• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Potensi Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

MELALUI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS)

TESIS

Oleh

DELINA SIREGAR

077011010/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

POTENSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN

MELALUI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program

Studi Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara

OLEH

DELINA SIREGAR

077011010/M.Kn

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : POTENSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS)

Nama Mahasiswa : Delina Siregar Nomor Pokok : 077011010 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 13 Agustus 2009

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Bahwa sengketa tanah kian meluas dan menjadi headline sebagian besar media massa, hal itu tidaklah dapat diabaikan tanpa dicarikan jalan penyelesaiannya. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, perlu terobosan baru di bidang hukum, khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Caranya adalah menerapkan mekanisme alternatif dalam penyelesaian sengketa yaitu dengan mekanisme penyelesaian sengketa di luar Pengadilan atau yang biasa disebut sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), dengan kriteria untuk perkara-perkara yang pembuktiannya mudah. Bentuk APS tersebut adalah melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Apabila permasalahan pertanahan dapat diselesaikan secara tuntas, maka pelayanan kepada masyarakat, Instansi Pemerintah dan Badan Hukum lainnya akan lancar, sehingga kepastian hak atas tanah dapat terlaksana dengan baik dan mereka merasa berbahagia apabila tanah yang dikuasainya memperoleh kepastian hukum.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya penelitian ini hanya ingin mengumpulkan data, menganalisa, menyusun, mengklarifikasi, serta menyajikan sehingga ditemukan gambaran yang jelas mengenai potensi penyelesaian sengketa pertanahan melalui APS. Metode pendekatan penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, artinya penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang kemudian dianalisis dengan doktrin dari para sarjana hukum.

(6)

ABSTRACT

The land affairs lawsuit is extended and to be the headline of the big scale mass media. This condition must not be neglected but it needs a solution. The case requires a new effort in law field especially on the procedure of the lawsuit settlement. One of them is the application of alternative procedure in the lawsuit settlement by the lawsuit settlement out of the court or known as Alternative Dispute Resolution (ADR) for the case that easy for proof. The forms of ADR are consultation, negotitation, mediation, conciliation, or expert opinion. If the land affair lawsuit can be settled completely, the service for society, government institutions and another corporate body will implemented smoothly and to provide the land with right certainty and the people will happy for the law certainty on their owned land.

This research is a descriptive analysis in which only to collect data, analyze, arrange, clarifies and present the data to get a clear description about the potency of settlement of land affair lawsuit by ADR. The approach method applied in this study is a normative jurisdiction study in which this study was conducted by the library research or by using secondary data and then be analyzed by the doctrine of the law experts.

That land affairs lawsuit always cause bad feeling for any sides. There is a true and win in one side and wrong in another one. The same position of both of sides is not found. By the ADR, the lawsuit settlement will satisfy and accepted by both of sides. In addition, ADR will formulate a win-win solution, to assure the secrecy of both of parties, the delay will avoid caused by the procedural and administration process, and the case is settled comprehensively in the mutual agreement and build a closed relationship.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan baraqah-Nya yang beriman. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah pada junjungan kita Rasullullah Muhammad SAW, saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Potensi Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)”.

Dalam penulisan tesis ini, banyak kendala yang penulis alami disebabkan karena kemampuan penulis dan data yang tersedia juga terbatas. Tetapi berkat keuletan dan ketabahan penulis serta bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat juga saya selesaikan tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp. A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan.

(8)

5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing, selama penyusunan

atau penulisan tesis ini yang dengan tulus ikhlas dan penuh kesabaran selalu bersedia memberi pengarahan dan bimbingan sampai selesainya tesis ini.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN, MHum dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Komisi Penguji yang telah memberikan saran dan kritiknya terhadap tesis saya.

7. Bapak Oloan Pasaribu selaku Kepala Subseksi Perkara Pertanahan dan Bapak M. Ridwan selaku Kepala Subseksi Sengketa dan Konflik Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Medan yang telah mengizinkan saya untuk melakukan penelitian dan telah memberikan informasi dan data-data yang saya butuhkan dalam penulisan tesis ini.

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan staf pengajar Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada saya dari semester I sampai dengan semester IV serta seluruh staf atas kerjasamanya selama ini.

9. Ayah dan mama saya tercinta ”H. Syahruddin Yardin Siregar dan Hj. Kusmartinjung”, kakak saya tercinta ”Dida Safira Siregar, SE beserta

(9)

10.Kepada sahabat-sahabat dan rekan-rekan yang saya sayangi Heni, Leli, Dewi, Kak Wati, Kak Ismi, Kak Dewi ”Jilbab”, Kak Neva, Kak Myrna, Kak Artha, Kak Lenni, Bang Raymon, Jagjit, Reza, Belinda, Bang Andi Hakim, Bang Fendi, Juli, Novi, Intan, Syari, Bang Juni, Kak Fatma, Afni, Mimie, Kak Dewi ”Bule", Zul, Kak Rita, Bang Zaki, Bang Edi, Bang Zul, Bang Agam, Eva, Melda, Kak Erin, dkk, yang belum disebutkan namanya satu persatu yang selalu setia memberikan motivasi, dorongan dan doa demi berhasilnya tesis ini, semoga persahabatan kita selalu kekal selamanya.

Kepada semua pihak yang telah disebutkan di atas, saya ucapkan terima kasih dan semoga mendapat balasan dari Allah SWT di kemudian hari. Akhir kata, saya berharap agar apa yang saya sajikan dalam tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin...

Billahittaufiq wal hidayah. Wassallamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, 13 Agustus 2009

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI :

Nama : Delina Siregar, SH

Tempat/Tanggal Lahir : Cilacap/27 September 1982

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Pegawai Swasta II. DATA ORANG TUA :

Nama Ayah : H. Syahruddin Yardin Siregar Nama Ibu : Hj. Kusmartinjung

III. PENDIDIKAN :

1. SD : SDN Sidanegara VII Cilacap-Jawa Tengah Tahun- 1988-1994

2. SMP : SMP Swasta Pertiwi Medan Tahun 1994-1997 3. SMU : SMU Swasta Dharmawangsa Medan Tahun 1997- 2000

4. S1 : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah- Sumatera Utara Medan Tahun 2000-2004

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK --- i

ABSTRACT --- ii

KATA PENGANTAR --- iii

RIWAYAT HIDUP --- vi

DAFTAR ISI --- vii

DAFTAR LAMPIRAN--- x

BAB I : PENDAHULUAN--- 1

A. Latar Belakang --- 1

B. Perumusan Masalah --- 13

C. Tujuan Penelitian --- 14

D. Manfaat Penelitian --- 14

E. Keaslian Penelitian--- 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsional --- 15

1. Kerangka Teori--- 15

2. Konsepsional --- 30

G. Metode Penelitian--- 32

1. Sifat Penelitian --- 32

2. Metode Pendekatan Penelitian --- 32

(12)

4. Alat Pengumpulan Data--- 34 5. Analisis Data --- 34 BAB II : DASAR HUKUM PENERAPAN ALTERNATIF

PENYELESAIAN SENGKETA (APS) SEBAGAI BENTUK

PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PERTANAHAN 35 A. Penyelesaian Secara Damai Oleh Para Pihak Menurut Pasal 130

