• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam masyarakat Aceh kita akan menjumpai sejumlah karya sastra dari zaman lampau. Diantara karya sastra itu ialah hikayat. Hikayat ditulis hampir seluruhnya berbentuk puisi dengan menggunakan huruf Arab-Melayu tetapi tetap dalam teks berbahasa Aceh. Ditinjau dari segi masyarakat Aceh, hikayat tidaklah dipandang sebagai karya fiksi yang utuh. Hikayat dan cerita rakyat semacam itu lebih berat dipandang sebagai suatu peristiwa kehidupan yang benar-benar ada daripada sebagai buah pikiran pengarangnya. Juga, isi kandungan hikayat dianggap mewakili sekelumit peristiwa kehidupan sosial Aceh sehingga amat mempengaruhi tingkah laku, norma atau nilai-nilai sosial, kehidupan bermasyarakat dan berbudaya pada umumnya.[6]

Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orang besar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat. [7] Mencermati makna daripada ungkapan di atas, betapa hikayat sebagai karya sastra telah mengikat masyarakat Aceh sebagai penikmat sastranya pada masanya. Dengan kata lain, kecendrungan ini memegang peranan penting di Aceh karena hikayat sebagai “hasil produksi” dalam bentuk karya sastra telah dapat memenuhi selera rakyat Aceh sebagai “konsumennya”.

Ditinjau dari segi penerimaan masyarakat Aceh, syiar Islam melalui hikayat membuka jalan yang cukup aman. Dikatakan demikian karena cara ini di satu pihak relevan dengan alam pikiran dan semangat masyarakat dewasa itu. Secara perlahan tapi pasti hikayat mengusung misi perubahan pola pikir masyarakat dalam beragama dan berbudaya dengan jalan tenang dan damai. Hingga kehidupan bermasyarakat dan berbudaya dari Hinduisme kepada Islam tidaklah mengalami kegoncangan karena sebagian dari nilai-nilai yang dibawa hikayat ada yang tetap mempertahankan ajaran Hinduisme. Keadaan ini dapat dipahami dengan alasan agar hikayat bisa menjadi media syiar Islam yang tepat untuk memperluas dakwah secara mudah. Hikayat menjadi satu-satunya media yang sangat disenangi masyarakat ketika itu.

Dari ulasan tersebut nampak kepada kita, hikayat mencoba menjembatani dua macam kehidupan beragama dan berbudaya yang cukup berbeda. Mencari arah perubahan kehidupan sosial dan budaya dari suasana Hinduisme kepada suasana penuh keislaman. Maka, sejak itu adat budaya asal Hindu mulai ditantang dengan perlahan. Dan, peranan hikayat terus mengalihkannya secara sehat dimulai dari kebiasaan-kebiasaan hidup cara Hindu menuju cara hidup Islam. Maka kemudian hikayat menjadi semacam sumber nilai-nilai yang terus berinteraksi dengan masyarakat dalam proses yang cukup panjang.[8]

Langkah awal yang ditempuh oleh muballigh-muballigh Islam dalam menyampaikan dakwahnya melalui hikayat adalah dengan tetap mempertahankan sebagian isi hikayat dari nilai-nilai lama yaitu Hinduisme, kemudian disisipkan unsur-unsur nilai-nilai baru sedikit demi sedikit yaitu Islam dan kebudayaannya. Manifestasi tindakan ini semacam mendukung kedua macam nilai-nilai agama dan budaya yang ada. Sebagai contoh konkritnya ada di dalam Hikayat Maleem Diwa yang hampir seluruh isinya diwarnai oleh Hinduisme. Tokoh Maleem Diwa didalamnya, yang oleh masyarakat Aceh dewasa itu dipandang sebagai orang keramat, disisipkan sebagai gure meunasah dalam penyamarannya di kayangan. Sisipan ini amatlah kecil dan halus namun sarat nilai misi dakwah didalamnya. Tokoh Maleem Diwa hanya disebutkan menyamar sebagai guru mengaji (Al-Qur’an) di meunasah/surau/langgar. Ini bermakna Maleem Diwa belum bisa dikatakan benar-benar menganut agama Islam. Perubahan-perubahan yang cukup signifikan sangat diharapkan terjadi disini sehingga meskipun sisipan itu amat kecil, namun membuka peluang jalan ke arah keraguan pembaca dan pendengar hikayat. Selanjutnya, akibat dari keragu-raguan itu akan timbul rentetan pertanyaan kritis dan radikal, misalnya apakah Maleem Diwa ini memeluk agama Hindu atau Islam? Dan sebagainya.

