• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP UTANG DIKAITKAN DENGAN

C. Pengertian Utang Dalam Kepailitan

Utang di era modern ini sepertinya telah menjadi hal biasa. Berbagai transaksi ditawarkan dengan cara kredit, mulai dari kendaraan, peralatan elektronik, perumahan, hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari. Para pelaku bisnis pun tidak terlepas dari utang. Untuk membesarkan perusahaannya, berutang atau atau meminjam modal ke perbankan atau orang lain menjadi pilihan para pelaku bisnis.

Utang sebagai isu sentral dalam kepailitan. Alasan diadakannya proses pailit tidak lain karena adanya utang yang sudah jatuh waktunya untuk ditagih. Utang merupakan persyaratan utama bagi debitor untuk dapat dinyatakan pailit. Dengan kepailitan, apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka akan dilakukan sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan pelunasan utang kepada para kreditornya.

Hukum nasional Indonesia, khususnya dalam hukum perdata, tidak mengenal istilah utang secara definitif. Istilah utang tidak ada dirumuskan dalam satu pasal pengertian, sehingga untuk mendefinisikan istilah tersebut dikembangkan dalam berbagai doktrin. Istilah utang lahir bersamaan dengan istilah pitutang sebagai lawannya, seperti juga hak dan kewajiban yang berlawanan jika ditinjau dari arah kedua sisinya.77

77

Dadang Sukandar, Hukum Kepailitan,http:// www.legalakses.com, Diakses tanggal 22 April 2014, Pukul 11:58 WIB

Dalam sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUHPerdata, pengetahuan mengenai aspek utang piutang merupakan bagian dari pengetahuan tentang hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun undang-undang”.

Undang-undang tidak memberikan pengertian perikatan, menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.78

Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak dan kewajiban timbal balik. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditor atau si berpiutang, sedangkan yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitor atau si berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak ini, adalah perhubungan hukum, yang berarti hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang.79

Prestasi sebagaimana dimaksud diatas adalah apa yang menjadi hak kreditor dan apa yang wajib dipenuhi oleh debitor yang merupakan obyek dari suatu perikatan. Objek perikatan berarti prestasi dari perikatan yang harus dipenuhi

78

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2001), hal.1.

79

berdasarkan perikatan itu. Demikian pula hal yang sama berlaku bagi prestasi yang berupa “ untuk berbuat sesuatu” dan “ untuk tidak berbuat sesuatu”.

Ketentuan pasal 1233 KUHperdata sebagaimana disebut diatas dapat disimpulkan, timbulnya suatu perikatan dapat terjadi karena dikehendaki orang-orang dengan cara membuat perjanjian diantara mereka dan dapat pula terjadi tanpa dikehendaki oleh mereka melainkan undang-undang yang menentukan demikian adanya. Dalam persetujuan yang disebut perjanjian para pihak yang terlibat memang menghendaki adanya suatu perikatan. Bahkan perikatan tersebut alat untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban hukum. Jadi dalam perjanjian para pihak menegaskan lewat persetujuannya, bahwa ia mengakui hak-hak dan kewajibannya yang tertuang dalam perikatan.80

Pasal 1352 KUHPerdata mengatur bahwa perikataan yang lahir dari undang-undang dapat timbul dari “ undang-undang-undang-undang saja” atau dari ”undang-undang-undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Selanjutnya, perikatan yang lahir karena undang-undang

Dalam hukum perdata, disamping perjanjian, alat untuk menimbulkan hak dan kewajiban lainnya adalah undang-undang. Dalam hal ini para pihak terikat bukan karena adanya persetujuan, melainkan karena hukumnya telah menentukan demikian. Misalnya dalam Undang-undang Perseroan Terbatas yang menentukan bahwa hanya direktur yang dapat mewakili perbuatan hukum suatu perusahaan.

80 Ibid

sebagai akibat perbuatan orang dibedakan menjadi akibat perbuatan orang” yang tidak melawan hukum” dan” yang melawan hukum.

