• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa dan Proses Metamorphosis Self Concept Masyarakat Aceh Melalui Karya Sastra Hikayat “Perang Sabi”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa dan Proses Metamorphosis Self Concept Masyarakat Aceh Melalui Karya Sastra Hikayat “Perang Sabi”"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Bahasa dan Proses Metamorphosis Self Concept

Masyarakat Aceh

Melalui Karya Sastra Hikayat “Perang Sabi”

Oleh: Umaimah Wahid

Faculty of Communication Scince Budi Luhur University

Abstract

Hikayat merupakan salah satu karya sastra masyarakat Aceh yang terkenal yang mempunyai kekuatan tutur masyarakat dalam kesehariannya ataupun dalam fase-fase krusial seperti perang Aceh, masa konflik dan reformasi bahkan pasca tsunami. Walau hikayat tidak dipublikasikan secara resmi, namun hikayat menyebarkan secara turun temurun dari mulut ke mulut dan mengakar dalam sendi sendi kehidupan masyarakat melalui beragam proses rekonstruksi yang memiliki pengaruh dalam proses metamorphosis karakter masyarakat yang membentuk self concept. Salah satu hikayat yang sangat terkenal dan mengakar dalam sejarah masyarakat Aceh adalah hikayat Perang Sabi karya Tengku Chik Pante Kulu. Hikayat ini merupakan hikayat yang diciptakan untuk membangkitkan semangat masyarakat Aceh dalam perang Aceh.

Keyword : bahasa, metamorphosis, self- concept, hikayat-aceh

A. Landasan pemikiran

Bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan dalam pengembangan dan perubahan yang dialami setiap individu dan masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai bahasa dan budaya yang menjadi alat komunikasi dan sekaligus menjadi sarana pembentukan budaya. Artinya kontruksi manusia sebagaii individu dan anggota masyarakat terikat dengan budaya yang melandasi proses interaksi individu sebagai anggota masyarakat. Bahasalah yang menjelaskan banyak realitas social sebuah masyarakat. Peran bahasa dalam engembanangan social adalah fundamental karena bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk penyamaian pesan semata, melainkan lebih dari itu bahasa merupakan identitsa budaya sebuah masyarakat.

(2)

konstruksi dalam proses interaksi social budaya setiap hari di tengah masyarakat. Setiap orang adalah anggota masyarakat yang didalamnya integral nilai-nilai budaya termasuk bahasa di dalamnya. Artinya Bahasa tidak tidak mungkin lepas dari konstruksi social seseorang.,

Setiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya dalam penggunaan bahasa yang berbeda antara satu negara dengan lainnya berbeda, karena sudah dikenal dari pemanfatan bahasa masing-maisng. Kecuali tidak ada kecintaan terhadap bahasa asal. Disinilah letak pentingnya bahasa, yang memang harus diaplikasikan dan dikembangkan dengan penuh rasa, cipta dan karsa. Karenanya bahasanya tidak boleh dipermainkan (gaming of language) karena merepresentasikan identitas. Aceh sebagai salah satu suku bangsa yang mempunyai sejarah besar dalam literatur Indonesia menggunakan bahasa Aceh dan bahasa Melayu Jawoe dan bahasa dengan semua karya sastra terutama hikayat sangat penting dalam prose rekonstruksi orang Aceh.

Hikayat merupakan salah stau karya sastra Aceh yang paling terkenal dan dominan dari masa ke masa. Hikayat mengandung beragam nilai-nilai social budah, agama bahkan politik yang kesemuanya integral dalam diri orang Aceh. Sebagai seni karya tutur, hikayat dibacakan mellaui meunsah-meunsah sebagai wadah musyawarah masyarakat Aceh. Meunasah meruakan tempat ibadah, pusat pemerintahan tingkat gampong (desa) seklaigus sebgaii wadah pendidikan, pengembangan masyarakat dna penyelesaian konflik di tengah masyarakat. Karena proses yang snagat mendasar hikayat menjadi sangat terkenlkl karena orang Aceh lebih menyukai bahasa tiutur dibandingkan bahasa tulis. Hikayat digunakan sebagai saranba eksresi masyarakat Aceh mengenai apa yang mereka yakini dan inginkan.

Hikayat kemudian menjadi bagian tridka terpisahkan dalam konstruksi masyarakat Aceh. Hikayat menjadi integral dlaam proses metamorphosis masyarakat Aceh sejak dari zaman kejayaan Kerajaan Aceh, zaman perang Aceh, zaman orde lama dan Baru hingga zaman operasi militer dan reformasi. Hikayat menjadi sarana pendidikan sekaligus sebagai hiburan yang dipandang sesuai dengan nilai-nilai Islam, digunakan juga sebagai media penyampaian program-program emerintah, kitik social dan perjuangan serta pengembangan nilai-nilai kebaikan dna keluarga.

B. Bahasa dan Kekuasaan Komunikasi

Bahasa adalah sebuah fakta sosial (language is a a social fact). Ferdinard de Saussare menengaskan bahwa dalam proses interaksi social sangatlah penting mengenal dan memahami bahasa agar dapat mengindentifikasi persoalan yang sesungguhnya. Setiap bahas ammeunyai karakter dan sesuatu yang bersifat alamaiah, lahir secara sontan dalam setiap individu. Manusia mmeunyai kemmapuan intelegensia dan kekuatan itu berkembanga dalam kekuatan sosial (Halliday, 1993:1)

(3)

Rahardi, (2006:11) menjelaskan fungsi bahasa proses konstruksi dan metamorphosis seseorang ditengah masyarakat, yaitu :

Pertama, perlu disepakati terlebih dahulu bahwa dalam fungsinya sebagai peranti aau apparatus komunikasi dan interaksi, bahasa tidak perlu diperdebatkan lagi berperan sebagai penjamin terjadinya komunikasi dan interaksi tersebut.

Kedua, sosok bahasa memiliki salah satu peran dan fungsi yang mendasar yaitu sebagai medium penyampai maksud dan tujuan, sebagai saluran atau lorong penyampai pikiran, gagasan, ide dan keinginan.

Pada dasarnya bahasa bersifat fleksibel dan artif, artinya bahasa senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan zamannya. Dengan bahasa, manusia dapat mempelajari dan memahami realitas kehiduan dan sebagai alat komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan aa yang diikirkan kepada oran laian. Artinya aktivitas manusia tercermin dalam bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Aktivitas berbahasa seringkali digunakan melalui tindakan berbicara yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Demikian pentingnya peran bahasa dalam kehiduan manusia, akan tetapi bahasa tidak hanya berfungsi memperjelas informasi yang disamikan keada pihak lain, melainkan yang lebih krusial bahwa bahasa memperjelas identitas dan status seseorang dan sebuah budaya. Bahas ayang dipergunakan seseoran dapat menilai identitas dan memberikan cirri dan status dalamkehidupan serta dalam proses asimilasi. Proses ini semua dapat memebtuk system keprcayaan (system of belief).

Simbol-simbol yang terbentuk dari interaksi dan kesepakatan sosial mmengandung nilai-nilai sosila yang dipertukarkan oleh anggota masyarakat dalam proses komunikasi. Simbol-simbol tersbeut meruakan reresentasi dari mental dan cara berpikir masyarakat tertentu, serta menjadi landasan dalam proses interaksi selanjutnya. Artinya bahasa adalah realitas seseorang atau sebuah budaya, sebaliknya indetitas seseorang dapat dilihat dari enggunbaan bahasa sehari-hari.

Dalam tatanan sosial bahasa dan komunikasi yang terjadi dapat menyebabkan pergeseran-ergeseran makna dari apa yang selama ini diercayai. Dari emahaman ini menjelaskan bahwa segala segi sosial budaya dapat secara leluasa memproduksi dan memperkuat nilai-nilai dan makna-mkan dalma budaya tertentu. Bahasa yang dipergunakan menciptakan suatu peristiwa komunikasi, yang meruakan sarana yang memungkinkan semua orang mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan seklaigus membentu membangun persepsi mengenai peristiwa-eristiw adalam proses komunikasi.

Bahasa juga dipercaya mampu mennetukan kehidupan manusia, manusia tidka mungkin berinteraksi tanpa bahsa baik verbal mauun nonverbal. Karena jika tana bahasa orang tidak dapat menyampaikan apapun yang mereka pikirkan dan rasakan kepada ihak lainnya. Artinya tiada realitas tanpa bahasa, dan bahasa yang integral pemahaman merupakan kunci dalam menciptakan, memahami dan memaknai realitas bahkan membuat kesepakan diantara individu-individu ditengah masayarakat.

(4)

makna-makna yang signifikat dengan yang lainnya. Kegiatan manusia mengenal bahsa dimulia semenjak kanak-kanak dimana seorang anak mengenai bahasa dan realitas sosialnya dari seorang ibu yang membahasakan dan mengajakrkan kepadanya. Dalam proses selanjutnya seorang anak mengenal, memehamai dan mempelajari realitas selanjutnya secara terus menerus dalam realitas social yang lebih luas yanitu lingkungan social masyarakat. Pada tahap ini, seseorang ,mampu memahami bahkan mencitakan makna berdasarkan engalaman dan pengematan dalam interaksi yang berlangsung. Pengalaman social seterusnya mengkonstruksi budaya yang kemudian menjadi landasan proses social masyarakat selanjutnya.