Akan tetapi, unsur islamisasi yang dimasukkan ke dalam Hikayat Maleem Diwa belum cukup kokoh. Disamping karena Maleem Diwa masih merupakan tokoh dari agama Hindu, eksistensinya pun tidak begitu jelas di mata masyarakat. Maka, hikayat lain masih harus diciptakan untuk membawa posisi Islam dan kebudayaannya dalam gambaran yang lebih tinggi daripada posisi Hindu. Dengan pertimbangan semacam itulah timbul suatu inovasi dan kreativitas seni bercerita dan menulis dalam hikayat. Harapannya, variasi hikayat dalam

kehidupan beragama akan menggiring anggota masyarakat sebagai pembaca dan pendengarnya bisa menangkap pesan-pesan keislaman secara utuh.

Dari ungkapan hikayat tersebut memperlihatkan betapa kuatnya suatu perkataan yang didasarkan kepada keyakinan terhadap Islam. Selain dua hikayat tersebut masih banyak lagi cerita hikayat lainnya yang mendukung unsur-unsur islamisasi dan meruntuhkan keyakinan agama awal. Memang pada esensinya hikayat harus mampu menggambarkan kelebihan konsep-konsep Islam dalam kehidupan sosial dan budaya. Inilah syarat penting untuk menimbulkan pembaharuan yang hendak dicapaiHikayat sebagai media syiar Islam atau islamisasi melalui hikayat mendapat posisi tersendiri dalam masyarakat Aceh. Baik hikayat sebagai karya sastra maupun media syiar Islam sama-sama menghendaki penghayatan dan pemahaman yang bisa meresap ke dalam kalbu manusia. Hikayat sebagaimana karya sastra pada umumnya memiliki kata-kata yang meninggalkan kesan-kesan dan perasaan, sama halnya seperti sendi-sendi agama Islam yang menuntut penghayatan dan keyakinan di dalam hati.

Pengaruh hikayat terkadang mencapai sesuatu yang jauh, mendalam dan mengkristal di nurani manusia. Sebagaimana Hikayat Prang Sabi mengambil posisi penting sebagai motif perlawanan rakyat Aceh menentang kolonial Belanda. Unsur-unsur agamis dimasukkan sebagai dasar ideologi perang Sabil dengan kemasan menarik dan dalam gaya bahasa atraktif sehingga menggugah kesadaran rakyat Aceh untuk melawan ketertindasan.

Berikut kutipan beberapa baris syair dalam Hikayat Prang sabi karya Teungku Syik Pante Kulu alih aksara Anzib 1964 halaman 17:

HIKAYAT PRANG SABI - Teuku Chik Pante Kulu Salam alaikom walaikom teungku meutuah

Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi Ureueng syahid la syahid bek ta khun mat Beuthat beutan...ya Allah nyawoung lam badan Ban sar keunung la keunung senjata kaf la kaf Keunan datang...ya Allah pemuda seudang Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi Gugur disinan-disinan neuba u dalam-u dalam Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi

Ija puteh la puteh geusampoh darah Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki

Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee

Darah nyang ha-nyi nyang ha-nyi gadôh di badan Geuganto le tuhan...ya Allah deungan kasturi

Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang Neubi beu mayang...ya Allah Aceh mulia

Subhanallah wahdahu wabi hamdihi Khalikul badri wa laili adza wa jalla

Ulon peujoe poe sidroe poe syukur keu rabbi ya aini Keu kamoe neubri beusuci Aceh mulia

Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa

Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka

Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teubuh Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata

Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia

Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang Allah peulang dendayang budiadari

Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi

Budiyadari meuriti di dong dji pandang Di cut abang jak meucang dalam prang sabi

Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang

Pengaruh hikayat ini selama perang berlangsung telah melahirkan banyak pejuang yang umumnya mereka tewas di medan-medan pertempuran. Diantaranya yang cukup terkenal ialah Teungku Imeum Lueng bata, Teungku Ibrahim Lamnga (suami pertama Cut Nyak Dhien, tewas 1878), Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Polem Mahmud Cut Banta, Panglima Polem Ibrahim Muda Kuala, Teungku Chiek Di Tiro Muhammad Saman, Teungku Chiek Muhammad Amin Tiro, Teungku Panglima Nyak Makam (dipenggal kepalanya, 1896), Teungku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Teungku Fakinah dan masih banyak lagi.[11]

Hikayat Prang Sabi tersebut memperlihatkan sesungguhnya sejarah perjuangan rakyat Aceh tempo dulu telah mengabadikan bagaimana hikayat dan agama Islam telah mempunyai arti tersendiri dalam sejarah kehidupan rakyat Aceh. Kebanggaan mereka karenanya mengurat akar dalam-dalam dan memiliki catatan historis yang sangat panjang dan membanggakan.

Hikayat tidak bias lepas dari proses metamorphosis mastarakat Aceh baik sebagai individu, anggota kelomok maupun anggota masyarakayu. Dalam hal ini, Tengku Muda Bali (Serambi Indonesia……….) menyatakan bahwa

“Sebagian besar masyarakat Aceh sudah melupakan hikayat. Banyak yang sudah tak mengenalnya,” kata seniman hikayat Aceh Tengku Muda Balia. Dalam lima bulan terakhir, Tengku Muda Balia sedikit sekali memperoleh undangan untuk tampil.

Hikayat Prang Sabi adalah sebuah hikayat yang diciptakan atau dikarang oleh Tgk Chik pante kulu yang merupakan sebuah syair kepahlawanan yang membentuk suatu irama dan nada yang sangat heroik yang membangkitkan semangat para pejuang Aceh dari zaman penjajahan portugis sampai zaman penjajahan Belanda hingga zaman TNA berperang dengan TNI. Menurut Hikayat Prang Sabi adalah salah satu inspirator besar dalam menentukan perjuangan rakyat Aceh. Memang sejak dulu bangsa Aceh sangat akrab dengan syair-syair perjuangan Islam, sajak-sajak akan sebuah hakikat keadilan. Hikayat ini selalu diperdengarkan ke setiap telinga anak-anak aceh, laki-laki, perempuan, tua muda, besar kecil dari zaman ke zaman dalam sejarah Aceh sepanjang Abad.

Aceh adalah negeri yang paling ditakuti oleh Portugis dan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda sejak tahun 1873 serta Jepang. Beribu macam taktik perang yang digunakan oleh para penjajah tetapi tidak dapat menguasai Aceh yang unggul dengan taktik perang gerilyanya. Sejarah mencatat bahwa perang kolonial di Aceh adalah yang paling alot, paling lama, dan paling banyak memakan biaya perang dan korban jiwa penjajah. Atas perintah Teuku Cik Di Tiro tahun 1881 di gubahlah syair Hikayat Prang Sabi oleh Teuku Chik Pante Kulu. Dan setiap akan berperang maka dibacakanlah syair itu di sawyah-sawyah menasah, di bacakan di desa-desa untuk mengobarkan semangat jihad ke masyarakat.

Perang Aceh seakan tidak pernah selesai dan ini menyebabkan pihak Belanda kehilangan pikirannya untuk menerapkan taktik degi tujuan menguasai Aceh. Salah satu alasan kuatnya semangat orang Aceh dalam berperang melawan penjajaghan adalah karena selalu dibacakan hikayat pran sabi yang memperdengarkan nilai-nilai perjuangan di jalan Allah SWT, janji Allah akan mati syahid dan syurga bagi siapapu yang berperang melawan kpa Beulanda.

