• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu : 1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis, artinya penelitian ini hanya ingin mengumpulkan data, menganalisa, menyusun, mengklarifikasi, serta menyajikan sehingga ditemukan gambaran yang jelas mengenai potensi penyelesaian sengketa pertanahan melalui APS.

2. Metode Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif, artinya penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang kemudian dianalisis dengan doktrin dari para sarjana hukum. Di dalam penelitian ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif, baik dari bahan primer, sekunder dan tertier.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian kepustakaan. Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan penelitian, berupa

data sekunder. Berkaitan dengan data sekunder, bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam penulisan ini. Bahan hukum ini meliputi buku, artikel ilmiah, bahan-bahan yang didapatkan melalui internet. Selanjutnya bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari kamus hukum dan ensiklopedia.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah :

a. Studi dokumen adalah dengan mengumpulkan data dan informasi yang bersumber dari buku-buku dan literatur yang relevan dengan permasalahan yang berkaitan dengan penelitian.

b. Wawancara dengan narasumber yaitu Kepala Subseksi Sengketa dan Konflik Pertanahan dan Kepala Subseksi Perkara Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Medan.

5. Analisis Data

Untuk mengelola data yang diperoleh dari studi dokumen dan wawancara, maka dalam hasil penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika hukum dengan cara deduktif. Dari data yang dianalisis tadi diharapkan dapat memperoleh permasalahan yang ditetapkan.

BAB II

DASAR HUKUM PENERAPAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (APS) SEBAGAI BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA DI

BIDANG PERTANAHAN

A. Penyelesaian Secara Damai Oleh Para Pihak Menurut Pasal 130 HIR/154 RBG

Dalam sistem hukum acara di Indonesia, pranata perdamaian di pengadilan disebut dading. Secara formal, pedoman hakim untuk mengarahkan penyelesaian sengketa melalui dading diatur dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal 154 Rechtsregelement Buitengewesten (RBg), sedangkan para pihak yang terlibat sengketa dalam membuat kesepakatan perdamaian diatur dalam Pasal 1851 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Menurut Pasal 1851 KUH Perdata menyatakan bahwa perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Hal-hal yang membatalkan perdamaian antara lain :37

1. Suatu perjanjian perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, adalah sama sekali batal.

37

Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata (Medan : Akademi Keuangan Dan Perbankan Perbanas, 1992), hlm. 228.

2. Suatu perdamaian mengenai suatu sengketa yang sudah diakhiri dengan sebuah keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, namun tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak adalah batal.

Hukum adalah salah satu kaidah sosial yang digunakan oleh manusia untuk menata diri mereka agar tertib dan berkeadilan, masih banyak tatanan lain yang hidup, berkembang dan sampai hari ini digunakan oleh masyarakat, seperti tatanan adat, sosial, moral dan juga agama. Bersama dengan hukum, sekaligus tatanan itu bekerja menciptakan harmoni dan keteraturan perikehidupan manusia. Kendati sama- sama menyebut diri sebagai negara hukum, pada prakteknya masing-masing bangsa memilih caranya sendiri untuk berhukum. Perbedaan dalam berhukum ini bukan berarti satu bangsa lebih maju daripada yang lain. Perbedaan itu lebih meneguhkan bahwa cara bangsa berhukum itu tidak bisa dilepaskan dari akar-akar sosial dan kulturalnya. Masing-masing bangsa berhak memilih dan menjalankan cara-cara berhukum menurut modal sosial yang mereka miliki.

Proses penyelesaian sengketa di pengadilan sering disebut dengan penyelesaian sengketa secara litigasi.38 Secara teoritis, bila sengketa/masalah sosial berada di lingkup tatanan hukum, maka ia menjadi sengketa hukum. Apabila sengketa itu dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan secara litigasi, ia menjadi perkara di pengadilan. Bisa saja sengketa hukum tidak diselesaikan lewat pengadilan. Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa administrasi dan peradilan yang sangat

38

A. Mukti Arto, Mencari Keadilan : Kritik Dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata

familiar bagi para lawyer atau pengacara dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan di antara para pihak yang bersengketa. Litigasi biasanya menghasilkan keputusan kalah/menang.

