• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haji Dan Permasalahannya Pertanyaan :

Untuk menambah penguasaan tentang pengetahuan manasik haji, pada kesempatan ini kami harap Bapak Pengasuh berkenan memberikan penjelasan tentang macam-macam dam yang dikenakan kepada jema‘ah haji sehubungan dengan pelaksanaan manasik mereka. Atas penjelasan Bapak kami ucapkan terima kasih.

Jawab :

Masalah dam memang penting diketahui oleh setiap orang yang melakukan haji dan ‘umrah, agar yang bersangkutan dapat berusaha menghindari hal-hal yang mengakibatkannya dan atau membayarnya dengan benar, apabila ternyata ia terkena kewajiban tersebut. Sebagai mana dimaklumi, amalan dalam manasik haji itu terbagi kepada rukun, wajib, dan sunat, yang masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri dalam hubungannya dengan masalah dam.

Berikut ini kami kutipkan beberapa keterangan terkait, terutama dari kitab al-Idah karya Imam al-Nawawi, beserta hasyiyah dan ta‘liqnya.

Kewajiban dam itu dapat di bedakan melalui dua sisi pandang, pertama, dari sisi keterikatannya dengan ketentuan yang diberikan, dalam

hal ini, dam itu terbagi dua,

- murattab, yakni dam yang benar-benar harus dikerjakan sesuai dengan ketentuan dan urutannya. Seseorang tidak dibenarkan ber-alih dari satu urutan ke urutan berikutnya, selama ia mampu mela-kukannya.

- mukhayyar, yaitu dam yang pelaksanaannya tidak terikat betul dengan “ketentuan” yang ada, melainkan dibenarkan beralih dari satu jenis tuntutan ke jenis tuntutan lainnya.

- muqaddar, yaitu dam yang jenis dan kadar penggantinya sudah ditetapkan oleh syara‘,

- mu‘addal, yaitu dam yang jenis ataupun kadar penggantinya tidak ditetapkan.

Melalui persilangan kedua sisi pandang tersebut di atas, maka jenis-jenis dam yang mungkin dikenakan dalam pelaksanaan haji itu ada empat, 1. Dam murattab muqaddar, yaitu dam yang mesti dilakukan sesuai dengan urutannya dan bila harus terjadi peralihan, maka penggantinya pun telah ditentukan pula. Dam yang termasuk jenis ini, ada 11. yaitu, 1) dam tamattu‘, 2) dam qiran, 3) dam karena tidak berihram dari miqat atau dari tempat yang semestinya, 4) dam karena tidak mabit di Muzdalifah, 5) dam karena tidak mabit di Mina, 6) dam karena tidak melontar jumrah, 7)dam karena tidak tawaf wada‘ 8) dam karena fawat, 9/10) dam karena tidak memenuhi nazar untuk melakukan haji dengan berjalan kaki atau dengan berkenderaan, 11) dam karena wuquf-nya di Arafah tidak meliputi siang dan malam; disunatkan menyembelih hewan sebagai dam dengan sifat murattab muqaddar.1 Untuk masing-masing dari kesebelas masalah ini, dikenakan kewajiban menyembelih kambing, dan, hanya bila ia tidak sanggup melakukannya, kewajiban itu beralih kepada puasa 10 hari, 3 hari pada waktu haji dan 7 hari lagi setelah kembali ke negerinya.

2. Dam murattab mu‘addal, yakni yang harus dilakukan menurut urutannya tetapi dalam hal terjadi penggantian, diberikan peluang untuk membayar dengan jenis lain yang setara kewajiban pertama. Yang termasuk jenis ini ialah.

1 Ibnu Hajar Al-Hai£±mi,

Ibn Hajar al-Hai£±mi, Hasyiyah al ‘Allamah ibn Hajar al Haisami ‘ala Syarh al I«ah fi Man±sik al-Hajj li Im±m al-Naw±w³, (Jakarta: Dar al Hikmah, t.t), h. 52.