Akhirnya Belanda memilih untuk mengirimkan seorang inteektual mereka untuk mempelajari pikiran dna perilaku orang Aceh yaitu Snouck Hurgronje yang disusupkan untuk mempelajari kebudayaan Aceh menemukan jalan pikiran, sikap dan perilaku rakyat Aceh. Snouck Hurgronje ditugaskan untuk mempelajari orang Aceh dnegan cara menjadi muslim dan bergaul dengan para ulama dan masayarakat. Temuan selamam beberapa lama hidup bersama orang Aceh kemudian dilaporkan kepada Pihak Belanda. Atas dasar pengetahuan tersebut, Belanda berupaya mengatur strategi unutk memecah belah orang Aceh dna sekaligus melmah kekuatan orang Aceh. Belanda mengguakan strategi memecah belah anntara para ulama sebagai kekuatan masyarakat dan kekuatan terbesare dalam perjuangan Acegh dnegan kaum

penguasa atau Uleebalang.

Tak cukup dengan catatan itu, Snouck kemudian membuat buku, De Atjehers, yang memaparkan secara lengkap struktur masyarakat Aceh, kebudayaan, sampai posisi ulama. Segera buku itu menjadi terkenal, bahkan mendapat pujian dari para orientalis sebagai karya yang secara lengkap mengupas kebudayaan Islam di Aceh. Bagi Belanda, karya itu menjadi rujukan untuk menyusun taktik menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Dan terbukti, Aceh pun kemudian mulai dapat dikalahkan. (dalam buku Aceh, ….)

Salah satu bagian paling penting dari Hikayat Prang Sabi adalah pendahuluan atau mukadimah. Bagian yang juga berbentuk syair ini menunjukkan secara jelas tujuan ditulisnya Hikajat Prang Sabi, dalam hubungannya dengan perang melawan Belanda. Setelah diawali dengan puji-pujian kepada Allah pencipta semesta alam, syair-syair pada mukadimah berlanjut pada seruan untuk perang Sabil. Juga disebutkan satu pahala yang dapat diperoleh bagi mereka yang berjihad dalam perang Sabil. Salah satu pahala yang akan diterima mereka yang mati

syahid dalam perang tersebut adalah akan bertemu dengan dara-dara dari surga ( Bidadari ).

Hikayat Aceh merupakan perpaduan antara seni syair tutur dengan lagu. Dalam pertunjukan seni, pemain hikayat biasanya memadukannya dengan alat musik tiup sebagai repertoar. Syair hikayat berisi nasihat, agama, kisah peperangan, budaya Aceh, dan kisah-kisah lain. Lebih lanjut menurut Muda, hikayat adalah seni tutur asli Aceh yang diduga sudah ada sebelum Islam masuk ke Aceh. Pada masa persebaran Islam, hikayat menjadi media dakwah. Lalu, pada masa penjajahan Belanda, hikayat menjadi alat pengobar semangat juang masyarakat Aceh melawan penjajah. Pada masa konflik, banyak masyarakat yang tak berani memanggungkan hikayat karena takut..

Wina Syafwina dalam artikelnya " Hikayat, Nafas Sstra Aceh dari zaman ke Zaman, 23 April 2010 menjelaskan peran hikayat dalam konstruksi berbicara tentang sastra Aceh, orang pasti akan langsung teringat akan Hamzah Fanshuri dengan Syair Perahu yang sufi atau Hikayat Prang Sabil-nya Tgk Chik Pante Kulu yang mampu membakar semangat rakyat Aceh untuk mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajahan Belanda. Walau sebenarnya sastra Aceh tidak hanya itu. Ada banyak karya sastra yang bertebaran di Aceh. Baik itu dalam bahasa Aceh ataupun dalam bahasa-bahasa lain yang ada di Aceh.(Ada sekitar sepuluh bahasa dan suku bangsa di Aceh. Aceh adalah suku terbesar yang mendiami wilayah pesisir. Selain itu ada suku Gayo, Aneuk Jamee, Tamiang, Kluet dan seterusnya). Bahasa Aceh adalah bahasa yang paling banyak penggunanya. Sayangnya, hanya sedikit karya-karya dalam bahasa daerah ini yang terekspos atau terpublikasi.