KUHPerdata, secara khusus mengatur utang piutang dapat dilihat dalam Bab XIII Buku Ke III tentang perjanjian pinjam meminjam ( Verbruiklening) yang oleh Pasal 1754 diberikan pengertian sebagai:

“Persetujuan dengan mana pihak satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat pihak pihak yang memakai akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Bagi pinjam meminjam atau utang piutang yang terjadi karena peminjaman uang, besarnya jumlah utang hanyalah terdiri atas jumlah uang yang disebutkan dalam persetujuan. Jika, sebelum saat pelunasan, terjadi suatu kenaikan atau kemunduran harga atau perubahan nilai mata uang, pengembalian jumlah utang harus dilakukan dalam nilai mata uang yang berlaku pada saat itu. Ketentuan ini hanya akan tidak berlaku apabila mengenai suatu peminjaman jumlah mata uang tertentu, kedua belah pihak dengan tegas telah bersepakat, bahwa akan dikembalikan jumlah mata uang yang sama. Dalam hal ini, pihak yang menerima peminjaman diwajibkan mengembalikan jumlah mata uang yang tepat dari macam yang sama, tidak kurang dan tidak lebih (Pasal 1756 dan 1757 KUHPerdata).

Perjanjian pinjam meminjam uang merupakan perjanjian atau utang piutang yang bersifat riil, artinya perjanjian itu baru mempunyai kekuatan mengikat apabila telah dilakukan penyerahan uang oleh orang yang meminjam (kreditor). Tentang hal ini Soerjopratikno mengatakan: Hal itu ternyata dari definisi undang-undang yang mengatakan “afgeeft” dan yang berarti “melepaskan” atau “menyerahkan”. Selanjutnya hal itu ternyata dari, sistemnya, pada mana pihak yang menyerahkan (kreditor) tidak dibebani kewajiban apa-apa dan karena itu dari situ terlihat bahwa undang-undang berpangkal dari pikiran bahwa kewajiban pokok dari kreditor telah terjadi, dengan pelepasannya atau penyerahannya tadi.81

81

Hartono Soerjopratikno, Hutang Pihutang, Perjanjian-perjanjian Pembayaran dan Jaminan Hypotik, ( Yogyakarta: Mustika Wikasana, 1994) hal.1.

Utang sebagai kata kunci dari kepailitan, oleh karena itu utang perlu didefinisikan secara jelas agar tidak menimbulkan kontroversi. Hal mana kontroversi tentang pengertian utang sering terjadi dalam pertimbangan dan putusan hakim sebelum dikeluarkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan:

”utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.

Meskipun Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 telah memberikan pengertian utang secara definif, dalam praktek peradilan sebagaimana dalam kasus yang dianalisis dalam penelitian ini, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara kepailitan masih mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang pengertian sebagaimana terjadi sebelumnya

Praktek peradilan Indonesia, tentang permohonan pailit telah diwarnai dengan perdebatan mengenai pengertian utang. Perdebatan ini terjadi ditingkat Pengadilan Niaga demikian juga di Mahkamah Agung. Hal ini terlihat dari putusan yang tidak seragam mengenai penafsiran pengertian utang dalam kepailitan.

Beberapa kasus permohonan pailit yang mempersoalkan utang antara lain, adalah putusan nomor 07/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 12 Oktober 1998 antara Drs. Husein Sani dan Johar Subekti (para pemohon) melawan PT.Modern Land Reality Ltd (termohon). Dimana dalam putusan ini dikatakan uang pembayaran angsuran satuan rumah susun merupakan utang karena termohon sebagai pengembang tidak menepati janji.82

Namun dalam putusan Kasasi, putusan Pengadilan Niaga ini dibatalkan dengan putusan No. 03 K/N/1998. Dalam putusan Mahkamah Agung ini, Majelis hakim tidak sependapat dengan putusan judex factie yang menurutnya telah mengartikan utang secara luas. Menurut majelis hakim kasasi pengertian utang secara luas ini bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat

82

(1) UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan penjelasannya yaitu utang yang tidak dibayar oleh debitor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang pokok dan bunganya.