HIR/154 RBG --- 35 B. Penyelesaian Masalah Berkenaan dengan Bentuk dan Besarnya

Ganti Kerugian dalam Kegiatan Pengadaan Tanah Diupayakan Melalui Musyawarah Menurut Peraturan Presiden Nomor 36

Tahun 2005 Sebagaimana Diubah dengan Peraturan Presiden

Nomor 65 Tahun 2006 --- 45 C. Penyelesaian Sengketa Melalui APS Menurut Peraturan

Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan

Nasional (BPN) --- 55

BAB III : PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) --- 62 A. Keberadaan Peradilan Pertanahan dalam Konteks Penegakan

Supremasi Hukum di Indonesia Melalui Pembentukan

(13)

B. Permasalahan Tanah dan Kewenangan Pertanahan/Seksi

Sengketa, Konflik dan Perkara --- 76

C. Pelembagaan APS Penerapan Mediasi di Pengadilan --- 94

BAB IV : KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN --- 121

A. Keuntungan APS dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan -- 121

B. Kelemahan APS dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan -- 129 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN --- 132

A. Kesimpulan --- 132

B. Saran --- 134

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda di antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Adapun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut, maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masyarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara dua pihak atau lebih yang salah satu pihak melakukan wanprestasi.

(15)

Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Khusus berkenaan dengan sengketa di bidang pertanahan, penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan sangatlah relevan. Hal itu disebabkan karena 2 (dua) hal: Pertama, pada saat kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan sedemikian merosot, maka penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui cara-cara perundingan, mediasi, arbitrase, dan sebagainya, merupakan jalan keluar yang sangat bermanfaat. Kedua, sengketa di bidang pertanahan merupakan jenis sengketa yang menempati urutan paling atas dari volume pengaduan yang diterima oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Bahwa dari 4.048 (empat ribu empat puluh delapan) perkara kasasi yang diajukan penyelesaiannya di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia selama tahun 2001 (dua ribu satu) sebanyak 2.066 (dua ribu enam puluh enam) kasus adalah kasus sengketa tanah. Suatu jumlah kasus yang fantastis dan perlu ditindaklanjuti.1 Di samping itu, kemungkinan masih ada lagi kasus sengketa tanah yang belum atau tidak diangkat ke permukaan. Tetapi di lain pihak MA mempunyai jumlah hakim agung yang sangat terbatas, sehingga kesulitan untuk

1

(16)

menyelesaikan kasus-kasus yang ada, dan juga kasus yang masuk ke MA dengan berjalannya waktu.

Demikian besarnya kasus sengketa tanah yang ada, tidaklah dapat diabaikan tanpa dicarikan jalan penyelesaiannya. Karena kasus dan konflik tersebut akan dapat menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja dan berakibat buruk bagi stabilitas bangsa Indonesia. Hal ini, setidaknya menunjukkan bahwa dari segi kuantitas kasus tanah memang banyak terjadi dalam berbagai varian, di samping itu ada kecenderungan dari masyarakat menaruh harapan agar sengketa dapat diselesaikan dengan menjadikan semua pihak yang terlibat sebagai pemenang (win-win solution) yang terkadang memerlukan uluran tangan pihak ketiga netral untuk membantu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan sengketa.

(17)

kekayaan alam yang terkandung didalamnya.2 Apabila dilihat dari fungsi hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah juga didasarkan pada prinsip bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Artinya, seseorang tidak mempunyai kewenangan mutlak untuk menggunakan hak atas tanah atau tidak dengan sehendak hatinya, apabila jika hal itu merugikan orang lain. Apabila kepentingan terhadap tanah lebih besar (yakni kepentingan umum dan kepentingan masyarakat luas) maka harus diberlakukan fungsi sosial terhadap hak atas tanah tersebut (yakni kepentingan individu dikorbankan demi kepentingan umum).

Jadi, prinsip kepemilikan atas tanah menurut UUPA di samping menghormati hak-hak individual juga memerhatikan kepentingan yang lebih luas dengan menentukan adanya fungsi sosial dari suatu hak atas tanah. Dengan konsep hak menguasai negara dan hak atas tanah berfungsi sosial, maka negara mendapat legitimasi untuk melakukan pencabutan hak atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat. Namun, kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA, berbagai konflik seputar tanah kerap terjadi. Amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.

2

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

(18)

Di perkotaan, sengketa tanah umumnya dipicu oleh meningkatnya arus urbanisasi, pembangunan proyek-proyek infrastruktur berskala besar, politik pertanahan seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek komersial banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin di perkotaan. Di daerah kaya mineral, konflik terus terjadi antara masyarakat adat dan pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi (perlawanan/perizinan). Di wilayah transmigrasi, antara transmigran dan masyarakat lokal. Di kawasan hutan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan perkebunan besar dan masyarkat adat. Di desa, alih fungsi lahan untuk proyek-proyek seperti waduk atau tempat latihan militer menjadi masalah yang kerap terjadi.3

Mencuatnya kasus-kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan kenyataan bahwa selama Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. UUPA baru sebatas menandai dimulainya era baru kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan individual. Secara garis besar, tipologi sengketa pertanahan dapat dipilah menjadi 5 (lima) kelompok yaitu :4

3

Sri Hartati Samhadi, Reformasi Agraria Yang Setengah Hati, Kompas, Tanggal 30 Juni 2007.

4

Maria S.W. Sumardjono, dkk., Mediasi Sengketa Tanah, Potensi Penerapan Alternatif

Penyelesaian Sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2008),

(19)

1. Kasus-kasus berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan lain-lain,

2. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform,

3. Kasus-kasus berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan,

4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah, 5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.

Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, data di Badan Pertanahan Nasional (BPN) selama tahun 2008, menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 7.491 (tujuh ribu empat ratus sembilan puluh satu) kasus konflik sengketa tanah.5 Sebanyak 165 (seratus enam puluh lima) kasus di antaranya terindikasi tindak pidana. Jumlah permasalahan tanah tersebut meliputi sengketa, konflik, dan perkara seluruh Indonesia. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 7.491 (tujuh ribu empat ratus sembilan puluh satu) kasus itu tersebar di seluruh Indonesia dalam skala besar. Yang berskala kecil, jumlahnya lebih besar lagi. Untuk menyelesaikan masalah tersebut BPN sedang menyelesaikannya dengan cara 2 (dua) jalur, yaitu secara sistematik dan ad hoc. Dijelaskannya, secara sistematik, saat ini BPN dalam proses melakukan penataan proses hukum pertanahan dan kelembagaan untuk menangani kasus-kasus sengketa tanah. Sedangkan secara ad hoc, BPN sudah memiliki deputi baru yaitu Deputi Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan.

Berbagai sengketa pertanahan itu telah mendatangkan berbagai dampak baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara ekonomi, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian

5

Kurniawan Tri Yunanto, Pemalsuan Sertifikat Tanah Direktur Sengketa Badan Pertanahan

(20)

sengketa itu, maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Dalam hal ini dampak lanjutan yang potensial terjadi adalah penurunan produktivitas kerja atau usaha karena selama sengketa berlangsung, pihak-pihak yang terlibat harus mencurahkan tenaga dan pemikirannya, serta meluangkan waktu secara khusus terhadap sengketa sehingga mengurangi curahan hal yang sama terhadap kerja atau usahanya.

