• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Kajian Teoritis, Kerangka Berfikir, dan Perumusan

A. Deskripsi Teoritik

1. Hakikat Kecerdasan Emosional

Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa latin, misalnya, emosi dijelaskan sebagai motus anima yang arti harfiahnya berarti “jiwa yang menggerakkan kita”.6 Akar kata emosi adalah

movere, kata kerja bahasa latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”.7

Emosi mempunyai peran dalam peningkatan proses konstruksi pikiran dalam berbagai bentuk pengalaman kehidupan manusia. Salovey dan Mayers mendefinisikan emosi sebagai ”respon terorganisasi, termasuk sistem fisiologis, yang melewati berbagai batas sub-sistem psikologis, misalnya kognisi, motivasi, dan pengalaman”.8 Pengertian ini menunjukkan bahwa emosi merupakan respon

6

Robert K.Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ, penerjemah Alex Tri Kantjono Widodo (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. xiv

7

Daniel Goleman, Emotional Intellegence, Penerjemah T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 7

8

Tekad Wahyono, memahami kecerdasan emosi melalui kerja sistem limbic, (Surabaya: Universitas Wangsa Manggala, Anima, Indonesian Psychological Journal, 2001, vol. 17, No.1), h.37

atas stimulus yang diperoleh dari lingkungan sekitar yang terorganisasi dengan baik yang melewati sub-sistem psikologis.

Cow dan Crow dalam Hartati menyebutkan bahwa ”emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”.9 Emosi pada definisi ini berperan dalam pengambilan keputusan yang menentukan kesejahteraan dan keselamatan individu.

Ibda menyebutkan bahwa ”emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya –suatu keadaan biologis dan psikologis- dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak”.10 Sedangkan Sarlito Wirawan Sartono dalam Syamsu berpendapat bahwa ”emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah maupun pada tingkat yang luas (mendalam)”.11

Dari beberapa pendapat di atas, maka emosi merupakan suatu respon atas rangsangan yang diberikan –baik dari lingkungan maupun dari dalam diri individu sendiri- sehingga individu dapat menentukan pilihan dalam hidup yang menentukan kehidupannya.

Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut; “pertama, lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir. Kedua, bersifat fluktuatif (tidak tetap), dan

ketiga, banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera”.12

9

Netty Hartati, M.Si. Dkk, Islam dan Psikologi (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2004), h.90 10

Fatimah Ibda, Emotional Intellegence Dalam Dunia Pendidikan (Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah, IAIN Ar-Raniry, Jurnal Didaktika, Vol. 2 No. 2, 2000), h. 132

11

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, (Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 115

12

10

Terdapat dua macam pendapat tentang terjadinya emosi yaitu pendapat

navistik dan pendapat empiristik. “Pendapat navistik beranggapan bahwa emosi pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir, sementara pendapat empiristik

beranggapan bahwa emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar”.13 Sebagian orang menganggap bahwa perasaan dan emosi adalah sama. Namun Sabri dalam bukunya mengungkapkan bahwa antara perasaan dan emosi adalah berbeda. “Pada perasaan terdapat kesediaan kontak dengan situasi luar (baik positif maupun negatif), sedangkan pada emosi kontak itu seolah-olah menjadi retak atau terputus (misalnya terkejut, ketakutan, mengantuk, dan lain sebagainya)”.14

b. Pengertian Kecerdasan

Kecerdasan merupakan suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia. Kecerdasan ini diperoleh manusia sejak lahir, dan sejak itulah potensi kecerdasan ini mulai berfungsi mempengaruhi tempo dan kualitas perkembangan individu, dan manakala sudah berkembang, maka fungsinya akan semakin berarti lagi bagi manusia yaitu akan mempengaruhi kualitas penyesuaian diri dengan lingkungannya.

Kemampuan kecerdasan dalam fungsinya yang disebutkan terakhir bukanlah kemampuan genetis yang dibawa sejak lahir, melainkan merupakan kemampuan hasil pembentukan atau perkembangan yang dicapai oleh individu.