Sebenarnya pengadilan merupakan jalan terakhir penyelesaian sengketa, bukan saja karena jalan musyawarah mufakat sudah buntu atau menurut ketentuan Undang-Undang, sengketa tersebut tidak boleh diselesaikan kecuali di dalam peradilan. Lebih dari itu, budaya penyelesaian hukum di pengadilan dianggap sebagai cara ingin menang sendiri (individual).

Dalam hal penyelesaian sengketa, Indonesia memiliki pola tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Bahwa budaya hukum di negeri ini mendorong penyelesaian konflik melalui kompromi dan perdamaian. Dua cara ini masih mendapat dukungan kuat dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Nilai-nilai tersebut cenderung memberikan tekanan pada hubungan-hubungan personal, solidaritas komunal serta penghindaran terhadap sengketa-sengketa. Pendekatan lunak dalam penyelesaian sengketa dianggap suatu usaha yang terpuji.39

Makin banyaknya masyarakat yang menggunakan lembaga peradilan sebagai sarana untuk menggugat lawannya disebabkan karena lembaga-lembaga tradisional yang dulu pernah dipakai oleh masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya secara musyawarah tergerus oleh modernisasi.40 Dalam kasus di Indonesia, orang merasa bangga bila dapat mengatasi masalahnya atau menang berperkara di pengadilan.

39

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Penyelesaian Sengketa (Jakarta : Rajawali Press, 2006), hlm. 16.

40

Sehingga boleh dikatakan virus hukum modern telah merasuk dalam pemikiran dan perilaku masyarakat.

Model penyelesaian sengketa dengan cara kompromi dan perdamaian merupakan ciri khas Indonesia.41 Oleh karena itu, menghadapi kecenderungan makin banyaknya sengketa tanah yang telah, sedang dan bakal terjadi di masa datang dan cacat penyelesaian sengketa di pengadilan, maka pendekatan penyelesaian sengketa yang berbasiskan budaya setempat dapat dimajukan sebagai alternatif. Salah satu kemungkinan yang dapat dikemukakan sebagai doktrin atau asas alternatif itu adalah menyatakan bahwa Indonesia lebih mengunggulkan supremacy of moral/ juctice daripada supremacy of law. Dalam supremacy of moral/ juctice, nilai-nilai yang dimajukan dalam penyelesaian sengketa adalah perdamaian, moral dan keadilan, empati, kebenaran dan komitmen.42 Dengan asas baru tersebut, kebekuan penyelesaian sengketa secara litigasi dapat didobrak dan digantikan dengan cara-cara lain yang lebih segar, efisien, dan berkeadilan, yakni dengan memberikan tekanan yang istimewa terhadap aspek moral daripada aspek perundang-undangan semata.

Situasi konflik, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi konflik menang-kalah (win-lose solution) dan konflik menang-menang (win-win solution). Konflik menang- kalah (win-lose solution) adalah situasi konflik yang bersifat antagonistik (bersifat bertentangan/berlawanan), tidak mungkin diadakan kerja sama, dan hasil dari konflik

41

Satjipto Rahardjo, Transformasi Nilai-Nilai Dalam Penemuan Dan Pembentukan Hukum

Nasional, disampaikan pada seminar Proses Pembangunan Hukum Dalam PJP II, Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Jakarta, Tanggal 12-14 Juni 1995. 42

Hal ini berbeda dengan implementasi konsep rule of law dalam kehidupan berhukum di masyarakat. dalam rule of law, cara berhukum diwujudkan dalam penyelesaian konflik, perundang- undangan, prosedur, kebenaran hukum (legal juctice) dan birokrasi. Ibid.

hanya akan dinikmati oleh pemenang saja. Penyelesaian menang-kalah akan diselesaikan melalui pengadilan dengan instrument utamanya hukum dan perundang- undangan (ajudikatif).