Dampak sosial dari konflik adalah terjadinya kerenggangan sosial di antara warga masyarakat, termasuk hambatan bagi terciptanya kerja sama di antara mereka. Dalam hal konflik terjadi antar instansi pemerintah, hal itu akan menghambat terjadinya koordinasi kinerja publik yang baik. Dapat juga terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berkenaan pelaksanaan tata ruang. Di samping itu, selama konflik berlangsung, ruang atas suatu wilayah dan atas tanah yang menjadi obyek konflik biasanya berada dalam keadaan status quo6 sehingga ruang atas tanah yang bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya adalah terjadinya penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak.

UUPA kini sudah memasuki usia ke-49 (empat puluh sembilan) tahun. Jika dilihat semangatnya, UUPA kala itu diundangkan sebagai langkah untuk mengakhiri timbulnya dualisme pertanahan, yakni dimilikinya hak erpahct (sekarang disebut Hak

6

(21)

Guna Usaha) oleh para pengusaha Belanda, yakni hak menyewa tanah dalam jangka panjang, tapi dilarang membeli. Dengan hak erpahct tersebut, para pengusaha Belanda kemudian mulai membuka perkebunan. Hak erpahct ini diberikan berdasarkan Agraris Wecht atau Undang-Undang Agraria Belanda. Sementara itu dalam perkembangannya kemudian, pada tahun 1957 (seribu sembilan ratus lima puluh tujuh) pemerintah Indonesia menasionalisasi semua lahan bekas perkebunan Belanda, dan diklaim sebagai tanah negara. Padahal, sebelumnya para pengusaha Belanda itu sudah menyerahkan lahannya untuk digarap penduduk setempat.

Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1960 (seribu sembilan ratus enam puluh), pemerintah mengeluarkan UUPA, yang salah satu amanatnya adalah menginstruksikan landreform (pembagian tanah) secara merata kepada para petani penggarap. Namun, kenyataannya UUPA belum dilaksanakan secara konsisten (konsekwen). Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa perdata, pada umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan dengan dampak sebagaimana diuraikan di atas. Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform menunjukkan perlunya peningkatan penegakan hukum di bidang landreform sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang melandasinya.

(22)

yang dipimpin atau diprakarsai oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak. Pilihan penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/mediasi ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan yang tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran/tenaga. Di samping itu, kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang melingkupinya, membuat pengadilan merupakan pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.

Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution (sebagai pemenang). Upaya untuk mencapai win-win solution itu ditentukan oleh beberapa faktor :7

1. Proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan, bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak. Apabila kepentingan yang menjadi fokusnya, pihak-pihak akan lebih terbuka untuk berbeagai kepentingan. Sebaliknya, jika tekanannya pada kedudukan, para pihak akan lebih menutup diri karena hal itu menyangkut harga diri mereka.

2. Kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lainnya.

Bagi Indonesia, penyelesaian secara musyawarah mufakat semacam itu memperoleh dukungan akar budaya yang hidup dan dihormati dalam lalu lintas

7

(23)

pergaulan sosial. Hanya saja, pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisonal melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga keharmonisan kelompok dan kadang-kadang mengabaikan kepentingan dari pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di lingkungan masyarakat tradisional bervariasi, yaitu melalui mediasi dan arbitrase. Dalam kasus tertentu, mediasi dipandang lebih efektif, sedangkan dalam sengketa yang lain arbitrase akan memberikan penyelesaian yang lebih baik.

Di bidang pertanahan, belum ada suatu peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit (dengan tegas) memberikan dasar hukum penerapan APS. Namun demikian, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menumbuhkembangkan lembaga APS di bidang pertanahan berdasarkan dua alasan8 : Pertama, di dalam setiap sengketa perdata yang diajukan di pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR/154 RBg). Kedua, secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan dengan bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah diupayakan melalui musyawarah. Dalam perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007.

8

(24)

Dalam kasus pendudukan rakyat atas tanah-tanah perkebunan,9 diatur lebih lanjut salah satunya dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 yang menyatakan Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 (dua) hektar. Kemudian dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 diatur mengenai batas maksimum kepemilikan hak atas tanah pertanian, dengan ketentuan batas maksimum 15 (lima belas) hektar untuk tanah sawah atau 20 (dua puluh) hektar untuk tanah kering tergantung pada jumlah penduduk, luas daerah, dan faktor-faktor lainnya. Akan tetapi dalam kenyataannya, hingga saat ini masih banyak petani yang memiliki lahan pertanian dengan luas kurang dari 2 (dua) hektar bahkan ada yang tidak mempunyai tanah sama sekali. Juga sangat banyak tuan tanah yang sebenarnya bukan petani, melainkan hanya memiliki tanah melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960. Maka dalam Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya juga diisyaratkan cara penyelesaian melalui musyawarah terlebih dahulu antara para pihak, yakni pemegang hak guna usaha dan masyarakat yang menduduki dan menggarap tanah perkebunan tersebut.

Dengan berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui APS secara implisit (terkandung didalamnya) dimuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10

9

(25)

Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam praktik, penyelesaian sengketa pertanahan melalui APS, khususnya mediasi menunjukkan kecenderungan bahwa hal itu telah memperolah tempat di kalangan masyarakat. dalam lingkup formal, BPN melalui Perpres Nomor 10 Tahun 2006 telah membentuk Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan konflik Pertanahan dalam struktur organisasinya. Untuk teknis pelaksanaannya, BPN telah menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi. Pembentukan kedeputian tersebut menyiratkan 2 (dua) hal:10 Pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk penanganannya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan.

Dengan adanya kelembagaan ini, diharapkan dapat memahami persoalan– persoalan pertanahan yang ada di seluruh Indonesia. Sebenarnya Kedeputian ini hanya berumur 10 (sepuluh) tahun saja, tetapi melihat karakteristik dan persoalan 7.491 (tujuh ribu empat ratus sembilan puluh satu) kasus nampaknya susah untuk dicapai, karena banyak sekali kasus-kasus yang lahir dari sengketa pertanahan di tanah air ini, yakni sengketa-sengketa tahun 60-an (enam puluhan), 70-an (tujuh

10

(26)

puluhan) dan 80-an (delapan puluhan) dan hingga saat ini masih belum selesai, dan pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan beragam, dimana sengketa tersebut bisa lahir secara alamiah dan tidak sedikit yang lahir karena rekayasa, dan rekayasa-rekayasa inilah yang sebenarnya menjadikan persoalan-persoalan pertanahan menjadi semakin kompleks di seluruh tanah air.

