penetapan yaitu menetapkan keadaan atau status hukum terhadap sesuatu hal.

Dalam skripsi yang hendak penulis bahas ini adalah putusan nomor 402/Pdt.G/2018/PA.JS. yaitu sengketa hak asuh anak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Yang mana dalam perkara ini, ibu kandung selaku jadi Penggugat dan menggugat mantan suaminya.

Maka berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui mengenai penyelesaian sengketa pemeliharaan anak/hadhanah akibat perceraian di Pengadilan Agama , maka dari itu penulis beri judul “Penyelesaian Sengketa

Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor Perkara 402/Pdt.G/2019/PA.JS)”

(15)

5

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian menurut hukum Islam 2. Hak-Hak anak setelah terjadinya perceraian orang tuanya

3. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS tinjauan hukum positif

4. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS tinjauan maqashid syariah

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, penulis membatasi masalah hanya pada persoalan hadhanah setelah terjadinya perceraian. Dan dalam pembahasaan ini penulis mengambil perkara Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS

2. Perumusan Masalah

a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara hadhanah Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS perspektif maqashid syari’ah?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara hadhanah Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS perspektif hukum positif?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara

hadhanah Nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS perspektif maqashid syari’ah

b. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara

(16)

2. Manfaat Penelitian a. Secara Akademik

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan akademisi dalam bidang hukum Islam dan untuk memperluas ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama pada Fakultas Syari’ah dan Hukum, khususnya untuk menambah referensi skripsi ini memberikan gambaran yang jelas mengenai hadhanah setelah terjadinya perceraian.

b. Secara Praktis

Memberikan informasi bagi akademisi dan masyarakat luas mengenai kewajiban suami isteri kepada anak setelah terjadinya perceraian E. Kajian Studi Terdahulu

Sejauh yang penulis ketahui, belum ada yang membahas persoalan yang benar-benar sama dengan skripsi yang akan ditulis ini terutama di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Dengan ini penulis akan sajikan beberapa skripsi lain yang memiliki persamaan dalam penyajiannya.

Skripsi yang dibuat oleh Moh. Sita Fathurrahman salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Hadhanah

(ḥaḍānah) Antara Hukum Islam dan Hukum Adat Setelah Terjadinya Perceraian Antara Suami dan Istri ”.5 Dalam skripsi lebih membahas kepada perbandingan

hukum Islam dan hukum adat tentang hadhanah. Sifat penelitinannya menggunakan studi komparasi. Sedangkan penulis dalam skripsi ini ingin membahas tentang putusan hadhanah pasca perceraian pada putusan nomor. 402/Pdt.G/2019/PA.JS ditinjau dari maqashid syariah.

5 Moh. Sita Fathurrahman, “Hadhanah Antara Hukum Islam dan Hukum Adat setelah

Terjadinya Perceraian Antara Suami dan Istri”, Skripsi (Yogyakarta : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2009),

(17)

7

Masrur Rahmansyah (2016) dalam skripsi “Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama (Analisis Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia V Tahun 2015)”. Skripsi tersebut mengkajai mengenai permasalahan mendidik anak dalam perspektif fatwa MUI. Sedangkan penulis akan membahas putusan hak asuh anak ditinjau dari persepekti maqashid syariah.

Skripsi yang berjudul hak “Asuh Anak di bawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2001 tentang Perlindungan Anak” yang ditulis oleh Diana Yulita Sari. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hak hadahnah anak dalam hukum perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan siapa yang lebih berhak dalam hak hadhanah. Hal tersebut dikembalikan kepada kepentingan terbaik anak yang didasarkan pada putusan pengadilan.

Lilis Sumiyati (2015) dalam skripsi “Murtad Sebagai Penghalang Hadhanah (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor 1700/Pdt.G/2010/PAJT)”. Membahas mengenai pengasuhan anak terhadap anak yang belum mumayyiz yang diberikan kepada bapak akibat ibu yang murtad, sehingga seorang yang murtad akan menjadi penghalang mendapatkan hak asuh anaknya. F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif yang bersifat kualitatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang menjadi objeknya mengenai asas- asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan doktrin 6. Penelitian yuridis-normatif adalah penelitian yang membahas terkait doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum.7.Penulis akan menganalisis 402/Pdt.G/2019/PA.JS.

6Fahmi Muhammad Ahmad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat, Lembaga Penelitian, 2010), h. 31

(18)

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan beberapa pendekatan, pertama, Pendekatan perundang-undangan (Statute Aprroch) yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Kedua, Pendekatan kasus (case approach) yang dalam penggunaannya yaitu perlu memahami alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim tingkat pertama dan tingkat banding untuk sampai pada sebuah putusannya tentang hadhanah ini.8 Penggunaan pendekatan ini bertujuan untuk mencari relevansi dalil perlindungan terhadap perlindungan anak.