ﻭﺍ ﺕﺎﻘﻴﳌﺍ ﻦﻣ ﻡﺍﺮﺣﻻﺍ ﻙﺮﺗﻭ ,ﻥﺍﺮﻘﻟﺍﻭ ,ﻊﺘﻤﺘﻟﺍ ﻡﺩ ,ﺔﻴﻧﺎﲦ ﻮﻫﻭ ﺍﺭﺪﻘﻣ ﺎﺒﺗﺮﻣ ﺐﳚ ﺎﻤﻴﻓ ,ﻝﻭﻻﺍ

,ﻉﺍﺩﻮﻟﺍ ﻑﺍﻮﻃ ﻙﺮﺗﻭ ,ﻰﻣﺮﻟﺍ ﻙﺮﺗﻭ ,ﲎﳌﺍ ﺖﻴﺒﳌﺍﻭ ,ﺔﻔﻟﺩﺰﲟ ﺖﻴﺒﳌﺍ ﻙﺮﺗﻭ ,ﻪﻣﻭﺰﻟ ﺚﺒﻴﺣ ﻦﻣ

,ﻪﻧﺎﻴﺑ ﻰﺗﺀﺎﻳ ﺎﻣ ﻰﻠﻋ ﻪﺴﻜﻋ ﻭﺍ ﺐﻛﺮﻓ ﻰﺸﳌﺍ ﺭﺪﻧ ﻮﻟﺎﻣ ﻮﻫﻭ ﺮﺷﺎﻋﻭ ﻊﺳﺎﺗ ﺩﺍﺰﻳﻭ ,ﺕﺍﻮﻔﻟﺍ ﻡﺩﻭ

ﺐﺗﺮﻣ ﻡﺩ ﺔﻗﺍﺭﺍ ﻪﻟ ﻦﺴﻳ ﻪﻧﺎﻓ ﻪﻓﻮﻗﻭ ﰱ ﺭﺎﻬﻨﻟﺍﻭ ﻞﻴﻠﻟﺍ ﲔﺑ ﻊﻤﳉﺍ ﻙﺮﺗ ﻮﻟﺎﻣ ﻮﻫﻭ ﺮﺸﻋ ﻯﺩﺎﺣﻭ

a. dam karena jima‘ yang mengakibatkan hajinya batal. Dalam hal ini orang yang bersangkutan wajib menyembelih unta, atau jika tidak sanggup maka kewajiban itu beralih kepada, menyembelih lembu, menyembelih 7 ekor kambing, memberi makanan seharga seekor unta itu, dan puasa sebanyak mud makanan yang dapat dibeli dengan harga tersebut x 1 hari.

b. dam karena ihsar, dimana yang bersangkutan wajib menyembelih kambing dan bila tidak sanggup, dapat beralih kepada memberi makanan seharga seekor kambing, dan kalau itupun tidak sanggup maka beralih kepada puasa sebanyak mud makanan tersebut x 1 hari.2

3. Dam mukhayyar muqaddar, yakni dam yang dalam pelaksanaannya dapat memilih antara alternatif yang diberikan, tetapi jenis dan kadar pilihannya telah dibatasi secara tetap. Termasuk dalam jenis ini ada 8 macam, yaitu dam yang diwajibkan karena 1) bercukur, 2) memotong kuku, 3) memakai minyak [rambut], 4) memakai wangi-wangian, 5) memakai pakaian [berjahit], 6) bersetubuh setelah persetubuhan yang membatalkan haji, 7) bersetubuh setelah tahallul awal (ba‘da al-tahal-lulain), atau 8) melakukan mukaddimah jima‘. Untuk kasus-kasus tersebut, orang yang bersangkutan boleh memilih salah satu dari tiga alternatif, yaitu 1) menyembelih kambing, 2) memberikan tiga sa‘ makanan kepada enam orang miskin, atau 3) puasa tiga hari.3

4. Dam mukhayyar mu‘addal, yaitu dam yang dalam pelaksanaannya seseorang dapat memilih salah satu alternatif, dan jenis dan kadar pilihan-pilihan itu sendiri tidak ditetapkan secara pasti. Yang termasuk pada jenis ini adalah,

a. dam karena membunuh binatang buruan, dalam hal ini orang yang

2 Ibnu Hajar Al-Hai£±mi mengatakan,

Lihat ibid, h. 521.

3 Ibnu Hajar al-Hai£±mi,

Lihat ibid, h. 521.

