• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi dalam

Kebijakan pelestarian nasional menurut MacKinnon et al. (1990) harus mencakup suatu pernyataan mengenai tanggung-jawab bangsa terhadap pemanfaatan sumberdaya milik bangsa secara berkelanjutan, termasuk perlindungan wakil-wakil ekosistem, dan species melalui suatu program pengelolaaan kawasan yang dilindungi. WCS secara garis besar memberikan petunjuk umum mengenai isi dan tujuan yang perlu dirumuskan dalam kebijakan pelestarian tiap-tiap negara, menekankan perlunya menggaris-bawahi kepentingan pelestarian dan pengelolaan kawasan yang dilindungi dalam mengisi pembangunan berkelanjutan6

Dalam pengelolaannya, Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) menurut Saparjadi (1998) memiliki prinsip-prinsip dasar, yakni; (1) prinsip komitment nasional, (2) prinsip irreversible, (3) prinsip manfaat

.

Kebijakan dan program pemerintah di bidang pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan menurut Soetaryono (2004) dirancang untuk mendukung antara lain, prioritas percepatan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Hal tersebut dimaksudkan agar terwujudnya keseimbangan dan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan.

Djayadiningrat (2001) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, antara lain dimaksudkan; (1) memberi akses kepada masyarakat adat dan lokal, (2) pola pemanfaatan sumberdaya alam harus memberi kesempatan dan peran aktif masyarakat adat dan lokal, dan, (3) secara simultan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.

6

WCS menekankan kepada setiap Negara untuk menegaskan kebutuhan pelestariannya dan mendifinisikan kebijakan pelestariannya melalui penyiapan strategi pelestarian nasionalnya sendiri,…….secara umum pemanfaatan sumberdaya alam berkaitan dengan pembangunan bidang ekonomi; Sebagai jawaban atas keharusan WCS tersebut, maka eksistensi, peran dan fungsi Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) seperti tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1990 merupakan komitmen nasional yang menjadi kewajiban semua pihak –pemerintah, swasta dan masyarakat—untuk ikut mengamankan, mengelola dan memanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat generasi sekarang maupun yang akan dating (MacKinnon et al. 1990).

optimum, (4) prinsip subsidi silang, (5) prinsip pengakuan, apresiasi dan partisipasi, (6) prinsip passing out, (7) prinsip pengalihan tekanan, dan (8) prinsip kemandirian.

Pada praktiknya, Mitchell et al. (2003) menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan akan selalu berhadapan dengan empat masalah penting, yakni; (1) perubahan, (2) kompleksitas, (3) ketidak- pastian, dan (4) konflik sumberdaya alam. Keempat masalah tersebut dapat menjadi masalah sekaligus menjadi peluang bagi semua pihak. Ia akan menjadi peluang ketika keempat masalah tersebut, proses interaksi dan hubungan sebab- akibatnya dapat dipahami secara kritis serta mengetahui bagaimana menjadi agen perubahan yang positif. Menurut Kartodihardjo & Jamtani (2006), implementasi kebijakan politik lingkungan di Indonesia tidak dikelola secara komprehensif, sehingga menimbulkan ketidak-amanan sumberdaya hutan, seperti banyaknya penjarahan dan pencurian kayu maupun naiknya ketidak-pastian usaha.

Ekologi politik sebagai konsep menurut Bryant (1992) dalam Mitchell et al. (2003) telah dikembangkan untuk membantu memahami dimensi, kondisi dan kompleksitas politik dari perubahan lingkungan, terutama di negara berkembang. Ekologi politik dimaksudkan untuk menganalisis dan memahami hubungan sebab-akibat yang lebih jauh daripada sekedar sistem bio-fisik dan alami. Ekologi politik memiliki tiga dimensi penting, yakni:

1. Sumber politik; kebijakan negara, hubungan antar negara dan kapitalisme global, yang kesemuanya memacu pentingnya tekanan nasional dan global terhadap masalah lingkungan;

2. Kondisi; konflik-konflik yang timbul dari perlawanan masyarakat lokal. Dimensi ini menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang untuk mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Pemahaman terhadap hal ini membutuhkan pemahaman terhadap latar belakang sejarah dan dinamika setiap konflik;

3. Ramifikasi; konsekuensi politik perubahan lingkungan, dengan penekanan pada dampak sosial-ekonomi dan proses politik.

Ketiga dimensi di atas, menurut Bryant & Bailey (2000) dipengaruhi atau dimainkan oleh 5 (lima) aktor, yakni; state, businessmen, multilateral institution, NGOs dan grassroots. Dalam konteks ini, negara memiliki fungsi ganda, yakni sebagai aktor pengguna sekaligus sebagai pelindung SDA, dan sering mengalami konflik kepentingan. Eksistensi negara secara teoritik dan praksis banyak dikritik

dan mendapatkan resistensi, karena; 1. Negara-negara di dunia mempersulit upaya pemecahan masalah lingkungan, demi kepentingan pembangunan ekonomi, lingkungan hidup sering kali dikorbankan, dan 2. Negara-negara di dunia selalu tidak dalam kapasitas untuk memecahkan masalah lingkungan dalam berbagai level.