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data adalah subjek dimana data tersebut diambil. Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam penentuan pengumpulan data penelitian terdiri dari atas data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Sumber data primer ini yaitu data yang diperoleh dari putusan 402/Pdt.G/2019/PA.JS, pendapat-pendapat Ulama-Ulama Fiqih, , Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019, Kompilasi Hukum, Undang undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak Islam dan beberapa pengkajian buku-buku yang mengakaji tentang hadhanah.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu pendukung yang diperoleh dari pengkajian buku-buku, serta pendapat pakar hukum Islam yang dituangkan dalam artikel, jurnal website tentang hak hak anak setelah perceraian.9 4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik

(19)

9

pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-data yang kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevensi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun baik berupa buku maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan hadhanah

5. Metode Analis Data

Analisis yang digunakan adalah menggunakan analisis kualitatif yang mana menarik kesimpulan secara deskripsif dan deduktif dari semua data yang di dapatkan. Kemudian gambaran yang tadinya masih bersifat umum sehingga menjadi gambaran yang bersifakt spesifik.

komparatif, yaitu menganalisis dan mengkomparasikan teori-teori yang telah ada pada buku-buku yang menjadi referensi pada skripsi ini di dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

G. Sistematika Penulisan

Agar penulisan karya ilmiah Skipsi ini dapat terarah dan sistematik maka dibutuhkan sistem penulisan yang baik. Secara singkat penyusun menyampaikan sistematika sebagai berikut :

Bab I, berisi Pendahuluan, mengantarkan penelitian ini secara menyeluruh menguraikan tentang latar belakang masalah kemudian dilanjutkan rumusan masalah agar permasalahan yang akan dibahas menjadi lebih terfokuskan dan mengenai sasaran yang diharapkan. Setelah itu dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka yang digunakan untuk melihat penelitian lain yang hampir sama dan sebagi bukti bahwa penelitian ini belum pernah diteliti sebelumnya. Dilanjutkan kemudian metode penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana penelitian ini dilakukan. Kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan.

Bab II, Pada bab ini penulis akan membahas mengenai tinjauan umum tentang

(20)

syariah

Bab III, Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan putusan hadhanah pasca perceraian ,putusan 402/Pdt.G/2019/PA.JS.

Bab IV, Pada Bab ini penulis akan membahas analisis terhadap putusan 402/Pdt.G/2019/PA.JS. dan alasan hakim dalam mejatuhkan putusan hadhanah pasca perceraian

Bab V, pada bab terakhir ini, penulis akan menyimpulkan semua pembahasan dalam skripsi ini agar dapat memudahkan pembaca untuk menemukan inti bahasan dalam skripsi ini. Penulis juga akan menambahkan pendapat penulis tentang hasil penelitian yang penulis lakukan dengan harapan pendapat penulis dapat diterima oleh para pembaca.

(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN, HADHANAH DAN TEORI MAQASHID SYARIAH

A. Tinjauan Umum Tentang Perceraian 1. Perceraian Menurut Hukum Islam

Perceraian dalam istilah fiqh disebut “Talak” yang berarti “membuka ikatan, membatalkan perjanjian”. Perceraian dalam istilah fiqh juga sering disebut “furqah”, yang artinya “bercerai”, yaitu “lawan dari berkumpul”. Kemudian kedua istilah itu digunakan oleh para ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti “perceraian suami istri”.1 Perkataan furqah dan talak mempunyai arti yang umum dan khusus dalam istilah fiqih untuk arti umum ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang dijatuhkan dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.2

Talak menurut syara’ adalah yang diterapkan pada pelepasan ikatan pernikahan. Kata ini sudah terpakai pada masa jahiliyah lalu dilakukan pemakaiannya didalam syariat Islam.3 Untuk Al-Furqah menurut bahasa ialah

al-irtifaaq (berpisah), jamak dari furaq. Sedangkan menurut istilah ialah terlepasnya

ikatan perkawinan dan putusnya hubungan diantara suami istri akibat salah satu dari beberapa sebab.4 Hukum fiqih tidak menentukan dimana perceraian itu harus

1Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika , 2014), cet ke-2, Ed. 1, h. 16-17.

2Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang 1987), Cet. 2, H. 156.

3 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar Fil Alli Ghayatil Ikhtishar, Penerjemah Achmad Zaidun Dan A Ma’ruf Asrori, Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid 2, Surabaya, 1997, cet. 1, h. 466.

4Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu 9, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Katttani, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet. 2, h.311.

(22)

dilakukan dan apa persyaratan yang harus dipenuhi. Berkenaan dengan waktu, hanya menyatakan tidak boleh menceraikan istri ketika haid atau dalam masa suci yang telah digauli, ini berarti perceraian dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, oleh siapa aja dengan alasan apapun.5 Pada prinsipnya, perkawinan itu dibangun untuk sebuah kebahagiaan pasangan antara suami istri selama hidup berlangsung. Apabila salah satu pihak tidak dapat melaksanakan kewajibannya masing-masing dengan baik dan salah satu pihak tidak dapat menerimanya, dan tidak ada jalan lagi selain bercerai, maka perceraian dibolehkan. Namun, putusnya perkawinan itupun tidak memutuskan hubungan silaturrahim (hubungan sosial-keagamaan) antara bekas suami dan bekas istri, apalagi mereka telah mempunyai anak-anak selama berumah tangga berdasarkan perkawinan yang telah mereka putuskan tersebut.. Adapun macam-macam perceraian menurut Hukum Islam adalah:

a. Putusnya Perkawinan Karena Kematian

Putusnya perkawinan karena adanya sebab kematian salah satu dari suami atau isteri, maka pihak lain bisa dan berhak mewarisi atas harta peninggalan yang meninggal, karena adanya kesepakatan yang umum dikalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab kewarisan yakni karena adanya hubungan perkawinan,6 Bagi pihak isteri yang dengan meninggalnya suami tidak dibolehkan segera melangsungkan perkawinan yang baru dengan laki-laki yang lain karena harus menanggung masa iddah. Berbeda dengan pihak suami yang bisa secara dapat langsung melangsungkan perkawinan yang baru karena tidak adanya jangka waktu tunggu bagi seorang suami yag ditinggal mati oleh isterinya. Adapun ketentuan iddahnya adalah sebagaimana ditetapkan oleh firman Allah dalam

5 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.190.

6Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Persada Raja Grafindo, 1997), h.166.

(23)

13

Surat Al-Baqarah ayat 234.

ه ن َ ص َ َ ج ن

ن وْ ت َ َ ن ن

ة عَ ر أ ِفنوب ة ز ن َو ْ َ َت ونف ِ و و

يوو

َ ن ُ

يولِ يمي ت ك م ْيو ف ل ِ جي ه ت فَْ يذ ت َم َ ع هَِ و َ

بَوَ

ن ل َت

ِ ر

ن الل وَ ع

م م َ

ه ن

ِفنوب و و و و

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.7

b. Putusnya Perkawinan Karena Talak

Talak adalah suatu perbuatan yag dilakukan oleh suami berupa menolak berlangsungnya perkawinan, adapun talak adalah cara yang lazim digunakan untuk menghentikan perkawinan, sedangkan perceraian yang dimaksud disini adalah perceraian dengan mengucapkan ikrar talak yang langsung jatuh (munjas) yaitu ikrar talak yang diucapkan dan jatuh tanpa adanya sarat apapun, juga tidak disandarkan pada waktu yang akan datang maupun adanya penangguhan jatuhya talak.

Sedangkan ikrar talak yang di gantungkan dengan syarat atau waktu yang akan datang (muallaq) adalah talak langsung tetapi digantungkan dengan sesuatu yang menjadi syarat jatuhnya talak, atau digantungkan dengan suatu peristiwa yang bakal terjadi dimasa yang akan datang. Sedangkan talak yang disandarkan pada waktu yang akan datang (mudhaf) yaitu ucapan talak yang dikaitkan denggan waktu, bahwa apabila waktu yang dimaksud itu tiba maka jatuh talaknya.

Talak menurut bahasa artinya melepaskan ikatan dan pembebasan, sedangkan talak menurut syari’at adalah terlepasnya ikatan pernikahan atau 7Yayasan penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 57.

(24)

terlepasnya ikatan pernikahan dengan lafal talak dan yang sejenisnya.8 Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut:9

1) Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Oleh karena itu untuk sahnya talak suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:

a) Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak, yang dimaksud gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya (sakit pitam), hilang akal karena sakit panas atau sakit ingatan karena rusaknya syaraf otak.

b) Baligh, tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh yang belum dewasa.

c) Atas kemauan sendiri, yang dimaksud atas kemauan sendiri di sini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan dipaksa orang lain.

2) Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut:

a) Isteri itu masih tetap berada dalam perindungan kekuasaan suami. b) Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad

perkawinan yang sah.

8Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm Wa Adillatuhu 9, h. 318.

(25)

15

3) Sighat Talak. Sighat. Talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu secara jelas maupun sindiran, baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami yang tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.

4) Sengaja artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkan untuk talak, bukan untuk maksud lain. c. Putusnya Perkawinan Karena Fasakh

Pengerian fasakh secara bahasa berarti mencabut atau membatalkan yang didalamnya mengandung pengertian bahwa falsafah ini memperlihatkan kewenangan qadli (hakim Pengadilan Agama) untuk membatalkan suatu perkawinan atas permintaan pihak isteri.10

Hukum pelaksanaan fasakh pada dasarnya adalah mubah atau boleh yakni tidak disuruh dan tidak pula dilarang. Namun, bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu, hukumnya bisa bergeser menjadi wajib, misalnya jika kelak di kemudian hari ditemukan adanya rukun dan syarat yang tidak dipenuhi oleh suami dan istri.

Menurut Abdul Ghafur Anshori, alasan terjadinya fasakh secara umum dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1) Perkawinan yang telah berlangsung, ternyata kemudian tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, baik mengenai rukun maupun syarat.

2) Fasakh terjadi karena pada diri suami atau istri terdapat suatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, jika dilanjutkan akan menyebabkan kerusakan pada suami dan istri. Fasakh dalam bentuk ini disebut khiyar fasakh.

Dengan kata lain fasakh merupakan peluang atau jalan yang bisa ditempuh oleh isteri untuk memperoleh perceraian dengan suamuniya

(26)

dari segi hukum, sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat, 35.

عوَت ر وعون ع ه

هول

ة تَ َِ ون

هويو ْ

ن ع َِ ون تة

وب نَ م وهِ َ وفوه ِ ف فَم نوَ ت

وَ ب ي عَُ ر َونوِ ا ل ل ف ه ِ ع عوَت ا ل ك ت ْويَلِ بوََوَ

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari seorang perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal”.

Seluruh ulama sepakat bahwa ikatan perkawinan dapat diputuskan dengan fasakh, tetapi mereka berbeda pendapat tentang alasan-alasan yang bisa dipergunakan untuk minta fasakh. Pada garis besarnya ada enam hal yang dapat dijadikan alasan oleh seorang isteri untuk minta fasakh yaitu:

1) Suami sakit gila.

2) Suami menderita penyakit menular yang tidak bisa diharapkan kesembuhanya.

3) Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuannya untuk berhubungan kelamin.

