• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP UTANG DIKAITKAN DENGAN

B. Hak-hak Normatif Tenaga Kerja/Buruh

Pengertian hak normatif tidak ada secara eksplisit dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebut istiah hak normatif dapat ditemukan dalam Pasal 145 yang berbunyi “ Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah”.64

Istilah hak normatif lazim digunakan dalam praktek dan pembicaraan di bidang ketenagakerjaan khususnya bidang hubungan kerja/hubungan industrial. Secara umum pengertian hak normatif pekerja adalah semua hak pekerja yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan/atau perjanjian kerja bersama. Komponen hak normatif pekerja sudah terjawab dalam definisi tersebut. Suatu kesejahteraan/ tunjangan yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan misalnya: tunjangan cuti, besaran tunjangan hari raya adalah 2 bulan upah, program pensiun pekerja apabila sudah dinyatakan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan/atau Perjanjian Kerja Bersama menjadi hak normatif pekerja.65

64

Pasal 145 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

65

Bambang Suprianto, Hak Normatif Karyawan, Apa Saja, tanggal 16 April 2014, Pukul 16:05 WIB

Pelanggaran terhadap hak normatif, dalam praktek ketenagakerjaan, menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Berbagai macam perselisihan hubungan industrial, umumnya perselisilihan hubungan industrial sering mengarah kepada perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni perselisihan yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak .

Perselisihan PHK terjadi karena salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja secara sepihak. Misalnya pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh karena melakukan berbagai tindakan pelanggaran tetapi si pekerja buruh menolak diputus hubungan kerjanya.66

Demikian juga sebaliknya, jika pekerja buruh memutuskan hubungan kerja karena pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya kepada pekerja buruh seperti cuti, tunjangan-tunjangan akan tetapi pengusaha tidak mau memutuskan hubungan kerja. Disi lain Perselisihan PHK ini juga dapat perbedaan mengenai jumlah pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja antara pekerja buruh dengan pengusaha.67

PHK pada dasarnya merupakan masalah yang kompleks karena mempunyai dampak pada pengangguran, kriminalitas, kesempatan kerja. Seiring dengan laju perkembangan industri serta meningkatnya jumlah angkatan kerja yang bekerja,

66

Gindo Nadapdap, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Medan: Kelompok Pelita Sejahtera, 2006) hal. 9

67 Ibid

permasalahan pemutusan hubungan kerja merupakan permasalahan yang menyangkut kehidupan manusia.68

PHK bagi pekerja merupakan awal penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Sedangkan bagi perusahaan PHK juga merupakan kerugian karena harus melepas pekerja yang telah dididik dan telah mengetahui cara-cara kerja di perusahaannya.Terjadinya PHK dengan demikian bukan hanya menimbulkan kesulitan bagi pekerja tetapi juga akan menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Untuk itu pemerintah perlu ikut campur tangan dalam mengatasi masalah PHK.69

1. PHK oleh pengusaha. Alasan PHK disini digolongkan dalam tiga golongan yaitu :

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dikenal ada empat jenis PHK, yakni :

a. alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi pekerja b. alasan yang berhubungan dengan tingkah laku pekerja, dan

c. alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan artinya demi kelangsungan jalannya perusahaan.

2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja

PHK oleh seorang pekerja, yang akan mengakhiri hubungan kerja harus mengemukakan alasan-alasannya kepada pengusaha. Alasan mendesak adalah

68

Agus Salam, Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaiannya Pukul16:30

69 Ibid

suatu keadaan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pekerja tersebut tidak sanggup untuk meneruskan hubungan kerja misalnya mengenai upah.

3. Hubungan kerja putus demi hukum.

Selain diputuskan oleh pengusaha atau oleh pekerja hubungan kerja dapat putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya.

4. PHK oleh pengadilan.

PHK oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (pekerja/pengusaha) berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah di samping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.

Dalam penelitian ini peneliti akan memfokuskan pembahasannya pada hak-hak normatif tenaga kerja/buruh apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Menurut ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan: ” Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Ayat (2) menyebutkan:

Penghitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:

b. Masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah; Ayat 3 menyebutkan:

Penghitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. Masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan) tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah; Ayat 4 menyebutkan:

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.

b. Biaya atau ongkos pulang pekerja/ buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima.

c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Dari ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini dengan demikian dapat simpulkan bahwa jika terjadi pemutusan hubungan kerja, khususnya pemutusan hubungan kerja sepihak oleh pihak pengusaha, maka pihak pengusaha wajib membayarkan hak-hak normatif pekerja/ buruh berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak.

Ketentuan pengaturan mengenai upah proses diatur dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.70

70

Upah Proses adalah: upah yang diperoleh selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan.