Sastra sudah integral dalam masyarakat Aceh. Sastra merupakan bagian yang tidka terpisahkan daman konstruksi dna perubahan atau ,mmetamorphosis masyarakat dan bangsa Aceh. Untuk memhami perkembangan dna perubahan masyarakat Aceh yang berkaitan dangn sastra hilkayat, maka dapat dilihat dengan kpKeberadaan sastra di Aceh bisa dibagi dalam beberapa periode, yaitu zaman kerajaan dan perang Aceh, zaman kemerdekaan, masa konflik, dan pasca tsunami.

Awal keberadaan sastra di Aceh bisa dilihat jauh sebelum Indonesia ada, yaitu sekitar abad ke-13, pada saat Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ada banyak karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat dan sastra tutur. Karya tulisan umumnya menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu dan Arab. Sedangkan sastra lisan umumnya menggunakan bahasa daerah karena lebih komunikatif saat berkomunikasi langsung dengan pendengarnya.

Pada zaman ini, ada beberapa karya legendaris dari Aceh yang mendunia. Karya-karya ini punya kekuatan dan ciri khas tersendiri. •Hikayat adalah karya yang menonjol pada zaman ini. Hikayat-hikayat yang memiliki kekuatan dan bertahan sampai sekarang, antara lain adalah Syair perahu(Hamzah Fanshuri), •Bustanul as salatin (Nuruddin Arraniry), dan Hikayat Prang Sabil (Tgk Chik Pante Kulu). Selain itu juga ada Hikayat Malem Dagang, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Putroe Bungsu dan beberapa hikayat yang tidak diketahui penulisnya. Karya sastra tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan karya sastra tutur. Karya sastra tutur ini lebih merakyat dan berkembang pesat. Hikayat yang tidak ditulis tetapi dituturkan secara spontan dan dihafalkan cukup banyak. Hampir semua orang di Aceh pandai bertutur secara spontan.

Seperti Seorang ibu bersyair atau membacakan hikayat saat menidurkan anaknya, penari menyanyikan syair dan hikayat secara spontan saat menari, para pedagang obat keliling bersyair saat menjual obatnya di depan umum, shalawat-shalawat dan hikayat para rasul

diajarkan oleh para teungku (ulama, guru agama, pemimpin pasantren) saat mengajarkan para santri. Hikayat dan sastra tutur tumbuh dan berkembang begitu saja di mana-mana di Aceh. Para sastrawan legendaris pada masa ini, memiliki kekuatan dan karakter tersendiri. Hamzah Fanshuri (1575-1625), misalnya. Seorang penyair sufi yang karya-karyanya jauh melampaui zamannya, sehingga dianggap sesat oleh mereka-mereka yang menafsirkannya secara berbeda. Sehingga banyak karya-karyanya yang dibakar atas perintah Nurrudin Arraniry, pemuka agama pada masa itu. Salah satu kitab yang ditulisnya “Syarab al-asyiqin” atau “Minuman segala orang yang berahi”Tgk Syekh Abdurrauf al Singkili atau lebih dikenal dengan Tgk Syiah Kuala (yang namanya kemudian dijadikan nama universitas negeri di Aceh) juga banyak menuliskan kitab-kitab pendidikan dan agama yang berisikan syair-syair ma’rifat.

