• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakikat Pendidikan Multikultural a. Pengertian Pendidikan Multikultural

4. Hakikat Pendidikan Multikultural a. Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif Naim dan Sauqi (2011: 8). Crow (dalam Mahfud, 2008: 34) menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.

Pendapat lain dikemukakan oleh Hasbullah (2005: 5), bahwa pendidikan merupakan proses terhadap anak didik yang berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Bila anak didik sudah mencapai pribadi dewasa susila, maka sepenuhnya mampu bertindak sendiri bagi kesejahteraan hidupnya dan masyarakatnya.

commit to user

Darmaningtyas (2004: 1) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Dengan demikian, tidak semua usaha memberikan bekal pengetahuan kepada anak didik dapat disebut pendidikan jika tidak memenuhi kriteria yang dilakukan secara sadar dan sistematis.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III pasal 4, menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan Pendidikan Nasional di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan dalam masyarakat dengan pendidikan multikultural.

Seorang pendidik dalam pendidikan multikultural ini tidak hanya dituntut untuk menguasai tetapi mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkannya. Selain itu, pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikulturalisme seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Dengan demikian, peserta didik bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama.

Pendidikan Multikultural adalah pendidikan untuk/tentang keberagaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (Yamin, 2011: 187).

Senada dengan hal tersebut, Andersen dan Chusher (dalam Mahfud, 2008: 175), commit to user

dijelaskan bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Mahfud, 2008: 75). Pendapat lain diungkapkan Aly (2011: 104), bahwa istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Kata “pendidikan” diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik. Sementara itu, kata multikultural merupakan kata sifat yang dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu multi dan culture. Secara umum, kata multi berarti banyak, ragam, atau aneka.

Masih menurut pendapat Aly (2011: 104) bahwa pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya para peserta didik. Definisi ini mendeskripsikan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan dalam implementasi pendidikan multikultural adalah keragaman budaya siswa, karena siswa memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Berbedanya budaya siswa ini perlu dipahami oleh seorang guru agar siswa memiliki kepribadian yang mampu saling menghargai budaya mereka.

Hampir sama dengan Aly, Baidhawy (2005: 8) menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu cara untuk mengajarkan keragaman

commit to user

(teaching diversity). Pendidikan multikultural menghendaki rasionalisasi etis, intelektual, sosial dan pragmatis secara inter-relatif, yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme, dan saling menghargai semua orang. Pendidikan multikultural menginginkan siswa dapat tumbuh dalam suatu dunia yang bebas dari prasangka, bias dan diskriminasi agama, gender, ras, warna kulit, kebudayaan, kelas, dan sebagainya untuk mencapai suatu tujuan dan merasakan bahwa apapun yang dikehendaki untuk dapat terlaksana dalam kehidupan ini menjadi mungkin.

Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah (Yaqin, 2005: 25). Senada dengan pendapat di atas, seorang pakar pendidikan dari Amerika Serikat, Prudence Crandall seperti yang dikutip oleh (Hasyim dan Yudi Hartono, 2008: 28), dikemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperlihatkan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan), dan budaya (kultur).

Banks dalam (Mahfud, 2008: 175), mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of colour. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi kebudayaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Lain halnya dengan Maslikhah (2007: 48), yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses yang dapat diartikan sebagai suatu

commit to user

proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Hampir sama dengan pendapat Maslikhah, Hasyim dan Yudi Hartono (2008: 30) mengartikan pendidikan multikultural sebagai sebuah proses pendidikan yang memberi peluang yang sama kepada seluruh warga bangsa, menghargai keragaman, mengembangkan seluruh potensi warga bangsa dalam upaya memperkuat jalinan hidup bersama.

Disebutkan oleh Yaqin (2005: 26), pendidikan multikultural mempunyai dua tujuan. Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa ilmu pendidikan maupun umum. Pendidikan multikultural diharapkan mampu untuk menjadi trasformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada peserta didiknya.

Adapun tujuan akhir dari pendidikan multikultural adalah agar peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran akan tetapi juga mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai penanaman keragaman kebudayaan peserta didik dengan tujuan agar peserta didik memiliki karakter kuat dalam menghargai perbedaan.

commit to user

b. Urgensi Pendidikan Multikultural di Indonesia

Negara Indonesia merupakan negara yang majemuk atau pluralis, bahkan kemajemukan itu menjadi ciri khas Indonesia. Hal itu karena masyarakatnya yang sangat beragam baik dari kebudayaan, ras, atau agama. Kemajemukan ini dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif horizontal dan perspektif vertikal. Pada perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya, sedangkan dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.

