• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salat Dan Permasalahannya

SHALAT BERJAMAAH Pertanyaan :

Mohon Bapak berikan penjelasan bagaimanakah hukumnya bila dalam melakukan salat jama‘ah imam berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum.

Jawab :

Mengenai masalah ini dapat kami kutipkan keterangan dari kitab Syar¥ al-Muha©©ab, sebagai berikut,

Ab- Is¥±q al-Sy³r±z³, berkata, “Dan yang sesuai dengan sunnah (wa al-Sunnah) ialah bahwa tempat imam tidak lebih tinggi daripada tempat makmum. karena ada riwayat bahwa ¦u©aifah melakukan salat di sebuah kedai (dukk±n) sedangkan para makmum (al-n±s) lebih rendah daripadanya. Lalu Salm±n menariknya, sehingga ia menegakkannya [di tempat yang benar]. Setelah usai salat, Salman berkata, “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa para sahabatmu tidak suka (yakrah-na) kalau imam berdiri di suatu tempat sedangkan mereka lebih rendah daripadanya?”. Hu©aifah menjawab, “Ya saya ingat ketika engkau menarikku.”77 Demikian

77 Ab- Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi,

ﻲﻠﻋ ﻰﻠﺻ " ﺔﻔﻳﺪﺣ ﻥﺍ ﻯﻭﺭ ﺎﳌ ﻡﻮﻣﺀﺎﳌﺍ ﻊﺿﻮﻣ ﻦﻣ ﻼﻋﺍ ﻡﺎﻣﻻﺍ ﻊﺿﻮﻣ ﻥﻮﻜﻳ ﻻ ﻥﺍ ﺔﻨﺴﻟﺍﻭ

ﻚﺑﺎﺤﺻﺍ ﻥﺍ ﺖﻤﻠﻋ ﺎﻣﺍ ﻝﺎﻘﻓﺮﺼﻧﺍ ﺎﻤﻠﻓ ﻪﻣﺎﻗﺍ ﱴﺣ ﻥﺎﻤﻠﺳ ﻪﺑ ﺪﺠﻓ ﻪﻨﻣ ﻞﻔﺳﺍ ﺱﺎﻨﻟﺍﻭ ﻥﺎﻛﺩ

" ﱴﺑﺪﺟ ﲔﺣ ﺕﺮﻛﺩ ﺪﻗ ﻰﻠﺑ ﺔﻔﻳﺪﺣ ﻝﺎﻗ ﻪﻨﻣ ﻞﻔﺳﺍ ﻢﻫﻭ ﺊﺷ ﻰﻠﻋ ﻡﺎﻣﻻﺍ ﻰﻠﺼﻳ ﻥﺍ ﻥﻮﻫﺮﻜﻳ

pula tempat makmum janganlah lebih tinggi daripada tempat imamnya. Sebab, jika tempat si imam lebih tinggi pun sudah makruh, tentunya lebih makruh lagi bila tempat si makmum yang lebih tinggi.”

Dalam komentar terhadap keterangan Ab- Is¥±q itu, Im±m al-Nawaw³ rh. hanya menyatakan bahwa riwayat tentang kisah Salman menarik ¦u©aifah itu adalah daif, seperti yang terdapat pada kitab Baihaq³, al-Sunan al-Kab³r. Kemudian al-Nawaw³ mengemukakan riwayat yang masyhur, bahwa yang menarik ¦u©aifah itu adalah Ab- Mas‘-d al-Badar³, seperti diriwayatkan oleh al-Sy±fi‘³, Ab- Daw-d, dan al-Baihaq³ sendiri. Im±m al-Qur¯ub³, mengemukakan riwayat, bahwa ‘Ad³ ibn S±bit men-ceritakan dari seseorang yang pernah bersama-sama dengan ‘Amm±r ibn Y±sir, di Mad±’in. Ketika Mu‘a©©in telah qamat, ‘Amm±r maju dan berdiri di atas dukk±n, memimpin salat sedangkan para jama‘ah lebih rendah daripadanya. Akan tetapi, ¦u©aifah maju dan menangkap tangan ‘Amm±r. Ammar menurut, ketika ¦u©aifa menariknya turun. Setelah ‘Ammar selesai dari salatnya, ¦u©aifah berkata, “Bukankah engkau mendengar Rasul Allah saw., bersabda, Jika seseorang mengimami satu kaum maka janganlah berdiri di tempat yang lebih dari daripada tempat mereka.?” ‘Amm±r men-jawab, [Ya, dan] karena itulah maka saya menurut ketika engkau menarik tanganku.”