Bahasa sebagai alat konstruksi realitasi bagi individu dan sosial menjadi penentu realitas sosila yang akan dihasilkan karena bahasa membentuk realitas pikir sesorang. Setiap oranbg merupakan anggota budaya tertentu yang dalam proses sehari-hari secara singnifikant integral dalam kehidupan sehari-hari. Pengguna bahasa tidak hanya mempunyai kemampuan tata bahasa, kosa kata, logat, gaya bahasa, teknik penyampaian, namun dituntut juga pengguna bahasa mempunyai pengetahuan yagng budaya dimana bahasa tersebut tumbuh dan berkembangan serta menjadi bagian dari identitas bahasa tersebut.

Dalam proses interaksi komunikasi banyak informasi atau pesan yang disampaikan dan bahkan manusia dalam proses tersebut menjadi penentu dari tindakan yang berlangsung. Manusia menjadi enentu dalam proses enggunaan bahasa karena bahasa memunyai makan dan nilia tertentu karena manusia yang menggunakannya. Jalaluddin Rahmat (1993:39, 1995:50) menjelaskan bahwa adanya asumsi-asumsi yang berkaitan dengan peranan bahasa dalam mengkonstruksi sebuah realitas social sebagaimana yang dinyatakan oleh Hilladay (11993:2) menyebutknnya dengan " social management moment" yaitu sebuah gerakan yang muncul berkat dorongan pemikir interaksi simbolik

Beberapa asumsi gerakan ini adalah :

1. Dunia ini tidkalah tampak secara obyektif, melinakan diketahui mellaui pengalaman yang umumnyta diengaruhi bahsa.

2. Kategori linguistic yang dipergunakan untuk memahamai realitas bersifat situasional, karena kategori nmuncul dari interaksi social dalam kelomok dan waktu tertentu.

3. Realiats dipahamai pada waktunya tertentu ditentukan oleh konvensi komunikasi yang berlaku pada waktu tersebut karena stabilitas pengetahuan lebih banyak bergantung pada perubahan social dari pada realitas obyektif di luar pengalaman manusia.

4. Pemahaman terhadap realitas terbentuk secara social menciptakan banyak aspek kehidupan lain yang penting. Bahasa mempengaruhi cara kita berpikir dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari dan hal itu ditentukan oleh bagaimana seseorang memahamai realitas yang dihadapi.

Bahasa menjalankan fungsi dalam pproses komunikasi dengan membantu manusia untuk memermudah mencapai tujuan mereka karena emakainan bahasa yang baik, mnausia data dengan leluasa dan terbuka menyamaikan ide-ide, pikiran dan gagasan kepada ihak lain dengan tujuan tertentu yang telah ditetapkan.

(5)

1. Fungsi instrumental (the instrumental function), yaitu bahsa yang dipergunakan untuk menyatakan keadaan lingkungan yang disebabkan leh eristiwa-peristiwa tertentu untuk menghasilkan kondisi dan situasi yang diinginkan.

2. Fungsi regulatif (regulative function),, bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa.

3. Fungsi representasi (the representative function), adalah penggunaan bahasa untt membuat pernyataan-pernyataan, menyamaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan dengan kata-kata untuk menggambarkan dan mereresentasikan realitas yang sebenarnya.

4. Fungsi interaksi (the interaction function), adalah fungsi untuk menjamin serta memantapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi dan interaksi sosal.

5. Fungsi perorangan (personal function), yaitu memberikan kesempatan kepada sesorang pembicara untuk mengekpresikan perasaan, emosi, pribadi serta reaksi-reaksinya secara mendalam.

6. Fungsi heuristik (heuristic function), yaitu melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu pengetahuan

7. Fungsi imajematif (imagimative function), yaitu fungsi yang dipergunakan untuk menciptakan system-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat oimajimatif.

Berdasarkan fiungsi bahasa menjelaskan bahw abahasa terlibat dalam segala aspek dan struktur kehidupan manusia tanpa terkecuali . proses tersebut secara sirkuler terus berlangsung walau mengalami perubahan-perubahan dalam prosesnya. Bahas amenjadi penentu dalam realita manusiam bahkan transformasi pesan melalui media massa bentuk apaupun membutuhkan bahasa untuk menciptakan pesan yang sesuai dan tepat sehingga data dipahami oleh masyarakat dengan pemahamahan yang mereka miliki.

Peran sentral bahasa dalam kehidupan manusia menyebbaklan bahasa dalam proses konstruksi individu juga setral. Dan bahasa tidak hadir 'apa adanya atau naif' meliankan bahasa mengandung nilai-nilai, system belief dan ideology tertentu. Artinya bahasa yang dimanfatakan manusia untutk mengkonstruksi realitas mengandung nilai, sistem kepercayaan dna ideologi yang melekat dalam bahasa dan penggguna bahasa. Pengguna bahsa adalah anggota masyatakat, sistem kepercayaan, penganut nilai dan ideologi tertentu dan semuanya itu nilai-nilai yang integral dalam proses konstruksi seseoran sheingga proses metamorphosis yang dialami seseoran juga ditandai oleh realitas tersebut. Artinya teks yang dihasilkan oleh individu sebagai anggota masyarakat dipenuhi oleh keentingan yang melingkupi masyarakat tersebut.

(6)

Hal diatas memperkuat bahwa dalam roses interkasi, bahasa adalah alat interaksi komunikasi yang menciptakan, menambah dna menyempurnakan proses tersebut. Proses komunikasi yang mengharapkan khalayak atau lawan bicara memahami isi/pesan yang dikomunikasikan, maka dalam proses tersebut terdapat upaya saling tukar menukar makna atau berbagi makna bersama. Sehingga kedua belah pihak memunyai asumsi dan persepsi yang sama terhadap apa yang diinginkan, dihasilkan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Bahasa mempunyai dan membutuhkan lingkungan untuk berkembang dan manusia mengenal bahasanya semenjak bayi yang dimulai dengan bahasa ibu/awal (taboo language). Halliday menjelaskan (1993:2) bahwa bahasa mampu menciptakan struktur social dan memunyai peranan sentral dalam kehiduan masyarakat. Melalaui bahasa pola-pola social ditransmisikan kepada pihak lain dan sekaligus individu belajar bertindak sebagai individu, anggota keluarga dan masyatakat. Namun dalam proses interaksi muncul perbedaan dan ketidakseimbangan yang merupakan implikasi struktur social dan system belif masyarakat. Ketidaseimbangan dna ketidakadilan sanagt muncul dalam proses interaksi disebbakan relais dominan struktur atau kelompok social tertentu dalam masyarakat tersebut. Dale Spender ( 1985 : 3), menjelaskan bahwa bahasa adalah produk kemanusiaan yang merupakan sesuatu yang dciicptakan oleh manusia dan senantiasa dapat dimodifikasi, diubah, ditambah, dikurangi, menguntungkan dan merugikan kelompok tertentu.

Ditegaskan bahwa bahasa adalah fakta yang berbicara, yaitu hasil proses interaksi sosial ditengah masyarakat. Atas dasar fakta tersebut bahawa tidak bisa lepas dari sistem masyarakat dimana bahasa tersebut tumbuh dan berkembang. Bahasa yang dipergunakan bukan hanya menghasilkan teks tertulis/ lisan, melainkan bahsa dalam konsteks ini adalah teks dan sekaligus konsteks yang mengandung makna. Artinya bahasa dan teks merupakan realitas yang tumbuh dari nilai-nilai social, ideology dan sistem kepercayaan suatu masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa erat kaitannya dengan ideologi tertentu, maka bahasa sangat mugnkin mengami kontrol sosial dari kelompok sosial tertentu yang juga dominan ditengah masyarakat. Dalam posisi tersebut, bahasa data mempetukarkan struktur social atau sistem sosial dnegan pola-pola dominan suatu pemahaman. Oleh karenanya bahasa merupakan kekuatan dalam praksis social yang mengikat anggota social masyarakat. Kekuatan social tertentu mewarnai proses konstruksi individu, kelompok dan masyarakat.

C. Hikayat Dalam Masyarakat Aceh

Dunia kesusastraan Aceh sudah sejak awal dikenal penduduk Aceh beraksara arab jawoe. Ini bisa dilihat melalui berbagai hikayat yang kemudian menjadi warisan tradisi menulis. Perang yang berkepanjangan membuat masyarakat Aceh berubah total dari dunia menulis ke dunia tutur. Jadi, menurut saya, kurang tepat kalau ada yang mengatakan bahwa masyarakat Aceh lebih menyukai tradisi tutur. Menurut Dr. Ismail Hamid, ahli bahasa dan sastra Indonesia berkebangsaan Malaysia, hikayat itu diambil dari bahasa Arab yang bermakna cerita. Sastra ini ditulis dalam bentuk Arab-Melayu berbahasa Melayu Pasai dan Aceh. Juga menggunakan bahasa Melayu yang jamak dipakai untuk penulisan bidang ilmu pengetahuan, seperti fiqh, tasawuf, dan tauhid.

(7)

berbait, bersajak, berirama (ciri hikayat Aceh). Isi atau kisah dalam hikayat meliputi berbagai masalah kehidupan, seperti pelajaran-pelajaran tentang adat, masalah keagamaan, roman-roman duniawi, masalah kemasyarakatan, dan sejumlah peristiwa lainnya. Selain itu, hikayat juga bisa meliputi dongeng-dongeng, legenda, mitos, sage, maupun fabel.