Untuk menangani sengketa dan konflik pertanahan BPN mempunyai 2 (dua) skema besar yang dikembangkan yakni kelompok yang pertama adalah penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan secara sistimatik. Penanganan ini dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, pendekatan yang pertama melalui penataan politik dan hukum pertanahan yang memang relatif terlambat dibanding perkembangan masyarakat Indonesia, dan yang kedua melalui reforma agrarian, yang menangani sengketa-sengketa dan konflik-konflik pertanahan yang ada sekarang. Sementara itu, pembentukan tim ad hoc (Tim Penanganan Masalah Pertanahan) terpadu ini merupakan perwujudan komitmen pemerintah dalam mensinergikan dan menuntaskan penanganan perkara, sengketa dan konflik pertanahan yang sekarang ini marak kembali dan menghambat pelaksanaan pembangunan nasional.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam tesis ini berisikan antara lain :

(27)

2. Bagaimana sengketa tanah dapat diselesaikan melalui APS ?

3. Bagaimana keuntungan dan kelemahan APS dalam menyelesaikan sengketa pertanahan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun beberapa tujuan penelitian dari tesis ini yaitu :

1. Untuk mengetahui dasar hukum penerapan APS sebagai bentuk penyelesaian sengketa di bidang pertanahan.

2. Untuk mengetahui sengketa tanah dapat diselesaikan melalui APS.

3. Untuk mengetahui keuntungan dan kelemahan APS dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.

D. Manfaat Penelitian

Penulisan ini memiliki beberapa manfaat, yaitu :

(28)

2. Segi praktis : Dengan penulisan ini diharapkan penyelesaian sengketa tidak lagi terpusat pada lembaga peradilan sehingga tidak lagi terjadi penumpukan perkara. Selanjutnya masyarakat dapat merasakan manfaat dari pemberdayaan mekanisme potensi penyelesaian sengketa pertanahan melalui APS dan diharapkan penyelesaian sengketa dapat dilakukan lebih efektif, efisien, murah, serta nilai konfidensial tetap terjaga.

E. Keaslian Penelitian

Setelah dilakukan pengamatan terhadap tesis dan disertasi yang ada di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, sepanjang yang diketahui belum ada suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Pasca Sarjana ataupun orang lain yang membahas tentang “Potensi Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)”. Dengan demikian, penelitian ini benar-benar asli dan bukan hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan orang lain. F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu cara untuk mengklarifikasikan fakta, sehingga kesemua fakta tersebut dapat dipahami sekaligus.11 Di dalam proses penelitian, apabila dijumpai kesulitan untuk membentuk teori atau mencari teori agar dapat menyusun kerangka teori, maka ditempuh cara menyusun model-model teoritis.

11

(29)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori yang mungkin ia setujui atau pun tidak disetujui, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti.12 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan pada kerangka acuan hukum.

a. Sengketa Tanah dan Permasalahannya

Beberapa waktu yang lalu kasus sengketa tanah menjadi headline sebagian besar media massa. Penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sangat bervariasi antara lain :13

1) Harga tanah yang meningkat dengan cepat.

2) Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan atau haknya.

3) Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.

Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut di

12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80. 13

(30)

atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons atau reaksi atau penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah).

Sengketa tanah atau sengketa hak atas tanah adalah timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.14 Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain :15

1) Masalah atau persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya,

2) Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata),

3) Kekeliruan atau kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar,

4) Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis).

Suatu masalah dapat bersifat teknis semata-mata yang penyelesaiannya cukup berupa petunjuk-petunjuk teknis atau instruksi dinas yang biasanya merupakan cara pemecahan apabila sesuatu aparat pelaksana menemukan kesulitan teknis peraturan. Ini adalah fungsi dari Bimbingan Teknis, akan tetapi apabila yang mengajukan usul tersebut seorang warga masyarakat yang merasa dirugikan oleh karena suatu

14

Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah (Bandung : Penerbit Alumni, 1991), hlm. 22.

15

(31)

penetapan seorang pejabat, misalnya seorang pemohon hak milik ternyata hanya dikabulkan dengan Hak Guna Bangunan atau hak lain, maka ini adalah tugas Pelayanan Masyarakat yang merupakan fungsi penyelesaian sengketa hukum atau masalah hak-hak atas tanah.

Setelah sengketa tanah kian meluas, reformasi agraria menjadi wacana lagi, antara lain bagaimana menciptakan lembaga BPN sebagai garda terdepan dalam urusan pertanahan nasional. Kinerja BPN pun menjadi gunjingan banyak pihak. Hingga kini tidak sedikit keluhan yang disampaikan publik terhadap kinerja BPN baik di pusat maupun daerah. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan mengamanatkan kepada BPN untuk merevisi UUPA, menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) hak atas tanah serta peraturan perundang-undangan lain di bidang pertanahan.

(32)

1999 tentang Otonomi Daerah (Otda), semakin menyulitkan penanganan masalah pertanahan di Indonesia. Karena dengan bergulirnya otonomi daerah (otda), tidak sedikit kewenangan pusat yang menyangkut pertanahan dilimpahkan ke daerah.

Dikeluarkannya Perpres Nomor 10 Tahun 2006, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mempertegas keberadaaan lembaga BPN agar lebih berdayaguna, ternyata malah menimbulkan kontroversi (perbedaan pendapat). Sebagian kalangan memandang Perpres tersebut mengalihkan kembali kewenangan pertanahan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan hal itu dinilai sangat bertentangan dengan substansi otonomi daerah.

(33)

Adapun hal baru dalam struktur BPN, yakni adanya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, semestinya dipandang sebagai langkah maju, mengingat keberadaan struktur ini demikian penting dalam menjawab segala persoalan di bidang pertanahan, khususnya dalam penanganan sengketa/konflik. Dan jika selama ini dalam setiap kasus tanah posisi rakyat selalu lemah, maka keberadaan Perpres ini sebenarnya cukup mengakomodasi peran masyarakat di dalamnya, yakni dengan dibentuknya Komite Pertanahan yang keanggotaannya berasal dari kalangan tokoh masyarakat yang peduli terhadap segala permasalahan di bidang pertanahan, juga para pakar di bidang pertanahan.

Keberadaan Komite Pertanahan ini diharapkan dapat lebih menggali dan memberi masukan kepada BPN dalam merumuskan setiap kebijakan yang akan dikeluarkan. Yang terpenting kemudian adalah bagaimana semua itu bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan. Mengingat hingga saat ini masih ada sekitar 7.491 (tujuh ribu empat ratus sembilan puluh satu) kasus sengketa tanah skala besar yang belum selesai dan itu menghambat penyelesaian pendaftaran dan pemberian hak atas tanah. BPN menyatakan dari 85 (delapan puluh lima) juta bidang tanah di Indonesia, baru sekitar 30 (tiga puluh) persen yang terdaftar dan diberikan hak atas tanah.16 Jumlah 30 (tiga puluh) persen itu pun masih belum sempurna karena banyak sengketa tanah mengenai tapal batas dan tumpang tindih area. Jika tidak

16

(34)

segera ada perbaikan, barangkali 100 (seratus) tahun lagi baru bisa menyelesaikan yang 70 (tujuh puluh) persen itu.

Dari keterangan di atas, jelas terlihat bahwa problematika pertanahan kerap terjadi dan melibatkan berbagai sektor. Tidak hanya itu, sengketa kewenangan dalam bidang pertanahan yang melibatkan instansi pemerintah sejak berlakunya era otonomi daerah dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi isu yang patut dicermati. Dalam hal kewenangan bidang pertanahan, pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 200417 yang memberikan kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri menimbulkan beragam intepretasi tentang kewenangan bidang pertanahan.18

Perlu disadari bahwa pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada daerah kabupaten/kota ini merupakan suatu perubahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional,19 namun tetap harus memerhatikan kesesuaian peraturan sehingga tidak menimbulkan permasalahan baru yang lebih kompleks.