Namun demikian, bila dilakukan karena suatu keperluan, misalnya untuk memberitahu dan menunjukkan cara-cara salat kepada jama‘ah, maka posisi imam lebih tinggi itu tidaklah makruh, bahkan adalah sunat (ustu¥ibba). Demikianlah pendapat dalam mazhab al-Sy±fi‘³ dan menurut satu riwayat dari Ab- ¦an³fah ra.78 Pendapat ini didasarkan atas hadis

Lihat ibid., Juz IV, h. 294.

Sahih, bahwa Rasul Allah saw. pernah melakukan salat di atas mimbar. Ketika beliau takbir, orang-orang pun bertakbir pula mengikuti di belakang beliau. Selanjutnya beliau membaca [al-F±ti¥ah dan ayat lainnya], lalu ruku‘ dan orang-orang di belakangnya pun ikut ruku‘. Setelah bangkit [dari ruku‘] beliau turun dengan mundur (raja‘a al-qahqar³) dan sujud di lantai. Kemudian, beliau kembali lagi ke mimbar, membaca, ruku‘, bangkit dari ruku‘, turun lagi dengan mundur dan sujud di lantai. Setelah selesai, beliau berkata, “Saya lakukan hal ini adalah agar kamu mengikutiku dan [dengan demikian] kamu dapat mempelajari [cara] salatku.”

Karena posisi lebih tinggi itu lebih memungkinakn keberhasilan jama‘ah mempelajari salat tersebut, maka cara itu dianggap lebih baik (aul±) sehingga dinyatakan sunat adanya, di dalam mazhab al-Sy±fi‘³

Namun demikian, menurut satu riwayat dari Ab- ¦an³fah posisi imam lebih tinggi daripada makmum adalah makruh secara mutlak, sekalipun hal itu dilakukan dalam rangka mengajari jama‘ah. Im±m M±lik juga ber-pendapat hal itu tidak boleh kecuali jika selisih ketinggiannya hanya sedikit saja.

Jadi, masalah posisi imam lebih tinggi itu adalah perbuatan terlarang, dan hukumnya setidak-tidaknya makruh, kecuali yang dilakukan dalam rangka mengajari jama‘ah.

Pertanyaan :

Bagaimana hukum memakai baju jubah dan sorban di dalam salat? Jawab :

Menyangkut pakaian dalam salat terdapat beberapa riwayat. Misalnya, hadis Ibn ‘Umar bahwa Nabi saw. Menganjurkan agar orang yang melakukan salat supaya memakai dua helai pakaiannya ..., dan bila tidak mempunyai dua pakaian supaya memakai kain sarung (iz±r). Pada hadis lainnya terdapat larangan melakukan salat dengan hanya mengenakan selembar kain dan anjuran menutupi bahu.

Berdasarkan hadis-hadis seperti ini dan dengan memperhatikan praktik Rasul Allah saw. para ulama menegaskan, ketika melakukan salat, sunat mengenakan yang terbaik dari pakaian yang dimiliki. Secara lebih rinci, sebagai mana dikutip oleh Im±m al-Nawaw³, as¥±b (para ulama Sy±fi‘iyah) mengatakan, sebaiknyalah orang yang salat itu mengenakan

serban, qam³s, dan selendang (rid±’). Bila hendak memakai dua helai saja maka sebaiknya ia mengenakan qam³s dan rid±’, qam³s dan sarung, atau qam³s dan celana (sar±w³l). Bila hendak mengenakan sehelai saja, yang ter-baik ialah qam³s, kemudian secara berturut-turut, rid±’, sarung, dan celana.79

Agaknya, jubah yang dimaksud dalam pertanyaan adalah sama atau mirip dengan qam³s yang dikemukakan pada kutipan di atas. Oleh karena itu, menurut hemat kami, dapat diketahui bahwa memakai jubah dan serban dalam salat adalah sunat.