Terhadap putusan kasasi ini telah diajukan Peninjauan Kembali selanjutnya disenut PK, dan majelis hakim PK lewat putusan No.06 PK/N/1999, memutuskan menolak permohonan PK dengan alasan keberatan pemohon PK tidak dapat dibenarkan karena tidak ada kesalahan berat dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis hakim kasasi.

Kasus kepailitan lainnya yang masih berkaitan dengan perdebatan pengertian utang adalah kasus PT. Jawa Barat Indah selaku pengembang atau developer tidak dapat menyerahkan satu unit rumah pada waktu jatuh waktunya dan tidak mau mengganti kerugian kepada Sumeini Omar Sanjaya dan Widiastuti. Akibat PT. Jawa Barat Indah tidak tidak mau menyerahkan satu unit rumah dan tidak mengganti kerugian pada Sumeini dan Widiastuti mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Jawa Barat Indah.

Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, kemudian membuat putusan atas kasus ini dalam Putusan Nomor 27/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst, tertanggal 12 Oktober 1998 dengan mengabulkan permohonan Sumeini Omar Sanjaya dan Widiastuti yang memutuskan bahwa harga rumah yang telah dibayar para pemohon merupakan utang, karena termohon tidak menyerahkan rumah.

Terhadap putusan tersebut termohon pailit (debitor) yakni PT. Jawa Barat Indah mengajukan upaya hukum Kasasi. Majelis Hakim Kasasi dalam putusannya

Putusan Nomor 04 K/N/1999 tertanggal 3 Maret 1999, dalam perkara PT. Jawa Barat Indah sebagai Pemohon Kasasi melawan Sumeni Omar Sanjaya dan Widiastuti selaku termohon kasasi. Dalam perkara ini hakim Mahkamah Agung memberikan pengertian “utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, termasuk tidak hanya kewajiban debitor untuk membayar, akan tetapi juga hak dari kreditor menerima dan mengusahakan pembayaran”.

Lebih lanjut majelis hakim kasasi mengatakan, meskipun perjanjian yang terjadi antara termohon kasasi dengan pemohon kasasi berupa perjanjian jual beli antara konsumen dengan produsen tetap berlaku asas perjanjian pada umumnya. Perjanjian timbul karena adanya tindakan atau perbuatan hukum para pihak yang mengadakan perjanjian. Disatu pihak memperoleh hak, dan pihak lain, mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi. Pihak yang berhak atas suatu prestasi berkedudukan sebagai kreditor, sedangkan pihak lain yang wajib memnuhi prestasi berkedudukan sebagai debitor.

Terhadap putusan kasasi yang membenarkan putusan Pengadilan Niaga, majelis hakim Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusannya No.05PK/N1999 mengatakan majelis hakim Pengadilan Niaga maupun majelis hakim Kasasi telah melakukan beberapa kesalahan berat dalam pendapat hukum dalam memeriksa kasus.

Untuk mengulas tentang pengertian utang yang berbeda-beda dalam praktek kepailitan, disini dikemukakan kasus yang lain yakni Helena Melindo Sujotomo

melawan PT.Intercon Enterprises. Perkara ini menyangkut hubungan hukum jual beli tanah antara Helena Melindo Sujotomo sebagai penjual dan PT. Intercon Interprises sebagai pembeli. Dalam perkara tersebut uang muka telah dibayar oleh pembeli tetapi ternyata tanah tersebut tidak diserahkan oleh penjual. Oleh karena tanah tidak diserahkan oleh penjual , penjual kemudian membuat surat penyataan yang isinya menyatakan kalau tanah tidak diserahkan dalam tenggang waktu 90 hari, maka penjual akan menyerahkan kembali seluruh uang muka ditambah ganti rugi. Ternyata tanah tidak diserahkan sampai batas waktu 90 hari lewat.