4) Suami miskin atau jatuh miskisehingga tidak mampu untuk memenuhi memberikan kewajiban nafkah terhadap isterinya.

5) Isteri merasa tertipu baik mengenai nasab, atau keturunan suami, kekayaan atau kedudukan suami.

6) Suami mafqud atau hilang tanpa adanya keterangan yang jelas dalam jangka waktu yang lama minimal empat tahun.41

d. Khuluk

Pada prinsipnya talak merupakan milik mutlak dari seorang suami, artinya hanya suami lah yang berhak mentalak isterinya. Dalam Islam membolehkan seorang isteri meminta kepada suami supaya menjatuhkan

(27)

17

talak kepadanya, dengan memberikan kompensasi agar suami mau melepaskan hak talak yang dimilikinya.

Secara bahasa, khuluk berarti melepas. Sedangkan secara istilah, khuluk adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang isteri terhadap suaminya dengan membayar tebusan (iwad).11

Khuluk menurut istilah ilmu fiqih berarti menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan istri membayar iwad (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah itu (suami) dengan menggunakan perkataan “cerai” atau “khuluk”. Iwad dapat berupa pengembalian mahar oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang atau sesuatu yang dipandang mempunyai nilai yang telah disepakati oleh kedua suami istri.12

Kata khulu untuk putusnya perkawinan, karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaiannya itu dari suaminya. Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fikih khulu’ artinya dengan putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, mengucapkan ucapan talak atau khulu’. Khuluk itu merupakan satu bentuk dari putusnya perkawinan namun beda dengan bentuk lin dari perkawinan itu, dalam khulu’ terdapat uang tebusan atau uang iwadh.

Kebolehan khulu’ uyang ditegaskan oleh Abdul Ghofur Ansori, yaitu untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami. Hal ini terjadi karena suami sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istri nya itu. Pemberian iwadh (pembayaran sejumlah uang) oleh istri kepada suami sebagai penerus / pengembalian mahar yang dulu pernah diterima. Mayoritas ulama menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk keabsahan khulu’.

11Jaih Mubarak, Modifikasi tentang Hukum Islam: Studi Mengenai Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 269.

(28)

Menurut pada ulama ucapan khulu’ terdiri dari dua macam, yaitu menggunakan lafaz yang jelas dan terang (shahih) dan menggunakan lafaz kinayah yang harus disertai dengan niat. Alasan utama terjadi nya khulu’ adalah adanya kekhawatiran istri tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai istri yang menyebabkan tidak dapat menegakan hukum Allah.13 Terdapat 5 rukun khuluk yaitu:14

1) Suami, khuluk sah dilakukan oleh setiap suami yang sah melakukan talak. Yaitu orang balig, berakal, dan atas keinginan sendiri karena khuluk sama dengan talak.

2) Penerima kompensasi, penerima kompensasi baik penerima atau pemohon khuluk, atau orang lain yang menerima khuluk, agar khuluknya sah disyaratkan harus bebas melakukan transaksi harta. Artinya, dia harus mukallaf dan tidak dicekal hak transaksinya. 3) Kemaluan (pernikahan), kemaluan istri adalah milik suami. Jadi,

tidak dah khuluk terhadap selain istri.

4) Kompensasi, kompensasi dalam khuluk sah baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik diutang, berupa denda, maupun berupa manfaat.

5) Pernyataan khuluk.

Sebagai dasar hukum dari hadis mengenai khuluk ini, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Shan ‘ani bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah SAW mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya sebagai berikut:

ك ع لا َ ويْ

َل وِ ت ة

َل و لت

ق

ْ ل ْل و ويْ بل

ر ع ب ن ل لل و ب و َ ت ق ب م ة

13 Syaifuddin Muhamad, Turatmiyah Sri, Yahanan Annalisa, Hukum Perceraian, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2014, Ed. 1, Cet. 2, h. 131-132.

14Wahbah Zuhaili, al-Fiqh asy-Syafi’i al-Muyassar, Penerjemah Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: Almahira, 2012), cet. 2, h. 633-636.

(29)

19

ولا لا يوِ

Artinya: “Ya Rasulallah, terhadap Tsabit bin Qais saya tidak mencelanya tentang budi pekerti dan agamanya, namun saya membenci kekufuran (terhadap suami) dalam Islam.”

Terhadap pengaduan Jamilah ini Rasulallah SAW bersabda kepadanya:

؟ وع وو ت ْل و َو لَ ْ ت ة

Artinya: “Bersediakah engkau mengembalikan kebun kepadanya?”

Jamilah menjawab ya (bersedia). Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit lalu bersabda kepadanya:

َ

أ َْوي َ ْوي لِأ َ لِ و ََل

و و

Artinya: “Terimalah kebun itu dan ceraikan ia (istrimu) satu talak.”

Al-Syafi’i, Abu Hanifah dan kebanyakan ahli ilmu berpendapat bahwa khuluk itu sah dilakukan meski istri tidak dalam keadaan nusyuz, dan khuluk itu sah dengan saling kerelaan antara suami istri kedati keduanya dalam keadaan biasa dan baik-baik saja.15

Khuluk atau talak tebus ini boleh dilakukan, baik sewaktu suci maupun sewaktu haid, karena biasanya talak tebus itu terjadi dari kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela, walaupun menyebabkan idahnya menjadi panjang.16 Berbeda dengan talak yang hanya boleh dijatuhkan ketika istri dalam masa suci saja. Larangan mentalak isteri saat haid itu mempunyai dampak negatif yang akan dialami oleh isteri yaitu karena terlalu panjangnya masa idah.17

15Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 220-223.

16Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 189.

(30)

e. Putusnya Perkawinan Karena Syiqaq

Soemiyati menjelaskan bahwa syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut fiqh berarti perselisihan suami istri yang diselesaikan dua orang hakam (penengah) satu orang dari pihak suami dan satu orang dari pihak istri. Pengangkatan hakam kalau terjadi syiqaq ini merujuk pada Q.S An-Nisa ayat 35 yang artinya:” dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara kedua suami istri, maka utusnya seorang hakam dari keluarga laki-laki dan perempuan.

Tugas dan syarat orang yang boleh menjadi hakam menurut syekh abdul aziz al-khuli yang dikutip dari kamal muchtar adalah :

(a) Berlaku adil diantara pihak yang berpekara.

(b) Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami istri. (c) Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami istri.

(d) Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/ dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.

Syiqaq adalah tahap perselisihan atau pertengkaran berkepanjangan antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, baik karena adanya nusyuz diantara keduanya atau karena sebab lain yang bisa menyebabkan terjadinya pertengkaran, syiqaq dapat terjadi disebabkan oleh kedua pihak suami atau isteri atau salah satu dari keduanya, dalam hal syiqaq yang benar-benar sudah tidak dapat diatasi sehingga menurut pertimbangan para hakim yang mengurusnya perlu diadakan perceraian, karena dengan perceraian dianggap lebih menjamin kemaslahatan keduanya setelah perceraian. Adapun perceraian akan lebih bisa menyelamatkan suami istri dari penderitaan-penderitaan batin yang akan diderita apabila keduanya tetap bersama. Jadi, syiqaq adalah

(31)

21

menjadi alasan perceraian yang dilakukan dan atas adanya putusan hakim.18

2. Perceraian Menurut Hukum Positif Indonesia

Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara suami dan istri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri. Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.19.

Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-Undang perkawinan (Pasal 39 sampai Pasal 41) dan tentang tata cara perceraian dalam Peraturan Pelaksanaan (Pasal 14 sampai dengan Pasal 36) dapat ditarik kesimpulan adanya dua macam perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat.20

a. Cerai Talak

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, cerai talak tidak diatur dalam peraturan pundang-undangan yang berlaku, penyelesaiannya cukup dilaksanakan di Kantor Uruan Agama Kecamatan. Undang-Undang No 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 hanya mengatur tentang pencatatannya saja, tidak mengenai prosedurnya. Cerai talak baru diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam bagian-bagian sendiri dengan sebutan “cerai talak”, demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama lebih mempertegas lagi tentang keberadaan cerai talak ini. Jadi, Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 merupakan tonggak sejarah

18 Syaifuddin Muhamad, Turatmiyah Sri, Yahanan Annalisa, Hukum Perceraian, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2014, Ed. 1, Cet. 2, h. 128-129.

19Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h. 23

20K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), cet.5, h.

(32)

di mana cerai talak ini secara resmi diatur dalam peraturan tersendiri.21 Cerai talak merupakan perbuatan seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.

Dalam proses cerai talak ini, suami berkedudukan sebagai pemohon dan istri sebagai termohon. Setelah majelis hakim pengadilan agama berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan hukum perceraian, maka majelis hakim Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 70 UU No.7 Tahun 1989 menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Terhadap penetapan tersebut istri dapat mengajukan upaya hukum banding.

Setelah penetapan tentang pengabulan permohonan cerai talak tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, majelis hakim menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami sebagai pemohon dan istri sebagai termohon atau wakilnya untuk menghadiri sidang penyaksian ikrar talak tersebut. Dalam sidang penyaksian ikrar itu suami sebagai pemohon atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri sebagai pemohon atau kuasanya.22

Jika suami dalam tenggang waktu enam bulan sejak ditetapkannya hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah ketentuan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama. Akibat hukum yang terjadi setelah ikrar talak, yaitu: hubungan antara suami istri putus, istri

21 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,

2008), cet.2, h.18.

(33)

23

mempunyai hak idah selama 3 (tiga) bulan.23

Menurut ketentuan Pasal 149 Kompilasi dinyatakan sebagai berikut:24 Bilamana perkawinan putus karena cerai talak, maka bekas suami wajib:

1) Memberikan mutah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.

2) Memberikan nafkah, maskan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas istri selama dalam idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuhnya apabila qabla al-dukhul.

4) Memberikan biaya hadanah (pemeliharaan, termasuk didalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun.

b. Cerai Gugat

Yang dimaksud dengan cerai gugat adalah perceraian suami isteri yang inisiatif perceraiannya itu berasal dari istri.25 Pada kasus cerai gugat ini isteri berkedudukan hukum sebagai penggugat dan suami berkedudukan hukum sebagai tergugat. Isteri atau kuasanya dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal isteri, tetapi jika isteri meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin dari suami, maka gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal tergugat.

Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat baik kepada pihak suami-istri yang meliputi harta bersama dalam pekara perkawinan dan 23 Sulaikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. 3, h.129.

24Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.224.

25 Mesraini, “Putusan Pengadilan Agama tentang Hak Perempuan Pascacerai: Studi Atas

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2010” (Jakarta: Penelitian Individual Fakultas Syariah Dan Hukum, 2011), h. 40.