Pertanyaan :

Dalam pelaksanaan salat Jumat, apakah khatib yang semestinya bertindak menjadi imam?

Jawab :

Dari beberapa hadis dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan salat Jumat, Nabi saw. selalu bertindak sebagai khatib dan kemudian menjadi imam. Tampaknya, praktik seperti ini terus berlanjut pada masa sahabat dan ulama salaf. Ungkapan kitab-kitab fikih pun, kadang-kadang menyiratkan bahwa orang yang menjadi khatib dan imam itu adalah sama, seperti terdapat pada ungkapan “imam naik ke mimbar”, “imam sedang berkhutbah” dan sebagainya. Akan tetapi, sepanjang penelusuran ter-hadap beberapa sumber, kami belum menemukan adanya ketentuan yang mengharuskan agar yang bertindak sebagai imam dalam salat Jumat adalah orang yang menyampaikan khutbah. Oleh karena itu, menurut hemat kami, hal tersebut tidaklah menjadi keharusan.

Namun demikian, perlu diingat adanya kaidah yang mengatakan bahwa yang menjadi dasar dalam pelaksanaan ibadah adalah ittib±‘

79 Ab- Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³,

ﻞﻳﻭ ﺍﺮﺴﻟﺍ ﰒ ﺭ ﺍﺯﻻﺍ ﰒ

Ab- Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³, Majm-‘ Syarh al-Muhazzab, Juz I, (Beirut: D±r al-Fikri, tt.),h. 273.

ﺮﺼﺘﻗﺎﻧﺎﻓ ﻯﺪﺗﺮﻳﻭ ﺺﻤﻘﺘﻳﻭ ﻢﻤﻌﺘﻳﻭ ﻪﺒﻴﺛ ﻦﻣ ﻩﺪﳚ ﺎﻣ ﻦﺴﺣﺍ ﰱ ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻰﻠﺼﻳ ﻥﺍ ﺐﺤﺘﺴﻳﻭ

ﱃﻭﺍ ﺺﻴﻤﻘﻟﺎﻓ ﺪﺣﺍﻭ ﻰﻠﻋ ﺮﺼﺘﻗﺍ ﻥﺎﻓ ﻞﻳﻭﺍﺮﺳﻭ ﺺﻴﻤﻗ ﻭﺍ ﺀﺍﺩﺭﻭ ﺺﻴﻤﻗ ﻞﻀﻓﻻﺎﻓ ﲔﺑﻮﺛ ﻰﻠﻋ

(mengikuti pedoman Rasul Allah saw.). Setidak-tidaknya, kaidah ini berarti bahwa nilai suatu ibadah akan semakin baik bila pelaksanaannya semakin sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh Rasul Allah saw. Jadi, menurut hemat kami, wa All±hu a‘lam, adalah lebih baik bila fungsi khatib dan imam dilaksanakan oleh satu orang.

Pertanyaan :

Pada waktu salat berjama‘ah, setelah membaca Fatihah, si imam langsung membaca surat/ayat lain. Dalam hal ini, apakah makmum harus juga membaca al-Fatihah, dan kapan waktu membacanya ?

Jawab :

80 Ab- Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³,

Ab- Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³ Majm-‘ Syarh al-Muhazzab, Juz IV, (Beirut: D±r al-Fikri, tt.), h. 327

81 Ab- Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Naw±w³,

Lihat ibid., h. 366.

