• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERMOHONAN PAILIT TERHADAP PERSEROAN

TERBATAS OLEH TENAGA KERJA

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NOMOR. 01/PAILIT/2012/PN.Niaga.Mdn Jo PUTUSAN KASASI MAHKAMAH AGUNG NOMOR.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo PUTUSAN

PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG NOMOR.195 PK/Pdt. Sus/2012 ANTARA ROHANI,DKK MELAWAN PT. INDAH PONTJAN)

TESIS OLEH :

MANAMBUS PASARIBU

127005013

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS PERMOHONAN PAILIT TERHADAP PERSEROAN

TERBATAS OLEH TENAGA KERJA

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NOMOR. 01/PAILIT/2012/PN.Niaga.Mdn Jo PUTUSAN KASASI MAHKAMAH AGUNG NOMOR.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo PUTUSAN

PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG NOMOR.195 PK/Pdt. Sus/2012 ANTARA ROHANI,DKK MELAWAN PT. INDAH PONTJAN)

TESIS

(Disusun Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

Oleh

MANAMBUS PASARIBU 127005013

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : ANALISIS PERMOHONAN PAILIT TERHADAP

PERSEROAN TERBATAS OLEH TENAGA KERJA

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NOMOR.

01/PAILIT/2012/PN.Niaga.Mdn Jo PUTUSAN KASASI

MAHKAMAH AGUNG NOMOR.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo PUTUSAN

PENINJAUAN KEMBALI MAHKAMAH AGUNG NOMOR.195

PK/Pdt. Sus/2012 ANTARA ROHANI,DKK MELAWAN PT. INDAH

PONTJAN)

Nama : Manambus Pasaribu

Nim : 127005013

Program Stdudi : Ilmu Hukum

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H

Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum

Anggota Anggota

Dr. Mahmul Siregar, S.H, M.Hum

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

Prof. Dr. Suhaidi, S.H, M.H Prof. Dr. Runtung, S.H, M.H

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. 3. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Putusan perkara Perselisihan Hubungan Industrial yang sudah inkrach van gewijsde dan eksekusinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak khususnya tenaga kerja/buruh. Namun dalam prakteknya karena tidak adanya kepastian hukum berupa pelaksanaan putusan yang sudah inkrach van gewijsde tenaga kerja/buruh kemudian mengunakan lembaga kepailitan sebagai upaya untuk memperoleh pembayaran atas hak-hak normatifnya yang dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah 1. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah selama proses dapat dikategorikan sebagai utang?. 2. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan dapat diajukan sebagai dasar permohonan pailit?.3.Bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung atas permohonan pailit oleh tenaga kerja terhadap perseroan terbatas yang diputus hubungan kerja (permohonan pailit PT. Indah Pontjant) dalam perkara nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo Nomor: 401K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Mahkamah Agung Pk No. 195 PK/Pdt.Sus/ 2012?.

Penulisan tesis ini dilakukan dengan menggunakan teori kepastian hukum dan teorti keadilan. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative yang meneliti kaedah atau norma/peraturan perundang-undangan dan studi putusan. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis, untuk menggambarkan secara lengkap, menyeluruh dan mendalam aturan hukum yang relevan dengan penelitian ini serta menganalisis secara cermat permohonan pailit perseroan terbatas oleh tenaga kerja yang diputus hubungan kerja.

(6)

menekankan hal-hal yang bersifat formalitas bukan substansi dalam membuat putusannya.

(7)

ABSTRACT

Legally binding verdict of Industrial Dispute Settlement Court - Inkrach van gewijsde as well as its execution are expected to guarantee the legal certainty and fairness over the parties, especially labor/workers. However in practice, due to the lack of implementation of legal certainty in form of execution, labor/worker then uses the request of bankruptcy mechanism as an attempt to obtain payment for the normative rights qualified as debt in a broader sense. The research questions are 1. Can the legally binding decision of Industrial Relation Court that punished enterpreneur to pay severance payment, gratuity, compensation and wages be categorized as debt?. 2. Can legally binding decision of industrial relations court be submitted as a basis for bankruptcy? 3. How Supreme Court judge the request for bankruptcy submitted by the labor against a limited liability company, PT. Indah Pontjant in case number: 01/Pailit/2012/PN Commerce Mdn Jo number: 401K/Pdt.Sus/2012 Jo Supreme Court Decision. Jo 03/PK/Pdt.Sus/2010 Supreme Court review of Number Return. 195 PK / Pdt.Sus / 2012?.

This research use theory of the legal certainty and theory of justice. While type of research is normative law research, examining both norms/national regulation and study on court’s verdict. The study is descriptive analytic, to describe issues in complete, comprehensive and in-depth the relevant laws according to this reasearch manner as well as to analyze carefully a request of bankruptcy over limited liability company by dismissed labor.

The result of this research show that Legally binding verdict of Industrial Dispute Settlement Court penalized employers to pay workers' basic rights / labor is debt in a broad sense. Legally binding verdict of Industrial Dispute Settlement Court but remains unimplemented can be submitted as the basis of request for bankruptcy and it is not a premature request as well as does not violate nebis in idem. Legal consideration of judges was appropriate based on the legal facts, definition of debt, the maturity of debt, the presence of two or more creditors and the implementation of simple evidentiary principle. Meanwhile, Supreme Court both in Cassation and the Reconsideration did not refer to the definition of debt in a broader sense, the debt has matured, the presence of two or more creditors and implementation of a simple evidence. Judges of the Supreme Court both in Cassation and Reconsideration was very subjective, tends to formality matters, as well as was not substantive in making of verdict.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa., karena rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “ Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor.401

K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt.

Sus/2012 antara Rohani,dkk melawan PT. Indah Pontjan). Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Hukum (MH) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa masukan ataupun saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pad a waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Pembimbing utama Penulis, Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing II Penulis dan Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing III Penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

(9)

berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, MSC, (CTM), DTM & H. Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

(10)

5. Para pegawai/ karyawan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Sahabat-sahabat penulis angkatan 2012 kelas regular B dan angkatan 2012 jurusan hukum bisnis yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberi masukan kepada peneliti.