ﺭﺎﺼﺣﻻﺍ ﻡﺩﻭ ,ﺓﺮﻤﻌﻟﺍ ﻭﺍ ﺞﺤﻠﻟ ﺪﺴﻔﳌﺍ ﻉﺎﻤﳉﺍ ﻡﺩ ,ﻥﺎﻣﺩ ﻮﻫﻭ ﻻﺪﻌﻣ ﺎﺒﺗﺮﻣ ﺐﳚ ﺎﻤﻴﻓ ,ﱏﺎﺜﻟﺍ

ﺀﻁﻮﻟﺍﻭ ﺲﺒﻠﻟﺍﻭ ﺐﻴﻄﻟﺍﻭ ﻦﻫﺪﻟﺍﻭ ﻢﻠﻘﻟﺍﻭ ﻖﻠﳊﺍ ﻡﺩ ,ﺔﻴﻧﺎﲦ ﻮﻫﻭ ﺍﺭﺪﻘﻣ ﺍﲑﳐ ﺐﳚ ﺎﻤﻴﻓ ,ﺚﻟﺎﺜﻟﺍ

bersangkutan boleh memilih salat satu alternatif, yaitu, menyembelih hewan tertentu yang mirip (misl) dengannya, atau memberikan makanan seharga hewan tersebut, atau. melakukan puasa sebanyak mud makanan itu x 1 hari

b. dam karena memotong pohon yang terdapat di tanah haram, untuk pohon besar dikenakan kewajiban memotong lembu, untuk pohon kecil kambing; atau memberi makan seharga lembu atau kambing tersebut, atau puasa sebanyak mud makan itu x 1 hari. Dalam hal ini, ia boleh memilih antara memotong hewan tersebut, memberi makan, ataupun berpuasa.4

Kemudian, dari sisi lainnya, dam itu biasa pula dibedakan menurut penyebab kewajibannya, dan masing-masing disebut,

1. dam nusuk, yaitu dam yang dikenakan atas mereka yang melakukan haji dengan cara tamattu‘ atau qiran. Dam tersebut semata-mata terkait dengan cara pelaksanaan haji, bukan karena suatu pelanggaran atau kealpaan.

2. dam isa’ah, yaitu dam yang diwajibkan atas seseorang sehubungan dengan pelanggaran yang terdapat dalam pelaksanaan haji ataupun umrahnya, yaitu semua jenis dam seperti tersebut di atas, selain dam karena tamattu‘ dan qiran. .

Selain itu, terkait dengan kewajiban dam isa’ah di atas, masih ada ketentuan yang perlu diperhatikan, yaitu,

Bahwa pelanggaran yang menyebabkan wajibnya dam itu terbagi kepada, 1. itlaf mahd (pelanggaran yang bersifat perusakan semata-mata), seperti membunuh binatang buruan dan merusak pohon di tanah haram. Untuk jenis ini, dam tetap diwajibkan, baik seseorang melakukan pelanggaran itu dengan sengaja, maupun karena lupa atau karena ia tidak mengetahui bahwa hal itu terlarang.

2. istimta‘ dan taraffuh, yaitu jenis pelanggaran yang tergolong per-buatan bersenang-senang atau berhias, seperti memakai wewangian dan memakai pakaian [berjahit]. Dalam hal ini, dam hanya diwajibkan 4 Ibnu Hajar al-Hai£±mi,

Lihat ibid, h. 522.

atas mereka yang melakukannya dengan sengaja, tetapi dikenakan bagi yang melakukannya karena tidak mengetahui larangan atau karena lupa.

3. pelanggaran yang mengandung kedua makna di atas secara tidak murni (sya’ibah). Dalam hal ini, ketentuan tentang dam-nya ditetapkan berdasarkan kecenderungannya masing-masing, apakah kepada itlaf atau kepada istimta‘. Misalnya, bercukur dan memotong kuku dimasukkan ke dalam kelompok itlaf, sedangkan jima‘ dimasukkan ke dalam kelompok istimta‘.

Akhirnya, mengingat bahwa banyak sekali, kalau bukan kebanyakan, jema‘ah haji Indonesia yang melakukan haji dengan cara tamattu‘, maka rasanya perlu pula dikemukakan keterangan tentang waktu pelaksanaannya. Imam al-Nawawi menyatakan bahwa kewajiban dam tamattu‘ telah berlaku sejak seseorang berihram untuk haji. Artinya, sejak berihram untuk haji tamattu‘ itu, ia telah dikenai kewajiban menyembelih dam tersebut. Namun, waktu yang terbaik untuk pelaksanaannya adalah pada hari nahr (10 Zulhijjah). Kemudian, menurut pendapat al-asahh, apabila ingin melakukannya lebih awal, ia boleh menyembelih dam itu setelah menyele-saikan umrah, walaupun belum memulai ihram untuk haji.