ﻰﺿﺭ ﺓﺮﻳﺮﻫ ﰉﺍ ﻦﻋ

ﺎﻗ ,ﻝﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﻟﻠﻪﺍ

ﺃﺮﻘﻳ ﱂ ﻦﳌ ﺓﻼﺻﻻ " ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻟﻠﻪﺍ ﻰﻠﺻ ﻟﻠﻪﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻝ

ﺎﻔﺑ

ﻢﻠﺴﻣﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﺔﲢ

Sebagaimana dikatakan oleh Im±m al-Nawaw³, cukup banyak hadis sahih yang menyatakan keharusan membaca F±ti¥ah dalam salat. Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa Rasul Allah saw. bersabda, “Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca F±ti¥ah al-Kit±b.” (HR. al-Buk¥±r³ dan Muslim).80 Berdasarkan hadis-hadis seperti ini, para ulama, khususnya dari kalangan mazhab al-Sy±fi‘³, menegaskan bahwa membaca F±ti¥ah itu merupakan rukun yang wajib dilakukan dalam salat, baik oleh orang yang salat sendirian (munfarid), maupun oleh mereka yang salat berjama‘ah, sebagai imam ataupun sebagai makmum; baik pada salat jahar, maupun salat sirr; dan baik salat fardu maupun salat sunnah.81

ﻡﺎﻣﻻﺍ ﻊﻣ ﻪﻛﺭﺪﻳ ﺎﻤﻴﻓ ﻕﻮﺒﺴﳌﺍ ﻰﻠﻋﻭ ﺔﻌﻛﺭ ﻞﻛ ﰱ ﺩﺮﻔﻨﳌﺍﻭ ﻡﺎﻣﻻﺍ ﻰﻠﻋ ﺔﺒﺟﺍﻭ ﺔﲢﺎﻔﻟﺍ ﺓﺀﺍﺮﻘﻓ

ﺔﻳﺮﺴﻟﺍ ﺓﻼﺼﻟﺍ ﰱ ﺔﻌﻛﺭ ﻞﻛ ﰱ ﻪﻴﻠﻋ ﺎ ﻮﺟﻭ ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ ﺐﻫﺬﳌﺎﻓ ﻡﻮﻣﺄﳌﺍﺎﻣﺍ ﻭ ﻑﻼﺧ ﻼﺑ

Sehubungan dengan kewajiban tersebut, maka, setelah membaca F±ti¥ah, imam disunatkan diam sebentar, yakni selama waktu yang dibutuhkan oleh makmumnya untuk membaca F±ti¥ah.82 Hal ini sesuai dengan sebuah hadis bahwa Samurah ibn Jundub menyatakan, bahwa dirinya mengingat betul (¥afi§a) bahwa Rasul Allah saw. ada dua kali berdiam diri dalam salatnya, yaitu, setelah beliau selesai mengucapkan takbir dan setelah selesai membaca gairi al-mag«-bi ‘alaihim wa l± al-«±ll³n. Ketika hal ini dipertanyakan kepada Ubay ibn Ka‘b, ia memberikan konfirmasi, bahwa ingatan Samurah itu adalah benar. (HR. Ab- D±w-d dan al-Tirimi©³, dan ia menilainya sebagai hadis ¥asan).

Berdasarkan ketentuan ini, maka makmum tetap saja harus membaca F±ti¥ah, sekalipun si imam tidak diam untuk memberi waktu bagi makmum-nya membaca surat tersebut. Si makmum tidak dapat mengabaikan kewa-jiban tersebut, sebab bila ia tidak membacanya, maka salatnya tidak sah. Sebaliknya, tuntutan mendengar bacaan imam, haruslah diabaikan, sebab bertentangan dengan tuntutan membaca F±ti¥ah yang lebih penting.

Tampaknya, tuntunan untuk diam sebentar setelah selesai membaca F±ti¥ah ini, sangatlah layak diperhatikan oleh orang-orang yang bertindak sebagai imam dalam pelaksanaan salat, sehingga masalah seperti yang ditanyakan di atas, tidak perlu timbul lagi.

SALAT SUNAT

Dokumen terkait