Peet & Watts (1996) menyatakan bahwa ekologi politik adalah sebuah pertemuan antara ilmu sosial yang berakar dari ekologi dan prinsip-prinsip politik ekonomi. Tujuan studinya dalam membentuk “pergerakan yang muncul dari tekanan dan pertentangan krisis dibawah produksi, memahami pemikiran oposisi dan visi untuk hidup yang lebih baik dan perubahan kondisi politik, dan melihat kemungkinan untuk memperluas isu-isu lingkungan ke dalam sebuah pergerakan untuk pemberian hak kehidupan dan keadilan sosial.

Scott & Sullivan (2000) menyatakan ekologi politik mengidentifikasi persoalan politik yang mendesak masyarakat ke dalam aktivitas yang menyebabkan kerusakan lingkungan tanpa adanya alternatif peluang yang meliputi permintaan dan pembangunan kembali narasi lingkungan yang sudah mapan, terutama yang berkaitan dengan lingkungan internasional dan diskursus pembangunan. Tujuannya adalah mengilustrasikan dimensi politik dalam narasi lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk menunjukkan bahwa gagasan yang mapan mengenai penurunan kualitas dan pemerosotan mungkin bukan tren linier yang cenderung mendominasi.

Forsyth (2003) menyatakan ekologi politik, secara strukturalis adalah ekplorasi hubungan antara kapitalisme dan atau kebijakan negara yang opresif yang berdampak pada masyarakat lokal dan kerusakan lingkungan. Ekologi politik menurut Watts (2000) dalam Robbins (2004) adalah analisis kompleksitas hubungan antara alam dan masyarakat melalui analisis menyeluruh yang menimbulkan akses dan kontrol atas sumberdaya dan dampaknya bagi kesehatan lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Tujuannya adalah menjelaskan konflik lingkungan, terutama dalam hal memperjuangkan “pengetahuan,

Lebih lanjut Robbins (2004) megidentifikasi masalah lingkungan melalui empat pendekatan, yakni;

1. Degradasi dan marginalisasi, bahwa isu perubahan lingkungan terjadi sebagai dampak

dari over eksploitasi, yang berujung pada kemiskinan (peminggiran dan pemiskinan);

2. Konflik lingkungan, bahwa konflik terjadi karena kelangkaan sumberdaya akibat

pemanfaatan dari negara, swasta dan elite sosial yang kemudian mempercepat konflik

antar kelompok (gender, kelas dan etnik);

3. Konservasi dan kontrol, bahwa kegagalan konservasi adalah akibat dari tercerabutnya

peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya, serta pengabaian mata pencaharian dan organisasi ekonomi mereka hanya karena untuk melindungi lingkungan, dan;

4. Identitas lingkungan dan gerakan sosial, bahwa gerakan sosial politik terkait dengan

upaya untuk mempertahankan mata pencaharian dan perlindungan lingkungan. Dalam semua proses di atas, kepentingan global dan kepentingan pemerintah untuk

mengawetkan lingkungan justeru membasmi sistem mata-pencaharian lokal, produksi, dan orgnaisasi sosial politik. Konservasi bagi pemerintah adalah untuk mensimplifikasi kontrol atas sumberdaya dan lansekap.

Hempel (1996) dalam Robbins (2004) menyatakan bahwa politik ekologi adalah studi hubungan antara lembaga politik dan hubungan antara lembaga politik dengan lingkungannya…berkaitan dengan dampak politik perubahan lingkungan. Tujuan dari studi ini adalah menyelidiki dan menjelaskan tingkatan masyarakat dan kebijakan politik regional di wilayah global, sebagai respon terhadap penurunan kualitas lokal dan regional dan kelangkaan sumberdaya.

Konservasi lingkungan menurut Bryant dan Bailey (2000), jarang dilihat sebagai upaya konservasi demi konservasi, tetapi ia telah diperalat untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan politik. Upaya konservasi sering digunakan untuk kepentingan pertahanan dan alat kontrol negara atas rakyat dan lingkungan. Negara tidak ingin kehilangan kontrol dan kewenangannya atas sumberdaya dan lingkungan, sebagai bentuk penegasan hegemoni negara terhadap aktor lain. Kontrol akses dan hak-hak masyarakat oleh negara (pemerintah), menurut Anderson (1995) dalam Satria (2002) dilakukan dengan memberlakukan controlled access regulation melalui; (1) pembatasan input (para pihak dengan segenap kegiatan eksploitasinya), dan (2) pembatasan output berupa kuantitas eksplotasi SDA-L.

Escobar (1998) menyatakan bahwa diskursus konservasi dan keanekaragaman hayati penting dilihat dari perpektif pergerakan sosial7

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, perilaku konservasi tersebut mengalami ”pembelotan” ketika dunia Barat (Eropa) mengalami lompatan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada abad pencerahan (abad 16-18).

. Konsep konservasi dan keaneka-ragaman hayati memang memiliki makna biofisik, namun diskursus ini mendorong bagi munculnya suatu jaringan beragam aktor yang kompleks, mulai dari organisasi internasional dan LSM Lingkungan sampai pada komunitas lokal dan pergerakan sosial. Gerakan sosial (social movement) terhadap kebijakan konservasi sedang terjadi secara massiv di negara-negara Dunia ke -3.

2. 2 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Permasalahan Taman Nasional

Dokumen terkait