17

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Revisi tersebut tidak banyak merevisi tentang masalah pertanahan. Hanya satu Pasal yang menyatakan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya penjelasan mengenai pelayanan pertanahan tersebut. Indonesia,

Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, LN Nomor 125

Tahun 2004, TLN Nomor 4437. 18

Ibid., Pasal 1. 19

(35)

Berdasarkan rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota di antaranya adalah pelayanan pertanahan. Undang-Undang ini tidak memberikan penjelasan seperti apa bentuk dan mekanisme pelayanan pertanahan sehingga menimbulkan interpretasi (penafsiran) yang beragam.

Dalam Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, pemerintah daerah meminta pemerintah memberi kewenangan bidang pertanahan kepada daerah sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di sisi lain, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2006 yang memberi kewenangan penuh kepada BPN yang tercermin dalam Pasal 2 Perpres tersebut yang menyebutkan bahwa BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral.20

Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tersebut diyakini oleh kalangan pemerintah daerah sebagai peraturan yang tidak mencerminkan semangat otonomi daerah. Oleh karena itu, Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia merekomendasi prakarsa pengajuan konsep perubahan UUPA agar selaras dengan asas desentralisasi (pendaerahan pemerintahan/pemberian wewenang oleh pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur daerahnya sendiri), demi menampung tuntutan

20

(36)

pelayanan pertanahan akibat perkembangan jumlah penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan tata ruang, kepastian hak-hak atas tanah, termasuk hak ulayat/adat.21

Munculnya permasalahan itu setidaknya terkait dengan pemahaman yang salah dalam memahami ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan. Pemerintah yang dimaksud dalam konteks ini meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Terbitnya beberapa peraturan yang terkait dalam bidang pertanahan memunculkan interpretasi (penafsiran) yang beragam tentang hal-hal apa saja yang merupakan kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Padahal permasalahan ini tidak perlu terjadi apabila pemerintah dan perangkatnya memiliki pemahaman yang komprehensif dalam memahami peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan bidang pertanahan.

b. Penyelesaian Sengketa

Proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan waktu. Karena sistem pengadilan konvensional22 secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Pihak yang kalah selalu tidak puas dan akhirnya banding ke pengadilan tinggi sampai ke Mahkamah Agung (MA). Tidaklah aneh jika

21 Ibid. 22

(37)

kemudian MA Indonesia harus menangani kasus yang bertumpuk. Masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan menambah jumlah hakim di dalam MA karena angka kasus yang masuk ke MA jauh lebih banyak daripada kemampuan pemerintah untuk meningkatkan jumlah hakim di MA. Sebagai alternatif, usaha untuk menyelesaikan masalah ini harus secara langsung pada tingkat terendah dari Sistem Peradilan Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri, dimana kasus pertama kali didengar.

Perlu diketahui bahwa jumlah perkara yang tertunggak di MA sekitar 18.000 (delapan belas ribu) perkara, sedangkan Hakim Agung yang aktif tidak sampai 50 (lima puluh) orang.23 Berdasarkan data tersebut, dapat dibayangkan berapa lama suatu perkara harus diselesaikan melalui proses peradilan. Adapun lamanya proses peradilan itu karena prosedurnya memang bertingkat, mulai dari Pengadilan Negeri (PN) untuk pemeriksaan materi perkara, Pengadilan Tinggi (PT) untuk banding hingga MA untuk kasasi membutuhkan waktu. Kasasi MA bertujuan untuk pemeriksaan penerapan hukum, apakah terdapat kesalahan hakim dalam menerapkan hukum atau aturan dalam perkara tersebut. Sementara Peninjauan Kembali (PK) dapat dilakukan jika terdapat bukti baru (novum). Tidak jarang suatu kasus perdata membutuhkan 3 (tiga) sampai 6 (enam) tahun untuk mendapatkan putusan. Permasalahannya tidak berhenti sampai disini, meskipun putusan telah didapatkan kemungkinan besar para pihak yang merasa tidak puas atas putusan tersebut mengajukan upaya hukum lainnya seperti banding, kasasi, ataupun peninjauan

23

(38)

kembali. Apabila dijumlahkan, maka total waktu yang dibutuhkan sampai dengan suatu putusan memiliki kekuatan hukum yang tetap adalah 15 (lima belas) hingga 20 (dua puluh) tahun. Berdasarkan waktu yang panjang tersebut permasalahan timbul kembali jika putusan tersebut hendak dieksekusi. Tidak jarang, ketika putusan hendak dieksekusi, objek sengketanya telah musnah.

(39)

perkara-perkara yang pembuktiannya mudah. Istilah APS merupakan terjemahan dari Alternative Dispute Resolution (ADR).24

Sudah menjadi rahasia umum, menyelesaikan sengketa perdata di pengadilan sangat menyita waktu, tenaga dan biaya. Akan tetapi, jika ternyata terpaksa harus menggugat, menjadi tergugat atau menjadi turut tergugat dalam perkara perdata, maka untuk menghindar dari proses pemeriksaan di pengadilan yang sangat menyita waktu, tenaga dan biaya tersebut, salah satu peluangnya terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata. Dengan kata lain, jika menjadi pihak yang berperkara (penggugat, tergugat maupun turut tergugat), maka dapat mengoptimalkan penyelesaian perkara melalui mediasi yang merupakan suatu metode APS.

Di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui APS bahkan menjadi klausul (pasal) yang selalu dicantumkan dalam kontrak atau perjanjian, sehingga jika ternyata muncul perselisihan di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaikannya melalui lembaga APS tersebut (tidak melalui pengadilan). Dari hal ini dapat dicermati bahwa APS telah menjadi strategi preventif (tindakan pencegahan) untuk mencegah

24

Ada beberapa pendapat mengenai penerjemahan Alternative Dispute Resolution menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di Amerika, sebagai negara yang mencetuskan ide mengenai hal ini,

Alternative Dispute Resolution sering diartikan sebagai alternative to litigation atau sering diartikan

juga sebagai Alternative To Adjudication. Suyud Margono, ADR & Arbitrase : Proses Pelembagaan

(40)

terjebaknya para pihak dalam proses gugat menggugat di lembaga peradilan. Pada dasarnya seluruh mekanisme penyelesaian perkara perdata yang diselesaikan dengan tidak menggunakan prosedur beracara di pengadilan dapat dikategorikan dalam APS. Pada saat ini, mekanisme tersebut sering dikenal dengan istilah :25

1) Negosiasi (penyelesaian melalui perundingan secara bipartit/dua pihak). 2) Mediasi/Konsiliasi (negosiasi dengan dibantu oleh mediator/konsiliator). 3) Arbitrase (penyelesaian melalui pemeriksaan dan putusan oleh arbiter ).