Hikayat merupakan jenis karya sastra Aceh yang terbesar, baik dilihat dari jumlah dan keluasan cakupan isinya. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa jumlah hikayat Aceh yang pernah ada (pernah diciptakan dan/atau pernah ditulis) dan yang masih ditemukan hari ini. Umumnya hikayat pada awalnya diciptakan dalam tradisi lisan, dihafal oleh penciptanya dan oleh orang-orang yang sudah terbiasa mendengarnya. Begitulah tradisi ini berlangsung turun temurun dalam masyarakat Aceh. Upaya penulisan hikayat biasanya dilakukan oleh orang lain yang bukan penciptanya. Akan tetapi ada beberapa hikayat yang memang ditulis sejak awal penciptaannya oleh penciptanya sendiri, meskipun kemudian sering disalin kembali dan dilakukan penambahan di sana-sini oleh orang lain. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menemukan beberapa pengarang dari suatu hikayat dan kadang-kadang cukup sulit bagi kita untuk mendapatkan informasi siapa pengarang aslinya. Ini kebiasaan yang berlaku dalam budaya tradisi lisan.

Hikayat dikenal luas dalam masyarakat Aceh. Ia sudah ada sejak zaman dahulu kala. Mulanya hikayat dimainkan atau bawa dalam bentuk lisan oleh ahli (pawang). Karena itu, hikayat sering dikatakan sebagai seni tutur. Kemudian, setelah berkembangnya sastra tulis, hikayat mulai dituliskan, sama seperti jenis sastra lainnya di nusantara. Masa penulisan ini dimulai saat masuknya Islam pertama ke Aceh, diperkirakan abad ke-8 Masehi.

Hikayat Aceh berbeda dengan hikayat Melayu/Indonesia. Jika hikayat Melayu ditulis dalam bentuk prosa bernarasi, hikayat Aceh, kendati juga tergolong ke dalam bentuk prosa, ia ditulis berbait, bersajak, dan mengikuti rima. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh. Namun, jika dilihat naskah aslinya pada zaman dahulu, hikayat Aceh ditulis dalam bahasa Jawoe (Arab Melayu). Sastra dalam hikayat Aceh pengaruhnya dari saj’-syahi (bahasa Aceh) atau syair. Ini salah satu jenis prosa Arab yang berusaha mendayagunakan potensi morfologis, kombinasi bahasa guna menghasilkan pola-pola rima berirama. Perihal ini tampak pada bentuk lirik dan persamaan bunyinya. Hikayat sangat jauh berbeda dengan riwayat dalam sastra Arab, yang secara harfiah berarti narasi (bercerita). Istilah narasi sekarang biasa digunakan secara luas oleh kritikus sastra Arab untuk menyebut novel.

Hikayat adalah salah satu jenis sastra Melayu Pasai yang sangat terkenal. Bahkan hikayat merupakan puncak dari keindahan dan keagungan sastra. Menurut Dr Hoesein Djajadiningrat, hikayat mempunyai dua makna, yaitu cerita sejarah dan sebuah bentuk dari kesusastraan Melayu Aceh. Hikayat yang merupakan cerita sejarah, berbentuk prosa dan ditulis dalam bahasa Melayu Pasai yang dalam perjalanannya kemudian terkenal dengan bahasa Melayu Riau atau tulesan Jawou (tulisan Jawi). Kebanyakan karya-karya tersebut yang merupakan khazanah perpustakaan Aceh telah musnah dalam masa peperangan selama puluhan tahun antara kerajaan Aceh Darussalam dengan kolonialis Belanda. Banyak pula yang telah diangkut ke negeri Belanda.

(8)

Syair-syair karya sastrawan perang di masa nabi seperti karya Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik dan Abdullah Rawahah telah mempengaruhi sejumlah ulama sastrawan Melayu Pasai dan Aceh, sehingga muncullah kesusastraan epos (hikayat jihad) yang telah menggemparkan dunia penjajah seperti hikayat Prang Peuringgi. Ini merupakan karya sastra perang yang bertujuan membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh melawan Portugis. Kedua, hikayat Prang Gompeuni, buah karya seorang ulama pahlawan yang bernama Abdul Karim, yang lebih dikenal dengan sebutan Do Karim. Di sini beliau berhasil melukiskan perang Aceh yang heroik pada abad XIX. Juga ada hikayat Prang Sabi karya penyair Teungku Chik Pantee Kulu. Hikayat ini mampu membakar semangat perang sabil.

Bentuk sastra dalam hikayat sangat terikat dengan aturan-aturan, yakni padanan kata yang menghasilkan pola berima, bias makna, juga keindahan. Sedangkan riwayat berbentuk karangan bebas, seperti lazimnya bentuk prosa kesusastraan Indonesia modern. Hikayat pada kurun waktu kesustaraan Indonesia modern juga tidak mengalami perubahan, tetapi hikayat-hikayat Aceh pada masa ini ditulis dengan aksara latin, di samping tulisan Arab-Melayu yang masih dipertahankan beberapa penulis tua. Di tahun 1980-an, senikata hikayat Aceh mengalami masa puncak kejayaannya dengan kehadiran beberapa penulis, di antaranya yang paling terkemuka di khalayak masyarakat adalah almarhum Syeikh Rih Krueng Raya, yang menulis beberapa hikayat. Salah satunya yang muncul di tahun 1990-an ialah Seulala Mata (Silauan Cahaya Mata) dan Madya Hus pada tahun 90-an lewat hikayat Aneuk Jampok.

Nab Bahany As menuliskan bahwa orang bijak sering berkata, karya sastra adalah cermin masyarakat pada zamannya. Pernyataan ini benar, karena karya sastra itu lahir melalui proses pemikiran dan penghayatan manusia yang paling dalam terhadap hidup dan kehidupannya. Sedangkan sastrawan sendiri adalah manusia yang tajam pandangannya, yang mampu menangkap setiap gerak kehidupan untuk kemudian dituangkan dalam karyanya. Dengan demikian, karya sastra dapat diartikan sebagai suatu saksi hidup dari segala peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia. Dengan membaca karya sastra suatu bangsa berarti kita akan mengetahui apa yang dialami dan dirasakan oleh suku bangsa tersebut.

Demikian pula dengan kesusastraan Aceh, sastra Aceh adalah cermin masyarakat Aceh itu sendiri. Bangsa lain yang ingin mengetahui masyarakat Aceh secara lebih dekat, salah satunya mereka dapat membaca karya sastra yang dihasilkannya. Secara historis, orang Aceh memang termasuk suku bangsa yang kaya dengan sastranya. Karena orang Aceh mempunyai pembawaan bahwa mereka lebih mudah merasakan pengertian kata-kata bersajak daripada ucapan kalimat biasa. Pengucapan kata-kata bersajak bagi masyarakat Aceh dulu merupakan kebiasaan sehari-hari seperti mereka berbicara biasa. Sehingga karya sastra di Aceh banyak kita temukan dalam bentuk syair (narit meupakhok). Cerita-cerita yang digemari penyair Aceh dulu selalu dihafal dalam bentuk syair, bahkan mereka banyak yang membuat karangan-karangan dalam pikirannya kemudian dinyanyikan dalam bentuk hikayat bersajak.

Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan wujud kesusastraan Aceh, kita tidak bisa lepas dari historis kedaerahan. Sejak agama Islam masuk ke Aceh pada abad pertama hijriah, kesusastraan Aceh telah memegang peranan penting dalam menyebarkan dakwah Islam di Nusantara, dan sejak itu kesusastraan Aceh ikut menyatu dengan ajaran Islam. .Hampir semua karya sastra Aceh ketika itu digunakan untuk kepentingan dakwah Islam. Ini terbukti hampir semua karya sastra Aceh tradisional (klasik) di dalamnya selalu mengandung pesan-pesan keagamaan.

(9)

Aceh juga sangat relevan dengan wujud kesusastraan Islam. Hal itu wajar, sebab pengaruh ulama di Aceh dulu lebih dominan dalam masyarakat, bahkan para sastrawan Aceh dulu juga terdiri dari ulama-ulama yang tidak sedikit pengaruhnya baik dalam kerajaan maupun dalam kehidupan masyarakat sehari hari.

Jika diteliti lebih jauh, semua karya sastra tradisional Aceh adalah hasil buah tangan para ulama yang kebanyakan ditulis dalam bentuk puisi bahasa Aceh untuk menjadi bahan bacaan rakyat. Semua karya sastra ini selain berisikan tuntunan agama juga mengandung unsur pendidikan dan pengajaran agama Islam. Pengucapan dan penulisan sastra Aceh ini biasanya dilakukan dalam dua bahasa, yakni bahasa Aceh dan bahasa melayu berhuruf huruf Jawi. Pengucapan bahasa melayu dalam penulisan kesusastraan Aceh telah ikut memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kesusastraan Indonesia klasik.

Karya-karya sastra Aceh semacam itu sekarang sudah jarang ditemukan dalam peredaran. Generasi Aceh sekarang banyak yang tidak mengenal bagaimana bentuk-bentuk karya sastra itu. Kita Cuma mendengar di Aceh dulu pernah lahir pujangga-pujangga besar, tapi kita jarang memperhatikan kebesaran mereka, kita belum pernah memperingati hari Hamzah Fansuri sebagai seorang pujangga terbesar Aceh yang telah diakui dunia. Kita belum terfikir untuk mencari dan mengumpulkan bentuk-bentuk karya sastra Aceh tradisional untuk menerbitkan sebagai bahan bacaan generasi Aceh sekarang ini.

Upaya menyelamatkan bahasa dan sastra Aceh ketika itu terus ditempuh beberapa sastrawan Aceh secara serius. Selain mereka menulis buku-buku bahasa Aceh, juga memperjuangkan agar pelajaran bahasa Aceh yang dihapuskan di sekolah-sekolah desar dalam zaman Jepang dapat diizinkan untuk diajarkan kembali pada anak-anak Aceh,.dan yang paling berjasa dalam upaya ini adalah Prof..Dr. Aboebakar Atjeh. Dalam setiap Kongres Bahasa Indonesia saat itu Aboebakar Aceh selalu membicarakan dan mempertahankan kepentingan bahasa dan sastra Aceh sebagai sumber kebudayaan Indonesia.