Kemajemukan masyarakat, cenderung menimbulkan adanya prasangka yang berpengaruh terhadap interaksi sosial. Berbagai prasangka sosial tersebut, umumnya tidak bersifat langgeng melainkan dapat berubah menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih buruk. Hasyim dan Yudi Hartono (2008: 8) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik dengan tujuan untuk menciptakan hubungan lebih serasi dan kreatif diantara berbagi golongan penduduk.

Hasyim dan Yudi Hartono (2008: 8-9) menyatakan bahwa melalui pendidikan multikultural siswa yang datang dari berbagai latar belakang dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara

masing-commit to user

masing. Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik.

Pendapat lain diungkapkan oleh Maslikhah (2007: 159) bahwa pendidikan multikultural sebagai alternatif patut dikembangkan dan dijadikan model pendidikan di Indonesia dengan berbagai alasan. Pertama, realitas bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh beragam suku, bangsa, etnis, agama, dan membawa budaya serta tradisi yang heterogen. Kedua, pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada.

Ketiga, masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi, dan kapitalis yang mengutamakan golongan. Keempat, masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang. Kelima, pendidikan mulltikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan, dan kesewenang-wenangan. Keenam, pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat. Ketujuh, pendidikan multikultural sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan keTuhanan.

Urgensi pendidikan multikultural yang dijelaskan Mahfud (2011: 215) dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) pendidikan multikultural berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, (2) dengan pelajaran berbasis multikultural, siswa diharapkan tidak tercabut dari akar budayanya, dan (3) pendidikan multikultural relevan dengan demokrasi seperti saat ini.

Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan

commit to user

diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial dan budaya.

Penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil bila terbentuk pada diri siswa, sikap hidup saling toleran, tidak bermusuhan dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat atau lainnya. Maka, dalam konteks dunia pendidikan Indonesia sudah saatnya pendidikan multikultural diselenggarakan dan mendapat perhatian yang besar.

Secara tidak langsung, hal itu dapat memberikan solusi bagi sejumlah permasalahan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia, sehingga dapat mendorong terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya.

Pendidikan multikultural diajarkan supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya pada era globalisasi saat ini, pertemuan antarbudaya tidak dapat dihindarkan. Untuk menyikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberikan penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan.

Siswa perlu diberikan materi tentang pemahaman banyak budaya atau pendidikan multikulturalisme. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak tercabut dari akar budayanya.

Pendidikan mulitikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan

commit to user

sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting.

Indonesia sebagai negara majemuk, baik dalam segi agama, suku bangsa, golongan, maupun budaya lokal, perlu disusun konsep pendidikan multikultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat identitas nasional. Dengan cara ini diharapkan, generasi muda Indonesia setidak-tidaknya memiliki identitas nasional, sehingga mereka tidak mudah dipecah belah, dan mampu bersaing di era perdagangan bebas dan era globalisasi.

Atas dasar pendidikan multikultural sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum, pendekatan multikultural diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, komponen kurikulum, dan lingkungan belajar sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.

c. Dimensi Pendidikan Multikultural

Tilaar (dalam Maslikhah, 2007: 75) disebutkan dimensi multikultural yakni:

(1) dipotret pada integrasi pendidikan dalam kurikulum, (2) konstruksi ilmu pengetahuan, (3) pengurangan prasangka, (4) pedagogik kesetaraan antarmanusia, dan (5) pemberdayaan budaya sekolah. Lebih jelas lagi kelima dimensi tersebut diuraikan seperti di bawah ini.

commit to user

1) Integrasi pendidikan dalam kurikulum

Isi kurikulum antara lain memuat bagaimana mengurangi prasangka dalam perlakuan dan tingkah laku rasial dari etnis-etnis tertentu dan dalam materi apa prasangka-prasangka tersebut dapat dikemukakan. Selain itu, untuk mengapresiasikan jenis-jenis kebudayaan dan segala perbedaan yang dimiliki siswa.

Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan pendekatan pendidikan yang integratif dengan sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental masyarakat. Siswa sebagai anggota masyarakat yang memiliki karakteristik yang harus diakui secara formal dalam pelaksanaan pendidikan.

2) Konstruksi ilmu pengetahuan

Dalam kaitan ini dipelajari mengenai sejarah perkembangan masyarakat dan perlakuannya, serta reaksi dari kelompok etnis lainnya. Sejarah yang berisi hal-hal yang positif maupun negatif perlu diketahui oleh peserta didik dalam upaya mengetahui kondisi masyarakat dewasa ini. Keluasan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dapat membantu untuk menyusun strategi menuju tingkat kesejahteraan yang diinginkan.