Di Indonesia, APS sudah lama dikenal dalam konstruksi hukum adat. Secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kekeluargaan. Apabila timbul perselisihan di dalam masyarakat adat, anggota masyarakat yang berselisih tersebut memilih menyelesaikannya secara adat pula misalnya melalui tetua adatnya atau melalui musyawarah. Sesungguhnya penyelesaian sengketa secara adat ini yang menjadi benih dari tumbuh kembangnya APS di Indonesia. Fakta APS sendiri sudah lama hidup dalam masyarakat Indonesia, menjadikan mekanisme penyelesaian sengketa di luar Pengadilan ini menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Seiring semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh manusia, penyelesaian masalahnya pun semakin kompleks. APS yang awalnya sederhana, saat ini sudah menjadi cukup kompleks dan semakin banyak pilihannya. Antara lain adalah Negosiasi, Mediasi, Neutral Fact Finding, Mini-Trial, Ombudsman, dan

25

(41)

Summary Jury Trial. Masing-masing APS memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam APS tidak dikenal istilah one size fits for all yang artinya tidak semua masalah dapat diselesaikan dengan APS dan seandainya dapat diselesaikan melalui APS, perlu dicari mekanisme mana yang tepat digunakan.26

Bentuk APS yang dikenal di Indonesia adalah melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.27

Bahwa dengan begitu banyaknya sengketa tanah yang terjadi dewasa ini, yang selama ini diselesaikan dengan cara litigasi, yang memakan waktu yang cukup lama, maka atas hal yang demikian lembaga APS merupakan suatu pranata penyelesaian sengketa yang sangat baik untuk dikembangkan dan disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, perlu dikembangkannya metode untuk menemukan titik tengah ataupun kata sepakat antara para pihak-pihak yang bersengketa, dalam hal penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Dalam setiap APS, diperlukan sikap keterbukaan atau transparansi kedua belah pihak, dan tanggung jawab para pihak terhadap kesepakatan yang akan ataupun yang telah dibuat tersebut. Banyaknya peraturan yang mengatur tentang kewenangan pertanahan perlu dicermati secara proporsional sehingga interpretasi yang keliru dalam memahami ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diminimalkan.

26

Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar (Jakarta : PT. Fikahati Aneska, 2002), hlm. 11.

27

(42)

Secara yuridis penyelesaian sengketa hukum melalui non ligitasi hanya dibenarkan dalam ranah hukum privat, sedangkan dalam ranah hukum publik penyelesaian sengketa masih menjadi persoalan. Hal ini disebabkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dianut tidak memberi peluang penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Padahal yang menjadi sumber hukum nasional adalah pertama hukum Barat, Islam dan, Islam dan hukum Adat.

Ada 3 (tiga) penyebab utama dipergunakannya cara non ligitas dalam penyelesaian sengketa terutama perkara perdata di Indonesia. Penyelesaiannya di luar pengadilan dengan cara perdamaian. Pertama, di Indonesia tata cara penyelesaian sengketa damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.28 Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warga.29 Kedua, adanya ketidakpuasaan atas penyelesaian perkara melalui pengadilan, seperti mahalnya ongkos perkara, lamanya waktu dan rumitnya beracara, maka berbagai negara di dunia termasuk Indonesia mulai berpaling kepada penyelesaian perkara secara non

28

Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai Pada

Masyarakat Banjar Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional (Yogyakarta : Disertasi Pada Program

Doktor Ilmu Hukum Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007).

29

Misalnya di Minangkabau yang bertindak sebagai mediator yang juga mempunyai wewenang untuk memberikan putusan atas perkara yang dibawa kehadapannya adalah sebagai berikut: 1). Tungganai atau mamak kepala waris pada tingkatan rumah gadang,

2). Mamak kepala kaum pada tingkat kaum, 3). Penghulu suku pada tingkat suku, dan

4). Penghulu-penghulu fungsional pada tingkatan nagari.

Fungsionaris tersebut berperan penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa, baik sebagai penengah dengan (sepadan dengan arbiter atau hakim) atau tanpa kewenangan mamutus (sebagai mediator). Takdir Rahmadi dan Achmad Romsan, Teknik Mediasi Tradisional Dalam Masyarakat

Adat Minangkabau, Sumatera Barat dan Masayarakat Adat di Dataran Tinggi, Sumatera Selatan

(43)

ligitasi di luar pengadilan. Ketiga, di Indonesia, nilai harmoni, tenggang rasa, dan komunalisme atau kebersamaan lebih diutamakan daripada individualisme yaitu teori yang menekankan individu yang bebas, atau kekuatan pengarahan sendiri bagi setiap individu. Pengutamaan yang demikian itu dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa tipe manajemen yang menonjolkan konsensus dengan hasil win-win solution (sebagai pemenang) lebih cocok daripada penyelesaian sengketa melalui jalur ligitasi, yang menghasilkan win-lose solution (cara pandang kalah menang).

Di Indonesia akibat modernisasi sedikit banyak dapat mempengaruhi kultur dan struktur kehidupan masyarakat. Berdasarkan penelitian beberapa pakar, pada dasarnya budaya untuk konsiliasi atau musyawarah30 merupakan nilai masyarakat yang meluas di Indonesia.

2. Konsepsional

Dalam penulisan yang berjudul potensi penyelesaian sengketa pertanahan melalui APS ini akan digunakan istilah dalam bidang hukum. Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah yang dipakai dalam penulisan ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah tersebut :

a. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni

30

(44)

penyelesaian di luar Pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.31

b. Litigasi adalah penyelesaian sengketa secara hukum di pengadilan.32

c. Non litigasi adalah penyelesaian sengketa alternatif yang dilakukan di luar pengadilan.33

d. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui seorang penengah atau yang biasa disebut mediator, yang ditunjuk oleh para pihak.34

e. Negosiator adalah sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) maupun yang berwenang atau arbitrase dan litigasi).35

f. Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi atau pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang bertindak sebagai konsiliator.36

31

Indonesia, Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa, Op.

Cit., Pasal 1 butir 10.

32

Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria (Semarang : Walisongo Press, Cetakan I, 2008), hlm. 107.

33

Ibid., hlm. 116. 34

H. Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 137.

35

Ibid., hlm. 145. 36

(45)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu : 1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis, artinya penelitian ini hanya ingin mengumpulkan data, menganalisa, menyusun, mengklarifikasi, serta menyajikan sehingga ditemukan gambaran yang jelas mengenai potensi penyelesaian sengketa pertanahan melalui APS.

2. Metode Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif, artinya penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang kemudian dianalisis dengan doktrin dari para sarjana hukum. Di dalam penelitian ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif, baik dari bahan primer, sekunder dan tertier.

3. Teknik Pengumpulan Data

(46)

data sekunder. Berkaitan dengan data sekunder, bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

(47)

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah :

a. Studi dokumen adalah dengan mengumpulkan data dan informasi yang bersumber dari buku-buku dan literatur yang relevan dengan permasalahan yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara dengan narasumber yaitu Kepala Subseksi Sengketa dan Konflik Pertanahan dan Kepala Subseksi Perkara Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Medan.

5. Analisis Data

(48)

BAB II

DASAR HUKUM PENERAPAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) SEBAGAI BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA DI

BIDANG PERTANAHAN

A. Penyelesaian Secara Damai Oleh Para Pihak Menurut Pasal 130 HIR/154 RBG

Dalam sistem hukum acara di Indonesia, pranata perdamaian di pengadilan disebut dading. Secara formal, pedoman hakim untuk mengarahkan penyelesaian sengketa melalui dading diatur dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal 154 Rechtsregelement Buitengewesten (RBg), sedangkan para pihak yang terlibat sengketa dalam membuat kesepakatan perdamaian diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Menurut Pasal 1851 KUH Perdata menyatakan bahwa perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Hal-hal yang membatalkan perdamaian antara lain :37

1. Suatu perjanjian perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, adalah sama sekali batal.

37

(49)

2. Suatu perdamaian mengenai suatu sengketa yang sudah diakhiri dengan sebuah keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, namun tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak adalah batal.