7. Sahabat-sahabat penulis Sahat Hutagalung S.H, M.Hum dan Henrico Hutagalung, S.H, M.H yang telah memberikan banyak masukan, saran dan motifasi untuk penyelesaian tesis ini.

8. Rekan-rekan staf BAKUMSU yang telah memberikan bantuan, masukan, saran dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.

Sungguh rasanya suatu kebanggan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Bapak M. Pasaribu dan Ibunda M. Br. Nainggolan dan Mertua R. Situmorang yang selalu mendoakan penulis. Isteri tercinta Lasniar Megawati Sitanggang, S.H, anak-anakku tersayang Ulianov, Sprianov dan Ivanov karena dukungan doa dan cinta kalian penulis terus semangat dalam pengerjaan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulis tesis ini yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu.

(11)

selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Juli 2014 Penulis,

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Manambus Pasaribu

Tempat/Tgl. Lahir : Pangasean/ 28 Desember 1975

Alamat : Perum Puri Anom Asri Blok D No.23 Tanjung Anom-Medan

Agama : Khatolik

Status Pribadi : Sudah Menikah

Pendidikan : SD Negeri Pagarbatu Tahun 1982-1988 SMP Negeri Pinangsori Tahun 1888-1991 SMA Fransiskus Pandan Tahun 1991-1994 S-1 Fakultas Hukum USU Tahun 1994-1999 Nama Orang Tua Laki-Laki : Manguluhon Pasaribu

Nama Orang Tua Perempuan : Martalena Nainggolan Anak Ke : 1 dari 6 bersaudara

Isteri : Lasniar Megawati Sitanggang, S.H Anak : Ulianov, Sprianov, Ivanov Tahun Masuk Di Prog. Studi

(13)

DAFTAR ISI

D. Manfaat Penelitian………... 14

E. Keaslian Penelitian………...…… 15

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional……….. 17

1. Kerangka Teori .………... 17

2. Landasan Konsepsional ……… 25

G. Metode Penelitian……… 29

1. Jenis dan Sifat Penelitian ………...………... 30

2. Sumber bahan Hukum……… 31

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ……… 32

4. Analisis Data (Bahan Hukum) ……….. 32

BAB II KONSEP UTANG DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP BERUPA PENGHUKUMAN UNTUK MEMBAYAR UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA, UANG PENGGANTIAN HAK DAN UPAH PROSES OLEH PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Perselisihan Hubungan Industrial Berupa Pemutusan Hubungan Kerja ……….. 35

B. Hak-hak Normatif Tenaga Kerja/Buruh Akibat Pemutusan Hubungan Kerja………. 41

(14)

D. Hak-hak Normatif Tenaga Kerja/Buruh Sebagai Utang Dalam Arti Luas ………... 65

BAB III PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP SEBAGAI DASAR PERMOHONAN PAILIT

A. Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap …………. 72 B. Syarat-syarat Kepailitan Dan Pihak-pihak Yang

Dapat Mengajukan Permohonan Pailit…………... 75 C. Putusan Berkekuatan Hukum Tetap Pengadilan

Hubungan Industrial Sebagai Dasar Permohonan Pailit………. 80

1. Permohonan Pailit Prematur……….. 80 2. Asas Nebis In Idem………... 83

BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PAILIT

DALAM PERKARA ROHANI, DKK MELAWAN PT. INDAH PONTJAN

A. Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn ……….... 93 1. Kasus Posisi………... 93 2. Pertimbangan Hukum Pengadilan Niaga Medan………... 100 3. Putusan Hukum Pengadilan Niaga Medan ……... 109 4. Analisis Putusan ……...……… 109 B. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 ………. 114 1. Alasan Pengajuan Kasasi……….. 114 2. Pertimbangan Hukum Mahakamah Agung

(15)

3. Putusan Mahakamah Agung Kasasi……….. 121 4. Analisis Putusan ………...……... 122 C. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012 133 1. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali ……... 133 2. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung

PeninjauanKembali………... 145 3. Putusan Hukum Mahkamah Agung Peninjauan

Kembali ……… 147 4. Analisis Putusan……… 147

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………. 158 B. Saran ………... 160

(16)

ABSTRAK

Putusan perkara Perselisihan Hubungan Industrial yang sudah inkrach van gewijsde dan eksekusinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak khususnya tenaga kerja/buruh. Namun dalam prakteknya karena tidak adanya kepastian hukum berupa pelaksanaan putusan yang sudah inkrach van gewijsde tenaga kerja/buruh kemudian mengunakan lembaga kepailitan sebagai upaya untuk memperoleh pembayaran atas hak-hak normatifnya yang dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah 1. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah selama proses dapat dikategorikan sebagai utang?. 2. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan dapat diajukan sebagai dasar permohonan pailit?.3.Bagaimana pertimbangan Mahkamah Agung atas permohonan pailit oleh tenaga kerja terhadap perseroan terbatas yang diputus hubungan kerja (permohonan pailit PT. Indah Pontjant) dalam perkara nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo Nomor: 401K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Mahkamah Agung Pk No. 195 PK/Pdt.Sus/ 2012?.

Penulisan tesis ini dilakukan dengan menggunakan teori kepastian hukum dan teorti keadilan. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normative yang meneliti kaedah atau norma/peraturan perundang-undangan dan studi putusan. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis, untuk menggambarkan secara lengkap, menyeluruh dan mendalam aturan hukum yang relevan dengan penelitian ini serta menganalisis secara cermat permohonan pailit perseroan terbatas oleh tenaga kerja yang diputus hubungan kerja.

(17)

menekankan hal-hal yang bersifat formalitas bukan substansi dalam membuat putusannya.