(34)

anak-anak yang lahir dalam perkawinan maupun terhadap pihak ketiga terhitung sejak tanggal jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap bagi mereka yang beragama Islam, dan bagi mereka di luar yang beragama Islam yang putusannya dijatuhkan oleh Pengadilan Umum, maka perceraian dianggap terjadi terhitung sejak tanggal hari pendaftaran putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.26 Kalau dimintakan banding oleh salah satu pihak atas putusan Pengadilan Agama itu maka putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum dan belum dapat dikukuhkan. Demikian pula kalau dimintakan kasasi.27

B. Tinjauan Umum Tentang Hadhanah 1. Hadhanah Tinjauan Hukum Islam

Secara etimologi Hadhanah mempunyai arti al-Janbu dalam bahasa Indonesia berarti disamping atau berada di bawah ketiak.28 Atau bisa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti menggendong atau meletakkan sesuatu dalam pangkuannya.29

Adapun menurut terminologi hadhanah yaitu orang-orang yang mempunyai hak dalam mendidik dan melayani anak kecil yang perlu pendidikan dan memperbaiki kepribadiannya karena belum bisa melakukannya sendiri.30 Kebutuhan anak dari aspek pendidikan, ekonomi dan semua kebutuhan anak menjadi kewajiban orang tua. Sehingga diskursus terkait hadhanah menjadi sangat penting dalam pemenuhan kepentingan

26

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: C.V Zahir, 1975), h.155.

27Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), cet.5, h. 121.

28 Eka Putra, Kompetensi Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Gugatan Perceraian dan

Hadhanah Menurut Hukum Positif (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sungai Penuh Nomor: 0062/PDT.G/2011/PA.SPN), (Jurnal Al-Qishthu Volume 14, Nomor 2 2016), h. 171. Lihat juga Ibnu Manzhur, Lisan al-Araby, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt), h. 911.

29 Satria Efendi, M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 166.

30Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2008), h. 114.

(35)

25

anak.31

Adapun dasar Hukum Islam terkait hadhanah terdapat dalam Surat at- Tahrim ayat 6

َأ و ليد ودن ن ل ل مة َتنولا ص َأ ْل نيْ ن و هيل ِ َن َ َِنن ه لات ب

و ه وو لت نتن ق ن ف ي ِ 32يمل َت م و وِ عت

َ و

هِ ُلل م م َ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan

Pada ayat di atas jelas Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Dan diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya untuk taat dan patuh kepada Allah. Karena keluarga merupakan amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani maupun rohani.33 Adapun jika ayah dengan ibu bercerai, anak tetap menjadi kewajiban bagi orang tua untuk

menjaganya, baik dari segi kesehatan anak maupun pendidikan rohaninya. Pihak-pihak yang mempunyai hak dalam pemeliharaan dan merawat anak ada urutannya. Dimulai dari jalur perempuan (Ibu), setelah itu pihak laki- laki, dan kakek sampai keatas, kemudian saudara dan anak-anaknya sampai kebawah, kemudian para paman dan anak-anaknya. Apabila semua urutan di atas tidak ada atau dari pihak laki-laki tidak ada, maka hadhanah dalam penguasaan ataupun kewajiban pemerintah.34

Ulama Mazhab mengurutkan urutan pihak-pihak yang paling mempunyai hak dalam pemeliharaan dan merawat anak, sebagai berikut: 31Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004) h. 293.

32Alquran Surat at Tahrim ayat 6

33Tafsir Kemenag

(36)

a. Hanafiyah mengurutkan pihak-pihak hadhin ialah dimulai ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, saudara perempuan, bibi dari jalur ibu, anak dari saudara perempuan, anak saudara laki-laki, bibi dari jalur ayah, kemudian ashabah sesuai dengan urutannya.

b. Malikiyah mengurutkan pihak-pihak hahdin ialah dimulai ibu, nenek dari jalur ibu, nenek dari jalur ayah ke atas, kemudia saudara perempuan, bibi dari ayah, dan putri dari saudara. Kemudia orang yang mendapat wasita untuk memeliharanya, dan bagian ashabah yang nanti akan dijelaskan.35 c. Syafi’iyyah mengurutkan pihak-pihak hadhin ialah dimulai ibu, ibunya ibu,

ibunya ayah, kakek dari ibu, saudara perempuan, bibi dari ibu, anak dari saudara perempuan, anak saudara laki-laki, bibi jalur ayah, kemudian orang yang termasuk mahram dan berhak mendapat warisan sebagai ashabah urutan warisan.

d. Hanabilah mengurutkan pihak-pihak hadhin ialah dimulai ibu, nenek dari jalur ibu, kakek dan ibunya kakek, kemudian saudara perempuan dari kedua orangtua, saudara perempuan dari ibu, saudara perempuan dari ayah, bibi dari jalur kedua orangtua, bibi dari jalur ibu, bibi dari jalur ayah, bibinya ibu, bibinya ayah, kemudian putri saudara lelaki, putri paman ayah, kemudia kerabat yang paling dekat.36

2. Hadhanah Tinjauan Hukum Positif

a. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Dalam hal kewajiban antara orang tua dan anak sudah dijelaskan secara umum dalam pasal-pasal di Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Berikut bunyi pasal-pasal yang mengatur mengenai kewajiban orang tua terhadap anak:

Pasal 45:

35 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, t.tp, tth,

h.216

(37)

27

1) Kedua orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2) Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut berlaku terus meskipun pernikahan antara kedua orang tua putus.37

Kedua orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anak hingga anak tersebut berumah tangga. Adapun jika orang tua anak bercerai sebelum ia menikah, maka kedua orang tua tetap memiliki kewajiban atas anaknya. Baik ayah maupun ibu memiliki kewajiban yang sama atas anak. Pasal 46:

1) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.