Kecerdasan merupakan kata benda yang menerangkan kata kerja atau keterangan. “Seseorang menunjukkan kecerdasannya ketika ia bertindak atau berbuat dalam suatu situasi secara cerdas atau bodoh; kecerdasan seseorang dapat

13

Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 168

14

M Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), h. 74

dilihat dalam caranya orang tersebut berbuat atau bertindak”.15 “Kecerdasan juga merupakan istilah umum untuk menggambarkan kepintaran atau kepandaian orang”.16 Beberapa ahli mencoba merumuskan definisi kecerdasan diantaranya adalah:

Suharsono menyebutkan bahwa ”kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah secara benar, yang secara relatif lebih cepat dibandingkan dengan usia biologisnya”.17

Gardner dalam rose mengemukakan bahwa ”kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam satu latar belakang budaya atau lebih”.18

Definisi dari Suharsono dan Gardner menyebutkan bahwa kecerdasan merupakan suatu kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya. Jika Suharsono menilai kecerdasan dari sudut pandang waktu, sementara Gardner menilainya dari sudut pandang tempat.

Amstrong berpendapat bahwa kecerdasan merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntunan yang diajukan oleh kehidupan kita dan bukan tergantung pada nilai IQ, Gelar dari perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.

Sedangkan Super dan Cites dalam Dalyono mengemukakan definisi kecerdasan sebagai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman. “Hal ini didasarkan bahwa manusia hidup dan berinteraksi di dalam lingkungannya yang kompleks. Untuk itu ia memerlukan kemampuan untuk

15

Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 115 16

Munandir, Ensiklopedia Pendidikan, (Malang: Um Press, 2001), h. 122 17

Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Depok: Inisiasi Press, 2003), h. 43 18

Colin Rose dan Malcom J. Nicholl, Cara Belajar Cepat Abad XXI, penerjemah Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa, 20020, h. 58

12

menguasai diri dengan lingkungannya demi kelestarian hidupnya. Hidupnya bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan, tetapi juga untuk perkembangan pribadinya. Karena itu manusia harus belajar dari pengalamannya”.19

Definisi di atas, oleh Garret dipandang terlalu luas, umum dan kurang operasional. Dengan mempelajari definisi itu orang mungkin masih dapat mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan konsep itu. Oleh karena itu, Garret memberi definisi bahwa ”kecerdasan setidak-tidaknya mencakup kemampuan yang diperlukan untuk pemecahan masalah-masalah yang memerlukan pengertian serta menggunakan symbol-simbol”.20

Dari beberapa pengertian kecerdasan yang telah dikemukakan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memberikan solusi terbaik dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya sesuai dengan kondisi ideal suatu kebenaran.

Gardner membagi kecerdasan menjadi tujuh macam yaitu, ”kecerdasan linguistik, kecerdasan logis matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik-tubuh, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal”.21

Kecerdasan-kecerdasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : kecerdasan linguistik yaitu kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi dengan kata-kata atau bahasa. Kecerdasan logis-matematis yaitu kemampuan berfikir (menalar) dan menghitung, berfikir logis dan sistematis. Kecerdasan visual-spasial yaitu kemampuan berfikir menggunakan gambar, memvisualisasikan hasil masa depan. Kecerdasan musikal yaitu kemampuan mengubah atau mencipta music, dapat bernyanyi dengan baik atau memahami dan mengapresiasi musik serta menjaga ritme. Kecerdasan kinestetik-tubuh yaitu kemampuan menggunakan tubuh secara

19

M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 182 20

Ibid, h. 183 21

terampil untuk memecahkan masalah, menciptakan barang serta dapat mengemukakan gagasan dan emosi. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan bekerja secara efektif dengan orang lain dan berempati. Kecerdasan intrapersonal yaitu kemampuan menganalisis diri sendiri, membuat rencana dan menyusun tujuan yang akan dicapai.

Kecerdasan dikemukakan oleh Gardner ini dikenal juga sebagai multiple intelligence. Pembagian kecerdasan oleh gardner ini telah membuka paradigma baru dari sebuah kata kecerdasan. Karena berdasarkan pembagian-pembagian.kecerdasan menurutnya, ternyata cerdas bukan semata dapat memiliki skor tinggi sewaktu ujian namun cerdas itu beranekaragam.