(18)

ABSTRACT

Legally binding verdict of Industrial Dispute Settlement Court - Inkrach van gewijsde as well as its execution are expected to guarantee the legal certainty and fairness over the parties, especially labor/workers. However in practice, due to the lack of implementation of legal certainty in form of execution, labor/worker then uses the request of bankruptcy mechanism as an attempt to obtain payment for the normative rights qualified as debt in a broader sense. The research questions are 1. Can the legally binding decision of Industrial Relation Court that punished enterpreneur to pay severance payment, gratuity, compensation and wages be categorized as debt?. 2. Can legally binding decision of industrial relations court be submitted as a basis for bankruptcy? 3. How Supreme Court judge the request for bankruptcy submitted by the labor against a limited liability company, PT. Indah Pontjant in case number: 01/Pailit/2012/PN Commerce Mdn Jo number: 401K/Pdt.Sus/2012 Jo Supreme Court Decision. Jo 03/PK/Pdt.Sus/2010 Supreme Court review of Number Return. 195 PK / Pdt.Sus / 2012?.

This research use theory of the legal certainty and theory of justice. While type of research is normative law research, examining both norms/national regulation and study on court’s verdict. The study is descriptive analytic, to describe issues in complete, comprehensive and in-depth the relevant laws according to this reasearch manner as well as to analyze carefully a request of bankruptcy over limited liability company by dismissed labor.

The result of this research show that Legally binding verdict of Industrial Dispute Settlement Court penalized employers to pay workers' basic rights / labor is debt in a broad sense. Legally binding verdict of Industrial Dispute Settlement Court but remains unimplemented can be submitted as the basis of request for bankruptcy and it is not a premature request as well as does not violate nebis in idem. Legal consideration of judges was appropriate based on the legal facts, definition of debt, the maturity of debt, the presence of two or more creditors and the implementation of simple evidentiary principle. Meanwhile, Supreme Court both in Cassation and the Reconsideration did not refer to the definition of debt in a broader sense, the debt has matured, the presence of two or more creditors and implementation of a simple evidence. Judges of the Supreme Court both in Cassation and Reconsideration was very subjective, tends to formality matters, as well as was not substantive in making of verdict.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tenaga kerja/buruh memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan nasional, baik sebagai pelaku maupun tujuan pembangunan itu sendiri. Sehubungan dengan itu adalah penting meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan tenaga kerja dimaksud untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan, kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja buruh dengan tetap mempertimbangkan kemajuan dunia usaha.1

Pada tanggal 25 Maret 2003 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan untuk menggantikan berbagai undang-undang di bidang ketenagakerjaan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan. Undang-undang ini juga diharapkan dapat menciptakan hubungan industrial yang berkeadilan untuk mewujudkan jaminan perlindungan bagi pihak yang lemah sehingga terwujud keseimbangan (equality).2

1

Lihat Bagian Menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109.

2

Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan,(Jakarta: Dss Publishing, 2005) hal.3.

(20)

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan:

“Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya”.

Salah satu usaha penegakan hukum terhadap undang-undang ini, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sebagai landasan sosiologis dikeluarkannya undang-undang ini adalah untuk hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal lain adalah bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.3

Meskipun kedua undang-undang ini telah diberlakukan akan tetapi perlindungan terhadap tenaga kerja/ buruh belum dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini karena secara sosiologis, posisi atau kedudukan buruh lebih lemah dibandingkan pengusaha. Buruh adalah orang yang tidak bebas menentukan

3

(21)

kehendaknya terhadap pengusaha karena dalam suatu hubungan kerja pengusaha telah memberikan batasan-batasan yang harus diikuti oleh buruh.4

Pengadilan hubungan industrial sebagai pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial belum dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan khususnya bagi tenaga kerja/buruh sebagai pihak lemah. Padahal pembentukan pengadilan hubungan industrial sebagai pengadilan khusus merupakan kebutuhan untuk mencapai kepastian hukum yang berkeadilan bagi tenaga kerja/buruh dan pengusaha. Kepastian hukum itu diwujudkan untuk mengakhiri perselisihan yang berkepanjangan antara pekerja dan pengusaha yang mempengaruhi proses produksi bagi pengusaha dan mengganggu perekonomian keluarga pekerja.

Akibat dari kondisi sosiologis yang demikian jika terjadi perselisihan hubungan industrial antara pihak tenaga kerja/buruh dengan perusahaan khususnya menyangkut perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, membuat posisi tenaga kerja/buruh dengan pihak pengusaha tidak seimbang dalam berperkara di pengadilan.

5

Tidak dapat dipungkiri, kepastian hukum atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial telah berkekuatan hukum tetap, dalam prakteknya putusan itu tidak dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena ketidakmauan dari pihak pengusaha untuk melaksanakan putusan secara sukarela. Masalah pelaksanaan

4

Sehat Damanik, Op.Cit, hal.2.

5

(22)

putusan masih menjadi masalah yang sangat krusial, seolah-olah putusan itu tidak bernilai karena sulit untuk dieksekusi. Pelaksanaan putusan bukanlah sesuatu yang “pasti” dan sangat susah dilakukan meskipun putusan tersebut telah mempunyai hukum yang tetap.6

Pada prinsipnya setiap putusan pengadilan haruslah dapat dieksekusi, karena tidak akan ada artinya jika putusan tidak dapat dieksekusi. Seperti diketahui, putusan hakim itu sewaktu-waktu akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap (

inkracht van gewijsde).

Hal ini juga karena tidak adanya lagi campur tangan pengawasan dari pemerintah dalam proses eksekusi sebagaimana dalam peraturan penyelesaian perselisihan sebelumnya, dan disisi lain tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pihak yang tidak melaksanakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

7

6 Ibid 7

R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Mandar Maju,2005) hal.194.

(23)

Hal ini dapat terlihat dalam praktek, dimana kasus perselisihan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak mendapat kepastian hukum karena sulit mengeksekusinya. Sebagai salah satu contoh adalah kasus tenaga kerja/ buruh PT. Indah Pontjant. Hakim Agung Kasasi dan Peninjauan Kembali telah memutus kasus ini yang pada pokoknya menyatakan menolak permohonan kasasi dan permohonan peninjauan kembali dan memutuskan menyatakan hubungan kerja tergugat dengan para penggugat putus karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak para penggugat, sebesar Rp. 148.263.300,- ( seratus empat puluh delapan juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus rupiah). Namun demikian putusan ini tidak dapat dieksekusi sehingga para tenaga kerja/buruh melakukan upaya permohonan pailit untuk memperoleh kepastian hukum akan hak-haknya melalui lembaga kepailitan.