Konflik yang kedua atau konflik menang-menang (win-win solution) adalah konflik dimana kedua belah pihak atau lebih masih mungkin bertemu, berdialog, mengadakan kompromi-kompromi dan saling kerja sama untuk berbagi hal yang sedang diperebutkan. Penyelesaian yang demikian bukan berarti bila ada pihak-pihak yang tanpa dasar jelas mengklaim hak milik orang lain, lalu menganggap dirinya sebagai pemilik yang sah berbagi dengan mereka karena adanya tuntutan itu. Penyelesaian yang demikian tentu bersifat anarkis (bertindak sewenang-wenang), bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum pada umumnya dan tentu tidak berkeadilan. Dalam penyelesaian alternatif sengketa, dasar-dasar tuntutan harus tetap berdasar hukum dan tidak asal menuntut.

Budaya hukum merupakan iklim pikiran dan kekuatan masyarakat yang menentukan bagaimana suatu hukum itu digunakan, dihindarkan atau disalahgunakan.43 Budaya adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum, bersama-sama dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang terkait dengan tingkah laku yang berhubungan dengan hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara positif maupun negatif.44

43

Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi :

Perlindungan Rahasia Dagang Di Bidang Farmasi (Jakarta : Chandra Pratama, 1999), hlm. 195.

44

Budaya hukum juga merupakan budaya non material ataupun spiritual. Adapun inti budaya sebagai budaya non material atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik sehingga harus dianuti dan apa yang buruk sehingga harus dihindari. Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika mengenai apa yang benar dan yang salah, norma atau kaidah yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan dan pola prilaku manusia.45

Pada umumnya, praktisi konflik meyakini bahwa daripada memadamkan kebakaran, lebih baik mendidik masyarakat untuk membiasakan mematikan kompor setelah selesai memasak. Keyakinan ini berarti yang penting bukan bagaimana memadamkannya, melainkan mencari cara-cara efektif untuk mengelolanya. Mereka tidak menyarankan cara-cara menyelesaikan konflik secara konfrontatif (berhadap- hadapan) dan sepihak, seperti aksi sosial politik, demonstrasi, sabotase, atau ancaman dengan menggunakan kekerasan, bahkan penyelesaian konflik secara kooperatif- partisipatif melalui tawar-menawar, perwasitan (arbitrase), dan perundingan dengan atau tanpa mediasi.

Prinsip musyawarah untuk mufakat, suatu filosofi dan tata cara penyelesaian sengketa tradisional yang sebenarnya telah dimiliki masyarakat Indonesia adalah bagaimana mendorong pihak yang memperebutkan sumber daya alam duduk bersama menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka. Para pihak bahkan yang selama ini bersikap pasif didorong untuk mengangkat sengketa mereka ke permukaan.

45

Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat (Jakarta : CV. Rajawali, 1994), hlm. 202-203.

Mereka diajak untuk bersama-sama memetakan dengan rinci apa kepentingan masing-masing, kalau perlu difasilitasi untuk bisa berdebat dan beradu argumentasi (penyampaian) dengan pihak lawan dalam sebuah forum mediasi berjenjang mulai dari tingkat kampung, desa, kabupaten, hingga kawasan.46

Penyelesaian sengketa tanah secara alternatif (non litigasi) sesungguhnya mendapat dukungan kuat dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia. Setidaknya ada 3 (tiga) aspek utama, yaitu sosiologis, budaya dan filosofis yang sangat mendukung keberadaan mekanisme penyelesaian alternatif sengketa tanah.

Bahwa masyarakat pasti mengalami perubahan namun perubahan tersebut mengenal tingkat kepekaan dan graduasi (kenaikan) yang berbeda-beda. Ada beberapa aspek di masyarakat yang mengalami perubahan sangat cepat dan mendasar seperti aspek politik dan demokrasi misalnya. Di sisi yang lainnya, terjadi perubahan yang serba sedikit dan tidak banyak merubah substansi aslinya, seperti aspek budaya misalnya.