Akan tetapi, bila karena tidak mampu menyembelih hewan, dam itu akan dibayar dengan puasa, (10 hari: 3 hari di masa pelaksanaan haji dan 7 hari lagi setelah kembali ke tanah air), puasa tersebut tidak dapat dikerjakan sebelum ihram haji. Perlu pula diingat bahwa puasa tidak boleh dilakukan pada hari nahr dan hari-hari tasyriq. Sebaiknya (yustahabb), puasa [tiga hari] itu hendaklah dikerjakan sebelum hari ‘Arafah. Sebab, pada hari ‘Arafah, justru, para jema‘ah haji disunatkan untuk tidak berpuasa. Itulah sebabnya, bagi orang-orang yang melakukan haji tamattu‘, tetapi tidak mampu membayar dam-nya dengan menyembelih kambing, disunatkan memulai ihram hajinya sebelum tanggal 6 Zulhijjah, agar ia dapat ber-puasa selama tiga hari, pada tanggal 6, 7, dan 8 Zulhijjah, sebelum hari Arafah. Adapun bagi yang mampu menyembelih kambing, mereka di-sunatkan memulai ihram haji tamattu‘ itu pada tanggal 8 Zulhijjah.

Kemudian, bila tidak dilakukan sampai berakhirnya masa pelaksanaan haji, maka puasa tiga hari itu wajib diqada. Qada itu pun harus harus dilakukan segera, jika tertinggal tanpa ‘uzur. Kemudian, khusu untuk puasa dam, status sebagai musafir tidak dapat dijadikan uzur untuk mening-galkan atau menundanya.

Hal lain yang perlu diingat ialah penyembelihan dam itu haruslah disertai dengan niat. Niat tersebut dapat dilakukan pada waktu penyem-belihan atau pada saat penyerahan hewannya kepada wakil. Bahkan, boleh juga diserahkan kepada si wakil untuk meniatkannya. Demikian pula halnya dengan puasa dan memberi makanan, tetap wajib diniatkan sebagai dam atau kaffarah. Bila dilakukan tanpa niat, maka pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak akan sah sebagai pembayaran dam.

Bagaimanapun juga, sehubungan dengan masalah ini, sikap terbaik untuk meraih haji mabrur adalah berusaha secara maksimal menghindari hal-hal yang dapat mengakibat kewajiban dam, terutama yang tergolong pada kelompok dam isa’ah.

Akhirnya, semoga para jama‘ah haji yang menjadi duyuf al-Rahman benar-benar dapat menempatkan diri sebagai tamu yang baik di Rumah Allah yang Maha pemurah, agar kembali dengan predikat haji mabrur, berikut segala janji yang melekat dengannya sebagai hadiah.

Pertanyaan :

Saya mendengar, pada zaman Nabi saw., ada seorang anak perem-puan yang ingin menghajikan orang tuanya, dan beliau membolehkannya. Apakah riwayat tersebut benar adanya?

Jawab :

Masalah badal haji telah beberapa kali kami jelaskan melalui konsultasi ini, dengan menyatakan bahwa para ulama yang membolehkannya mengemukakan hadis-hadis Rasul Allah saw. Antara lain, hadis al-Bukh±r³ dan Muslim, yang berasal dari Ibn ‘Abb±s, bahwa seorang perempuan dari suku Juhainah datang kepada Nabi saw., seraya berkata, “Sesungguhnya ibu saya telah bernazar untuk melakukan haji, tetapi beliau wafat sebelum sempat melakukannya. Apakah saya boleh melakukan haji itu untuknya?.” Nabi saw. menjawab, “Ya. Lakukanlah haji untuknya. Seandainya ibumu itu mempunytai utang, bukankah engkau akan membayarnya?” Perempuan itu menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Tunaikanlah hak Allah, sebab hak-hak-Nya adalah lebih utama untuk ditunaikan.” 5

Di samping itu masih ada beberapa riwayat, berkenaan dengan badal haji bagi orang lain yang telah wafat atau yang tidak mampu melakukan-nya sendiri.

Jadi, jelaslah bahwa hadis seperti itu benar adanya dan diriwayatkan oleh dua tokoh ulama hadi terkemuka, Im±m al-Bukh±r³ dan Imam Muslim. Pertanyaan :

Harap Bapak jelaskan bagaimana sebenarnya pengertian pelaksanaan haji secara ifr±d, qir±n, dan tamattu‘.