(24)

preferens atau kreditur istimewa lainnya mendapatkan hak-hak mereka. Para tenaga kerja cenderung melihat undang-undang kepailitan masih menjadi hambatan bagi pemenuhan hak-hak buruh dalam kondisi tenaga kerja mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan.8

Suatu putusan dikatakan memperoleh kekuatan hukum tetap adalah karena di dalam putusan telah terkandung wujud hubungan yang tetap dan pasti antara pihak yang berperkara karena itu mesti ditaati dan dipenuhi oleh pihak yang dihukum yang dilakukan secara paksa atau dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan kata lain, putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde), yaitu suatu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.

Permohonan pailit yang demikian, sudah barang tentu menjadi masalah tersendiri dalam hukum kepailitan. Hal ini berkaitan dengan kedudukan para tenaga kerja tersebut sebagai pihak pemohon pailit atas hak-hak yang dituntutnya yang sebelumnya telah memperoleh kekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan atau dieksekusi. Munculnya hak-hak tersebut dipersamakan atau dikualifikasikan sebagai utang yang timbul diluar perjanjian sehingga harus memperoleh pembayaran.

9

Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai arti sudah terdapat kebenaran dan kepastian terhadap hubungan antara para pihak yang

8

Diana Kusuma Sari ,

http

9

(25)

berperkara, dimana para pihak mengakui dan pihak yang dikalahkan/dihukum harus menaatinya sesuai dengan yang ditetapkan dalam amar/dictum, dan yang dilaksanakan secara sukarela atau paksa.10

H.I.R (Herziene Indonesisch Reglement) / R.B.G (Rechtsreglement

Buitengewesten) tidak ada mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Namun jika berpaling kepada doktrin, dapat diketahui bahwa suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai 3 macam kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.11

Tidak terlaksananya suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkara perdata khususnya dalam perkara perselisihan hubungan industrial adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Akibatnya kepastian hukum dan keadilan tidak tercapai. Dalam kondisi demikian buruh/tenaga kerja tidak putus asa. Untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum tenaga kerja telah menggunakan lembaga kepailitan sebagai upaya untuk mendapatkan hak-haknya

Pelaksanaan putusan pengadilan adalah realisasi dari apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan. Pada prinsipnya, pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh pihak yang dikalahkan. Akan tetapi, terkadang pihak yang kalah tidak mau menjalankan putusan secara sukarela.

10

R. SoeparmonoOp.cit, hal.330 11

(26)

sebagaimana telah diputus pengadilan hubungan industrial namun tidak dapat dilaksanakan.

Pengajuan kepailitan dalam penelitian ini bukan karena utang yang lahir karena perikatan melainkan utang yang lahir karena adanya putusan pengadilan, dengan kata lain utang yang timbul disebabkan karena perintah undang-undang akibat adanya sengketa hak, hak atas upah, pembayaran uang pesangon atau suatu pembayaran yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang dalam hal ini putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Permohonan pailit oleh tenaga kerja atau buruh terhadap perseroan terbatas di Indonesia sebagaimana dalam penelitian ini dalam kenyataaannya tidak ada kaitannya dengan kesulitan keuangan (financial distress), dan tidak ada kaitannya dengan perusahaan yang tidak sehat atau karena perusahaan bangkrut, tetapi karena keengganan perusahaan untuk membayar kewajibannya berupa pembayaran pesangon, upah dan hak-hak normatif lainnya meskipun telah ada perintah hakim melalui putusannya.

(27)

membayar utang-utangnya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan cara mengajukan permohonan pailit.12

Ketidakjelasan posisi atau kedudukan tenaga kerja atau buruh sebagai kreditur dalam hal terjadi permohonan pailit atau disaat terjadi kepailitan suatu perseroan terbatas membuat sejumlah buruh yang tergabung dalam Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) mengajukan permohonan pengujian terhadap UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Mahkamah Konstitusi. FISBI merasa Undang-Undang Kepailitan menjadi hambatan bagi pemenuhan hak-hak buruh dalam kondisi perusahaan pailit. Namun sangat disayangkan putusan atas permohonan ini belum sampai pada pemeriksaan Kondisi demikian membuat kepailitan di Indonesia adalah alternatif untuk menuntut pembayaran utang di luar melakukan gugatan perdata secara konvensional. Namun karena menggunakan penyelesaian utang lewat pengadilan, penyelesaian sengketa melalui gugatan perdata dirasakan sudah tidak memadai dan memakan waktu yang lama dan sulit untuk dilaksanakan ada kecenderungan pihak yang berperkara khususnya para tenaga kerja/buruh menggunakan lembaga kepailitan untuk pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

12

(28)

substansi pihak buruh tidak dapat menghadirkan ahli untuk memperkuat dalil-dalilnya sehingga Mahkamah Konsitusi melolak permohonan tersebut.13

Pengajuan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi ini diajukan oleh M. Komaruddin selaku Ketua Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dan Muhammad Hafidz selaku Sekretaris Umum FISBI (para pemohon). Para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sangat berpotensi terhadap hilangnya hak-hak buruh yang diputuskan hubungan kerjanya karena perusahaan tempat kerjanya pailit. Dengan diputuskannya perusahaan pailit, demi hukum gugur segala tuntutan buruh yang sedang berjalan. Selain itu dengan adanya pasal yang mengatur kreditor separatis sebagai pemegang hak tanggungan yang mempunyai wewenang mutlak melakukan eksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan-ketentuan tersebut merugikan hak-hak konstitusional para pemohon yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard).14

Berbagai hal tersebut diatas menjadi masalah tersendiri dalam kepailitan di Indonesia sehubungan dengan pengajuan permohonan pailit oleh tenaga kerja terhadap perseroan terbatas dengan mendasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak terlaksana.

13

Ricardo Simanjuntak, Tak Mampu Bayar Ahli, Gugatan Buruh Ditolak ,Kompasedisi Rabu 7 Mei 2008.