Hukum adalah salah satu kaidah sosial yang digunakan oleh manusia untuk menata diri mereka agar tertib dan berkeadilan, masih banyak tatanan lain yang hidup, berkembang dan sampai hari ini digunakan oleh masyarakat, seperti tatanan adat, sosial, moral dan juga agama. Bersama dengan hukum, sekaligus tatanan itu bekerja menciptakan harmoni dan keteraturan perikehidupan manusia. Kendati sama-sama menyebut diri sebagai negara hukum, pada prakteknya masing-masing bangsa memilih caranya sendiri untuk berhukum. Perbedaan dalam berhukum ini bukan berarti satu bangsa lebih maju daripada yang lain. Perbedaan itu lebih meneguhkan bahwa cara bangsa berhukum itu tidak bisa dilepaskan dari akar-akar sosial dan kulturalnya. Masing-masing bangsa berhak memilih dan menjalankan cara-cara berhukum menurut modal sosial yang mereka miliki.

Proses penyelesaian sengketa di pengadilan sering disebut dengan penyelesaian sengketa secara litigasi.38 Secara teoritis, bila sengketa/masalah sosial berada di lingkup tatanan hukum, maka ia menjadi sengketa hukum. Apabila sengketa itu dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan secara litigasi, ia menjadi perkara di pengadilan. Bisa saja sengketa hukum tidak diselesaikan lewat pengadilan. Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa administrasi dan peradilan yang sangat

38

A. Mukti Arto, Mencari Keadilan : Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata

(50)

familiar bagi para lawyer atau pengacara dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan di antara para pihak yang bersengketa. Litigasi biasanya menghasilkan keputusan kalah/menang.

Sebenarnya pengadilan merupakan jalan terakhir penyelesaian sengketa, bukan saja karena jalan musyawarah mufakat sudah buntu atau menurut ketentuan Undang-Undang, sengketa tersebut tidak boleh diselesaikan kecuali di dalam peradilan. Lebih dari itu, budaya penyelesaian hukum di pengadilan dianggap sebagai cara ingin menang sendiri (individual).

Dalam hal penyelesaian sengketa, Indonesia memiliki pola tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Bahwa budaya hukum di negeri ini mendorong penyelesaian konflik melalui kompromi dan perdamaian. Dua cara ini masih mendapat dukungan kuat dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Nilai-nilai tersebut cenderung memberikan tekanan pada hubungan-hubungan personal, solidaritas komunal serta penghindaran terhadap sengketa-sengketa. Pendekatan lunak dalam penyelesaian sengketa dianggap suatu usaha yang terpuji.39

Makin banyaknya masyarakat yang menggunakan lembaga peradilan sebagai sarana untuk menggugat lawannya disebabkan karena lembaga-lembaga tradisional yang dulu pernah dipakai oleh masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya secara musyawarah tergerus oleh modernisasi.40 Dalam kasus di Indonesia, orang merasa bangga bila dapat mengatasi masalahnya atau menang berperkara di pengadilan.

39

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Penyelesaian Sengketa (Jakarta : Rajawali Press, 2006), hlm. 16.

40

(51)

Sehingga boleh dikatakan virus hukum modern telah merasuk dalam pemikiran dan perilaku masyarakat.

Model penyelesaian sengketa dengan cara kompromi dan perdamaian merupakan ciri khas Indonesia.41 Oleh karena itu, menghadapi kecenderungan makin banyaknya sengketa tanah yang telah, sedang dan bakal terjadi di masa datang dan cacat penyelesaian sengketa di pengadilan, maka pendekatan penyelesaian sengketa yang berbasiskan budaya setempat dapat dimajukan sebagai alternatif. Salah satu kemungkinan yang dapat dikemukakan sebagai doktrin atau asas alternatif itu adalah menyatakan bahwa Indonesia lebih mengunggulkan supremacy of moral/ juctice daripada supremacy of law. Dalam supremacy of moral/ juctice, nilai-nilai yang dimajukan dalam penyelesaian sengketa adalah perdamaian, moral dan keadilan, empati, kebenaran dan komitmen.42 Dengan asas baru tersebut, kebekuan penyelesaian sengketa secara litigasi dapat didobrak dan digantikan dengan cara-cara lain yang lebih segar, efisien, dan berkeadilan, yakni dengan memberikan tekanan yang istimewa terhadap aspek moral daripada aspek perundang-undangan semata.

Situasi konflik, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi konflik menang-kalah (win-lose solution) dan konflik menang (win-win solution). Konflik menang-kalah (win-lose solution) adalah situasi konflik yang bersifat antagonistik (bersifat bertentangan/berlawanan), tidak mungkin diadakan kerja sama, dan hasil dari konflik

41

Satjipto Rahardjo, Transformasi Nilai-Nilai Dalam Penemuan Dan Pembentukan Hukum

Nasional, disampaikan pada seminar Proses Pembangunan Hukum Dalam PJP II, Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Jakarta, Tanggal 12-14 Juni 1995. 42

(52)

hanya akan dinikmati oleh pemenang saja. Penyelesaian menang-kalah akan diselesaikan melalui pengadilan dengan instrument utamanya hukum dan perundang-undangan (ajudikatif).

Konflik yang kedua atau konflik menang-menang (win-win solution) adalah konflik dimana kedua belah pihak atau lebih masih mungkin bertemu, berdialog, mengadakan kompromi-kompromi dan saling kerja sama untuk berbagi hal yang sedang diperebutkan. Penyelesaian yang demikian bukan berarti bila ada pihak-pihak yang tanpa dasar jelas mengklaim hak milik orang lain, lalu menganggap dirinya sebagai pemilik yang sah berbagi dengan mereka karena adanya tuntutan itu. Penyelesaian yang demikian tentu bersifat anarkis (bertindak sewenang-wenang), bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum pada umumnya dan tentu tidak berkeadilan. Dalam penyelesaian alternatif sengketa, dasar-dasar tuntutan harus tetap berdasar hukum dan tidak asal menuntut.

Budaya hukum merupakan iklim pikiran dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalahgunakan.43 Budaya adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif.44

43

Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi :

Perlindungan Rahasia Dagang Di Bidang Farmasi (Jakarta : Chandra Pratama, 1999), hlm. 195.

44

(53)

Budaya hukum juga merupakan budaya non material ataupun spiritual. Adapun inti budaya sebagai budaya non material atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik sehingga harus dianuti dan apa yang buruk sehingga harus dihindari. Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika mengenai apa yang benar dan yang salah, norma atau kaidah yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan dan pola prilaku manusia.45

Pada umumnya, praktisi konflik meyakini bahwa daripada memadamkan kebakaran, lebih baik mendidik masyarakat untuk membiasakan mematikan kompor setelah selesai memasak. Keyakinan ini berarti yang penting bukan bagaimana memadamkannya, melainkan mencari cara-cara efektif untuk mengelolanya. Mereka tidak menyarankan cara-cara menyelesaikan konflik secara konfrontatif (berhadap-hadapan) dan sepihak, seperti aksi sosial politik, demonstrasi, sabotase, atau ancaman dengan menggunakan kekerasan, bahkan penyelesaian konflik secara kooperatif-partisipatif melalui tawar-menawar, perwasitan (arbitrase), dan perundingan dengan atau tanpa mediasi.