Jawab :

Istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan tiga macam cara pelaksanaan manasik dalam kaitannya dengan urutan haji dan ‘umrah. Secara ringkas, pengertiannya masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut,

1. Ifr±d ialah cara pelaksanaan di mana seseorang melakukan ihram untuk haji, pada bulan-bulan haji, di miq±t yang terletak di jalan yang dilalui-nya menuju Makkah. Selanjutdilalui-nya, ia melaksanakan manasik haji itu sampai selesai. Kemudian, setelah usai pelaksanaan haji ia pun keluar dari Makkah ke suatu tempat di luar tanah haram, melakukan ihram untuk ‘umrah, dan mengerjakan manasik ‘umrah itu sampai selesai pula. Jadi pada cara ini ibadah haji didahulukan daripada ‘umrah dan masing-masing dikerjakan tersendiri. Inilah bentuk yang telah disepakati sebagai pelaksanaan haji ifr±«.6

Ab- Zakaria Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³, al-I«ah fi Man±sik al-Hajj wa al-‘Umrah, Cet, III, (Makkah Mukarramah: D±r Basyir Isl±miyah al-Maktabah al-Imdadiyah, 1417 H/1997 M), h. 100: Lihat Muslim, ¢ah³h Muslim

(Beirut: D±r Ihya’ at-Tur±£ al-‘Arab³, tt.), Juz II, h. 805.

6 Ab- Zakaria Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³,

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻟﻠﻪﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﱃﺍ ﺕﺀﺎﺟ ﺔﻨﻴﻬﺟ ﻦﻣ ﺓﺍﺮﻣﺍ ﻥﺍ ,ﻝﺎﻗ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﻟﻠﻪﺍ ﻰﺿﺭ ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ

ﻮﻟ ﺖﻳ ﺍﺭﺍ ﺎﻬﻨﻋ ﻰﺠﺣ ﻢﻌﻧ ؟ ﺎﻬﻨﻋ ﺞﺣﺎﻓﺍ ﺞﲢ ﻥﺍ ﻞﺒﻗ ﺖﺗﺎﻤﻓ ﺞﲢ ﻥﺍ ﺕﺭﺬﻧ ﻰﻣﺍ ﻥﺍ ,ﺖﻟﺎﻗ

" ﺀﺎﻓﻮﻟﺎﺑ ﻖﺣﺍ ﻟﻠﻪﺍﺎﻓ ﻟﻠﻪﺍ ﻖﺣ ﺍﻮﻀﻗﺍ " ﻝﺎﻗ ,ﻢﻌﻧ ,ﺖﻟﺎﻗ ﺎﻬﻨﻋ ﻪﺘﻴﺿﺎﻗ ﺖﻨﻛﺍ ﻦﻳﺩ ﻚﻣﺍ ﻰﻠﻋ ﻥﺎﻛ

2. Tamattu‘, artinya pelaksanaan manasik dimana seseorang lebih dahulu melakukan ‘umrah daripada ibadah haji. Ketika melintasi miq±t yang terletak di jalannya menuju Makkah, ia melakukan ihram untuk ‘umrah. Kemudian mengerjakan manasik ‘umrah itu sampai selesai. Sesudah itu, (mungkin setelah dekat dengan waktu wuquf) ia melakukan ihram kembali untuk haji dan mengerjakan manasiknya sampai selesai. Jadi cara tamattu‘, ini merupakan kebalikan dari ifr±d. Cara ini disebut tamattu‘ (bersenang-senang), karena dengan demikian orang men-dapatkan “kesenangan” yakni terbebas dari larangan-larangan ihr±m selama tenggang waktu di antara selesainya ‘umrah dengan mulainya haji.7

3. qir±n ialah cara mengerjakan manasik dengan menggabungkan kedua ibadah, haji dan ‘umrah, dalam satu pelaksanaan. Ketika melintas di miq±t-nya seseorang melakukan ihr±m dengan meniatkan pelaksanaan haji dan ‘umrah sekaligus. Selain itu, jika orang telah berihram untuk ‘umrah, pada bulan-bulan haji, kemudian, sebelum mulai mengerjakan tawaf ia melakukan ihram kembali untuk haji, ihram itu adalah sah dan cara pelaksanaan seperti ini termasuk juga dalam pengertian qir±n. Pelaksanaan bagian-bagian manasik selanjutnya dalam qir±n ini persis sama dengan pelaksanaan pada cara ifr±« (l± yaz³du ‘al± m± yaf‘aluhu mufrid al-hajj aslan).8

Ab- Zakaria Muhyiddin bin Syarf Al-Naw±w³, al-I«ah fi Man±sik al Hajj Wa al-‘Umrah (Makkah Al Mukarramah: D±r al-Basyir al-Isl±miyah al-Maktabah al Imdadiyah, 1417 H/1997 M ), h. 134.