D. Jenis Sastra Aceh.

Pada dasarnya bentuk kesusastraan Aceh dapat dibagi dalam dua jenis utama, yaitu sastra tutur (lisan) dan sastra tulisan. Sastra lisan ialah sastra bersifat prosa (haba jameun) yang diceritakan masyarakat tentang berbagai peristiwa, baik mengenai peperangan, kisah asmara dan cerita-cerita nasehat lainnya. Model sastra ini pernah menyatu dengan hidup masyarakat Aceh, terutama bagi masyarakat di pedesaan. Disetiap desa di Aceh dulu selalu ada satu-dua orang yang pandai menceritakan kisah-kisah atau cerita haba jameun. Tapi sekarang ini cerita-cerita semacam itu hampir tidak ditemukan lagi di desa-desa dalam masyarakat Aceh.

Kemudian sastra tulisan, jenis sastra ini yang paling banyak kita jumpai ialah dalam bentuk hikayat, malah hikayat ini telah membawa sastra Aceh pada puncak kebesarannya. Menurut Prof. Dr..Husein Djajadiningrat seorang sejarawan yang banyak meneliti tentang sejarah dan kesusastraan Aceh, ia menggolongkan hikayat ini dalam dua pengertian, yaitu hikayat cerita sejarah dan hikayat bentuk kesesastraan melayu Aceh. Apa yang dijelaskan Husein Djajadiningrat ini memang kita jumpai dalam kenyataan sekarang ini.

(10)

ada yang ditulis dalam bentuk prosa bahasa melayu pasai dan juga ada dalam bentuk puisi dengan menggunakan huruf arab Melayu Arab (tulisan jawoe). Semua bentuk hikayat ini telah ikut memperkaya khasanah kesusastraan Aceh masa lalu, sehingga tidak sedikit bangsa luar yang menaruh perhatian terhadap kesusastraan Aceh, bahkan banyak diantara mereka yang menjadikan kesusastraan tradisional Aceh sebagai studi penelitian disertasinya.

Seorang putra Aceh yang pernah mengadakan penelitian tentang kesusastraan daerah di Nusantara, yakni Aboebakar Atjeh, diakhir penelitiannya bersama Tgk.Tjeh. Moh. Noerdin yang ketika itu dua sastrawan ini sempat mentranslitkan 600 judul hikayat Aceh dari tulisan huruf arab melayu jawi ke dalam huruf latin bahasa Aceh yang kemudian 600 judul hikayat tersebut menjadi milik Prof. Dr.Husein Djajadiningrat. Setelah Husein wafat, sejumlah hikayat tersebut dibeli kembali oleh Mr. Moh Yamin dan disimpan dalam perpustakaan pribadinya. Aboebakar Atjeh yang sangat menghargai kesusastraan daerahnya ketika itu berkali-kali mengusulkan pada Pemerintah Aceh agar 600 judul hikayat Aceh yang sudah disalin dalam huruf latin itu dapat dibeli kembali oleh Pemeritah Aceh untuk diterbitkan. Tapi usulan ttersebut saat itu tidak pernah mendapat tanggapan Pemerintah Aceh, sampai sekarang kita sendiri tidak tahu lagi bagaimana nasib dari 600 buah hikayat itu.

Pada tahun 1994 saya pernah mencoba menelusuri 600 judul hikayat Aceh yang hilang itu di beberapa perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi seni dan budaya di Jakarta, baik di Perpustakaan Nasional maupun di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yasin, tapi hasilnya nyaris tidak diketahui lagi di mana 600 judul hikayat Aceh itu tersimpan. Apakah masih ada yang menyelamatkan atau sudah habis menjadi abu, hingga sekarang tidak ada yang mengetahuinya. Hikayat Malem Dagang ini termasuk hikayat terpenting untuk dipahami, karena di dalamnya mengandung cerite–cerita sejarah, terutama sejarah masa Sultah Iskandar Muda sebagai fase sejarah puncak kejayaan kerajaan Aceh.. Karena itu Dr. Cowan bekas seorang kontelir Belanda di Aceh menjadikan hikayat Malem Dagang ini sebagai bahan studi disertasinya. Begitu juga hikayat Pocut Muhammad, hikayat ini di dalamnya menceritakan sejarah raja–raja Aceh, dan hikayat Prang Kompeni yang dikarang secara lisan, karena pengarang hikayat ini yang namanya Do Karim tidak bisa membaca dan menulis, bait-bait hikayat itu ia hafal di luar kepala yang syair-syairnya dapat membangkitkan semangat perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.

Serta masih banyak lagi hikayat lainnya yang bernilai sejarah dan kepahlawanan Seperti hikayat Prang Sabi karangan Tgk. Haji Muhammad Pante Kulu. Hikayat Prang Sabi termasuk karya sastra terbesar yang pernah dihasilkan dalam sejarah kesusastaraan dunia. Belum pernah ada karya sastra sehebat hikayat Prang Sabi yang berhasil membangkitkan semangat jihat manusia seperti yang dihasilkan Tgk. Chik Pante Kulu.

(11)

Secara tradisional, masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat yang selalu diciptakan dalam bentuk puisi. Reputasi seorang penyair dalam masyarakat ialah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama. Para ulama yang menjadi panutan masyarakat, menyadari keadaan tersebut dan mengarahkan untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas. Untuk sekedar contoh penulis turunkan disini satu petikan puisi dalam bentuk terjemahan yaitu Ratib dalam ikatan Sanjak. Para ibu di rumah sering memetik lagu ratib tersebut sebagai lagu nina bobo. Secara tidak langsung, ikatan puisi yang dinyanyikan oleh ibu ini melekat ke dalam ingatan si anak, dan menjadikan ia akrab dengan bentuk-bentuk puisi yang ada dalam tradisi sastra Aceh. Kini adakah syair-syair demikian yang mampu membentuk sikap dan pola pikir jernih dan kritis? Syair-syair yang kerap disebut sebagai sastra kontekstual yang berbicara atas nama zamannya dan kondisi masyarakat sambil tak lupa membawa misi religius dan turut membentuk kepribadian generasi baru, bukan syair-syair melankolis yang mengeksplotisir kecengengan dan romantisme individual?

Satu-satunya harapan diletakkan pada ibu (ummi, nyak, mak) yang dalam kehidupan sehari-hari menjadi 'guur atau madrasah" pertama seorang anak. Ibu cenderung mempunyai cukup waktu unutk mengajarkan dan memperkenalkan hal-hal pertama dna mendasar bagi anak dalam proses konstruksi social dengan memilih teks dan bahas ayang sesuia bagi anak. Kperan seorang ibu menjadi sangat penting karena dalam era teknologi komunikasi, anak-anak banyak belajar drai tayangan televises dari pada realitas sosia yang sesuanggungnya. Bahasa ibu menjadi penyeimbangan atau merupakan bentuk kontrol social terhadap isi/content tmedia massa (old media dan new media). Ibu dapat berperan sebagai filter informasi, gate keeper yang melakukan seleksi terhadap tontonan, jenis bacaan, music dan lagu, dll sehingga stimulus yang diperoleh anak diharapkan dapat membantu melahirkan respon yang lebih sesuai dengan pikiran dan prilaku Islami.

Ibu dapat menkonstruksi bentuk pikiran dan prilaku anak-anak mereka dengan mengajarkan ‘bahasa ibu’ yang memenuhi dan sesuai dengan tuntunan Islam. Sebagaimana hadis “Nabi Muhammad SAW, yang menyatkan bahwa anak dilahirkan seperti kertas putih, orangtualah yang kemudian yang akan membuat anak-anak menjadi nasrani atau majusi. “ Dengan kata lain ibu dapat berperan sangat fundamental dalam mengkonstruksi pikiran dan prilaku anak-anak mereka dengan secara matang dan kontinyu merencanakan pilihan pendidikan termasuk didalamnya beragam jenis tontonan, bacaan dan bentuk permainan seperti apa yang sesuai untuk anak-anak mereka. Ibu adalah kekuatan yang maha dahsyat yang dimiliki seorang anak untuk menjaga mereka dengan kasih sayang dari bergaam bentuk tontonan dan sajian media yang jauh dari nilai-nilai islam. Ibu mampu menjadi filter bagi ank-anak mereka dengan melakukan seleksi tontonan dan sajian media apa yang boleh ditonton dan tidak oleh anak-anak. Seandainyapun ibu-ibu bekerja pada siang hari, dapat menfilter anak-anak dengan memilih jenis tontonan yang diperbolehkan dan dipercayakan kepada pengasuh hal tersebut secara jelas dengan tidak lupa mengontrol pelaksanaannya. Ibu adalah tameng bagi anak-anak untuk secara rasional menonton apa yang pantas dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. (Wahid, 2008)

(12)

Disamping anak-anak kita belajar pada media massa yang mempengaruhi bentukan ide, pikiran dan prilkau mereka sehari-hari. Kitapun sebenarnya dapat mengkonstruksi anak dengan cara mendekatkan anak-anak kita dengan tontonan, nyanyian, bacaan, cerita dan prilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Kita pun dapat belajar dari orang tua, budaya dan tradisi yang mungkin baik untuk perkembangan bentukan awal anak-anak kita.

Dalam budaya Aceh, sudah menjadi tradisi para ibu menina-bobokan anak-anak mereka dengan mendengungkan zikir, shalawat dan ayat-ayat pendek al-Qur’an. Atau paling tidak mereka menidurkan anak-anak dengan lagu-lagu khusus yang berisi petuah menjadi anak yang baik, berbakti pada orang tua, punya daya juang (jihad) tinggi di jalan Allah dan dalam hidup anak-anak mereka kelak.