Sehubungan dengan tidak diserahkannya tanah oleh penjual dan penjual juga tidak menyerahkan uang muka yang telah dibayar oleh pembeli ditambah ganti rugi sebagaimana surat pernyataan tersebut, sehingga PT Intercon Interprises telah mengajukan pailit terhadap Helena Melindo Sujotomo.

Pengadilan Niaga telah mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Intercon Interprises terhadap Helena Melindo Sujotomo. Pengadilan Niaga dalam pertimbangan hukumnya menyatakan hubungan hukum antara pemohon dan termohon adalah hubungan perikatan yang terletak dalam lapangan hukum harta benda yaitu satu pihak berhak atas sesuatu (kreditor) serta mempunyai subjek dan objek tertentu, dimana pihak yang mempunyai kewajiban tidak melaksanakan kewajibannya akan menimbulkan apa yang disebut utang, yaitu sesuatu yang dituangkan oleh seseorang kepada orang lain baik berupa uang, barang maupun jasa.

Terhadap putusan ini, PT. Intercon Enterprises kemudian mengajukan permohonan Kasasi. Majelis hakim kasasi menerima permohonan kasasi pemohon

dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga dan berpendapat, bahwa karena hubungan hukum yang terjadi antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi adalah hubungan jual beli bukan hubungan hutang piutang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat(1) UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan. Disi lain majelis Hakim kasasi berpendapat, apa yang dilakukan termohon kasasi (PT. Intercon Interprises) adalah wan prestasi dan wan prestasi bukanlah merupakan kompetensi majelis hakim pengadilan niaga.

Termohon Kasasi/Pemohon Pailit kemudian mengajukan PK. Sehubungan dengan permohonan PK tersebut, majelis hakim PK membenarkan alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon PK. Majelis Hakim PK dalam putusannya Nomor.13PK/N/1999 tertanggal 2 Agustus 1999 mengatakan utang yaitu segala bentuk kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu baik yang timbul karena perikatan maupun undang-undang.

Selain mengemukakan beberapa putusan mengenai pengertian utang, disini juga dikutip beberapa pendapat para sarjana tentang pengertian utang. Menurut Sutan Remy Sjahdeini mengatakan:

Pengertian utang dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan tidak seyoyanya diberi dalam arti sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada kreditor, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun juga (tidak terbatas hanya kewajiban utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.83

83

Kemudian Syamsudin Manan Sinaga mengemukakan:

Utang adalah suatu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dengan sejumlah uang, baik yang sudah ada maupun yang aka nada dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang, yang wajib dibayar oleh debitor kepada kreditor, dan jika tidak dibayar, kreditor berhak mendapatkan pembayaran dari kekayaan debitor”.84

Kontroversi rumusan tentang pengertian utang berakhir setelah diundangkan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tertanggal 18 Oktober 2004 yang dalam ketentuan umumnya telah menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan utang. Adanya definisi ini sangat penting karena merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi dan dibuktikan. Rumusan utang yang dimuat dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada hakikatnya sama dengan definisi utang sebagaimana dimuat dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62/ Pilit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999.85

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan

Adapun definisi utang dalam putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62/ Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999 mengatakan:

( Jakarta: Grafiti, 2002) hal.110. 84

Syamsudin Manan Sinaga, Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Problematikanya, Seminar Hukum Perbankan yang dilaksanakan PT. Bank Rakyat Indonesia, Jakarta, 23 Oktober 2001, hal.5.

85

bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”86

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor”.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa:

87

86

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 62/ Pilit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 4 Oktober 1999

87

Undang-undang No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op.Cit

Dari beberapa pengertian utang sebagaimana diatas dapatlah disimpulkan bahwa pengertian utang dalam kepailitan menganut pengertian utang dalam arti yang luas khususnya setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menganut pengertian utang adalah utang dalam arti yang luas.