7 Ab- Zakaria Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³,

Lihat ibid, h. 134.

8 Ab- Zakaria Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³,

ﺔﻜﻣ ﻦﻣ ﺞﳊﺍ ﺊﺸﻨﻳ ﰒ ﺎﻬﻨﻣ ﻍﺮﻔﻳﻭ ﻩﺪﻠﺑ ﺕﺎﻘﻴﻣ ﻦﻣ ﺓﺮﻤﻌﻟﺎﺑ ﻡﺮﳛ ﻱﺬﻟﺍ ﻮﻬﻓ ﻊﺘﻤﺘﳌﺍ ﺎﻣﺍﻭ

ﻊﻴﲨ ﻪﻟ ﻞﳛ ﻪﻧﺎﻓ ﺓﺮﻤﻌﻟﺎىﻭ ﺞﳊﺍ ﲔﺑ ﻡﺍﺮﺣﻻﺍ ﺕﺍﺭﻮﻈﺤﲟ ﻪﻋﺎﺘﻤﺘﺳﻻ ﺎﻌﺘﻤﺘﻣ ﻰﻤﺴﻳ

ﻪﻘﺴﻳ ﱂ ﻡﺍ ﺎﻳﺪﻫ ﻕﺎﺳ ﻥﺎﻛ ﺀﺍﻮﺷ ﺓﺮﻤﻌﻟﺍ ﻦﻣ ﻍﺮﻓ ﺍﺫﺍ ﺕﺍﺭﻮﻈﶈﺍ

ﺔﻜﻣ ﻦﻣ ﺝﺮﺧ ﻪﻨﻣ ﻍﺮﻓ ﺍﺫﺍ ﰒ ﻪﻘﻳﺮﻃ ﺕﺎﻘﻴﻣ ﻦﻣ ﻩﺮﻬﺷﺍ ﰱ ﺞﳊﺎﺑ ﻡﺮﳛ ﻥﺍ ﻮﻬﻓ ﺩﺍﺮﻓﻻﺍ ﺎﻣﺎﻓ

ﺎﻬﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﳌﺍ ﺓﺭﻮﺻ ﻩﺬﻬﻓ ﻍﺮﻔﻳﻭ ﻞﳊﺍ ﱏﺩﺍ ﻦﻣ ﺓﺮﻤﻌﻟﺎﺑ ﻡﺮﺣﺎﻓ ﺎﻓﺭ ﺵ ﻟﻠﻪﺍ ﺎﻫﺩﺍﺯ

Dapat ditambahkan bahwa mengenai yang terbaik di antara ketiga cara tersebut ada perbedaan pendapat ulama, karena perbedaan riwayat tentang praktik haji Rasul Allah saw. Menurut ¦anafiyah, yang terbaik ialah qir±n, menurut ¦an±bilah tamattu‘. Sebaliknya, mazhab M±liki dan al-Sy±fi‘³ berpendapat yang terbaik ialah ifr±d.9 Lebih lanjut, atas mereka yang melakukan manasik dengan cara ifr±d atau qir±n dikenakan kewajiban dam, yakni menyembelih seekor kambing.

Pertanyaan :

Ada yang mengatakan bahwa, sementara menunggu wuquf, setelah jama‘ah haji tiba di Makkah, mereka tidak boleh lagi membuka pakaian ihramnya dan harus melanjutkan manasiknya sebagai haji ifr±d. Mohon penjelasan dari Bapak.