Sebagaimana dapat dikaji dalam banyak literatur sosiologi, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh cirinya yang bersifat unik.47 Di satu sisi, masyarakat Indonesia berstruktur horizontal yang bercirikan dengan adanya kesatuan- kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat serta kedaerahan. Di sisi lainnya, masyarakat Indonesia juga berstruktur vertikal yang ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan

46

Hasil wawancara langsung dengan Bapak Oloan Pasaribu selaku Kepala Subseksi Perkara Pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Medan, Hari Selasa, Tanggal 26 Mei 2009.

47

bawah yang cukup tajam. Dimensi vertikal ini dapat disaksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi (pertentangan) di bidang ekonomi diperlihatkan dengan semakin timpangnya penguasaan sumber-sumber ekonomi di masyarakat.

Di dalam struktur yang demikian, terdapat 2 (dua) macam sektor ekonomi yang sangat berbeda. Pertama, struktur ekonomi modern yang canggih, banyak bersentuhan dengan lalu lintas perdagangan internasional dan dibimbing oleh motif- motif memperoleh keuntungan maksimal. Kedua, struktur ekonomi pedesaan yang bersifat tradisional. Struktur terakhir ini berorientasi pada sikap-sikap konservatif (tertutup), dibimbing oleh motif-motif untuk memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada dan lebih untuk memenuhi kepuasan dan kepentingan sosial.

Struktur ekonomi modern banyak dimainkan oleh warga yang tinggal di kota (orang kota), sedangkan struktur ekonomi tradisional dilakukan oleh warga yang tinggal di desa (orang desa). Basis ekonomi modern bertumpu pada industri yang membutuhkan kecermatan perencanaan, prediksi atas berbagai kemungkinan dan kekuatan memenangkan semua kompetisi. Dengan model ekonomi yang demikian, ciri orang kota adalah liberasi (pembebasan dari keterikatan) tindakan individual dalam aktivitas ekonominya. Sedangkan basis ekonomi tradisional adalah dunia pertanian yang mengandalkan kepercayaan petani akan nasib dan rizkinya kepada Tuhan. Orang desa yang sebagian besar adalah petani sangat bergantung kepada kebaikan alam untuk keberhasilan usahanya. Oleh karena itu, usaha para petani belum dapat diprediksi hasilnya sebagaimana dunia pabrikan. Ada kemungkinan-

kemungkinan atau ketidakpastian dalam setiap usahanya. Oleh karena itu, ciri khas warga desa adalah komunal (bermasyarakat) dengan sesama dalam rangka untuk meluluhkan keganasan alam.

Indonesia sebenarnya memiliki budaya penyelesaian sengketa yang khas dan didukung nilai-nilai yang masih hidup di tengah masyarakat. Melalui kompromi dan cara-cara damai lainnya dalam penyelesaian sengketa dianggap lebih dekat dengan budaya masyarakat setempat. Apalagi bila melihat objek yang disengketakan adalah masalah tanah yang sangat berbeda dengan sengketa perdata pada umumnya.

Budaya penyelesaian sengketa yang demikian itu tentulah bukan budaya yang sudah final (cultural system) tetapi merupakan budaya yang masih belum selesai, terus berjalan dan mentah. Problemnya adalah apakah pergerakan budaya sekarang mengarah dari cultural system (kompromi dan perdamaian) yang dulu pernah dipraktekkan oleh masyarakat, menuju ke pengadilan atau sebaliknya. Dorongan agar masyarakat memilih cara-cara alternatif di luar pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanahnya boleh jadi merupakan warisan di masa lalu di era modern. Namun demikian, warisan itu pun tidak salah oleh karena budaya masyarakat masih mendukung digunakannya cara musyawarah mufakat.

Di dalam Negara hukum, setiap sengketa seharusnya diselesaikan di pengadilan. Namun demikian, apabila para pihak yang bersengketa tidak berkenan atas kehadiran intervensi (campur tangan) pihak lain yaitu Negara, kedua belah pihak tidak diharamkan untuk menyelesaikan sendiri permasalahannya secara baik-baik.

Dualisme48 pranata penyelesaian sengketa ini menjadi pilihan bebas bagi para pihak untuk menggunakannya.