2) Jika anak yang telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuannya38

Pasal 47:

1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau yang belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.39

Pasal 48:

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila

37Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

38Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(38)

kepentingan anak itu menghendakinya.40 Pasal 49:

1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:

a) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b) Ia berkelakuan buruk sekali.

2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.41

Orang tua jika lalai dalam mendidik atau memelihara anaknya maka kuasa asuhnya bisa dicabut. Namun ia tetap memiliki kewajiban dalam hal finansial anak. Kuasa asuh bisa di cabut lewat proses pengadilan.

Dalam hal suami dengan isteri bercerai, bapak dan ibuk tetap memiliki kewajiban untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam undang-undang:

1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

2) Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

40Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(39)

29

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.42

b. Kompilasi Hukum Islam

Ketika bapak dan ibu becerai, hadhanah atau hadhanah dijelaskan dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi:

1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.43

Pada pasal di atas, apabila terjadi perceraian antara bapak dan ibu, anak yang belum mumayiz hak asuhnya ditetapkan kepada ibu kandungnya. Tolak ukur mumayiz di sini adalah anak yang usianya belum mencapai 12 tahun. Adapun aturan-aturan dalam Kompilasi hukum Islam di atas, materinya hampir keseluruhannya mengambil dari fiqh khususnya Syafi’iyah. Kemudian dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan terkait hadhonah anak yang orang tuanya bercerai:

1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a) Wanita-wanita garis lurus keatas dari ibu. b) Ayah.

c) Wanita-wanita garis lurus keatas dari ayah. d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

42Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(40)

e) Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ibu. f) Wanita-wanita kerabat menurut garis ke samping dari ayah. 2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau dari ibunya.

3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah juga;

4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurusi diri sendiri (21 tahun)

5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama yang memberikan putusan yaitu berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);

6) Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang turut padanya.44

Hadhanah wajib bagi kedua orang tuanya, sebagaimana wajib

memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Jadi anak yang diasuh akan terancam masa depannya apabila tidak dapat pengasuh dan pemeliharaan dari orang tua maka dari itu wajib bagi hadhin (pengasuh) untuk menjaganya.

44

(41)

31

C. Teori Maqhasid Syariah

Maqashid syariah terdiri dari dua kosa kata yaitu al-maqasid dan al-shariah. Al-maqasi adalah bentuk plural dari kata al-maqsad dari akar kata al-qasd. Secara

etimologi mempunyai makna jalan yang lurus (istiqamah al-tariq), tujuan yang paling utama (al-i’timad wa al-amm), sedangkan lawan kata dari al-qasd adalah al-jair (jalan yang menyimpamg).45 Syariah, secara etimologi bermakna jalan menuju mata air,

jalan menuju mata air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan46

Ibnu Ashur (w 1393 H/ 1973 M) memberikan definisi terkait maqashid syariah adalah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yaitu moderasi (al-wastiyah), toleran (al-tasamuli) dan holistik (al-shumul).47 Maqasid al-syariah hadir untuk mewujudkan

kebaikan dan menghindari keburukan atau mengambil manfaat dan menolak mudarat.48 Dari segi tujuan yang hendak dicapai, maslahah dibagi dalam dua

kelompok, yaitu:49

1. Mendatangkan manfaat kepada umat manusia, baik bermanfaat untuk hidup di dunia maupun akhirat.

2. Menghindarkan kemudaratan (bahaya) dalam kehidupan manusia, baik kemudaratan di dunia maupun akherat.

Pada prinsipnya maqashid syari’ah terbagi dalam tiga macam inti pokok:50

45Musolli, Maqasid Syariah: Kajian Teoritis dan Aplikatif Pada Isu-Isu Kontemporer, Jurnal At-Turas, Vol V, No. 1, Januari-Juni 2018, h. 62.

46Moh. Toriquddin, Teori Maqashid Syariah Perspektif Ibnu Ashur, Jurnal Ulul Albab Volume 14, No. 2 Tahun 2013, h. 195.

47Musolli, Maqasid Syariah: Kajian Teoritis dan Aplikatif Pada Isu-Isu Kontemporer, h. 63. 48Arne Huzaimah & Syaiful Aziz, Urgensi Penerapan Lembaga Dwangsom pada Perkara Hadhanah di Pengadilan Agama dalam Perspektif Maqashid al-Syari’ah, Jurnal Al-‘Adalah, Vol. 15, Nomor 1, 2018, h. 141.

49Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet. IV, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Prenada Media Group, 2008), 233

50Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2013), h. 108-109.

(42)

1.

Maqashid daruriyyat ialah kepentingan esensi dalam kehidupan. Diantaranya

adalah Memelihara agama (hifzh ad-din),

a.

Memelihara jiwa (hifzh an-nafs, b.

Memelihara akal (hifzh al- aql), c.

Memelihara keturuanan (hifzh an-nasl) d.