Kecerdasan orang banyak ditentukan oleh struktur otak. Otak besar dibagi dalam dua belahan otak yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. belahan otak kanan menguasai belahan kiri badan dan sebaliknya belahan otak kiri menguasai belahan kanan badan. Belahan otak kiri bertugas utuk mersepon hal-hal yang sifatnya linier, logis dan teratur sementara otak belahan kanan bertugas untuk imaginasi dan kreativitas.22

c. Hakikat Kecerdasan Emosional

Setiap individu memiliki emosi. Emosi mempunyai ranah tersendiri dalam bagian hidup individu. Seseorang yang dapat mengelola emosinya dengan baik artinya emosinya cerdas hal ini lebih dikenal dengan suatu istilah “kecerdasan

emosional”. Beberapa ahli mencoba merumuskan definisi dari kecerdasan

emosional. Diantaranya Arief Rahman yang menyebutkan bahwa ”kecerdasan emosional adalah metability yang menentukan seberapa baik manusia mampu menggunakan keterampilan-keterampilan lain yang dimilikinya, termasuk intelektual yang belum terasah”.23

22

Conny R. Semiawan, Belajar dan Pembelajaran Dalam Taraf Pendidikan Usia Dini, (Jakarta: Prenhallindo, 2002), h. 11-12

23

Pusat Pengembangan Tasawuf Positif, Menyinari Relung-relung Ruhani, (Jakarta: Hikmah, 2002), h. 157-158

14

Bar-On seperti dikutip oleh Stein dan Book mengemukakan bahwa

”kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan”.24

Dua definisi tentang kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Rahman dan dan Bar-On lebih menekankan pada hasil yang didapat oleh individu jika menggunakan kemampuan emosionalnya secara optimal.

Salovey dan Mayer dikutip oleh Stein dan Book mengemukakan bahwa

”kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu fikiran, memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual”.25

Goleman dalam Nggermanto mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

”kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain”.26

Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat menggunakan perasaaannya secara optimal guna mengenali dirinya sendiri dari lingkungan sekitarnya.

Kecerdasan emosional yang dimaksudkan oleh peneliti adalah kemampuan individu untuk mengenali perasaannya sehingga dapat mengatur dirinya sendiri dan menimbulkan motivasi dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

24

Steven J. Stein & Howard E. Book, Ledakan EQ, penerjemah Trinanda Rainy Januarsari, (Bandung: Kaifa, 2002), h. 157-158

25

Ibid, h. 159 26

Sementara di lingkungan sosial dia mampu berempati dan membina hubungan baik terhadap orang lain.

Emosi manusia dikoordinasi oleh otak. Bagian otak yang mengatur emosi adalah sistem limbiks. Struktur-struktur dalam sistem limbic mengelola beberapa aspek emosi, yaitu pengenalan emosi melalui ekspresi wajah, tendensi berperilaku dan penyimpanan memori emosi. Folkerts menjelaskan bahwa sistem limbic terdiri atas empat struktur, yaitu: thalamus dan hiphotalamus, amigdala, hipokamus dan lobus frontalis.27

Thalamus menerima informasi dari lingkungan sekitar yang ditangkap oleh indera, sedang hypothalamus mengambil informasi dari bagian tubuh yang lain. Amigdala menginterpretasikan dan sekaligus menyimpannya sebagai arti emosi. Hipokamus mendukung kerja amigdala dalam menyimpan memori emosi, mengkonsolidasi memori non-emosi secara detail dan menyampaikan memori tersebut ke jaringan memori yang berbeda di otak. Lobus frontalis bertanggung jawab dalam pengaturan emosi sehingga memunculkan emosi yang tepat.28

Kinerja otak sebagai pusat koordinasi dapat dijabarkan sebagai berikut; informasi-informasi yang diterima alat indera akan dibawa oleh thalamus melewati sinapsis tunggal menuju amigdala, sedang sebagian besar lainnya dikirim ke neokorteks. Percabangan tersebut memungkinkan amigdala dapat memberikan respon emosi tanpa pengolahan informasi dan analisis dari neokorteks. Kasus

tersebut disebut Goleman sebagai “pembajakan emosi”.29

Terdapat beberapa hal yang dapat dicatat pada pembahasan tentang anatomi pembajakan emosi, yaitu:30

1) Amigdala berperan sebagai sumber emosi.