Dalam paper ini yang menjadi focus adalah hikayat Tgk Chik Pante Kulu, seorang ulama besar. Dia menuliskan Hikayat Prang Sabil. Hikayat ini sangat dikenal dan merakyat dalam bentuk tutur. Kekuatan kata-katanya mampu menggerakkan orang Aceh untuk mati syahid melawan kaphe Beulanda.Para sastrawan legendaris ini semuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa bahasa. Hikayat Perang Sabi menjadi hikayat yang dibacakan dalam masa-masa erang dan perjuangan Aceh sepanjang masa. Ada masa kerajaan dan erang Aceh, hikayat perang sbai memang khusus diciptakan oleh Tgk. Chek Pante Kulu dengan tujuan untuk membangkitkan semnagan juang orang Aceh dalam eperangan melawan kaphe beulanda. Hikayat ini menjadi pembangkit semangat orang Aceh untuk terus berjuang untuk mempertahan tanah dan marwah orang Aceh. Berperang melawan kaphe beulanda adalah erlawanan menlawan orang kafir yang mengganggu Aceh dan Islam. Dalam Hikayat erang Sabi dikibarkan janji-janji bahwa perang melawan Aceh adalah perang melawan orang kafir (kaphe Beulanda) dan itu adalah gerakan syihad yang tidak perlu gentar karena perjuangan melawan orang kafir adalah erjuangan yang snagat dimualaikan oleh Allah. Dan siapaun yang meninggal dalam eperangan melawan orang kafir adalah mati syahid dan hadiahnya sesuai janji Allah dalam Al-Qur'an adalah mati syahid.

Tidak ada hal yang lebih indah selain kematian memperoleh syurga Allah SWT. Dan Hikayat Perang Sabi saat itu telah membentuk karakter orang Aceh yang 'rela mati syahid demi melawan kaphe Belanda'. Perjuangan melawan kekafiran adalah perjuangan yang harus didukung oleh semua masyarakat. Dalam zaman perang Aceh, ibu-ibu dengan suka rela 'menyerahkan anak-anak mereka untuk berjuang dan berperang melawan Belanda.

Hilkayat perang sabi dibacakan secara tutur keada selururh orang aceh mellaui meunsah-meunasah dan pertemuan-pertemuan. Semangat perjuangan muncul dalam orang Aceh sebagai perjuangan untuk mempertahan agama, karena melawan Aceh artinya melawan Islam yang menjadi agama orang Aceh. HIkatar perang sbai juga dinyanyikan oleh ara ibu-ibu dalam menimang anak-anak mereka dan hal itu merupakan proses konstruksi orang Aceh yang kemudian mengalami methamorphosis menjadi manusia yang sangat tidka menyukai orang kafir yang dalam hal ini kaphe Beulanda karena ingin merusak Aceh. Orang Aceh umumnya menjadi orang yang berpegang teguh dengan nilai-nilai Islam sehingga kemuidan muncul penyatuan dalam masyarakat Aceh antara nilai-nilai agama dan budaya sebagai bagian dari pembentukan masyarakat Aceh hingga saat ini.

Dua abad terlampaui, sastra Aceh terus berkembang dan hikayat terus lahir di mana-mana. Bentuk sastra modern yang berasal dari barat juga mulai menampakkan pengaruhnya dalam karya sastra di Aceh. Banyak sastrawan yang melahirkan karya tulisan. Lebih banyak dari abad sebelumnya. Namun tidak ada satu pun karya yang mendunia yang lahir pada saat ini. Ada

beberapa sastrawan yang cukup dikenal di nusantara (Indonesia dan dunia melayu). Salah satu yang paling menonjol dan banyak berkarya dan berperan dalam membangkitkan sastra dan pendidikan di Aceh adalah A Hasjmy. Tokoh-tokoh sastra dan Hikayat Aceh seerti TA Talsya, A Rivai Nasution, Agam Wispi, T. Iskandar, Tgk Adnan PMTOH, Mak Lapee dan lain-lain. Dua nama yang terakhir Tgk. Adnan PMTOH dan Mak Lapee adalah tokoh teater tutur. Tgk Adnan PMTOH, sang troubadour, menggabungkan kemampuannya berhikayat, monolog, musik dan teater. Ketika ia bertutur, orang sanggup duduk sampai pagi mendengarkan kisahnya. Cerita yang paling sering disajikannya adalah Hikayat Malem Dagang.

Cerita hikayat pada masa kemerdekaan terutama masa Orde Baru banyak diisi dengan ajakan ikut membangun acah atau berdasarkan program-program pemerintah. Mas aini Hilayar erang Sabi sekan tinggal sejarah saja. Namun semangat hikayat perang sabi masih melekat dalam proses kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Hal itu ditandai dengan masih teta

Dokumen terkait