Memelihara harta (hifzh al-maal). e. Kebutuhan ad-daruriyyah adalah kebutuhan yang mendasar yang

menyangkut dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima tujuan syariah. Kelima tujuan syariah itu adalah dengan memelihara agama (hifzh

ad-din),, memelihara jiwa (hifzh an-nafs, akal (hifzh al- aql), keturuanan (hifzh an-nasl), dan harta (hifzh al-maal).

Menurut imam asy- Syathiby, di kelima hal inilah agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan apabila dipelihara akan mendapatkan kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi. Kelima unsur ini disyariatkan Allah

SWT dalam firmannya surat al- Mumtahanah ayat 12 yang berbunyi: َ َ َ َ َ ل نا ىۖلع ك نع يابيُ ُتۖنم َِ ؤملا كءۖاج اذاِ يبنلا اهيا َ َُ ۖي ا ۖي َ َ َُ َِ َ َ َُ َِ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َُ اب نكرشي َُ ي َ ش ِۖللۖ نلتقي لو ني ن ِزي لو نقر سي لو ا ۖـ ناته بُب ني تِأي لو نهد لو ا َِ َِ َِ َ َ َ َِ َ َ َ َ َ َ َ ا ني ب ه ني رِت في نهِي دِي َ نهِل َُِجر او يفِ ك ني َ ِصع ي لو َ ۖللۖا نهُل ر فِغت َ ساو نهُع َِياب ف فو رُع م َ َُ مي ح ِر روف غ ۖللۖا نا َِ َ َ Artinya: “Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang

kepadamu untuk mengadakan bai‘at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka

(43)

dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

(44)

Para ahli ushul fikih menyatakan bahwa adapaun kasus yang dijelaskan dalam ayat tersebut setuju kepada wanita, akan tetapi hal itu juga berlaku bagi kaum laki-laki. 51

Kelima dharuriyyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia, karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.52

2. Maqashid al-hajjiyat ialah kepentingan esensial di bawah derajat daruriyyat, tujuannya untuk menghilang kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi.

3. Maqashid al-tahsiniyah (kepentingan pelengkap), yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya. Menurut al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma akhlak. 53

51Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1109

52Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, cet. IV, Jilid 2, (Jakarta: Prenada Prenada Media Group, 2008), 233

(45)

BAB III

DESKRIPSI PUTUSAN HADHANAH NOMOR 402/PDT.G/2019/PA.JS

A. Posisi Kasus

Perkara Nomor 402/PDT.G/2019/PA.JS merupakan perkara hadhanah atau pemeliharaan anak. Penggugat dengan Tergugat merupakan mantan suami isteri yang sudah resmi bercerai sebelumnya. Bahwa, Penggugat dengan Tergugat telah resmi bercerai sebagaimana tertera dalam Akta Cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0750/Pdt.G/2018/PA.JS, yang diputuskan pada tanggal 24 April 2018.

Sejak awal terjadinya perceraian, anak berada di bawah pengasuhan ibu kandung yang dalam hal ini selaku Penggugat. Namun pada suatu hari, Tergugat membawa izin anak untuk diajak pergi jalan-jalan. Akan tetapi, Tergugat tidak mengembalikan anak tersebut kepada ibu kandung yang dalam hal ini selaku Penggugat.

Penggugat yang merasa tidak mendapatkan keadilan, karena Penggugat selalu dibatasi oleh Tergugat jika ketemu dengan anak. Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, karena berdasarkan aturan perundang-undangan mengenai kewenangan relatif, dalam hal perkawinan, gugatan diajukan ditempat pihak isteri bertempat tinggal. Dalam persidangan, Peggugat dan Tergugat menghadap masing-masing dan tidak menggunakan jasa advokat.

B. Duduk Perkara

Setiap gugatan diajukan ke Pengadilan Agama, para pihak harus menjelaskan dalil-dalil gugatan. Maksud dalil gugatan atau posita adalah alasan-alasan yang menjadi keberatan bagi para pihak.

1. Posita

a) Bahwa pada Tanggal 24 Oktober 2013 telah berlangsung pernikahan antara Penggugat dan Tergugat, dihadapan Pejabat Pencatat Nikah

Referensi

Dokumen terkait

Pada perkara ini dapat disimpulkan Penggugat telah berhasil membuktikan dalil gugatannya, sedangkan Tergugat I tidak berhasil untuk membuktikan dalil bantahannya,

Akan tetapi, jika ternyata terpaksa harus menggugat, menjadi tergugat atau menjadi turut tergugat dalam perkara perdata, maka untuk menghindar dari proses pemeriksaan di

Menimbang, bahwa alasan yang dijadikan dasar Penggugat mengajukan gugatannya bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah dan telah bercerai berdasarkan

Oleh karena itu, yang lebih rajih adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa hak hadhanah dikembalikan kepada ibu apabila ia telah bercerai dengan suami

Menimbang, bahwa saksi-saksi tersebut menerangkan bahwa Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami isteri yang sah, meskipun pada awalnya Penggugat dan Tergugat telah hidup

Menimbang, bahwa persoalan pokok dalam perkara ini adalah Penggugat mengajukan gugatan cerai terhadap Tergugat dengan alasan Penggugat dan Tergugat sebagai

Bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah Penggugat menuntut melalui pengadilan ini agar Penggugat dapat bercerai dari Tergugat dengan alasan

414/Pdt/2020/PT SMG, Hakim mengadili dan memutuskan pokok-pokok perkara, yaitu: 1 Menerima permohonan banding dari yang semula Penggugat; 2 Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Kudus