• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Hak-hak Masyarakat dalam Pengelolaan SDA-L

Hak atas tanah dan sumberdaya alam (budle of rights) menurut Bruce (1993) merupakan relasi sosial terkait dengan kepemilikan atau penguasaan atas suatu objek atau benda “tenure dan property” yang dalam konteks sekarang diartikan sebagai hak atas tanah dan sumberdaya alam (budle of rights). Pengertian tenurial dapat dipahami sebagai hubungan relasi, baik berdasarkan kesepakatan atau kebiasaan yang dipraktikan dalam suatu kelompok masyarakat atas SDAL.

Dietz (1998) menyatakan bahwa bentang alam dan cadangan SDA-L dalam suatu kawasan adalah gelanggang politik yang diperebutkan. Berkaitan dengan beragam SDA-L, maka pengakuan hak mencakup tiga hal; (1) hak atas sumberdaya sendiri, (2) hak untuk memanfaatkannya, dan (3) hak untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan-keputusan pengelolaannya.

Hubungan tenurial atas SDA-L adalah sebuah institusi sosial yang dibuat oleh sekelompok masyarakat untuk mengatur tingkah-lakunya. Aturan-aturan tersebut menentukan bagaimana hak-hak atas tanah dapat dialokasi dalam masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah akses untuk hak memanfaatkan,

mengontrol dan mengalihkan tanah atau SDAL lainnya, yang mencakup tanggung-jawab dan larangan (FAO 2002).

Sistem tenurial atas tanah dan SDA-L dapat dikalsifikasi menjadi 4 (empat) kategori umum kepemilikan, yakni; (1) kepemilikan privat, artinya hak diberikan kepada suatu badan privat yang dapat terdiri dari seseorang, kelompok, lembaga swasta ataupun lembaga nirlaba, (2) kepemilikan komunal, artinya dimiliki secara komunal dan hanya dapat dimanfaatkan anggota dari masyarakat itu, (3) open access (siapa saja dapat memanfaatkan SDAL tersebut, dan (4) kepemilikan publik atau negara adalah hak yang diklaim oleh negara yang tanggung-jawab kepengurusannya diserahkan kepada satu sektor tertentu dalam pemerintah (FAO 2002).

Hak pemilikan atas sumberdaya alam menurut Lynch (1995) terdiri dari; (1) hak menggunakan secara langsung, (2) hak memperoleh keuntungan ekonomi secara tidak langsung, (3) hak untuk mengontrol, (4) hak memindah-tangankan` (5) hak residual atau mewariskan, dan (6) hak simbolik. Kondisi kepemilikan atas SDA-L di sejumlah kawasan di Indonesia kebanyakan berada dalam kondisi ketidak pastian (tenurial insecurity). Kondisi ini dijelaskan oleh Ellsworth (2004) melalui 4 (empat) aliran pemikiran utama, yakni;

1. Aliran hak-hak property (Property Rights) yang memberikan hak-hak kepemilikan

properti melalui sertifikasi atas SDAL (tanah) secara individu dan privat yang dapat diperdagangkan secara bebas;

2. Aliran ketimpangan struktur agraria (Agrarian Structure Traditions), memandang

bahwa ketimpangan terjadi karena adanya perdagangan aset. Sertifikasi individual atas aset SDAL tidaklah secara otomatis meningkatkan efisiensi dan menguntungkan

masyarakat petani. Dalam hal ini harus ada political will dari pemerintah untuk

melindungi masyarakat miskin melalui strategi land reform;

3. Aliran advokasi hak property masyarakat adat (Common Property Advocates atau

Common Property Shcool), memandang pentingnya pengakuan dan dukungan politik

bagi hak-hak atas SDAL yang secara turun temurun (hak ulayat) yang dimiliki oleh

masyarakat adat, dan;

4. Aliran institusionalis (Institutionalist) berangkat dari pengaruh makro politik ekonomi

terhadap rezim-rezim properti yang ada, yang selanjutnya akan menentukan kepastian hukum hak atas suatu properti. Aliran Institusinalis memandang bahwa tidak ada satu pun rezim kepemilikan properti yang benar-benar ideal. Kekuasaan politik dan keadilan distribusi SDAL jauh lebih penting dan lebih menentukan siapa yang dapat memperoleh kepastian hukum tenurial dan siapa yang tidak.

Schlager & Ostrom (1992) menyatakan bahwa untuk di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, hak-hak atas SDAL dapat diklasifikasi menjadi 5

(lima) kategori; (1) Hak atas akses (rights of access), yakni hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, (2) Hak pemanfaatan (right of withdrawal), yakni untuk mengambil sesuatu atau memanen sesuatu hasil alam, (3) Hak pengelolaan (rights of management), yakni hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi, (4) Hak pembatasan (rights of exclusion), yakni hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akses dari seseorang ke orang lainnya, kelompok atau lembaga, dan (5) Hak pelepasan (rights of alienation), yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya.

Ellsworth (2004) menyatakan bahwa kebijakan penetapan suatu kawasan untuk suatu peruntukan --(termasuk taman nasional)-- semestinya harus mengacu kepada Institutionalist Tenure Security. Artinya mempertimbangkan faktor sejarah pengelolaan, demografi (distribusi sumberdaya), faktor budaya, organisasi sosial, system nilai, harga relative yang berlaku dan regim hukum yang berlaku. Minimasi gap kebijakan maka harus ada proses negosiasi dan konsesus di antara para pihak yang berkepentingan.

UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria Pasal 16 ayat (1) hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) --hak menguasai dari Negara- - ialah: a. hak milik, b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan’ d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain -- sifatnya sementara ialah; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian -- yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan UU serta hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53.

Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diatur dalam UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) Pasal 5;

(1)Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

(2)Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan

peran pengelolaan lingkungan hidup

(3)Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan

Hak-hak masyarakat atas kekayaan sumberdaya hutan secara tegas telah diatur dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 68 bahwa:

(1)Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan

(2)Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

a. Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perudang-undangan

yang berlaku;

b. Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hutan, dan informasi

kehutanan;

c. Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan, dan

d. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik

langsung maupun tidak langsung;

(3)Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena

hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(4)Setiap orang berhak memperoleh kompenasasi karena hilangnya hak atas tanah

miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Kemiskinan dan kekurangan pangan masyarakat miskin menurut Sen (1981) bukan semata-mata karena keterbatasan SDAL, tetapi lebih karena mekanisme sosial politik yang mengakibatkan minimnya -- (tidak adanya) -- pengakuan hak pertukaran (exchange entitlements) bagi masyarakat miskin. Pengakuan hak sering bersifat mendua, dan berada pada wilayah abu-abu (grey area), sehingga membuatnya menjadi konsep yang bermanfaat bagi analisis sosial politik.

Dokumen terkait