Selain pengalaman penulis sebagai orang Aceh, juga diperkuat dari hasil penelitian Chalidjah Hasan dalam buku Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (editor Alfian), LIPI, 1971, yang menyatkan bahwa dalam mengayunkan anak (membuai) orang tua di Aceh khususnya para Ibu melakukannya dengan nyanyian yang bersifat keagamaan seperti “La illa ha illallah, Muhammadurrasulullah” dengan khas Aceh. Demikian juga ketika anak dalam shalawat dan ayat-ayat Al-Qur’an, maka hal itu dapat menjadi stimulus yang sangat baik dalam membentuk ide, pikiran dan prilaku anak. Anak-anak cerap menerima stimulus tersebut sehingga pikiran dan prilaku mereka terbentuk dari nilai-nilai yang terkandung dalam zikir, shalawat dan ayat-ayat Al-Qur’an.

Pada dasarnya memang tidak ada larangan untuk menyanyikan lagu-lagu umum seperti nina bobo, pelangi-pelangi, balonku dan juga beragam nyanyian terbaru saaat ini, akan tetapi alangkah sangat mulian jika kita membentuk ide, pikiran dan prilaku anak-anak kita dengan memperkenalkan lafadl-lafadl Islam sehingga member implikasi pada sikap dan karakter anak-anak kita di masa mendatang. Stimulus tersebut sekaligus sebagai benteng dalam menghadapi sesaknya ‘penetrasi’ film kartun, bacaan, sinetron dll yang sehari-hari sangat mudah kita jumpai di mana saja terhadap anak-anak kita.

Kita harus mau memulai secepatnya agar proses pencerabutan pikiran anak dari hal-hal yang bernuansa Islam tidak mudah tejadi, jika kita tidak mau melihat anak-anak kita lebih hafald lahu-lagu group band dan penyanyi pop, dangdut sekarang, tokoh-tokoh kartun/film asing yang menjadi idola dibanding para Rasul, sahabat rasulullah dan karenanya mereka, anak-anak kita lebih mengenal tokoh-tokoh tersebut dibandingkan para Rasul. Jika hal itu terjadi dan terus terjadi tidak dapat kita bayangkan bagaimana generasi islam akan tumbuh kelak. Salah satu ajaran yang digunakan dalam konstruksi anak-anak Aceh adalah hikayat. Hikayat adalah bentuk karya sastra prosa yang sampaikan secara tutur keada masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, hikayat banyak digunakan oleh seorang ibu dalam menimangf anak-anak mereka sehari-hari.

(13)

pihak menggunakan 'hikayat perang sabi' sebagai instrument budaya dan agama untuk mengkonstruksi kekuatan para aktivis saat itu (2009-2008). Pada setiap pertemuan atau acara kaderisasi organisasi pemuda di Aceh.

Hikayat Aceh memuat berbagai aspek kehidupan, mulai dari kisah-kisah pribadi hingga berbagai jenis epik. Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orang besar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat.

Melihat kandungan isinya, secara umum hikayat-hikayat Aceh dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yakni jenis epik dan jenis non-epik. Epik merupakan narasi panjang tentang cerita kepahlawanan. Epik dapat berbentuk syair-syair panjang yang biasanya memuat kisah-kisah perjuangan seseorang pahlawan dan pejuang yang heroik. Para ahli teori sastra barat seperti John Peck & Martin Coyle (1984) mengatakan bahwa epik merupakan jenis puisi yang paling ambisius (‘the most ambitious kind of poem’). Epik adalah karya sastra besar yang senantiasa menampilkan event-event sejarah dan legendaris yang bersifat universal dan nasional (Mc.Arthur, 1992:876).

Epik dapat berbentuk Dalam karya sastra bahasa Aceh, epik dapat dibagi menjadi empat kelompok, yakni, epik sejarah, epik perang, epik keagamaan, dan epik roman dan legenda. Akan tetapi pengelompokan ini tidak bisa dilakukan atas dasar satu garis pemisah yang terang, dan di sana-sini musti terdapat duplikasi dan overlapping. Hal ini dapat terjadi oleh karena dalam suatu hikayat ditemukan beberapa unsur kandungan. Misalnya, dalam epik perang terdapat kandungan dan muatan sejarah, demikian juga unsur-unsur keagamaan terdapat dalam epik sejarah.

Jenis hikayat Aceh (Wikipedia, 2008) adalah

1. Epik Sejarah, ataranya adalah a. Hikayat Malém Dagang b. Hikayat Pocut Muhamat c. Hikayat Nun Parisi

2. Epik Perang

a. Hikayat Prang Sabi

b. Hikayat Prang Gômpeuni

(14)

d. Hikayat Prang Pandrah

e. Hikayat Eseutamu (Istambul)

f. Hikayat Prang Raja Khaiba

3. Epik Keagamaan

a. Hikayat Nabi Usuh

b. Hikayat Elia Tujôh

4. Epik Roman dan Legenda

Merupakan kelompok yang terbesar dan paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan ketiga kelompok terdahulu. Yang paling termasyhur dalam kelompok ini adalah:

a. Hikayat Malém Diwa

b. Hikayat Jugi Tapa

c. Hikayat Asai Padé

d. Hikayat Putroe Gumbak Meuh

e. Hikayat Indra Budiman

f. Hikayat Banta Beuransah

5. Hikayat-Hikayat Non-Epik

Pada umumnya karya-karya non-epik lebih singkat dan pendek. Berbeda dengan jenis epik, kebanyakan hikayat non-epik merupakan karya tulis: artinya proses penciptaannya dari semula memang dirancang dalam bentuk teks tulisan. Karya-karya non-epik dapat dibagi menjadi lima kelompok seperti di bawah ini:

6. Kelompok Agama/Moral

7. Kelompok Kritik Sosial

8. Kisah Pribadi

(15)

10. Kisah-Kisah Perumpamaan Binatang

Hikayat Aceh, pengaruhnya dari saj’—syahi (bahasa Aceh) atau syair—salah satu jenis prosa Arab yang berusaha mendaya-gunakan potensi morfologis, kombinasi bahasa guna menghasilkan pola-pola rima berirama, perihal ini tampak pada bentuk lirik dan persamaan bunyinya. Sehingga hikayat sangat jauh perbedaannya dengan riwayat dalam sastra Arab yang secara harfiah berarti narasi (bercerita). Istilah narasi, sekarang, biasa digunakan secara luas oleh kritikus sastra Arab untuk menyebut novel.

Dari uraian-uraian di atas jelaslah, bahwa ajaran Islam telah menjadi darah daging bagi rakyat Aceh dan mempengaruhi segala segi kehidupan dan penghidupannya, dengan kata lain, kesusasteraan Melayu Aceh pada hakikatnya adalah kesusasteraan Islam, atau setidak-tidaknya kesusasteraan yang berjiwa dan bersemangat Islam. Secara tradisional, masyarakat Aceh sangat menggemari hikayat yang selalu diciptakan dalam bentuk puisi. Reputasi seorang penyair dalam masyarakat ialah pada kemampuannya menyampaikan hikayat secara lisan dengan kemerduan suara dan kelihaian mengolah irama. Para ulama yang menjadi panutan masyarakat, menyadari keadaan tersebut dan mengarahkan untuk kepentingan dakwah, baik untuk menanamkan ajaran agama secara sederhana kepada anak-anak maupun untuk lingkungan yang lebih luas. Untuk sekedar contoh penulis turunkan disini satu petikan puisi dalam bentuk terjemahan yaitu Ratib dalam ikatan Sanjak.

E. Konsep Diri

Konsep Self –concept (Joseph A. Devitoo, Humana Communication, The Basic Courese, Eleventh Edison, Pearson International Edition, 2009 : Hal 56, kajian mengenai self concept meruakan kajian mengenai siapa, bagaimana dan apa diri seseorang dalam realitas diri sebagai individu. Emahaman tentang diri sendiri sangat mempengaruhi cara-cara berkomuniaksi yang diilih individu, melainkan berpengaruh terhadap bagaimana cara individu memberi respon terhadappihak lain dalam tindakan komunikasi yang berlangsung.

Self concept seseorang adalah berkaitan image seseorang mengenai siapa seserang tersebut, bagaimana seseorang menyatakan diri mereka, perasaan dan pemikiran seseorang mnegneai kekuatan, kelemahan, kemampuan dan keterbatasan. Self concept berkembangan dari image-image yang dimiliki oleh orang lain terhadap seseorang/diri kita. Erbandingan antara diri seseorang dengan pihak lainnya, pengalaman budaya seseorang dan evalusiasi atas pemikiran atau konsep seseorang dan perilaku mereka .

(16)

"Self-concept, broadly defined, is a person's perception of him or herself. These perceptions are formed through one's experience with and interpretations of one's environment, and are influenced especially by reinforcements, evaluations of significant others, and one's attributions for one's own behavior (Shavelson, Hubner & Stanton, 1976)." The construct, self-concept, can be further defined by seven critical features (cf. Shavelson et al., 1976; see Fig. 1): (1) It is organized or structured in that people categorize the vast information they have about themselves and relate these categories to one another. (2) It is multifaceted and the particular facets reflect the category system adopted by a particular individual and/or shared by a group. (3) It is hierarchical with perceptions of behavior at the base moving to inferences about self in subareas (e.g., academic--English, history), academic and nonacademic areas, and then to general self-concept. (4) General self-concept is stable but, as one descends the hierarchy, self-concept becomes increasingly situation-specific and as a consequence less stable. (5) Self-concept becomes increasingly multi-faceted as the individual develops from infancy to adulthood. (6) It has both a descriptive and an evaluative dimension such that individuals may describe themselves (I am happy) and evaluate themselves (e.g., I do well in school). And (7) it can be differentiated from other constructs such as academic achievement.