Jawab :

Ketika melintasi tempat-tempat yang disebut miqat, tentunya para jama‘ah haji melakukan ihram, mengenakan pakaian ihram, dan berniat untuk melaksanakan manasik. Dalam pada itu, setidaknya terdapat empat kemungkinan cara (awjuh) ihram yaitu, ifr±d, tamattu‘, qir±n dan i¯l±q. Cara yang terakhir ini ialah, ketika ihram ia hanya meniatkan ihram semata-mata (an yanwiya nafs al-i¥r±m) dengan tidak menujukan apakah ihram tersebut untuk haji atau ‘umrah. Dalam hal ini, penentuan manasik baru dilakukan kemudian setelah ia berada di Makkah, dengan mempertim-bangkan mana yang lebih baik baginya. Selanjutnya, setelah tiba di Makkah mereka pun mengerjakan manasik, taw±f dan sa‘y. Bila waktu untuk wuquf belum tiba, tentu mereka masih harus menunggu sebelum berangkat ke ‘Arafah.

ﰒ ﺞﳊﺍ ﺮﻬﺷﺍ ﰱ ﺎﻫﺪﺣﻭﺓﺮﻤﻌﻟﺎﺑ ﻡﺮﺣﺍ ﻮﻟﻭ ...ﺎﻌﻴﲨ ﺓﺮﻤﻌﻟﺍﺓﻭ ﺞﳊﺎﺑ ﻡﺮﳜ ﻥﺍ ﻮﻬﻓ ﻥﺍﺮﻗﺍ ﺎﻣﺍﻭ

ﺎﻧﺭﺎﻗ ﺭﺎﺻﻭ ﺎﻀﻳﺍ ﻪﻨﺑ ﻪﻣﺍﺮﺣﺍ ﺢﺻ ﺎﻬﻓﺍﺓﻮﻃ ﰱ ﻉﻭﺮﺸﻟﺍ ﻞﺒﻗ ﺞﳊﺎﺑ ﻡﺮﺣﺍ

Lihat ibid, h. 134-135.

9 Ab- Zakaria Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³,

Lihat ibid, h.136.

Mengenai boleh tidaknya membuka pakaian ihr±m selama masa menunggu wuquf itu, adalah tergantung pada jenis manasik yang diniatkan ketika ihram di miqat, sebagai berikut,

1. Jika seseorang melaksanakan manasik dengan cara tamattu‘, dan ia telah menyelesaikan seluruh pekerjaan ‘umrah dan sudah pula ber-tahallul, jelas ia boleh membuka pakaian ihramnya dan mengenakan pakaian berjahit. Bahkan ia pun bebas melakukan hal-hal lain yang terlarang selama pelaksanaan ihram. Seperti disinggung pada jawaban di atas, hal ini memang sudah merupakan kekhususan cara tamattu‘.

2. Jika seseorang melaksanakan ihram dengan cara ifr±«, maka tentu ihramnya belum selesai sebelum ia ber-tahallul dari ibadah haji yang dilakukannya. Dengan demikian, selama berada di Makkah pada masa menunggu wuquf itu ia masih berstatus sebagai muhrim, sedang ihram. Dengan status seperti itu tentulah ia masih terikat dengan segala ketentuan dan larangan-larangan yang terkait dengan ihram, termasuk masalah pakaian. Jadi, menurut ini, orang yang melakukan ihram dengan cara ifr±d tidak dibenarkan membuka pakaian ihramnya dan mengenakan pakaian berjahit.

3. Pelaksanaan manasik dengan cara qir±n, seperti dijelaskan di atas, adalah sama dengan pelaksanaan dengan ifr±d. Oleh karena itu, orang yang melaksanakan qir±n juga tetap dalam status muhrim, dan terikat ketentuan ihram sampai ia ber-tahallul. Jadi, ia juga tidak dibenarkan melepas pakaian ihr±mnya.

4. Jika seseorang berihr±m dengan cara i¯l±q, ia dapat memilih cara pelaksanaan manasiknya, ifr±d, tamattu‘, atau qir±n. Penetapan itu, dengan niat, haruslah dilakukan segera setelah sampai di Makkah, sebelum mengerjakan manasik, termasuk tawaf. Jadi, setelah berada di Makkah, orang yang berihram secara i¯l±q pun, tidak lepas dari ketiga kemung-kinan lainnya, sehingga salah satu dari ketiga ketentuan di atas berlaku pula baginya. Jika memilih tamattu‘ , ia bebas dari larangan-larangan ihr±m setelah tahallul, tetapi jika ia memilih yang lain, tentunya tidak, sebab ia tetap dalam keadaan ihr±m.

Pertanyaan :

Bagaimana hukumnya seorang perempuan menggunakan obat agar ia tidak mengalami haid selama pelaksanaan haji?