14

(29)

Bertolak dari fakta ini, perlu diketahui bagaimana kekuatan hukum atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap. Demikian juga tentang putusan pengadilan hubungan industrial yang digunakan sebagai dasar permohonan pailit, ditinjau dari aspek keadilan, dan kepastian hukum.

Sebagai bahan analisis kasus dalam penelitian ini, akan dikemukakan kasus permohonan pailit Rohani, dkk/mantan buruh PT. Indah Pontjan (Perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 03/PK/Pdt.Sus/2010).

Permohonan pailit dalam kasus ini diajukan oleh Rohani,dkk (5 orang) selaku mantan pekerja/buruh PT. Indah Pontjan yang diwakili kuasa hukumnya Sarma Hutajulu, S.H,dkk terhadap PT. Indah Pontjan yang beralamat di desa Deli Muda Hilir, Kecamatan Perbaungan, Sumatera Utara.

Adapun latar belakang pengajuan pailit diakibatkan Termohon pailit tidak melaksanakan putusan Majelis Hakim PHI yang menyatakan hubungan kerja tergugat dengan para penggugat putus karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menghukum tergugat untuk membayar hak-hak para penggugat, total sebesar Rp. 148.263.300,- ( seratus empat puluh delapan juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus rupiah).

(30)

Rohani, dkk (5 orang) dan Tukilah dkk (11 orang). PT. Indah Pontjan selaku termohon pailit tidak membayar lunas satu pun utangnya padahal sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal ini sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Berdasarkan uraian diatas, maka penting dilakukan penelitian tentang : Analisis Permohonan Palit Terhadap Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja dengan mengemukakan putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor .401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012 antara Rohani,dkk melawan PT. Indah Pontjan sebagai bahan analisis kasus.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam pembahasan proposal tesis ini yaitu:

1. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah selama proses dapat dikategorikan sebagai utang?.

2. Apakah putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan dapat diajukan sebagai dasar permohonan pailit?

(31)

PT. Indah Pontjant) dalam perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo Nomor: 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Mahkamah Agung Peninjauan Kembali Nomor. 195 PK/Pdt.Sus/ 2012?.

C. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut yaitu:

1. Untuk mengetahui tentang putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah selama proses dikaitkan dengan utang dalam kepailitan.

2. Untuk mengetahui pengajuan pailit yang timbul dari putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun karena tidak dapat dilaksanakan kemudian dijadikan dasar permohonan pailit.

(32)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. 1. Secara teoritis

Memberikan masukan berupa sumbangan pemikiran bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum, tentang putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap yang menghukum pengusaha untuk membayar uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah proses dan hubungannya dengan utang dalam kepailitan. Selain hal itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan berupa sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, dalam hal ini hukum kepailitan, tentang pengajuan permohonan pailit yang didasarkan atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap.

2. Secara Praktis

(33)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, bahwa tesis yang berjudul “ Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor. 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012 antara Rohani, dkk Melawan PT. Indah Pontjan) “ belum ada penulis lain yang melakukan penelitian. Penulis telah melakukan pemeriksaan di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan beberapa Tesis yang berhubungan dengan Kepailitan yang diajukan oleh tenaga kerja/buruh ditemukan tesis Ade Sumitra Hadi Surya (0777005094) dengan judul “Kewenangan Mengadili Antara Pengadilan Niaga Dengan Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Permohonan Kepailitan Oleh Buruh/ Pekerja Perusahaan”, dengan permasalahan:

1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/ buruh atas upah atau pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan?.

2. Bagaimana penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial?.

(34)

Penelitian ini dilakukan untuk membahas kekuatan hukum atas suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan, sehingga kemudian pihak tenaga kerja/ buruh mengajukan permohonan pailit dengan mendasarkan putusan yang berkekuatan hukum tersebut sebagai dasar permohoan pailit.

Perbedaannya dengan penelitian terdahulu yakni penelitian Ade Sumitra Hadi Surya, meneliti tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam mengadili tuntutan pekerja/buruh atas upah atau pesangon yang tidak dibayar oleh perusahaan dan meneliti penyelesaian perselisihan pembayaran upah atau uang pesangon menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Sedangkan penelitian ini akan membahas permohohonan pailit tenaga kerja terhadap perseroan terbatas dimana permohonan pailit tersebut pengajuannya didasarkan atas suatu perintah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini juga menggunakan kasus sebagai bahan untuk analisnya yakni putusan perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo Nomor: 401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012.

(35)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara teori-teori yang akan diteliti. Suatu konsep teori bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu biasanya dinamakan fakta. Sedangkan konsep teori merupakan suatu uraian mengenai hubungan- hubungan dalam fakta tersebut.15 Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun.16

Pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis, hal mana dapat menjadi pegangan eksternal bagi penulis. Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifikasi atau proses tertentu terjadi.

M.Solly Lubis memberikan pengertian kerangka teori adalah :

17

Teori juga bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang sedang dikaji.

18

15

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1983), hal..25 16

Mukti fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), hal.93.

17

M.Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal.80. 18

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.cit, hal.44.

(36)

sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian.

Teori menempati tempat yang terpenting dalam penelitian, sebab teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik. Hal-hal yang pada awalnya terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditujukan kaitannya satu sama lain secara bermakna, sehingga teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dikaji.19

Pemikiran teori hukum tidak terlepas dari keadaan lingkungan dan latar belakang permasalahan hukum atau mengugat suatu pemikiran hukum yang dominan pada saat itu.20

Teori ilmu hukum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam presfektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengenjawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dari kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tataran hukum positif yang Pemikiran tentang teori hukum adalah akumulasi keresahan maupun sebuah jawaban dari masalah kemasyarakatan yang dihadapi oleh generasi saat itu.