Carl Ransom Rogers (………) menjelaskan bahwa self-concept adalah individu memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah -masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri.

Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positip tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Konsep-diri memiliki tiga dimensi, yaitu:

1. Pengetahuan tentang diri anda

Adalah informasi yang anda miliki tentang diri anda. Misalkan jenis kelamin, penampilan, dan sebagainya.

2. Pengharapan bagi anda

Adalah gagasan anda tentang kemungkinan menjadi apa kelak. 3. Penilaian terhadap diri anda

(17)

Gambar : The Source of Self-Concept

(Devito, 2009 : 57)

Beberapa unsur dalam self-concept, yaitu : a. Other'Images Of you

Konsep ini adalah upaya untuk mengetahui dan menjelaskan image seseorang mengenai sisa, bagaimana dan apa diri mereka. Konsep yang snagat terkebal adalah concet of the looking-glass self ( coolley, 1922 dalam Devito, 2009: 56). Konsep yang menjelaskan bahwa seseorang hendka melihat image diri mereka melalui cara mereka berkomunikasi dengan seseorang. Dalam proses melihat diri sendiri tersebut, seseotang atas kecenderungan yang paling signifikan dengan yang lainnya (to your significant others), seperti pandangan teman, keluarga, kolega dan pasangan. Jika image yang muncul baik, maka seseorang akan memunyai konsep diri positif dan bberpengaruh significant dalam sika dna prilaku yang juga positif terhadap pihak lainnya.

(18)

Image seseorang diengaruhi oleh hal-hal yang berkiatan dengan budaya seperti kepercayaan, nilai-nilai dan perilaku dalam budaya. Budaya menjadi bagian dari pertimbangan individu dalam mengenal diri mereka sehingga roses interaksi dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang melingkupi seseorang. Proses komunikasi berlangsung didasarkan atas petimbangan individu mengenai diri mereka. Seseorang menjadikan nilai-nilai budaya sevagai acuan dalam proses interaksi.

.

Asumsi-asumsi Teori Simbolic Interaksi

Ralph LaRossa dan Donald C. Reitzes (1993), menyatakan tiga obyek Simbolik Interaksi, yaitu:

1. The Importance of meaning for human behavior. 2. The importance of self-concept.

3. The relationship between for human Behavior.

Ad. 1. The Importence of Meaning for Human Behavior.

Teori Simbolik Interaksi menyatakan bahwa, individu-individu mengonstruksi makna melalui “proses komunikasi” sebab makna tidak bersifat intrinsic pada segala sesuatu, membutuhkan konstruksi interpretive diantara arang-arang untuk membuat makna. Karenanya, Tujuan interaksi dalam konteks Simbolic Interaction adalah untuk menciptakan saling berbagai makna. Tanpa saling berbagi makna, maka komunikasi akan berlangsung dengan sangat sulit karena partisipan dalam proses interaksi, antara individu dan masyarakat tidak saling memahami makna atas symbol-simbol yang ada dan yang kemudian diciptakan, oleh karena itu konflik akan sangat mudah terjadi karena ketidakpahaman

Menurut LaRossa dan Reitzes, bahwa obyek kajian ini mendukung tiga asumsi yang dinyatakan oleh Herbert Blumer (1969), yaitu:

1. Human act toward others on the basis of the meaning those others have for them. 2. Meaning is created in interaction between people.

3. Meaning is modified throung an interpretive process.

Ad. 2 . The importance of the Self-Concept

• Self-concept adalah the relatively stable set of perceptions that people hold of themselves.

Seseorang memiliki banyak pengetahuan yang kemudian mempengaruhi pembentukan self-concept , seperti physical feature, roles, talents, emotional states, values, social skill, limits dan intellect.

(19)

1. Human act toward others on the basis of the meaning those others have for them. 2. Meaning is created in interaction between people.

3. Meaning is modified throung an interpretive process.

Simbolik Interaction tertarik dengan cara-cara yang digunakan dan diciptakan orang-orang untuk membangun self-concept. Tindakan individu merupakan gamba yang kemudianaran diri mereka, berkembang dalam interaksi dalam kehidupan social dengan pihak lain.

LaRossa dan Reitzes menambah dua asumsi lainnya yaitu: 4. Individual develop self-concept through interaction with others. 5. Self-concept provide an importance value

Proses pengembangan self-concep seseorang dilandasi oleh beberapa unsur yang melingkupi kehiduan seseorang setiap harinya. Unsur-unsur yang menentukan dalam pengembangan diri seseorang sebagaimana yang dijelaskan dalam gambar dibawah ini, yaitu :

Ad. 3. The relationship between the Individual and Society

• Asumsi yang berkaitan dengan Point Hubungan antara individu dan masyarakat adalah : 6. People and Group are influenced

(20)

> Asumsi ini menjelaskan bahwa norma-norma sosial menentukan perilaku individu. Budaya sangat mempengaruhi perilaku-perilaku dan sikap-sikap yang dinilai oleh individu sesuai dengan konsep diri mereka.

Contohnya :

a. Jika seorang mengikuti wawancara pekerjaan, maka pakaian yang digunakan pasti disesuaikan dengan pemahaman dan nilai masyarakat kerja.

b. Jika ingin menghadiri acara resepsi/perta, maka seseorang akan menyesuaikan pakaian yang akan dikenakan dengan situasi dan pemahaman masyarakat.

Konsep diri merupakan factor yang sangat menetukan dalam komunikasi interpersonal, karean setia orang bertingkah laku sedapat mugnkin sesuai dengan konsep dirinya. Kecendruan seseorang untuk bertingkah laku sesuai yang dipikirkan megenai diri sendiri. Konsep ini disbeut dengan nubuat yang dipenuhi sendiri. Konsep diri diperlukan karena menjadi ukuran kesuksesan dalam berkomunikasi. Bagi ornag yang mempunyai konsep diri positif maka seseorang akan berprilaku ositif, sedangkan bagi yang mempunyai konsep diri negative akan cendrung berperilaku negative dalam interaksi. (2000:105) Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (1976: 42-43), menyatakan ada empat tanda orang yang memunyai konsep diri negative yaitu :

1. Peka pada kritik

2. Resonsif sekali terhada ujian/n

3. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain.

4. Bersikap esimis terhadap kompetisi seprti terungkap dalam keenggananya untuk bersaing dengan orang lain.

Orang yang memunyai konsep diri ositif :

1. Yakian akan kemmauannya mengatasi masalah 2. Merasa setara dengan orang lain

3. Menerima pujian tanpa rasa malu

4. Menyadari bahwa setia orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.

5. Mampu memperbaiki dirinya karena sanggu mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disennagi dan berurusan mengubahnya.

Menurut Sidney M. Jourard dengan konsep 'tembus andnag', konsep diri ositif adalah orang yang memunyai beberapa konsep yaitu :

1. Membuka diri 2. Ercaya diri 3. Selektivitas

(Rakhmat 2000: 107-110)

(21)

Menurut Brooks dan Emmart (1976), orang yang memiliki konsep diri positif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

 Merasa mampu mengatasi masalah. Pemahaman diri terhadap kemampuan subyektif untuk mengatasi persoalan-persoalan obyektif yang dihadapi.

 Merasa setara dengan orang lain. Pemahaman bahwa manusia dilahirkan tidak dengan membawa pengetahuan dan kekayaan. Pengetahuan dan kekayaan didapatkan dari proses belajar dan bekerja sepanjang hidup. Pemahaman tersebut menyebabkan individu tidak merasa lebih atau kurang terhadap orang lain.

 Menerima pujian tanpa rasa malu. Pemahaman terhadap pujian, atau penghargaan layak diberikan terhadap individu berdasarkan dari hasil apa yang telah dikerjakan sebelumnya.

 Merasa mampu memperbaiki diri. Kemampuan untuk melakukan proses refleksi diri untuk memperbaiki perilaku yang dianggap kurang.

Sedangkan orang yang memiliki konsep diri yang negatif menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

 Peka terhadap kritik. Kurangnya kemampuan untuk menerima kritik dari orang lain sebagai proses refleksi diri.

 Bersikap responsif terhadap pujian. Bersikap yang berlebihan terhadap tindakan yang telah dilakukan, sehingga merasa segala tindakannya perlu mendapat penghargaan.

 Cenderung merasa tidak disukai orang lain. Perasaan subyektif bahwa setiap orang lain disekitarnya memandang dirinya dengan negatif.

 Mempunyai sikap hiperkritik. Suka melakukan kritik negatif secara berlebihan terhadap orang lain.

 Mengalami hambatan dalam interaksi dengan lingkungan sosialnya. Merasa kurang mampu dalam berinteraksi dengan orang-orang lain.

Konsep-diri memiliki dua kecondongan, yaitu: 1. Konsep-diri negatif

2. Konsep diri positif

(22)

Anda memiliki penilaian negatif pada diri Anda sendiri. Anda tidak merasa cukup baik dengan apapun yang Anda miliki dan merasa tidak mampu mencapai suatu apapun yang berharga. Jika hal ini terus berlanjut, maka Anda akan menuntun diri Anda sendiri ke arah kelemahan emosional. Anda mungkin akan mengalami depresi atau kecemasan secara ajeg, kekecewaan emosional yang lebih parah dan kualitasnya mungkin mengarah ke keangkuhan dan ke keegoisan. Anda telah menciptakan suatu penghancuran-diri.