Jawab :

Allah sudah menetapkan bahwa perempuan pada rentang umur tertentu harus mengalami haid sebagai sesuatu yang alami. Selain menan-dakan bahwa yang bersangkutan sehat dan normal, peristiwa itu juga mengandung banyak hikmah. Dalam pada itu, Allah juga menetapkan beberapa ketentuan menyangkut perempuan yang sedang haid, antara lain larangan melakukan salat dan tawaf.

Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa Umm al-Mu‘min³n ‘²’isyah ra mengalami haid ketika memasuki Makkah bersama Rasul Allah saw., sehingga ia tidak dapat melakukan tawaf. Ketika hal itu diberitahukannya kepada Nabi saw., beliau menyuruhnya agar melakukan manasik sebagai mana dilakukan oleh orang haji lainnya, tetapi ia tidak boleh tawaf, dan karena itu tidak pula sa‘y. Ini berarti, bagi perempuan yang kebetulan haid ketika masuk ke Makkah pelaksanaan tawaf dan sa‘y harus ditunda sampai ia suci kembali.

Sebenarnya, pelaksanaan dengan cara demikian tidaklah mengu-rangi nilai manasik perempuan yang haid itu. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan kondisi dan jadwal perjalanan haji masa kini, dimana waktu mukim di Makkah itu cenderung terbatas, mungkin saja haid itu terasa mengganggu. Jika haid itu dapat ditunda agar tidak terjadi pada masa yang diperlukan untuk tawaf, tentulah kaum perempuan dapat terhindar dari “gangguan” yang ditimbulkannya.

Sejauh ini, kami belum menemukan pendapat ulama klasik tentang penggunaan obat untuk menunda datangnya haid dalam berbagai uraian mereka yang tentang permasalahan haid dan seluk beluknya. Akan tetapi, Dr. Nur al-D³n ‘Itr mengemukakan kemungkinan mendapatkan keringan dengan mengikuti pendapat ulama M±likiyah bahwa keadaan bersih (dengan berhentinya darah) disela-sela haid adalah suci. Selanjutnya, menurut beliau, penggunaan obat untuk menghentikan haid selama satu hari akan dapat membantu.

Kami sendiri tidak melihat adanya keberatan syar‘³ terhadap peng-gunaan obat untuk menunda sementara datangnya haid itu, terutama jika dilakukan untuk tujuan “kesempurnaan” pelaksanaan ibadah. Pada sisi lainnya, maslahat tindakan tersebut cukup nyata dan berguna bagi yang bersangkutan. Atas dasar ini, kami cenderung mengatakan bahwa peng-gunaan obat untuk menunda haid agar dapat melakukan tawaf pada waktu yang sesuai dapat dibenarkan.

Pertanyaan :

Dalam persiapan untuk menunaikan ibadah haji tahun ini, kami telah berusaha untuk mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang manasik haji, dari berbagai sumber yang terjangkau. Akan tetapi, kami memperoleh informasi yang agak beragam tentang beberapa hal, sehingga kami, sebagai orang awam, merasa kebingungan. Sehubungan dengan itu mohon Bapak berikan penjelasan khususnya tentang pelaksanaan khutbah dan salat zuhur serta asar di Arafah,

a. apakah azan zuhur dilakukan sebelum atau setelah khutbah?

b. apakah kedua salat itu dilakukan dengan cara jama‘ dan qasar, ataukah boleh dengan cara biasa saja?

Jawab :

Pertama sekali perlu kami kemukakan bahwa seperti pada ibadah lainnya, dalam pelaksanaan ibadah haji pun tetap terdapat perbedaan fatwa para ulama dari berbagai mazhab, terutama sehubungan dengan perbedaan riwayat yang mereka terima serta perbedaan pemahaman terhadap dalil-dalil tersebut. Oleh karena itu, tiap-tiap jemaah haji hendak-lah beramal menurut cara yang mereka peroleh dari sumber yang mu‘tamad, melalui guru-guru yang ahli dan bertanggung jawab. Perbedaan rincian praktik manasik di antara jema‘ah yang mungkin mengikuti mazhab yang berbeda, hendaklah dipandang sebagai rahmat Allah, dan, kecuali dalam majlis ilmu, hal-hal seperti itu tidak layak dipertentangkan.

Berikut ini kami kemukakan cuplikan uraian dari beberapa sumber, 1. Urutan Khutbah dan Azan Zuhur di Arafah.

Dokumen terkait