Proses penyelesaian sengketa di pengadilan diatur secara ketat dalam Undang- Undang. Bila menyangkut kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban diatur dalam hukum acara (hukum formil). Bila berkaitan dengan substansi hukumnya, diatur dalam hukum materiil. Dengan kata lain, hukum acara memuat aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum.

Sejak dahulu kala dan sudah menjadi prinsip dasar bagi manusia bahwa mereka selalu menghendaki sesuatu yang serba damai dan tentram dalam hidupnya. Setiap sengketa atau perselisihan yang terjadi akan diselesaikan secara musyawarah mufakat demi kemenangan bersama. Pengadilan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal oleh dikatakan akan selalu dihindari kehadirannya.

Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa secara alternatif juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Demikian pula Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang

48

Dualisme adalah pandangan/teori yang mengatakan bahwa realitas itu terdiri atas dua substansi yang berlainan, yang satu tidak dapat dimasukkan dalam yang lain. Jiwa dan materi, nyawa dan badan, baik dan jahat, semua itu sering dilukiskan sebagai realitas yang bertentangan. Alex MA.,

menegaskan bahwa setiap perkara perdata yang masuk di pengadilan diwajibkan untuk diselesaikan melalui proses mediasi sebelum disidangkan.

Dari uraian di atas terlihat bahwa penyelesaian non litigasi sengketa tanah mendapat habitus yang cocok di Indonesia, dimana budaya rukun (harmoni), saling menghormati dan komunalisme (bermasyarakat) lebih menonjol dari pada budaya saling sengketa dan individualisme49-liberalisme50.

B. Penyelesaian Masalah Berkenaan dengan Bentuk dan Besarnya Ganti Kerugian dalam Kegiatan Pengadaan Tanah Diupayakan Melalui Musyawarah Menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Sebagaimana Diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 dimaksudkan untuk lebih memberikan dasar normatif bagi pengadaan tanah oleh pemerintah karena sebelumnya hanya didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres). Konsideran menimbang bahwa latar belakang ditetapkannya peraturan Presiden tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum karena dua alasan. Pertama, meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah sehingga pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang

49

Individualisme adalah teori yang menekankan individu yang bebas, atau kekuatan pengarahan sendiri bagi setiap individu. Ibid., hlm. 244.

50

Liberalisme adalah paham yang menekankan kebebasan individu/partikelir; filsafat sosial/politik dan ekonomi yang menekankan/mengutamakan kebebasan individu untuk mengadakan perjanjian, produksi konsumsi; tukar menukar dan bersaing, serta hak milik partikelir (swasta) terhadap semua macam barang. Ibid., hlm. 367.

sah atas tanah. Kedua, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum.

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah (Pasal 1 ayat 3 Perpres Nomor 36 Tahun 2005). Pasal ini mengalami perubahan setelah diterbitkannya Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005. Dengan demikian, pasalnya berbunyi: “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.

Pasal 2 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dijelaskan tiga cara atau mekanisme pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah, yaitu :

1. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. 2. Pencabutan hak atas tanah.

3. Jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Adapun tahapan pengadaan tanah oleh pemerintah untuk pembangunan bagi kepentingan umum harus dimulai dari proses jual beli, tukar menukar, atau cara lain

yang disepakati secara sukarela oleh para pihak. Apabila cara tersebut tidak berhasil maka ditempuh cara berikutnya, yaitu pelepasan atau penyerahan hak atas tanah disertai pemberian ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Cara lain yang dapat ditempuh pemerintah apabila kedua cara sebelumnya tidak berhasil adalah pencabutan hak atas tanah disertai pemberian ganti rugi. Masing-masing prosedur pengadaan tanah, baik berupa pelepasan hak atas tanah maupun jual beli/tukar menukar atau cara lain adalah sebagai berikut :

1. Pelepasan atau Penyerahan Hak atas Tanah

Konsep dasar pengadaan tanah melalui pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan melalui musyawarah berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah.51 Hal ini terlihat dari pengertian pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 6 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, yaitu kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Pengadaan tanah dengan menggunakan tata cara ini dilakukan oleh panitia pengadaan tanah, baik di

Dokumen terkait