Ubahlah dan kembangkan konsep-diri Anda, langkah-langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif :

1. Bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri

2. Hargailah diri sendiri

3. Jangan memusuhi diri sendiri

4. Berpikir positif dan rasional

Ad. 2 Konsep-diri Positif

Anda memiliki penilaian POSITIF pada diri Anda sendiri. Anda mengenal diri Anda secara baik. Anda memiliki penerimaan diri yang kualitasnya lebih mungkin mengarah ke kerendahan hati dan ke kedermawanan. Anda dapat menyimpan informasi tentang diri sendiri – informasi negatif maupun positif. Anda seorang yang optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Anda menganggap hidup adalah suatu proses penemuan. Anda berharap kehidupan dapat membuat diri Anda senang, dapat memberikan kejutan, dan memberikan imbalan. Dengan menerima semua keadaan diri Anda maka Anda juga dapat menerima semua keadaan orang lain.

F. Hakayat Perang Sabi dan Metamorphosis Masyarakat Aceh

(23)

Fungsi dan posisi hikayat dalam bidang agama tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai kebiasaan yang telah berkembang dari dulu. Bahwa masyarakat Aceh dalam kurun sejarah yang cukup panjang amat menyenangi karya sastra semacam hikayat. Baik orang-orang besar, apakah tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan, semuanya tergila-gila kepada hikayat. [7] Mencermati makna daripada ungkapan di atas, betapa hikayat sebagai karya sastra telah mengikat masyarakat Aceh sebagai penikmat sastranya pada masanya. Dengan kata lain, kecendrungan ini memegang peranan penting di Aceh karena hikayat sebagai “hasil produksi” dalam bentuk karya sastra telah dapat memenuhi selera rakyat Aceh sebagai “konsumennya”.

Ditinjau dari segi penerimaan masyarakat Aceh, syiar Islam melalui hikayat membuka jalan yang cukup aman. Dikatakan demikian karena cara ini di satu pihak relevan dengan alam pikiran dan semangat masyarakat dewasa itu. Secara perlahan tapi pasti hikayat mengusung misi perubahan pola pikir masyarakat dalam beragama dan berbudaya dengan jalan tenang dan damai. Hingga kehidupan bermasyarakat dan berbudaya dari Hinduisme kepada Islam tidaklah mengalami kegoncangan karena sebagian dari nilai-nilai yang dibawa hikayat ada yang tetap mempertahankan ajaran Hinduisme. Keadaan ini dapat dipahami dengan alasan agar hikayat bisa menjadi media syiar Islam yang tepat untuk memperluas dakwah secara mudah. Hikayat menjadi satu-satunya media yang sangat disenangi masyarakat ketika itu.

Dari ulasan tersebut nampak kepada kita, hikayat mencoba menjembatani dua macam kehidupan beragama dan berbudaya yang cukup berbeda. Mencari arah perubahan kehidupan sosial dan budaya dari suasana Hinduisme kepada suasana penuh keislaman. Maka, sejak itu adat budaya asal Hindu mulai ditantang dengan perlahan. Dan, peranan hikayat terus mengalihkannya secara sehat dimulai dari kebiasaan-kebiasaan hidup cara Hindu menuju cara hidup Islam. Maka kemudian hikayat menjadi semacam sumber nilai-nilai yang terus berinteraksi dengan masyarakat dalam proses yang cukup panjang.[8]

Langkah awal yang ditempuh oleh muballigh-muballigh Islam dalam menyampaikan dakwahnya melalui hikayat adalah dengan tetap mempertahankan sebagian isi hikayat dari nilai-nilai lama yaitu Hinduisme, kemudian disisipkan unsur-unsur nilai-nilai baru sedikit demi sedikit yaitu Islam dan kebudayaannya. Manifestasi tindakan ini semacam mendukung kedua macam nilai-nilai agama dan budaya yang ada. Sebagai contoh konkritnya ada di dalam Hikayat Maleem Diwa yang hampir seluruh isinya diwarnai oleh Hinduisme. Tokoh Maleem Diwa didalamnya, yang oleh masyarakat Aceh dewasa itu dipandang sebagai orang keramat, disisipkan sebagai gure meunasah dalam penyamarannya di kayangan. Sisipan ini amatlah kecil dan halus namun sarat nilai misi dakwah didalamnya. Tokoh Maleem Diwa hanya disebutkan menyamar sebagai guru mengaji (Al-Qur’an) di meunasah/surau/langgar. Ini bermakna Maleem Diwa belum bisa dikatakan benar-benar menganut agama Islam. Perubahan-perubahan yang cukup signifikan sangat diharapkan terjadi disini sehingga meskipun sisipan itu amat kecil, namun membuka peluang jalan ke arah keraguan pembaca dan pendengar hikayat. Selanjutnya, akibat dari keragu-raguan itu akan timbul rentetan pertanyaan kritis dan radikal, misalnya apakah Maleem Diwa ini memeluk agama Hindu atau Islam? Dan sebagainya.

(24)

kehidupan beragama akan menggiring anggota masyarakat sebagai pembaca dan pendengarnya bisa menangkap pesan-pesan keislaman secara utuh.

Dari ungkapan hikayat tersebut memperlihatkan betapa kuatnya suatu perkataan yang didasarkan kepada keyakinan terhadap Islam. Selain dua hikayat tersebut masih banyak lagi cerita hikayat lainnya yang mendukung unsur-unsur islamisasi dan meruntuhkan keyakinan agama awal. Memang pada esensinya hikayat harus mampu menggambarkan kelebihan konsep-konsep Islam dalam kehidupan sosial dan budaya. Inilah syarat penting untuk menimbulkan pembaharuan yang hendak dicapaiHikayat sebagai media syiar Islam atau islamisasi melalui hikayat mendapat posisi tersendiri dalam masyarakat Aceh. Baik hikayat sebagai karya sastra maupun media syiar Islam sama-sama menghendaki penghayatan dan pemahaman yang bisa meresap ke dalam kalbu manusia. Hikayat sebagaimana karya sastra pada umumnya memiliki kata-kata yang meninggalkan kesan-kesan dan perasaan, sama halnya seperti sendi-sendi agama Islam yang menuntut penghayatan dan keyakinan di dalam hati.

Pengaruh hikayat terkadang mencapai sesuatu yang jauh, mendalam dan mengkristal di nurani manusia. Sebagaimana Hikayat Prang Sabi mengambil posisi penting sebagai motif perlawanan rakyat Aceh menentang kolonial Belanda. Unsur-unsur agamis dimasukkan sebagai dasar ideologi perang Sabil dengan kemasan menarik dan dalam gaya bahasa atraktif sehingga menggugah kesadaran rakyat Aceh untuk melawan ketertindasan.

Berikut kutipan beberapa baris syair dalam Hikayat Prang sabi karya Teungku Syik Pante Kulu alih aksara Anzib 1964 halaman 17:

HIKAYAT PRANG SABI - Teuku Chik Pante Kulu

Salam alaikom walaikom teungku meutuah

Katrok neulangkah neulangkah neuwo bak kamoe Amanah nabi...ya nabi hana meu ubah-meu ubah Syuruga indah...ya Allah pahala prang sabi

Ureueng syahid la syahid bek ta khun mat Beuthat beutan...ya Allah nyawoung lam badan Ban sar keunung la keunung senjata kaf la kaf Keunan datang...ya Allah pemuda seudang

Djimat kipah la kipah saboh bak jaroe Jipreh judo woe ya Allah dalam prang sabi Gugur disinan-disinan neuba u dalam-u dalam Neupuduk sajan ya Allah ateuh kurusi

Ija puteh la puteh geusampoh darah Ija mirah...ya Allah geusampoh gaki

Rupa geuh puteh la puteh sang sang buleuen trang di awan Wat tapandang...ya Allah seunang lam hatee

(25)

Di kamoe Aceh la Aceh darah peujuang-peujuang Neubi beu mayang...ya Allah Aceh mulia

Subhanallah wahdahu wabi hamdihi Khalikul badri wa laili adza wa jalla

Ulon peujoe poe sidroe poe syukur keu rabbi ya aini Keu kamoe neubri beusuci Aceh mulia

Tajak prang meusoh beureuntoh dum sitre nabi Yang meu ungkhi ke rabbi keu poe yang esa

Soe nyang hantem prang chit malang ceulaka tubuh rugoe roh Syuruga tan roeh rugoe roh bala neuraka

Soe-soe nyang tem prang cit meunang meutuwah teubuh Syuruga that roeh nyang leusoeh neubri keugata

Lindong gata sigala nyang muhajidin mursalin Jeut-jeut mukim ikeulim Aceh mulia

Nyang meubahagia seujahtera syahid dalam prang Allah peulang dendayang budiadari

Oeh kasiwa-sirawa syahid dalam prang dan seunang Dji peurap rijang peutamông syuruga tinggi

Budiyadari meuriti di dong dji pandang Di cut abang jak meucang dalam prang sabi

Oh ka judo teungku syahid dalam prang dan seunang

Pengaruh hikayat ini selama perang berlangsung telah melahirkan banyak pejuang yang umumnya mereka tewas di medan-medan pertempuran. Diantaranya yang cukup terkenal ialah Teungku Imeum Lueng bata, Teungku Ibrahim Lamnga (suami pertama Cut Nyak Dhien, tewas 1878), Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Polem Mahmud Cut Banta, Panglima Polem Ibrahim Muda Kuala, Teungku Chiek Di Tiro Muhammad Saman, Teungku Chiek Muhammad Amin Tiro, Teungku Panglima Nyak Makam (dipenggal kepalanya, 1896), Teungku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Teungku Fakinah dan masih banyak lagi.[11]

Hikayat Prang Sabi tersebut memperlihatkan sesungguhnya sejarah perjuangan rakyat Aceh tempo dulu telah mengabadikan bagaimana hikayat dan agama Islam telah mempunyai arti tersendiri dalam sejarah kehidupan rakyat Aceh. Kebanggaan mereka karenanya mengurat akar dalam-dalam dan memiliki catatan historis yang sangat panjang dan membanggakan.