Prinsip musyawarah untuk mufakat, suatu filosofi dan tata cara penyelesaian sengketa tradisional yang sebenarnya telah dimiliki masyarakat Indonesia adalah bagaimana mendorong pihak yang memperebutkan sumber daya alam duduk bersama menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka. Para pihak bahkan yang selama ini bersikap pasif didorong untuk mengangkat sengketa mereka ke permukaan.

45

(54)

Mereka diajak untuk bersama-sama memetakan dengan rinci apa kepentingan masing-masing, kalau perlu difasilitasi untuk bisa berdebat dan beradu argumentasi (penyampaian) dengan pihak lawan dalam sebuah forum mediasi berjenjang mulai dari tingkat kampung, desa, kabupaten, hingga kawasan.46

Penyelesaian sengketa tanah secara alternatif (non litigasi) sesungguhnya mendapat dukungan kuat dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia. Setidaknya ada 3 (tiga) aspek utama, yaitu sosiologis, budaya dan filosofis yang sangat mendukung keberadaan mekanisme penyelesaian alternatif sengketa tanah.

Bahwa masyarakat pasti mengalami perubahan namun perubahan tersebut mengenal tingkat kepekaan dan graduasi (kenaikan) yang berbeda-beda. Ada beberapa aspek di masyarakat yang mengalami perubahan sangat cepat dan mendasar seperti aspek politik dan demokrasi misalnya. Di sisi yang lainnya, terjadi perubahan yang serba sedikit dan tidak banyak merubah substansi aslinya, seperti aspek budaya misalnya.

Sebagaimana dapat dikaji dalam banyak literatur sosiologi, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh cirinya yang bersifat unik.47 Di satu sisi, masyarakat Indonesia berstruktur horizontal yang bercirikan dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat serta kedaerahan. Di sisi lainnya, masyarakat Indonesia juga berstruktur vertikal yang ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan

46

Hasil wawancara langsung dengan Bapak Oloan Pasaribu selaku Kepala Subseksi Perkara Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Medan, Hari Selasa, Tanggal 26 Mei 2009.

47

(55)

bawah yang cukup tajam. Dimensi vertikal ini dapat disaksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi (pertentangan) di bidang ekonomi diperlihatkan dengan semakin timpangnya penguasaan sumber-sumber ekonomi di masyarakat.

Di dalam struktur yang demikian, terdapat 2 (dua) macam sektor ekonomi yang sangat berbeda. Pertama, struktur ekonomi modern yang canggih, banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional dan dibimbing oleh motif-motif memperoleh keuntungan maksimal. Kedua, struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional. Struktur terakhir ini berorientasi pada sikap-sikap konservatif (tertutup), dibimbing oleh motif-motif untuk memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada dan lebih untuk memenuhi kepuasan dan kepentingan sosial.

(56)

kemungkinan-kemungkinan atau ketidakpastian dalam setiap usahanya. Oleh karena itu, ciri khas warga desa adalah komunal (bermasyarakat) dengan sesama dalam rangka untuk meluluhkan keganasan alam.

Indonesia sebenarnya memiliki budaya penyelesaian sengketa yang khas dan didukung nilai-nilai yang masih hidup di tengah masyarakat. Melalui kompromi dan cara-cara damai lainnya dalam penyelesaian sengketa dianggap lebih dekat dengan budaya masyarakat setempat. Apalagi bila melihat objek yang disengketakan adalah masalah tanah yang sangat berbeda dengan sengketa perdata pada umumnya.

Budaya penyelesaian sengketa yang demikian itu tentulah bukan budaya yang sudah final (cultural system) tetapi merupakan budaya yang masih belum selesai, terus berjalan dan mentah. Problemnya adalah apakah pergerakan budaya sekarang mengarah dari cultural system (kompromi dan perdamaian) yang dulu pernah dipraktekkan oleh masyarakat, menuju ke pengadilan atau sebaliknya. Dorongan agar masyarakat memilih cara-cara alternatif di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanahnya boleh jadi merupakan warisan di masa lalu di era modern. Namun demikian, warisan itu pun tidak salah oleh karena budaya masyarakat masih mendukung digunakannya cara musyawarah mufakat.

(57)

Dualisme48 pranata penyelesaian sengketa ini menjadi pilihan bebas bagi para pihak untuk menggunakannya.

Proses penyelesaian sengketa di pengadilan diatur secara ketat dalam Undang-Undang. Bila menyangkut kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban diatur dalam hukum acara (hukum formil). Bila berkaitan dengan substansi hukumnya, diatur dalam hukum materiil. Dengan kata lain, hukum acara memuat aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum.

Sejak dahulu kala dan sudah menjadi prinsip dasar bagi manusia bahwa mereka selalu menghendaki sesuatu yang serba damai dan tentram dalam hidupnya. Setiap sengketa atau perselisihan yang terjadi akan diselesaikan secara musyawarah mufakat demi kemenangan bersama. Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal oleh dikatakan akan selalu dihindari kehadirannya.

Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa secara alternatif juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Demikian pula Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang

48

Dualisme adalah pandangan/teori yang mengatakan bahwa realitas itu terdiri atas dua substansi yang berlainan, yang satu tidak dapat dimasukkan dalam yang lain. Jiwa dan materi, nyawa dan badan, baik dan jahat, semua itu sering dilukiskan sebagai realitas yang bertentangan. Alex MA.,

Referensi

Dokumen terkait

Definisi Operasional kecerdasan emosional anak usia 8-11 tahun adalah akumulasi dari kemampuan seorang anak untuk mengenali perasaan diri sendiri dan mengenali perasaan orang

Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh pengusaha telur asin adalah cukup lamanya rentang waktu penerimaan hasil penjualan telur asin, karena sistem pembayaran hasil

Ketangguhan wirausaha sebagai penggerak ekonomi terletak pada kreasi baru untuk menciptakan nilai barang yg lebih baik.. Nilai dapat diciptakan dengan mengubah tantangan

Di Malaysia, pertandingan musabaqah tilawah al-Quran yang bermula pada tahun 1960 adalah merupakan salah satu kaedah menarik minat umat Islam dalam memperdengarkan bacaan

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Peng aruh Likuiditas, Leverage , Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan Terhadap

Meskipun sudah ada penelitian di SDIT Nur Hidayah Surakarta, bahkan penelitiannya juga bersinggungan dengan proses pembelajaran al- Qur‟an, namun penelitian yang

Baterai cepat penuh setelah di charger namun setelah charger dilepas dari laptopbaterai cepat kosong atau laptop segera mati And Baterai tidak terdeteksi di laptop

Tidak seperti model tutorial yang memberikan pendahuluan berupa materi kemudian berlanjut ke tahap akhir dimana pengguna dihadapkan pada soal – soal layaknya ujian, pada