Pengertian tafsir utang secara luas disini karena utang diartikan bukan hanya setiap kewajiban apapun juga dari debitor kepada kreditor karena adanya perikatan diantara mereka, tetapi hanya sepanjang kewajiban itu berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian ataupun karena ditentukan oleh undang-undang, atau karena berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bukan semata-mata kewajiban “untuk berbuat sesuatu” atau “ untuk tidak berbuat sesuatu” itu yang merupakan utang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata melainkan kewajiban membayar yang ditetapkan oleh undang-undang atau ditetapkan oleh putusan hakim itulah yang diartikan sebagai utang.

D. Hak-hak Normatif Tenaga Kerja/Buruh Sebagai Utang Dalam Arti Luas Pengertian utang dalam arti luas bukan saja hanya kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang piutang saja, tetapi juga kewajiban debitor untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian atau undang-undang.

Kartini Muljadi, dalam tulisannya yang berjudul “ Pengertian dan Prinsip-Prinsip Kepailitan” menulis bahwa istilah utang harus merujuk pada hukum perikatan dalam hukum perdata. Dalam tulisannya itu, Kartini Muljadi mengaitkan pengertian utang itu dengan Pasal 1233 dan 1234 KUHPerdata. Dari uraiannya disimpulkan utang sama dengan pengertian kewajiban. Kewajiban dimaksud adalah kewajiban karena suatu perikatan, yang menurut Pasal 1233 KUHPerdata dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.88

88

Rudhy.A.Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto, Penyelesaian Utang-piutang: Melalui

Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran, (Bandung: Alumni,2001) Hal. 78

Selanjutnya Kartini Muljadi menghubungkan perikatan yang dimaksud dalam Pasal 1233 itu dihubungkan dengan ketentuan 1234 KUHPerdata yang menentukan bahwa tiap-tiap perikatan

menimbulkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Dengan demikian Kartini berpendapat bahwa pengertian utang yang dimaksud dalam Undang-undang kepailitan adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik kewajiban itu untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu dia menganut pengertian utang secara luas

Mengacu pada pendapat ini, jika dihubungkan dengan kasus permohonan pailit buruh yang diajukan Rohani,dkk dalam permohonan Pailit Tenaga Kerja terhadap PT. Indah Pontjan, maka putusan pengadilan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap namun tidak terlaksana berupa hak-hak normatif buruh pasca pemutusan hubungan kerja yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses yang tidak dibayarkan oleh PT. Indah Pontjan selaku termohon dapat dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena itu dapatlah dikatakan menyangkut kewajiban membayar utang bukan hanya karena perjanjian utang-piutang saja tetapi merupakan setiap kewajiban debitor yang berupa membayar sejumlah uang kepada kreditor baik yang timbul karena perjanjian maupun yang timbul karena undang-undang dan timbul karena putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dilihat dari presfektif kreditor, kewajiban membayar debitor berupa pembayaran hak-hak normatif pekerja buruh dalam hal ini PT. Indah Pontjan dan disi lain buruh merupakan orang yang berhak untuk memperoleh sejumlah uang

sebagaimana disebut dalam putusan. Utang debitor dalam hal ini telah ada ketika putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Pengadilan hubungan industrial dalam hal ini, telah menetapkan kewajiban membayar debitor tersebut dan sebaliknya hak dari kreditor yakni berupa pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses.

Beranjak dari hal tersebut maka kewajiban debitor berupa pembayaran hak-hak normatif pekerja buruh dalam hal ini berupa pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan upah proses adalah untuk berbuat sesuatu berupa kewajiban membayar uang.

Dengan demikian hak-hak normatif merupakan salah satu bentuk utang dalam arti luas berupa kewajiban debitor kepada kreditor yang timbul karena ketentuan undang-undang berupa keputusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Hak-hak normatif buruh yang yang dikualifikasikan sebagai utang dalam arti luas ini juga telah memenuhi kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang karena putusan PHI tersebut juga telah menentukan besarnya jumlah uang yang menjadi kewajiban debitor kepada para pemohon pailit sebesar Rp.125.552.931,- (seratus dua puluh lima

Dokumen terkait