Hikayat tidak bias lepas dari proses metamorphosis mastarakat Aceh baik sebagai individu, anggota kelomok maupun anggota masyarakayu. Dalam hal ini, Tengku Muda Bali (Serambi Indonesia……….) menyatakan bahwa

(26)

Hikayat Prang Sabi adalah sebuah hikayat yang diciptakan atau dikarang oleh Tgk Chik pante kulu yang merupakan sebuah syair kepahlawanan yang membentuk suatu irama dan nada yang sangat heroik yang membangkitkan semangat para pejuang Aceh dari zaman penjajahan portugis sampai zaman penjajahan Belanda hingga zaman TNA berperang dengan TNI. Menurut Hikayat Prang Sabi adalah salah satu inspirator besar dalam menentukan perjuangan rakyat Aceh. Memang sejak dulu bangsa Aceh sangat akrab dengan syair-syair perjuangan Islam, sajak-sajak akan sebuah hakikat keadilan. Hikayat ini selalu diperdengarkan ke setiap telinga anak-anak aceh, laki-laki, perempuan, tua muda, besar kecil dari zaman ke zaman dalam sejarah Aceh sepanjang Abad.

Aceh adalah negeri yang paling ditakuti oleh Portugis dan sulit untuk ditaklukkan oleh Belanda sejak tahun 1873 serta Jepang. Beribu macam taktik perang yang digunakan oleh para penjajah tetapi tidak dapat menguasai Aceh yang unggul dengan taktik perang gerilyanya. Sejarah mencatat bahwa perang kolonial di Aceh adalah yang paling alot, paling lama, dan paling banyak memakan biaya perang dan korban jiwa penjajah. Atas perintah Teuku Cik Di Tiro tahun 1881 di gubahlah syair Hikayat Prang Sabi oleh Teuku Chik Pante Kulu. Dan setiap akan berperang maka dibacakanlah syair itu di sawyah-sawyah menasah, di bacakan di desa-desa untuk mengobarkan semangat jihad ke masyarakat.

Perang Aceh seakan tidak pernah selesai dan ini menyebabkan pihak Belanda kehilangan pikirannya untuk menerapkan taktik degi tujuan menguasai Aceh. Salah satu alasan kuatnya semangat orang Aceh dalam berperang melawan penjajaghan adalah karena selalu dibacakan hikayat pran sabi yang memperdengarkan nilai-nilai perjuangan di jalan Allah SWT, janji Allah akan mati syahid dan syurga bagi siapapu yang berperang melawan kpa Beulanda.

Akhirnya Belanda memilih untuk mengirimkan seorang inteektual mereka untuk mempelajari pikiran dna perilaku orang Aceh yaitu Snouck Hurgronje yang disusupkan untuk mempelajari kebudayaan Aceh menemukan jalan pikiran, sikap dan perilaku rakyat Aceh. Snouck Hurgronje ditugaskan untuk mempelajari orang Aceh dnegan cara menjadi muslim dan bergaul dengan para ulama dan masayarakat. Temuan selamam beberapa lama hidup bersama orang Aceh kemudian dilaporkan kepada Pihak Belanda. Atas dasar pengetahuan tersebut, Belanda berupaya mengatur strategi unutk memecah belah orang Aceh dna sekaligus melmah kekuatan orang Aceh. Belanda mengguakan strategi memecah belah anntara para ulama sebagai kekuatan masyarakat dan kekuatan terbesare dalam perjuangan Acegh dnegan kaum

penguasa atau Uleebalang.

Tak cukup dengan catatan itu, Snouck kemudian membuat buku, De Atjehers, yang memaparkan secara lengkap struktur masyarakat Aceh, kebudayaan, sampai posisi ulama. Segera buku itu menjadi terkenal, bahkan mendapat pujian dari para orientalis sebagai karya yang secara lengkap mengupas kebudayaan Islam di Aceh. Bagi Belanda, karya itu menjadi rujukan untuk menyusun taktik menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Dan terbukti, Aceh pun kemudian mulai dapat dikalahkan. (dalam buku Aceh, ….)

(27)

syahid dalam perang tersebut adalah akan bertemu dengan dara-dara dari surga ( Bidadari ).

Hikayat Aceh merupakan perpaduan antara seni syair tutur dengan lagu. Dalam pertunjukan seni, pemain hikayat biasanya memadukannya dengan alat musik tiup sebagai repertoar. Syair hikayat berisi nasihat, agama, kisah peperangan, budaya Aceh, dan kisah-kisah lain. Lebih lanjut menurut Muda, hikayat adalah seni tutur asli Aceh yang diduga sudah ada sebelum Islam masuk ke Aceh. Pada masa persebaran Islam, hikayat menjadi media dakwah. Lalu, pada masa penjajahan Belanda, hikayat menjadi alat pengobar semangat juang masyarakat Aceh melawan penjajah. Pada masa konflik, banyak masyarakat yang tak berani memanggungkan hikayat karena takut..

Wina Syafwina dalam artikelnya " Hikayat, Nafas Sstra Aceh dari zaman ke Zaman, 23 April 2010 menjelaskan peran hikayat dalam konstruksi berbicara tentang sastra Aceh, orang pasti akan langsung teringat akan Hamzah Fanshuri dengan Syair Perahu yang sufi atau Hikayat Prang Sabil-nya Tgk Chik Pante Kulu yang mampu membakar semangat rakyat Aceh untuk mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajahan Belanda. Walau sebenarnya sastra Aceh tidak hanya itu. Ada banyak karya sastra yang bertebaran di Aceh. Baik itu dalam bahasa Aceh ataupun dalam bahasa-bahasa lain yang ada di Aceh.(Ada sekitar sepuluh bahasa dan suku bangsa di Aceh. Aceh adalah suku terbesar yang mendiami wilayah pesisir. Selain itu ada suku Gayo, Aneuk Jamee, Tamiang, Kluet dan seterusnya). Bahasa Aceh adalah bahasa yang paling banyak penggunanya. Sayangnya, hanya sedikit karya-karya dalam bahasa daerah ini yang terekspos atau terpublikasi.

Sastra sudah integral dalam masyarakat Aceh. Sastra merupakan bagian yang tidka terpisahkan daman konstruksi dna perubahan atau ,mmetamorphosis masyarakat dan bangsa Aceh. Untuk memhami perkembangan dna perubahan masyarakat Aceh yang berkaitan dangn sastra hilkayat, maka dapat dilihat dengan kpKeberadaan sastra di Aceh bisa dibagi dalam beberapa periode, yaitu zaman kerajaan dan perang Aceh, zaman kemerdekaan, masa konflik, dan pasca tsunami.

Awal keberadaan sastra di Aceh bisa dilihat jauh sebelum Indonesia ada, yaitu sekitar abad ke-13, pada saat Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Ada banyak karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat dan sastra tutur. Karya tulisan umumnya menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu dan Arab. Sedangkan sastra lisan umumnya menggunakan bahasa daerah karena lebih komunikatif saat berkomunikasi langsung dengan pendengarnya.

Pada zaman ini, ada beberapa karya legendaris dari Aceh yang mendunia. Karya-karya ini punya kekuatan dan ciri khas tersendiri. •Hikayat adalah karya yang menonjol pada zaman ini. Hikayat-hikayat yang memiliki kekuatan dan bertahan sampai sekarang, antara lain adalah Syair perahu(Hamzah Fanshuri), •Bustanul as salatin (Nuruddin Arraniry), dan Hikayat Prang Sabil (Tgk Chik Pante Kulu). Selain itu juga ada Hikayat Malem Dagang, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Putroe Bungsu dan beberapa hikayat yang tidak diketahui penulisnya. Karya sastra tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan karya sastra tutur. Karya sastra tutur ini lebih merakyat dan berkembang pesat. Hikayat yang tidak ditulis tetapi dituturkan secara spontan dan dihafalkan cukup banyak. Hampir semua orang di Aceh pandai bertutur secara spontan.

Gambar

Gambar : The Source of Self-Concept

Referensi

Dokumen terkait

Kemandirian sebagai penyelenggara pada kejadian tersebut tidak harus dipelajari, karena kita pasti mengetahui bahwa penyelenggara harus netral dan bentuk wujudnya

Teknik kolase diartikan sebagai komposisi artistik yang dibuat dari berbagai bahan yang ditempelkan pada permukaan gambar (Budiono MA, 2005:15). Kolase dipilih sebagai

7 Antarmuka Hasil Perhitungan Delay , Total Fuel Burn dan Total Delay Cost menggunakan Greedy dengan FPI ... 8 Tampilan Hasil Penjadwalan Menggunakan Greedy dengan

Ketujuh komponen kritis tersebut adalah komponen pisau (mesin giling), motor (mesin giling), poros (mesin giling), motor ( blower ), bearing (mesin giling), filter

Berdasarkan hasil penelitian analisis faktor yang mempengaruhi anggota BMT Mentari Bumi Purbalingga dalam memutuskan untuk mengambil pembiayaan dapat diambil

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 450) sebagaimana telah

Strategi yang digunakan untuk mempersuasi menggunakan media-media yang dapat memberi informasi dari bahaya softlens tersebut agar pesan dapat tersampaikan pada masyarakat sehingga

Untuk menguji hipotesis yang diaju- kan dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data kuantitatif dengan menguna- kan metode analisis regresi berganda tiga prediktor