Hipocampus dan amigdala merupakan bagian penting dalam ingatan dan pembelajaran otak. Amigdala sendiri merupakan spesialis masalah-masalah emosional yang jika dipisahkan dari otak maka seseorang tidak dapat menangkap

27

Tekad Wahyono, op.cit, h. 38-39 28

Ibid, h, 39 29

Ibid,h. 40 30

16

makna emosional atau mengalami kebutaan afektif. Le Doux adalah orang pertama yang menemukan peran amigdala dalam otak emosional, yang menjelaskan bahwa amigdala mampu mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan bahwa sewaktu otak sedang berpikir. Hal ini menumbangkan gagasan lama tentang sistem limbic

dengan menempatkan amigdala pada pusat tindakan dan struktur limbic lainnya pada peran yang amat berbeda.

2) Inti kecerdasan emosi.

Amigdala bereaksi berdasarkan kognitif bawah sadar, yaitu menangkap stimulus dari lingkungan sehingga mengetahui identitas apa yang diterima serta memutuskan menyukai atau tidak baru kemudian memberi pendapat tentangnya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa emosi begitu penting bagi nalar yang efektif di dalam pengambilan keputusan. Adanya pengaruh dari fungsi amigdala terhadap neokorteks inilah yang merupakan inti kecerdasan emosional.

3) Mekanisme kerja kecerdasan emosi.

Lobus prefrontal bagian kanan yang terletak pada ujung lain dari sirkuit prefrontal merupakan tempat perasaan-perasaan negatif (takut, marah, benci dan sebagainya.) lobus prefrontal bagian kiri merupakan bagian yang berfungsi untuk mematikan atau mengatur emosi-emosi yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa lobus prefrontal merupakan saklar peredam ledakan amigdala atau menjadi manajer emosi dengan tugas menghambat sinyal-sinyal yang telah dikirim amigdala dan pusat-pusat limbic lainnya.

4) Dinamika IQ dikalahkan EI

Korteks prefrontal merupakan wilayah yang bertanggung jawab terhadap

“ingatan kerja”, yaitu kemampuan atensi untuk menyimpan fakta-fakta penting

dalam pikiran yang berguna untuk penyelesaian masalah. Lobus prefrontal ini terkait dengan sirkuit otak limbic. Kaitan antara sirkuit prefrontal amigdala inilah yang merupakan titik temu antara nalar dan emosi. Dengan demikian kemurungan emosional yang terus menerus dapat mengganggu kemampuan kerja intelektual seseorang sehingga dalam pengambilan keputusan dapat menimbulkan bencana.

Kecerdasan rasional saja tidak menyediakan kemampuan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan hidup.

“Kecerdasan emosilah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik kita dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai yang paling dalam, mengubahnya dari apa yang kita fikirkan menjadi apa yang kita jalani”.31

Kecerdasan emosional Reuvan Bar On dibagi menjadi lima, yaitu:32

1) Ranah intrapribadi memiliki lima skala yaitu; kesadaran diri, sikap asertif, kemandirian, penghargaan diri dan aktualisasi diri.

2) Ranah antarpribadi memiliki 3 skala yaitu; empati, tanggung jawab social dan hubungan antar pribadi.

3) Ranah penyesuaian diri/orientasi kognitif memiliki tiga skala yaitu; uji realitas, sikap fleksibel dan pemecahan masalah.

4) Ranah pengendalian stress memiliki dua skala yaitu; ketahanan menanggung stress dan pengendalian impuls.

5) Ranah suasana hati/afeksi memiliki dua skala yaitu; optimism dan kebahagiaan.

Hal ini serupa dengan pendapat Segal bahwa wilayah EQ adalah ”hubungan pribadi dan antarpribadi; EQ bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan social dan kemampuan adaptasi sosial”.33

Salovey memperluas kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama, yaitu :

31

Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf, Executive EQ, Loc.cit. 32

A. V. Aryaguna Setiadi, Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Keberhasilan Bermain Game, (Surabaya: Universitas Surabaya, Anima, Indonesia Psychological Journal, 2001, Vol. 17, No, 1), h. 44-45

33

Jeanne Segal, Melejitkan Kepekaan Emosional, penerjemah Ary Nilandari, Bandung: Kaifa, 2000), h. 26-27

18

1) Empati

Merasakan yang dirasakan oleh orang lain dan memahami perspektif, menumbuhkan hubungan saling percaya serta menyelaraskan diri dengan berbagai macam orang.