19

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.53. 20

(37)

meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideological terhadap hukum.21

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Teori kepastian hukum dan Teori keadilan. Teori ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai pisau analisis sekaligus mengurai dan menjelaskan masalah yang diteliti, dimana nilai kepastian hukum dan nilai keadilan terhadap suatu putusan pengadilan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan. Hal ini menjadi perhatian serius karena akibat tidak dapat dilaksanakannya putusan tersebut, tenaga kerja/ buruh sebagai pihak yang dimenangkan dalam perkara hubungan industrial mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan yang dulunya tempat mereka bekerja. Sebab suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan dan kemudian menggunakan lembaga kepailitan untuk memperoleh pembayaran berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah selama proses yang timbul dari putusan hakim perlu dikaji dan dianalisis dengan menggunakan teori kepastian hukum dan keadilan.

Kepastian hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan hukum, agar tidak menimbulkan penafsiran yang salah mengenai hukum itu sendiri karena hukum adalah hukum itu sendiri yang memuat tentang norma atau pedoman hidup manusia dalam bertindak dan berperilaku yang berisi tentang anjuran, larangan, serta

sanksi-21

(38)

sanksi yang terdapat di dalamnya. Kiranya perlu diuraikan kriteria kepastian hukum dan keadilan.

Pertama kepastian hukum. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang berlaku, pada dasarnya tidak boleh menyimpang

fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.22

Kepastian hukum merupakan asas terpenting dalam tindakan hukum dan penegakan hukum. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum lebih tinggi daripada hukum kebiasaan, hukum adat atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui bahwa kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan dalam bentuknya yang tertulis. Menurut Bagir Manan, untuk benar-benar menjamin kepastian hukum suatu perundang-undangan selain memenuhi syarat formal, harus

22

(39)

pula memenuhi syarat-syarat lain yaitu : jelas dalam perumusannya, konsisten dalam perumusannya baik secara intern maupun ekstern, penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti.23

Undang-undang hanyalah salah satu bagian dari unsur peraturan perundang-undangan dan aturan substansi yang mencakupi aturan-aturan hukum, baik yang tertulis (written) maupun yang tidak tertulis (unwritten), termasuk putusan peradilan (judge made law). Selain unsur substansi hukum masih ada unsur struktur hukum dan unsur budaya hukum.24

Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang satu dengan yang lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.25

Dalam penelitian ini kriteria yang menjadi kepastian hukum yang digunakan adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan terhadap suatu perkara yang telah berkekuatan

23

Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni,2000) hal. 225 24

M.Lawrence,Friedmann, The Legal System, A Social Science Prespective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975) hal.37

25

(40)

hukum tetap dan dapat dilaksanakan. Dimana pelaksanaan kepastian hukum ini mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan. Dengan perkataan lain dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap

Teori kepastian hukum dipandang tepat dan dapat digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, karena kepastian hukum bukan hanya sekedar pencapaian yuridiksi tanpa wujud realisasi atau tindakan nyata bagi pemegang hak sebagai subjek hukum. Suatu putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilaksanakan adalah suatu putusan yang tidak punya marwah. Putusan hukum pengadilan hubungan industrial bukan hanya bernilai moralitas diatas kertas tetapi yang terutama nilai kepastian dari suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap itu dapat terlaksana bagi pencari keadilan.26

Kedua, keadilan hukum, sebagaimana dikemukakan H. Muchsin, bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum dan kemanfaatan. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban. Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan ”rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan). Pandangan para ahli

26

Dwi Syafriyanti,

(41)

hukum (Purnadi Purbacaraka) yang pada dasarnya merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum.27

Sedangkan Soejono K.S mendefinisikan keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan. Selanjutnya, hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia. Hukum tidak memiliki tujuan dalam dirinya sendiri. Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial. Tanpa keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau pihak yang dikuasai. Itulah sebabnya maka fungsi utama dari hukum pada akhirnya menegakkan keadilan.28

Kriteria hukum yang adil sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch yakni tentang persamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan, isi hukum antara “ada” (das sein) dan “harus” (das sollen) untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran. 29

Berdasarkan berbagai uraian sebagaimana disebut diatas rumusan keadilan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah apabila setiap orang sebagai warga negara telah menerima apa yang menjadi haknya karena peraturan

27

A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2005, hal.176.

28 Ibid

29

(42)

undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini adalah hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan hak atas upah proses yang lahir karena suatu keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Dimana keputusan tersebut juga bermakna sebagai undang-undang.

Peraturan mengenai kepailitan diharapkan dapat sebagai salah solusi mengatasi masalah utang piutang dan memberikan rasa keadilan, baik terhadap kreditor maupun terhadap debitor. Menurut W. Friedman, suatu undang-undang atau peraturan haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi itu; kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan sosial saja.30

Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat, kegunaan dan kepentingan hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan “Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat”.31

Keadilan tidak semata-mata dilihat menyangkut prosedural tetapi menyangkut nilai-nilai substansional yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan harus dipandang sebagai aturan-aturan hukum substantif, dengan tidak hanya melihat

30

Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 7.

31

(43)

kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantive pemohon atau penggugat. Keadilan disini tidak hanya melihat keadilan yang diatur dalam undang-undang tetapi dengan melihat substansi kasus yang terjadi meskipun tidak dituliskan dalam undang-undang.32

Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan atau konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka konsepsional dirumuskan sekaligus dengan definisi-definisi tertentu, yang dapat

Penelitian ini akan menggunakan teori kepastian hukum dan teori keadilan sebagai pisau analisis. Hal itu didasarkan karena masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah suatu perhohonan pailit yang didasarkan atas perintah undang-undang yakni putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam putusan permohonan pailit Rohani, dkk/mantan buruh PT. Indah Pontjan (Perkara Nomor: 01/Pailit/2012/PN Niaga Mdn Jo putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor:401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Mahkamah Agung No. 03/PK/Pdt.Sus/2010 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012), akan dicoba dianalisis apakah asas atau prinsip kepastian hukum dan keadilan substansional sudah termuat dalam putusan hakim yang mengadili perkara ini.

2. Landasan Konsepsional

32

(44)

dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.33

Konsep yang dipergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait langsung dengan variable penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu di dalam penelitian ini dirumuskan konsep dengan mempergunakan model definisi operasional.34

a. Pailit

yaitu:

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin, dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah ‘faillite’ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran.35 b. Kepailitan

Menurut Subekti dan R.Tjitrosoedibio pailit adalah keadaan dimana seorang Debitor telah berhenti membayar utang-utangnya.36

33

Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.137. 34

Fotocopy: Pedoman Penulisan Tesis Program Study Ilmu Hukum SPS USU, (Medan: Universitas Sumatera Utara), hal.5.