3) Pengurangan prasangka

Sejak masa kanak-kanak, prasangka rasial sudah timbul melalui pergaulan antarsesamanya. Melalui pergaulan antarkelompok secara intensif, prasangka-prasangka buruk dapat dihilangkan dan dapat dibina kerjasama yang erat dan saling menghargai. Kekuatan yang terdapat dalam pergaulan kelompok pada akhirnya mampu mereduksi prasangka sehingga terbuka

commit to user

wawasan untuk mengenal, mengetahui sekaligus mengalami pertautan antarkarakteristik, serta pelatihan untuk melakukan pemecahan masalah.

4) Pedagogik kesetaraan antarmanusia

Pendidikan yang mampu dan mau memperhatikan kelompok-kelompok yang kurang beruntung dari berbagai sisi kehidupan sangat diperlukan agar mereka memperoleh kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan.

Melalui pendidikan multikultural stratifikasi sosial dapat dikemas dengan model pendidikan untuk semua dengan kesetaraan tanpa diskriminasi dan dominasi.

5) Pemberdayaan budaya sekolah

Sekolah sebagai motor dalam rangka menggunakan sekaligus mengimplementasikan pendidikan yang mempunyai visi-misi untuk menghargai pluralitas, demokrasi dan humanisme. Melalui pelaksanaan visi-misi tersebut, diharapkan siswa dapat menjadi generasi yang selalu menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, keadilan, kebersamaan, kesetaraan, kepedulian humanistik, kejujuran, dan tanggungjawab dalam berperilaku sehari-hari.

Senada dengan pendapat di atas, Banks (2010: 20) menyatakan pendidikan multikultural adalah cara memandang realitas dan cara berpikir, dan bukan hanya konten tentang beragam kelompok etnis, ras, dan budaya.

Secara spesifik, Banks mengungkapkan bahwa pendidikan multikultural dapat dikonsepsikan menjadi lima dimensi, yaitu: (1) integrasi konten, (2) proses penyusunan pengetahuan, (3) mengurangi prasangka, (4) pedagogi kesetaraan,

commit to user

dan (5) budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan.

Kelimanya diuraikan secara jelas sebagai berikut.

1) Dimensi integrasi konten/isi

Pemaduan konten mengenai sejauh mana guru menggunakan contoh dan konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori utama dalam bidang mata pelajaran atau disiplin mereka. Dimensi ini digunakan oleh pembelajar untuk memberikan perhatian khusus pada pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda.

2) Dimensi proses penyusunan pengetahuan

Segala hal yang berhubungan dengan sejauh mana guru membantu siswa untuk paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsi budaya yang tersirat, kerangka acuan, perspektif dan prasangka yang dapat mempengaruhi penyusunan pengetahuan siswa. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman peserta didik untuk mengetahui sejauh mana perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri.

3) Dimensi pengurangan prasangka

Dimensi ini fokus penggunaan strategi dan materi yang digunakan dalam pembelajaran dapat mempengaruhi dan mengubah karakteristik siswa dan prasangka negatif siswa ke arah yang lebih positif, sehingga siswa dapat lebih bersahabat dengan teman yang berbeda ras, etnis, kelompok dan budaya.

4) Dimensi kesetaraan pedagogi

Dimensi ini mengenai persamaan hak dan kesempatan bagi siswa yang berasal dari berbagai kelompok ras, budaya, gender, dan kelas sosial commit to user

dalam memperoleh pendidikan. Termasuk dalam dimensi ini adalah penggunaan beragam gaya pembelajaran yang dapat memfasilitasi dan mempermudah pencapaian hasil belajar siswa dengan latar belakang berbeda seperti yang disebutkan di atas.

5) Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sekolah

Dimensi ini penting untuk memberdayakan budaya sekolah yang terbentuk dari budaya siswa yang berasal dari kelompok yang berbeda.

Selain itu, penyusunan struktur sekolah dapat memanfaatkan keanekaragaman budaya yang ada, misalnya yang berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi dalam ekstrakurikuler, dan penghargaan terhadap staff dalam rangka memberdayakan perbedaan tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, guru yang memberi pendidikan multikultural harus berkeyakinan bahwa perbedaan budaya memiliki kekuatan dan nilai. Sekolah harus menjadi teladan dalam mengekspresikan hak-hak manusia, memberikan penghargaan terhadap keragaman dan perbedaan budaya antarkelompok, dan keadilan maupun kesetaraan sosial harus menjadi kepentingan utama dalam kurikulum. Dengan demikian sekolah dapat menyediakan pengetahuan, keterampilan, dan karakter untuk membantu siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda, sehingga sekolah bersama keluarga dan komunitas dapat menciptakan lingkungan yang mendukung multikultural.

commit to user

Dokumen terkait