2) Kesadaran diri

Mengetahui apa yang kita rasakan dan mengunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri serta memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan dan kepercayaan diri yang kuat.

3) Pengaturan diri

Menangani emosi kita sehingga berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

4) Motivasi

Menggunakan hasrat untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

5) Keterampilan Sosial

Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi, jaringan sosial dan berinteraksi dengan lancar serta menggunakan keterampilan ini untuk mempengaruhi orang lain.

Senada dengan pendapat di atas, Shapiro juga menyebutkan kualitas-kualitas kecerdasan emosional, diantaranya; “empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri,

disukai, kemampuan memecahkan masalah antar-pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat”.34

Ketika berbicara mengenai urgensitas kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang dalam kehidupan, Suharsono mengungkapkan beberapa keuntungan kecerdasan emosional sebagai berikut:

pertama, kecerdasan emosional jelas mampu menjadi alat untuk pengendalian

diri, sehingga seseorang tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan bodoh yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Kedua, kecerdasan emosional bias diimplementasikan sebagai cara yang sangat baik untuk memasarkan atau membesarkan ide, konsep atau bahkan sebuah produk.

Ketiga, kecerdasan emosional adalah modal penting bagi seseorang untuk mengembangkan bakat kepemimpinan dalam bidang apapun. Karena setiap model kepemimpinan sesungguhnya membutuhkan visi, misi, konsep, program dan yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dan partisipasi dari para anggota.35

B. Hasil Belajar Siswa 1. Konsep Hasil Belajar

Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang

membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil (Product) menunjuk

pada suatu perolehan akibat dilakukannya aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Sedangkan pengertian belajar menurut beberapa pakar pendidikan sebagai berikut:

a. Menurut Gagne, belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara alamiah.

34

Lawrence E Shapiro, Mengajarkan Emotional Intellegence Pada Anak, penerjemah; Alex Tri Kantjono, (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 5

35

Suharsono, Akselerasi Intelegensi; Optimalkan IQ, EQ dan SQ, (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 97

20

b. Menurut Travers, belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku.

c. Menurut Cronbach, learning is shown by a change in behaviour as a result of experience (belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman).

d. Menurut Harold Spears, learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. (belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar, dan mengikuti arah tertentu).

Menurut Dimyati dan Mudjiono, “hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar”.36 Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran.

Menurut Ngalim Purwanto, “hasil belajar adalah hasil tes yang digunakan untuk menilai hasil-hasil pelajaran yang digunakan untuk menilai hasil-hasil pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa dalam waktu tertentu”.37

Menurut Oemar Hamalik “hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti”.38

Berdasarkan Bloom, hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut:

36

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h. 250-251.

37

Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 84 38

a. Ranah Kognitif

Dalam ranah kognitif terdiri dari knowledge (pengetahuan, ingatan),

comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application

(menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan hubungan), synthesis

(mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), dan

evaluation (menilai).

b. Ranah Afektif

Dalam ranah afektif terdiri dari receiving (sikap menerima), responding

(memberikan respon), valving (nilai), organization (organisasi),

characterization (karakterisasi).

c. Ranah Psikomotor

Dalam ranah psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized.

Selain itu, psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual.

Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Disamping itu Hasil belajar perlu dievaluasi. Evaluasi dimaksudkan sebagai cermin untuk melihat kembali apakah tujuan yang ditetapkan telah tercapai dan apakah proses belajar mengajar telah berlangsung efektif untuk memperoleh hasil belajar.

Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi.

22

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena dia mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Pada dasarnya, hasil belajar siswa yang baik dalam kegiatan pembelajaran di sekolah bukan hanya disebabkan oleh kecerdasan siswa itu saja, akan tetapi masih ada hal lain yang juga menjadi faktor penentu yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai keberhasilan siswa. Adapun faktor-faktor tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: yang bersumber dari dalam diri manusia yang belajar, yang disebut sebagai faktor internal dan faktor yang bersumber dari luar diri manusia yang belajar, yang disebut faktor eksternal.

a. Faktor yang bersumber dalam diri manusia yang belajar dapat diklasifikasikan

Dokumen terkait