35

Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal 23 36

Subekti dan R.Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradina Pramita, 1978), hal.89.

(45)

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.37

c. Perseroan Terbatas

Perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memebuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.38 d. Tenaga Kerja

Tenaga kerja atau pekerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.39 Pengertian tenaga kerja ini lebih luas dari pengertian pekerja/buruh karena pengertian tenaga kerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang sedang terikat dalam suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja.40 Sementara pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

41

37

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

38

Pasal 1 Undang-undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 39

Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 40

Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta: Galia Indonesia 2004), hal 12-13. 41

(46)

e. Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan Hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.42

f. Kreditor

Kreditor adalah pihak ( perorangan, atas bentuk kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang.43 g. Debitor

Debitor adalah pihak yang menerima sesuatu dari kembali pada masa yang akan datang. Pemberi memerlukan juga debitur gagal membayar pada tenggang waktu yang dijanjikan, suatu proses koleksi formal dapat dilakukan yang kadang mengizinkan penyitaan harta milik debitur untuk memaksa pembayaran.44

42

Pasal 1 angka 25 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 43

Wikipedia bahasa Indonesia, Debitur Pebruari 2013, Pukul 16:10 WIB

44

(47)

h. Kreditor Separatis

Kreditor Separatis (Scured Creditor) adalah kreditor pemegang gadai, hipotik, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hak agunan atas kebendaan lainnya.45

i. Kreditor Preferen

Kreditor Preferen adalah kreditor yang didahulukan pembayarannya atas semua harta pailit berdasarkan sifat piutangnya.46

j. Kreditor Konkuren

Kreditor Konkuren atau Kreditor Bersaing (Unsecured Creditor) adalah semua Kreditor atau penagih berdasarkan piutang tanpa ikatan tertentu.47

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.48 Sedangkan cara penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.49

45

Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal.106. 49

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji,Op.Cit, hal.1.

(48)

hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.50

Penelitian tentang “Permohonan Pailit Perseroan Terbatas Oleh Tenaga Kerja (Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor .401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 PK/Pdt. Sus/2012 antara Rohani,dkk melawan PT. Indah Pontjan)” adalah penelitian hukum normatif, yaitu berfokus pada jenis penelitian hukum yang meneliti kaedah atau norma, berlaku tidaknya kaedah atau norma tersebut serta untuk mengetahui apa yang seyogyanya dilakukan. Sebagai sebuah penelitian hukum normatif, titik berat penelitian adalah pada penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Namun untuk memperkaya dan melengkapi serta mendukung data yang diperoleh dari kepustakaan, juga dilakukan analisis putusan, apakah hukumnya bagi suatu perkara in-concreto. Seperti halnya pada penelitian untuk menemukan asas-asas hukum (doctrinal), penelitian hukum untuk menemukan hukum in concreto bagi suatu perkara tertentu, juga mensyararatkan adanya inventarisasi hukum positif in-abstracto.

Dengan demikian metode penelitian adalah upaya untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu yang dipilih.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

51

Dalam penelitian ini norma hukum in-abstracto dipergunakan sebagai premise mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dengan perkara (legal facts) digunakan

50

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek ,(Jakarta:Sinar Grafika, 1996), hal.6. 51

(49)

sebagai premise minor. Melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclusion) hukum positif in-concreto yang dijadikan sebagai bahan analisis.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, untuk menggambarkan secara lengkap, menyeluruh dan mendalam aturan hukum yang relevan dengan penelitian ini serta menganalisis secara cermat permohonan pailit perseroan terbatas oleh tenaga kerja yang diputus hubungan kerja (analisis permohonan pailit PT. Indah Pontjant). 2. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Het Herziene Indonesicsh Reglement (HIR)/Rechtsreglement Butengewesten (RBG).

3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan.

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseoan Terbatas.

6) Undang-Undang 37 Tahun 2004 Tentang Kepailiatan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

7) Putusan Pengadilan Niaga Medan Nomor:01/ Pailit/2012/ PN Niaga Mdn. 8) Putusan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri

(50)

9) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 905 K/Pdt.Sus/2008 10) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 03 PK/Pdt.Sus/2010 11) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 401 K/Pdt.sus/2012 b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan Hukum yang menjelaskan bahan hukum

primer, terdiri dari :Berbagai literatur tentang kepailitan, literatur tentang ketenagakerjaan/perburuhan, berbagai bahan yang berasal dari makalah, Jurnal, Majalah, Surat kabar, dan Website Internet yang berkaitan dengan masalah hukum kepailitan serta hasil Penelitian yang berkaitan dengan hukum kepailitan.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder antara lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Hukum dan Ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan studi dokumen, yaitu mempelajari semua bahan hukum yang berkaitan seperti perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, buku-buku, makalah, jurnal, surat kabar, website internet, hasil penelitian dan kamus-kamus yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

4. Analisis Data (Bahan Hukum)

(51)

dirumuskan hipotesis kerja, seperti disarankan oleh data.52

Penggunaan metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagi pertimbangan yakni pertama, analisis didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep dan data yakni permohonan pailit buruh yang didasarkan atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap namun tidak terlaksana, yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Kedua, data yang dianalisis berupa putusan akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang

Data (bahan hukum) yang telah diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan metode kualitatif berdasarkan logika berpikir deduktif. Deduktif artinya melakukan menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrument untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam permohonn pailit tenaga kerja terhadap perseroan terbatas. Kegiatan ini diharapkan akan dapat dimudahkan dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan. Analisis kualitatif dilakukan terhadap paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Hal ini dilakukan sehubungan data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda satu dengan yang lainnya.