Dimana ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yakni Kepmenaker No. 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan . Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur sebagai berikut: “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”71

Pada masa penyelesaian perselisihan PHK melalui lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan perburuhan Pusat (P4P), anggota panitia dalam lembaga itu seragam menerapkan upah proses PHK selama 6 (enam) bulan. Namun dalam praktik peradilan, hakim Perselisihan Hubungan Industrial tidak memiliki sikap yang sama mengadili batas upah proses. Sikap pertama, memutus upah proses paling lama enam bulan. Argumennya merujuk pada Pasal 191 UU No. 13 Tahun 2003.

Dalam prakteknya pekerja/buruh yang terbelit kasus/ sengketa perselisihan PHK dan memilih menyelesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) selalu mengajukan tuntutan upah proses. Pekerja/buruh yang menyadari hakikat Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan lazimnya menyusun tuntutan upah proses dengan redaksi “menghukum tergugat (pengusaha) membayar upah proses sejak PHK dilakukan sampai putusan berkekuatan hukum tetap dilaksanakan.

72

71

Undang-undang No. 13 tahun 2003, Op. Cit 72

Juanda Pangaribuan, Putusan MK dan Ragam Tafsir Tentang Upah Proses PHK http://www.hukumonline.com/,diakses tanggal 25 April 2014 pukul 14:15 WIB.

Kelompok ini menjelaskan, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak pernah mencabut Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan

Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan.

Sikap kedua menegaskan, ketentuan upah proses di dalam Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan tidak lagi berlaku. Alasannya, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memiliki kedudukan lebih tinggi dari Kepmenaker. Selain itu, Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan telah mengatur upah proses PHK tanpa batas waktu.

Dalam kaitan upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan PHI. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses selama 6 (enam) bulan. Putusan menghukum 6 (enam) bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan. Putusan hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah

proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Aliran ini, murni berkiblat pada Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 73

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial, telah diatur secara limitatif. Dimana menurut pasal dalam prakteknya Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, majelis hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama.74

Penyelesaian perselisihan berupa PHK umumnya berasal dari inisiatif para pekerja/buruh dengan jalan mengajukan gugatan. Namun gugatan tersebut umumnya tidaklah seketika diajukan sejak terjadinya PHK. Dalam praktek pengajuan gugatan dilakukan setelah beberapa bulan pemutusan hubungan kerja itu terjadi. Pengajuan penyelesaian perselisihan PHK yang pada umumnya datang dari inisiatif pekerja/ Menjadi masalah bagi pencari keadilan, tenggang waktu penyelesain perselisihan perburuhan ini, saat kasus berpreoses pada di tingkat kasasi. Dimana dalam UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur secara baku tahapan waktu, berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat pertama. Sehingga proses penyelesaian perselisihan industrial juga pada prakteknya tidak dapat dilakukan secara cepat.

73 Ibid 74

buruh sebenarnya merupakan bentuk investasi masalah bagi pihak pengusaha. Hal ini berkaitan dengan upah proses dimana semakin lama suatu kasus memperoleh putusan maka upah proses juga semakin besar. Misalnya hakim memutus kasus PHK pada bulan ke delapan sejak didaftar maka upah proses yang akan dibayar juga selama delapan bulan.

Berkaitan dengan upah proses ini, Ugah Gandar, Eko Wahyu selaku Presiden dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, dan Rommel Antonius Ginting selaku mantan pekerja PT Total Indonesia mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi selanjutnya disebut MK. Tiga karyawan itu menguji Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Permohonan itu teregistrasi dengan No 37/PUU-IX/2011 sebagaimana diputus tanggal 19 September 2011. Di dalam permohonan judicial review para pemohon meminta MK memberi tafsir terhadap Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 khusus mengenai frasa “belum ditetapkan” agar dinyatakan sebagai berkekuatan hukum tetap.75

Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai belum berkekuatan hukum tetap;

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengabulkan permohonan ini dan pada pokoknya menyatakan:

75

Adanya berbagai macam aliran tentang upah proses sebagaimana diuraikan diatas dihubungkan dengan putusan MK ini, secara faktual, Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan, bukan aturan pelaksana dari Pasal 155 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di perusahaan tidak lagi sebagai hukum positif sehingga putusan MK itu memberi kepastian bahwa Kepmenaker No 150 Tahun 2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian di perusahaan bukan landasan Yuridis yang benar untuk menyatakan upah proses PHK paling lama enam bulan.

Mengacu putusan MK ini, upah proses PHI tingkat pertama saat memutus perkara harus menghitung upah proses sampai pada putusan itu diucapkan. Selanjutnya, bila perselisihan diajukan kasasi, hakim kasasi menghitung upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. Dengan demikian, hakim dapat menghukum pengusaha membayar upah proses sampai putusan kasasi diucapkan. 76

76

Juanda Pangaribuan, Putusan MK dan Ragam Tafsir Tentang Upah Proses PHK http://www.hukumonline.com/,diakses tanggal 25 April 2014 pukul 14:15 WIB., Op.Cit

Dokumen terkait