52

(52)

integral (holistic) yang menuntut tersedianya informasi yang mendalam (indepth information).53

Dalam penelitian ini, data yang telah terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk memberikan gambaran (deskripsi) dengan kata-kata atas temuan. Analisis data kualitatif ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data tersebut dengan berbagai ketentuan perundang-undangan, asas-asas hukum dan tujuan hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Data juga disusun secara sistematis agar mudah dipahami. Dalam penelitian normatif ini dilakukan interprestasi dan konstruksi hukum dengan menarik kesimpulan denggunakan cara deduktif menjawab permasalahan dan tujuan penelitian yang diteliti.

53

(53)

BAB II

KONSEP UTANG DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN BERKEKUATAN

HUKUM TETAP BERUPA PENGHUKUMAN UNTUK MEMBAYAR

UANG PESANGON, UANG PENGHARGAAN MASA KERJA, UANG

PENGGANTIAN HAK DAN UPAH PROSES OLEH PENGADILAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL

A. Perselisihan Hubungan Industrial Berupa Pemutusan Hubungan Kerja

Dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial selanjutnya disingkat (PHI) menjadi semakin meningkat dan kompleks. Berbagai ketentuan yang ada sebelumnya, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 yang mengatur penyelesaian PHI dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dipandang belum dapat mewujudkan penyelesaian PHI secara tepat, cepat, adil dan murah.

(54)

perselisihan hubungan industrial (PPHI), pekerja secara perseorangan belum terakomodasi.54

Demikian juga halnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus PHK. Hal ini disebabkan karena hubungan kerja merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, sulit bagi para pihak untuk mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk penyelesaiannya.

55

Kompleksnya hubungan industrial sering menimbulkan perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dapat dikatakan, perselisihan hubungan industrial akan senantiasa terjadi selama masih ada buruh dan pengusaha. Semua upaya yang dilakukan hanyalah untuk meminimalisir persoalan yang timbul dan yang akan timbul berikut dampaknya. Untuk itulah diperlukan hukum perburuhan yang menyeluruh, konstruktif dan berkeadilan.56

Apabila terjadi perselisihan atau konflik, setiap orang dilarang oleh hukum untuk melakukan tindakan sendiri-sendiri atau dikenal dengan asas main hakim sendiri (eigenrichting). Yang dimaksud dengan main hakim sendiri itu adalah jika hak seseorang telah dilanggar oleh seseorang yang lain, maka seorang yang haknya

54

Mohd.Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bakti Persada, 2004), hal. 290.

55 Ibid 56

(55)

dilanggar tersebut tidak diperkenankan untuk memaksa orang lain tersebut memenuhi haknya, walaupun dia memang betul-betul mempunyai hak tersebut, apalagi tidak berhak. Tindakan paksa dengan ancaman oleh perseorangan terhadap kreditornya supaya utang dilunaskan adalah diluar hukum.57

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.58

Adanya berbagai jenis perselisihan dalam PHI, kiranya perlu dikemukakan pihak yang berselisih terlebih dahulu. Satu perselisihan tentunya ada pihak-pihak yang berselisih. Pihak-pihak-pihak yang berselisih inilah yang kemudian dapat

Melihat definisi PHI dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terlihat secara jelas bahwa ruang lingkup PHI diperluas. Dalam ketentuan ini perselisihan dapat terjadi mengenai hak, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan, atau dapat pula mengenai PHK.

57

S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta:Pradnya Paramita,1976), hal. 12 58

(56)

menjadi pihak yang dapat berperkara pada lembaga-lembaga penyelesaian jika terjadi perselisihan atau sengketa. Pihak-pihak yang bersengketa dalam PHI adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/ serikat buruh lain dalam satu perusahaan.

Dari berbagai jenis PHI sebagaimana disebut Pasal 1 butir 1, dalam penelitian ini akan diurai lebih rinci mengenai PHI berupa pemutusan hubungan kerja. Demikian juga pihak yang bersengketa difokuskan terhadap perselisihan perselisihan antara pihak pekerja buruh dengan pengusaha. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 25 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja selanjutnya disingkat (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja buruh dengan pengusaha.59

Sedangkan perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

60

59

Pasal 1 angka 25, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003Tentang Ketenagakerjaan 60

Pasal 1 angka 4, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(57)

Dalam perselisihan PHK ruang lingkupnya menyangkut PHK yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun negara, usaha sosial dan usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Perselisihan PHK umumnya adalah mengenai sah atau tidaknya alasan PHK dan besaran kompensasi atas PHK. Jenis perselisihan PHK ini adalah jenis perselisihan yang paling banyak terjadi dalam praktek ketenagakerjaan yang mengundang banyak masalah, karena permasalahan PHK bagi pekerja/buruh adalah pengakhiran pendapatan yang ia peroleh dan keluarga, yang kadang-kadang itulah pendapatan satu-satunya keluarga.

Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam aturan ketenagakerjaan perlindungan yang paling banyak dan lengkap adalah mengenai PHK. Hal ini dapat dipahami, karena bagi pekerja PHK adalah hal yang paling memberatkan. Oleh karena itu pekerja harus dilindungi terhadap terjadinya PHK. Perlindungan itu berupa pencegahan PHK, pembinaan, macam-macam PHK dan kompensasi terhadap akibat terjadinya PHK.

Referensi

Dokumen terkait

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang mengabulkan permohonan pailit terhadap TPI tidak sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.24384/PP/M.IV/16/2010 tanggal 30 Juni 2010 tersebut

Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.20359/PP/M.XII/16/2009 tanggal 4 Nopember

Bahwa alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak “Bahwa ketentuan perpajakan yang ada telah jelas mengatur

Bahwa berdasarkan bukti/dokumen yang diajukan dalam persidangan, keterangan Para Pihak, peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan keyakinan Hakim, Majelis berpendapat

37 Tahun 2004 pasal 303 tentang Kepailitan PKPU adanya klausula arbitrase dalam perjanjian tidak mengesampingkan kewenangan pengadilan niaga, penerapan hukum oleh

Majelis hakim mempertimbangkan bahwa dengan penanganan perkara ini mulai dari pelimpahan dan penerimaan perkara, penanganan perkara sampai kepada laporan banding

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang mengabulkan permohonan pailit terhadap TPI tidak sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban