• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN. A. Landasan Teori. 1. Hakikat Menulis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN. A. Landasan Teori. 1. Hakikat Menulis"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Landasan Teori 1. Hakikat Menulis a. Pengertian Menulis

Banyak ahli yang mengungkapkan pendapatnya tentang hakikat menulis, baik berupa definisi, tujuan, dan motivasi, manfaat maupun jenisnya. Hal tersebut dapat dilihat pada uraian berikut ini.

Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Hal ini merupakan perbedaan utama antara lukisan dan tulisan, antara melukis dan menulis. Menulis, seperti juga halnya ketiga keterampilan berbahasa lainnya merupakan suatu proses perkembangan. Menulis menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, pelatihan, keterampilan-keterampilan khusus, dan pengajaran langsung menjadi seorang penulis (Suyitno dan Purwadi, 2000: 1).

Nurgiyantoro (2001: 273) menyatakan pengertian menulis sebagai aktivitas mengemukakan gagasan melalui bahasa. Aktivitas pertama menekankan unsur bahasa sedangkan yang kedua gagasan. Dalam tulisan, gagasan cemerlang yang tersirat dalam tulisan akan mampu memikat pembaca dan pada akhirnya membuat pembaca melakukan perubahan-perubahan besar yang berarti dalam hidupnya.

Tarigan (2008: 3), berpendapat bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak

commit to user

(2)

langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Sejalan dengan pendapat tersebut, Syarif, dkk. (2009: 5) mendefinisikan konsep menulis sebagai komunikasi tidak langsung yang berupa pemindahan pikiran atau perasaan.

Selanjutnya, Suparno dan Mohamad Yunus (2003: 3) mengemukakan bahwa menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat medianya.

Semi (2007: 14) mengemukakan bahwa menulis merupakan suatu proses memindahkan gagasan ke dalam lambang-lambang tulisan. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hernowo (dalam Srinugraheni dan Suyadi, 2011: 93) yang dinyatakan bahwa menulis melahirkan pikiran dan perasaan melalui tulisan.

Menulis sebagai suatu proses menuangkan ide dan perihal sebagai hasil renungan atau kontemplasi pikiran perasaan, dan pengalaman seseorang dalam bahasa tulis untuk disampaikan kepada orang lain. Sebagai hasil renungan, menulis merupakan suatu proses berpikir secara berkelanjutan dengan mengungkapkan apa yang telah dipikirkan (Srinugraheni dan Suyadi, 2011: 93- 94). Sejalan dengan pendapat di atas, Mujiyanto, dkk. (2000: 63) menyatakan bahwa menulis adalah menyusun buah pikiran dan perasaan atau data-data informasi yang diperoleh menurut organisasi penulisan sistematis, sehingga tema tulisan yang disampaikan sudah dipahami pembaca.

Menulis merupakan keterampilan yang sangat kompleks. Kegiatan menulis dikatakan sangat kompleks karena melibatkan cara berpikir yang teratur dan sebagai persyaratan yang berkaitan teknik penulisan (Nurjamal dan Warta Sumirat, 2010: 4). Selain itu, Ernati (2008: 134) menjelaskan bahwa menulis

commit to user

(3)

merupakan keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Penulis dan pembaca dapat berkomunikasi melalui tulisan.

Oleh karena itu, pada prinsipnya hasil menulis (tulisan) yang paling utama ialah dapat menyampaikan pesan penulis kepada pembaca, sehingga pembaca memahami maksud penulis yang dituangkan dalam tulisannya.

Pendapat lain tentang menulis dikemukakan oleh Gie (2002: 3) menyamakan pengertian menulis dengan mengarang. Diungkapkan bahwa menulis arti pertamanya ialah pembuatan huruf, angka, nama, sesuatu tanda kebahasaan apapun dengan sesuatu alat tulis pada suatu halaman tertentu. Kini dalam pengertiannya yang luas, menulis merupakan kata sepadan yang mempunyai arti sama dengan mengarang. Mengarang adalah segenap rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada masyarakat pembaca untuk dipahami.

Sebuah tulisan dapat dikatakan berhasil apabila tulisan tersebut dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Segala ide dan pesan yang disampaikan dipahami secara baik oleh pembacanya, tafsiran pembaca sama dengan maksud penulis. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, seorang penulis hendaknya memiliki tiga keterampilan dasar yang meliputi: (1) keterampilan berbahasa, (2) keterampilan penyajian, dan (3) keterampilan perwajahan.

Keterampilan berbahasa yaitu keterampilan menggunakan ejaan, tanda baca, pembentukan kata, pemilihan kata serta penggunaan kalimat yang efektif.

Keterampilan penyajian yaitu keterampilan pembentukan dan pengembangan paragraf, keterampilan merinci pokok bahasan menjadi sub pokok bahasan,

commit to user

(4)

menyusun pokok bahasan dan sub pokok bahasan ke dalam susunan yang sistematis. Keterampilan perwajahan yaitu keterampilan pengaturan tipografi dan pemanfaatan sarana tulis secara efektif dan efisien, tipe huruf, penjilidan, penyusunan tabel dan lain-lain. Ketiga keterampilan tersebut saling menunjang dalam kegiatan menulis tentunya didukung oleh keterampilan menyimak, membaca serta berbicara dengan baik (Semi, 1990: 10).

Dari pendapat para ahli di atas dapat disintesiskan bahwa menulis adalah suatu aktivitas penuangan gagasan yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung dalam bentuk tulisan yang dilengkapi dengan data-data dan disusun secara sistematis.

b. Jenis-jenis Tulisan

Ada banyak cara yang dipilih seseorang untuk mengemukakan gagasannya dalam tulisan. Cara yang dipilih serta tujuan penulisan menghasilkan berbagai bentuk tulisan, yaitu: narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi.

1. Tulisan Narasi

Tulisan narasi merupakan satu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi (Keraf, 2010: 136). Senada dengan pendapat tersebut, Slamet (2009: 103) mengemukakan bahwa narasi adalah ragam wacana yang menceritakan proses kejadian suatu peristiwa. Sasarannya adalah memberikan gambaran yang sejelas- jelasnya kepada pembaca mengenai fase, urutan, langkah, atau rangkaian terjadinya sesuatu hal. Pendapat lain diungkapkan oleh Nurjamal dan Warta

commit to user

(5)

Sumirat (2010: 69) tulisan narasi merupakan sebuah tulisan yang sebagian besar berisi cerita, meskipun di dalamnya terdapat gambaran-gambaran untuk melengkapi cerita tersebut, namun secara utuh tulisan tersebut bersifat cerita.

2. Tulisan Deskripsi

Wacana deskripsi adalah karangan yang melukiskan, menggambarkan, memerikan suatu peristiwa atau objek hasil pengindraan dengan menyertakan bukti-bukti kuat sehingga pembaca seolah-olah terlibat di dalamnya secara langsung (Djuharie dan Suherti, 2001: 53). Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Nurjamal dan Warta Sumirat (2010: 69) menjelaskan deskripsi berisi gambaran tentang suatu objek atau keadaan tertentu yang dijelaskan seolah-olah objek tersebut terlihat.

Slamet (2009: 103) menyatakan deskripsi adalah ragam wacana yang melukiskan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan kesan-kesan dari pengamatan, pengalaman, dan perasaan penulisnya. Tujuannya adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya imajinasi pembaca, sehingga dia seolah-olah melihat, mengalami, dan merasakan sendiri apa yang dialami penulisnya. Suyitno dan Purwadi (2000: 41) mengungkapkan wacana deskripsi adalah wacana yang terutama digunakan untuk membangkitan impresi atau kesan tentang seseorang, tempat, suatu pandangan, dan yang semacam itu.

3. Tulisan Eksposisi

Eksposisi adalah ragam wacana yang dimaksudkan untuk menerangkan, menyampaikan, atau menguraikan sesuatu hal yang dapat memperluas atau menambah pengetahuan dan pandangan pembacanya (Slamet, 2009: 103).

commit to user

(6)

Sasarannya adalah menginformasikan sesuatu tanpa ada maksud mempengaruhi pikiran, perasaan, dan sikap pembacanya. Eksposisi merupakan karangan yang berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Eksposisi dipaparkan suatu kejadian atau masalah secara analitis, spasial, dan kronologis supaya pembaca dapat memahami informasi tersebut Muslich (2007).

Syarif dkk. (2009: 7) menjelaskan tulisan eksposisi biasa juga disebut pemaparan, yakni salah satu bentuk karangan yang berusaha menerangkan, menguraikan atau menganalisis suatu pokok pikiran yang dapat memperluas pengetahuan dan pandangan seseorang. Penulis berusaha memaparkan kejadian atau masalah secara analisis dan terperinci memberikan interpretasi terhadap fakta yang dikemukakan. Pendapat lain diungkapkan oleh Nurjamal dan Warta Sumirat (2010: 69) tulisan eksposisi adalah tulisan yang berisi sebuah pembahasan tentang suatu persoalan beserta penjelasan-penjelasannya secara terperinci supaya pembaca dapat memahami persoalan tersebut.

4. Tulisan Argumentasi

Tulisan argumentasi adalah tulisan yang berisi pendapat tentang suatu persoalan yang didukung dengan sejumlah argumentasi dengan maksud untuk meyakinkan pembaca atas pendapat yang dikemukakannya (Nurjamal dan Warta Sumirat, 2010: 70). Slamet (2009: 104) menyatakan bahwa argumentasi adalah ragam wacana yang dimaksudkan untuk meyakinkan pembaca mengenai kebenaran yang disampaikan oleh penulisnya. Syarif dkk (2009: 7) menjelaskan argumentasi merupakan corak tulisan yang bertujuan membuktikan pendapat

commit to user

(7)

penulis meyakinkan atau mempengaruhi pembaca agar menerima pendapatnya.

Argumentasi berusaha meyakinkan pembaca.

5. Tulisan Persuasi

Tulisan persuasi adalah sebuah tulisan yang berusaha menonjolkan fakta-fakta mengenai suatu persoalan yang kemudian fakta-fakta itu dijadikan dasar untuk mempengaruhi pembaca (Nurjamal dan Warta Sumirat, 2010: 70). Keraf (2010:

118) berpendapat persuasi adalah suatu seni verbal yang bertujuan untuk meyakinkan seseorang agar melakukan sesuatu yang dikehendaki pembicara pada waktu ini atau pada waktu yang akan datang. Tujuan terakhir dari persuasi adalah agar pembaca atau pendengar melakukan sesuatu, maka persuasi dapat dimasukkan pula dalam cara-cara untuk mengambil keputusan.

Pendapat lain diungkapkan Slamet (2009: 104) yang menyatakan persuasi adalah ragam wacana yang ditujukan untuk mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca mengenai sesuatu hal yang disampaikan penulisnya. Berbeda dengan argumentasi yang pendekatannya bersifat rasional dan diarahkan untuk mencapai kebenaran, sedangkan persuasi lebih menggunakan pendekatan emosional.

Dalam persuasi biasanya menggunakan pendekatan emotif, yaitu pendekatan yang berusaha membangkitkan dan merangsang emosi agar mengarahkan mereka pada tujuan yang ingin dicapai penulis.

c. Tahapan Penulisan

Tahap-tahap penulisan meliputi 4 langkah utama yaitu: (1) prapenulisan (studi pendahuluan atau pra research), (2) penentuan judul, (3) penulisan secara

commit to user

(8)

lengkap, dan (4) revisi (Srinugraheni dan Suyadi, 2011: 101). Proses kreatif menulis seperti yang dijelaskan oleh Komaidi, (2005: 5-8) terdiri dari 5 tahapan, yaitu: (1) tahap persiapan/prapenulisan, tahap ini meliputi: menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan refleksi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, (2) tahap inkubasi, adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya, (3) tahap inspirasi (insight), yaitu gagasan seakan-akan tiba dan berloncatan pada pikiran kita, (4) tahap penulisan, pada tahap ini dituangkan semua gagasan yang ada dalam pikiran, dan (5) tahap revisi, pada tahap ini apa yang telah dituliskan akan diperiksa kembali, diseleksi dan disusun sesuai fokus tulisan.

Lebih lanjut lagi Semi (1990: 11) menguraikan tujuh langkah dalam menulis, yaitu: (1) pemilihan dan penetapan topik, (2) pengumpulan informasi dan data, (3) penetapan tujuan, (4) perancangan tulisan, (5) penulisan, (6) penyuntingan atau revisi, dan (7) penulisan naskah jadi.

Memilih dan menetapkan topik merupakan suatu langkah awal yang penting, sebab tidak ada tulisan yang tanpa ada sesuatu yang hendak ditulis. Topik tulisan adalah gagasan yang hendak disampaikan dalam tulisan.

Pengumpulan informasi dan data perlu dilakukan agar tulisan tersebut menjadi tulisan yang berbobot dan meyakinkan. Informasi dan data yang

commit to user

(9)

dikumpulkan adalah informasi dan data yang relevan dengan topik atau pokok bahasan dan sesuai pula dengan tujuan penulisan.

Menetapkan tujuan penulisan adalah hal penting yang harus dilakukan sebelum menulis. Hal tersebut karena tujuan berpengaruh dalam menetapkan bentuk, panjang tulisan, dan cara penyajian tulisan.

Merancang tulisan diartikan sebagai suatu kegiatan menilai kembali informasi dan data, memilih subtopik yang perlu dimuat, melakukan pengelompokan topik-topik kecil ke dalam suatu kelompok yang lebih besar dan memilih suatu sistem notasi dan sistem penyajian secara tepat. Setelah adanya perancangan tulisan dilakukan penulisan, dalam penulisan perlu dipilih organisasi dan sistem penyajian yang tepat, artinya tepat menurut jenis tulisan, tepat menurut tujuan atau sasaran tulisan.

Pada penyuntingan dilakukan kegiatan mengecek ketepatan angka-angka atau menghilangkan yang tidak perlu, menambahkan sesuatu yang tidak perlu, perbaikan kalimat ejaan, maupun kosakata yang kurang tepat sehingga menjadi tulisan yang baik.

Pada penulisan naskah jadi, masalah perwajahan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh, karena kesempurnaan tulisan tidak hanya terbatas pada kesempurnaan isi dan ketepatan pemakaian perangkat kebahasaan tetapi juga masalah susunan.

commit to user

(10)

d. Manfaat Menulis

Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktivitas menulis, Komaidi, (2011: 9) menjelaskannya sebagai berikut. Pertama, menulis akan menimbulkan rasa ingin tahu (curiocity) dan melatih kepekaan dalam melihat realitas di sekitar.

Kedua, dengan kegiatan menulis mendorong kita untuk mencari referensi seperti buku, majalah, koran, jurnal, dan sejenisnya. Dengan membaca referensi-referensi tersebut tentu akan semakin bertambah wawasan kita. Ketiga, aktifitas menulis melatih kita untuk menyusun pemikiran dan argumen kita secara runtut, sistematis, dan logis. Keempat, dengan menulis secara psikologis akan mengurangi tingkat ketegangan dan stres. Karena lewat tulisan seseorang bisa menumpahkan segala uneg-uneg, rasa senang atau sedih secara bebas. Kelima, jika hasil tulisan kita dimuat oleh media massa atau diterbitkan oleh penerbit, maka kita akan mendapat kepuasan batin karena tulisan kita bisa bermanfaat bagi orang lain.

2. Hakikat Berita a. Pengertian Berita

Secara bahasa berita berasal dari bahasa sansekerta “vrit”, yang berarti

“ada” atau “terjadi”. Kemudian dikembangkan dalam bahasa Inggris menjadi

“write” yang berarti menulis. Sebagian orang menyebutnya vritta yang berarti

“kejadian” atau “yang terjadi” (Sudarman, 2008: 75). Mitchel V. Charnley (dalam Komaidi, 2011: 96), dikemukakan bahwa berita adalah laporan tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang faktual, penting dan menarik bagi sebagian besar

commit to user

(11)

pembaca serta menyangkut kepentingan mereka. Senada dengan pengertian di atas, Sudarman (2008: 76) mengemukakan bahwa berita adalah laporan tercepat tentang suatu peristiwa, fakta atau hal baru, menarik dan perlu diketahui oleh masyarakat umum. Sejalan dengan dua pengertian di atas, Kusumaningrat (2012:

39) menyatakan bahwa berita adalah laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting, atau keduanya, bagi sejumlah besar orang. Maharani (2008: 28) secara singkat menjelaskan bahwa berita adalah peristiwa yang dilaporkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa berita adalah laporan faktual mengenai kejadian atau peristiwa yang menarik dan penting untuk diketahui oleh masyarakat luas.

b. Nilai Berita

Suatu berita dinyatakan layak jika di dalamnya memenuhi unsur-unsur nilai berita. Kusumaningrat (2012: 61) menyebutkan unsur-unsur nilai berita yaitu: (1) aktualitas, semakin aktual sebuah berita, artinya semakin baru peristiwanya terjadi dan semakin tinggi nilai beritanya, (2) kedekatan, peristiwa yang mengandung unsur kedekatan dengan pembaca, akan menarik perhatian, (3) dampak, peristiwa yang memiliki dampak luas dalam masyarakat, memiliki nilai berita tinggi, dan (4) human interest, dalam berita terkandung unsur yang menarik empati, simpati atau menggugah perasaan khalayak yang membacanya.

Sejalan dengan pendapat Kusumaningrat, Maesita (2008: 34) menyebutkan ada tujuh nilai berita yakni: (1) aktualitas atau kebaruan berita, (2)

commit to user

(12)

peristiwa bersifat luar biasa, (3) peristiwa menyangkut kepentingan umum, (4) peristiwa melibatkan tokoh penting, (5) mempunyai kedekatan dengan perasaan manusia, (6) mempunyai dampak yang besar, dan (7) memiliki unsur konflik yang tinggi.

Lebih lengkap, Sudarman (2008: 80-87) menyebutkan sepuluh macam nilai yang dapat dijadikan sebagai nilai berita, yaitu: (1) keluarbiasaan (unusualness), semakin besar suatu peristiwa maka akan semakin besar pula nilai berita yang akan ditimbulkannya, (2) kebaruan (newsness), berita adalah sesuatu yang terbaru dan hal-hal yang bersifat baru dapat dijadikan berita, (3) akibat (impact), berita adalah sesuatu yang memiliki dampak, terutama dampak yang terjadi dalam masyarakat luas, (4) aktual (actual), peristiwa dalam berita adalah peristiwa yang baru atau sedang terjadi, (5) kedekatan (proximity), kedekatan adalah berkaitan dengan jauh dekatnya peristiwa itu dengan kehidupan masyarakat atau khalayak, (6) informasi (information), informasi merupakan hal penting yang seringkali dibutuhkan oleh masyarakat, (7) konflik (conflict), segala sesuatu yang mengandung konflik merupakan sumber berita, (8) orang penting (public figure), berita berkaitan dengan orang-orang penting karena memiliki daya pikat untuk diberitakan, (9) ketertarikan manusiawi (human interest), suatu peristiwa terkadang dapat menimbulkan efek emosi pada diri khalayak, dan (10) kejutan (surprising), sesuatu yang mengejutkan merupakan suatu berita dan layak untuk diberitakan.

commit to user

(13)

c. Unsur Layak Berita

Unsur layak berita seperti yang ditetapkan dalam kode etik jurnalistik bahwa berita pertama-tama harus cermat dan tepat atau dalam bahasa jurnalistik disebut akurat (Kusumaningrat, 2012: 47). Selain cermat dan tepat, berita juga harus lengkap (complete), adil (fair), dan berimbang (balanced). Kemudian berita harus tidak mencampurkan fakta dan opini pribadi atau dalam bahasa akademis disebut objektif. Selanjutnya yang merupakan syarat praktis tentang penulisan berita, tentu saja berita itu harus ringkas (concise), jelas (clear), dan hangat (current).

d. Rumus Menulis Berita

Komaidi (2011: 97) mengemukakan bahwa, dalam membuat berita ada rumus yang paling terkenal yakni: 5W1H. Artinya 5W kepanjangan dari (1) what (apa), (2) who (siapa), (3) when (kapan), (4) where (di mana), (5) why (mengapa), dan (6) 1 H (how) berarti bagaimana. Senada dengan hal tersebut, Sudarman (2012: 92) juga menjelaskan rumus 5W+1H yang terdiri dari (1) what berarti peristiwa apa yang terjadi dan dilaporkan kepada khalayak, (2) who berarti siapa yang menjadi pelaku dalam peristiwa itu. (3) when berarti kapan peristiwa itu terjadi. (4) where berarti di mana peristiwa itu terjadi, (5) why berarti mengapa peristiwa itu terjadi, dan (6) how berarti bagaimana peristiwa itu terjadi.

Sejalan dengan pendapat dua ahli di atas, Maharani (2008: 29) menjelaskan rumus dalam penyusunan berita yaitu: (1) peristiwa apa yang terjadi (what), (2) siapa yang terlibat (who), (3) kapan terjadinya (when), (4) di mana

commit to user

(14)

peristiwa terjadi (where), (5) mengapa terjadi peristiwa itu (why), dan (6) bagaimana urutan kejadian itu (how).

e. Pengertian Kemampuan Menulis Teks Berita Berwawasan Multikultural Pengertian menulis sebagaimana telah dipaparkan pada halaman 13, bahwa menulis adalah suatu aktivitas penuangan gagasan yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung dalam bentuk tulisan yang dilengkapi data- data dan disusun secara sistematis. Pada halaman 20 dijelaskan pengertian berita adalah laporan faktual mengenai kejadian atau peristiwa yang menarik dan penting untuk diketahui oleh masyarakat luas.

Berdasarkan pengertian menulis dan pengertian berita di atas, maka dapat disintesiskan pengertian kemampuan menulis berita adalah kecakapan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan yang berupa laporan faktual mengenai peristiwa yang menarik dan penting untuk diketahui masyarakat.

Menulis teks berita berwawasan multikultural adalah menulis berita yang di dalamnya mengandung unsur keberagaman budaya seperti etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur.

f. Pembelajaran Menulis Teks Berita di SMP kelas VIII

Salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa SMP kelas VIII adalah “Menulis teks berita secara singkat, padat, dan jelas” (BSNP, 2006:

116). Dalam hal ini siswa diharuskan menguasai kompetensi dasar tersebut sebagai kualifikasi kemampuan minimal siswa yang menggambarkan

commit to user

(15)

penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.

Dijelaskan dalam standar isi mata pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP, bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu siswa mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya (BSNP, 2006: 109).

Berdasarkan uraian di atas, pendidikan multikultural khususnya pembelajaran menulis berita berwawasan multikultural layak untuk diajarkan dan dikuasai siswa sebagai implementasi pembelajaran bahasa seperti yang dijelaskan dalam standar isi. Dengan demikian siswa dapat mengenal keanekaragaman budaya dan mengemukakan gagasan serta perasaan untuk menuangkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya melalui tulisan yang berbentuk teks berita.

g. Penilaian dalam Pembelajaran Menulis Berita

Penilaian berarti menilai sesuatu yang sedang dinilai dengan melakukan sebuah pengukuran (tes) (Sudijono, 2005: 4). Senada dengan pendapat di atas, Cartono dkk. (2006: 20) mengemukakan bahwa penilaian merupakan proses

commit to user

(16)

menentukan nilai suatu objek untuk mengetahui keberhasilan (proses dan hasil) dari suatu pogram kegiatan.

Suwandi (2010: 83) mengemukakan bahwa rating scale merupakan penilaian unjuk kerja yang memungkinkan penilai memberi nilai tengah terhadap penguasaan kompetensi tertentu, karena pemberian nilai secara kontinu di mana pilihan kategori lebih dari dua. Skala penilaian tersebut terentang dari tidak sempurna sampai sangat sempurna. Misalnya: 1= tidak kompeten, 2= cukup kompeten, 3= kompeten, dan 4= sangat kompeten.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian merupakan proses pemberian atau penentuan nilai pada objek tertentu, sesuai kriteria yang ditentukan.

1) Penilaian Proses Belajar

Proses belajar adalah serangkaian aktivitas yang terjadi pada pusat syaraf individu yang belajar. Proses belajar terjadi secara abstrak, karena terjadi secara mental dan tidak dapat diamati (Baharuddin, 2010: 16). Oleh karena itu, proses belajar hanya dapat diamati jika ada perubahan perilaku dari seseorang yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan perilaku tersebut bisa dalam hal pengetahuan, afektif, maupun psikomotoriknya.

Proses pembelajaran yang diharapkan terjadi adalah suatu proses yang dapat mengembangkan potensi-potensi siswa secara menyeluruh dan terpadu.

Untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang dapat mendorong pengembangan potensi siswa secara komprehensip, maka guru harus memiliki wawasan dan kerangka pikir yang holistik tentang pembelajaran.

commit to user

(17)

Pembelajaran harus merupakan bagian dari proses pemberdayaan diri siswa secara utuh. Karena itu pembelajaran harus mampu mendorong tumbuhnya keaktifan dan kreativitas optimal dari setiap siswa (Aunurrahman, 2012: 28).

Amri dan Ahmadi (2010: 22-23), menyatakan proses belajar sangat berpengaruh kepada hasil belajar seorang siswa, maka dari itu proses belajar harus benar-benar diperhatikan, seperti: (a) belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di jiwa mereka, (b) anak belajar dari mengalami dan praktik. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru, (c) para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki siswa itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan, (d) pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan, (e) tiap siswa mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru, (f) siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide, dan (g) proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan siswa.

Selanjutnya tahap-tahap proses belajar terutama yang terjadi di sekolah yang diungkapkan Winkel (dalam Baharuddin, 2010: 17) disebutkan yaitu: (1) tahap motivasi, (2) tahap konsentrasi, (3) tahap mengolah, (4) tahap menyimpan, (5) tahap menggali 1, (6) tahap menggali 2, (7) tahap prestasi, dan (8) tahap umpan balik.

commit to user

(18)

Tahap motivasi adalah saat motivasi dan keinginan siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Tahap konsentrasi, adalah saat siswa harus memusatkan perhatian, yang telah ada pada tahap motivasi, untuk tertuju pada hal-hal yang relevan dengan apa yang akan dipelajari. Kemudian tahap mengolah, yakni saat siswa mengolah informasi yang diperoleh dari guru, hasil olahan tergantung dari pengetahuan dan pengalaman sebelumnya serta kejelasan penangkapan siswa. Dilanjutkan tahap menyimpan, adalah siswa menyimpan simbol-simbol hasil olahan yang telah dimaknai ke dalam gudang ingatan jangka panjang. Pada tahap ini hasil belajar telah diperoleh baik baru sebagian maupun keseluruhan.

Tahap menggali 1 adalah siswa menggali kembali informasi yang tersimpan dalam ingatan untuk dikaitkan dengan informasi baru yang ia terima. Selanjutnya tahap menggali 2 adalah menggali informasi dari ingatan jangka panjang maupun jangka pendek untuk persiapan tahap prestasi. Tahap ini diperlukan untuk kepentingan kerja, menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan atau soal.

Tahap prestasi yaitu informasi yang telah tergali pada tahap sebelumnya digunakan untuk menunjukkan prestasi yang merupakan hasil belajar. Tahap yang terakhir tahap umpan balik, siswa memperoleh penguatan (kofirmasi) saat perasaan puas atas prestasi yang ditunjukkan. Hal ini terjadi jika prestasinya tepat. Tetapi jika prestasinya jelek, perasaan tidak puas bisa diperoleh dari guru (eksternal) atau dari diri sendiri (internal).

commit to user

(19)

Gordon (dalam Sahlan dan Angga Teguh Prastyo, 2012: 128-129) dinyatakan bahwa proses pembelajaran yang efektif dipengaruhi oleh proses interaksi antara guru dan siswa. Interaksi pembelajaran yang berkualitas ditandai dengan beberapa sifat berikut: (1) keterbukaan sehingga baik guru maupun murid saling bersikap jujur dan membuka diri satu sama lain, (2) tanggap, bilamana siswa tahu bahwa dia dinilai oleh gurunya, (3) adanya saling ketergantungan antara guru dan siswa tersebut, (4) kebebasan, berarti guru mendidik sesuai dengan karakteristik yang dimiliki siswa untuk tumbuh dan mengembangkan keunikannya, kreativitas, dan kepribadiannya, dan (5) saling memenuhi kebutuhan sehingga tidak ada kebutuhan belajar siswa yang tidak terpenuhi.

Interaksi balajar mengajar di sekolah, merupakan interaksi yang berencana. Rencana pengajaran secara umum adalah kurikulum, sedangkan secara khusus adalah Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dan Satuan Pelajaran. Dalam interaksi belajar-mengajar, peranan siswa dan guru ditentukan oleh strategi ataupun metode belajar mengajar yang digunakan (Ibrahim dan Nana Syaodih, 2003: 32-33)

Interaksi belajar mengajar memiliki ciri-ciri khusus yang dapat membedakannya dengan interaksi yang lain. Ciri-ciri itu adalah (1) interaksi belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu, (2) ada suatu prosedur yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (3) ditandai dengan adanya satu penggarapan materi yang khusus, (4) ditandai dengan adanya aktivitas siswa,

commit to user

(20)

(5) guru berperan sebagai pembimbing, (6) dibutuhkan kedisiplinan, dan (7) ada batas waktu (Suardi dalam Sardiman, 2012: 15-17).

Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor eksternal dan internal. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar (Baharuddin, 2010: 19). Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu yang meliputi: (1) faktor fisiologis, adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu baik keadaan jasmani maupun fungsinya, dan (2) faktor psikologis, adalah keadaan psikologis siswa yang dapat mempengaruhi proses belajar yaitu: kecerdasan siswa, motivasi, minat, sikap, dan bakat. Jadi, jika kedua faktor tersebut baik maka akan memberikan hasil belajar yang berkualitas.

Selain faktor internal, terdapat juga faktor eksternal yang dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkunga nonsosial. Faktor lingkungan sosial yang terdiri dari: (a) lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas, hubungan ketiganya secara harmonis dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah, (b) lingkungan sosial masyarakat, kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan mempengaruhi belajar siswa, dan (c) lingkungan sosial keluarga, lingkungan ini sangat mempengaruhi kegiatan belajar. Hubungan antar anggota keluarga yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.

commit to user

(21)

Faktor lingkungan nonsosial, yang terdiri dari: (a) lingkungan alamiah, seperti kondisi udara dan suasana yang dapat mendukung maupun menghambat proses belajar siswa, (b) faktor instrumental, adalah perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama hardware seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar dan lain sebagainya. Kedua, software seperti kurikulum sekolah, peraturan-peraturan sekolah, buku panduan, silabi, dan lain sebagainya, dan (c) faktor materi pelajaran, faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa, begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa.

Penilaian proses belajar-mengajar menyangkut penilaian terhadap kegiatan guru, kegiatan siswa, pola interaksi guru dan siswa, dan keterlaksanaan kegiatan belajar-mengajar (Sudjana, 2011: 1). Peters (dalam Sudjana, 2005: 15) dikemukakan bahwa guru mempunyai tiga tugas dan tanggung jawab. Pertama, guru sebagai pengajar, yang ditekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkannya.

Kedua, guru sebagai pembimbing, yang ditekankan kepada tugas dalam memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Tugas ini merupakan aspek mendidik, sebab tidak hanya berkenaan dengan penyampaian ilmu pengetahuan tetapi juga menyangkut pengembangan kepribadian dan pembentukan nilai-nilai para siswa. Ketiga,

commit to user

(22)

tugas sebagai administrator kelas, pada hakikatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya

Menurut Sudjana (2005: 20) kemampuan guru atau kompetensi guru yang berhubungan dengan usaha meningkatkan proses dan hasil belajar siswa ada empat. Pertama, merencanakan program belajar mengajar. Sebelum membuat perencanaan belajar mengajar, guru terlebih dahulu harus mengetahui arti dan tujuan perencanaan tersebut, dan menguasai secara teoritis dan praktis unsur-unsur yang terdapat dalam perencanaan belajar mengajar. Kemampuan merencanakan program belajar mengajar merupakan muara dari segala pengetahuan teori, keterampilan dasar, dan pemahaman yang mendalam tentang objek belajar dan situasi pengajaran.

Kegiatan perencanaan belajar mengajar merupakan proyeksi atau perkiraan guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pengajaran berlangsung. Dalam kegiatan tersebut secara terinci harus jelas tujuannya, isi bahan pelajaran, metode dan teknik, serta penilaian. Tujuan perencanaan belajar mengajar merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.

Kedua, melaksanakan dan memimpin/mengelola proses belajar mengajar. Kemampuan guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar adalah keaktifan guru dalam menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun dalam perencanaan. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat mengenai pelaksanaan proses belajar mengajar, perubahan metode, pengulangan

commit to user

(23)

pelajaran yang lalu, apabila siswa belum dapat mencapai tujuan pengajaran.

Pada tahap ini di samping pengetahuan teori tentang belajar mengajar diperlukan juga kemahiran dan keterampilan teknik mengajar. Misalnya prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, keterampilan menilai hasil belajar siswa, keterampilan memilih dan menggunakan strategi atau pendekatan mengajar.

Ketiga, menilai kemajuan proses belajar mengajar. Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Penilaian struktural- objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka, atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa.

Keempat, menguasai bahan pelajaran yang dipegangnya/dibinanya.

Penguasaan bahan pelajaran dapat memberikan pengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai siswa. Dikemukakan oleh Peters (dalam Sudjana, 2005:

21) bahwa proses dan hasil belajar siswa bergantung kepada penguasaan mata pelajaran guru dan keterampilan mengajarnya. Pendapat ini diperkuat oleh Taba (dalam Sudjana 2005: 21) yang dinyatakan bahwa keefektifan pengajaran dipengaruhi oleh karakteristik guru dan siswa, bahan pelajaran, dan aspek lain yang berkenaan dengan situasi pelajaran.

commit to user

(24)

Berdasarkan pendapat beberapa pakar di atas dapat disintesiskan bahwa kualitas kinerja guru dalam pengajaran ditekankan pada penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

Penilaian proses pembelajaran bertujuan untuk perbaikan dan lebih mengoptimalkan kegiatan pembelajaran, terutama efisiensi, keefektifan, serta produktivitasnya. Beberapa diantaranya adalah: (a) efisiensi dan keefektifan pencapaian tujuan instruksional, (b) keefektifan dan relevansi bahan pengajaran, (c) produktivitas kegiatan pembelajaran, (d) keefektifan sumber dan sarana pembelajaran, dan (e) keefektifan penilaian hasil dan proses pembelajaran (Sudjana, 2011: 57).

Masih berpegang pada pendapat Sudjana (2011: 60-62), kriteria yang dapat digunakan dalam penilaian proses pembelajaran adalah sebagai berikut:

(1) konsistensi kegiatan pembelajaran dengan kurikulum, (2) keterlaksanaan oleh guru, (3) keterlaksanaan oleh siswa, (4) motivasi belajar siswa, (5) keaktifan para siswa dalam kegiatan pembelajaran, (6) interaksi guru dan siswa, (7) kemampuan atau keterampilan guru mengajar, dan (8) kualitas hasil belajar yang dicapai oleh siswa.

Selanjutnya, Suwandi (2010: 137) menjelaskan kriteria dalam penilaian proses pembelajaran menulis adalah: 1) keaktifan siswa selama apersepsi, 2) keaktifan dan perhatian siswa pada saat guru menyampaikan materi, dan 3) minat dan motivasi siswa saat mengikuti kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disintesiskan bahwa ada tiga aspek dalam penilaian proses pembelajaran yaitu: 1) perhatian siswa

commit to user

(25)

pada saat guru menyampaikan materi, 2) keaktifan siswa selama kegiatan pembelajaran, dan 3) keterlaksanaan kegiatan pembelajaran oleh siswa.

Berdasarkan kriteria tersebut dapat dijadikan pegangan dalam menilai kualitas proses pembelajaran agar upaya memperbaiki proses pembelajaran dapat ditentukan lebih lanjut.

2) Penilaian Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011: 22). Kingsley (dalam Sudjana, 2011: 22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni: (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, dan (c) sikap dan cita-cita. Lebih lengkap, Gagne (dalam Sudjana, 2011: 22) membagi lima kategori hasil belajar, yakni: (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motorik.

Nurgiantoro (2011: 440) mengemukakan salah satu model yang lebih rinci dalam melakukan pensekoran, yaitu dengan menggunakan model skala interval untuk tiap tingkat tertentu pada tiap aspek yang dinilai. Model penilaian ini lebih rinci dan teliti dalam memberikan skor dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Aspek penilaiannya meliputi isi gagasan yang disampaikan, organisasi isi, tata kalimat, pilihan kata, dan ejaan.

Hal ini senada dengan pendapat Brown (dalam Saddhono dan Slamet, 2012: 135) dikemukakan bahwa penilaian terhadap tulisan siswa hendaklah diarahkan pada unsur-unsur tulisan yang meliputi content (isi atau gagasan yang disampaikan), form atau organization (organisasi isi), discourse

commit to user

(26)

(kewacanaan), grammar atau syntax (tata bahasa dan pola kalimat), vocabulary (pilihan kata dan kosakata), dan mechanics (pemakaian ejaan dan

penulisan kata-kata).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat disintesiskan bahwa penilaian dalam menulis teks berita meliputi isi, organisasi, kosakata, pengembangan bahasa, dan mekanik.

3. Hakikat Pembelajaran Berbasis Masalah a. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang dimulai dengan adanya masalah yang harus diselesaikan, bukan dimulai dengan pembelajar membelajarkan isi pelajaran seperti pada belajar konvensional (Yamin, 2011: 30).

Senada dengan pendapat Yamin, Wena (2012: 91) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran dengan menghadapkan siswa pada permasalahan-permasalahan praktis sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain siswa belajar melalui permasalahan-permasalahan.

Rusman (2011: 229), menyatakan bahwa PBM merupakan model pembelajaran yang dapat memacu semangat siswa untuk secara aktif ikut terlibat dalam pengalaman belajarnya dan memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah. Hamruni (2011: 107) mengartikan pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis commit to user

(27)

masalah adalah pembelajaran yang diawali dengan adanya sebuah masalah dan berfokus pada keaktifan siswa dalam memecahkan masalah.

b. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Karakteristik PBM seperti yang dijelaskan oleh Rusman (2011: 232) adalah sebagai berikut: (a) permasalahan menjadi starting point dalam belajar, (b) permasalahan yang diangkat adalah permasalahan dalam dunia nyata, (c) permasalahan membutuhkan perspektif ganda, (d) permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar, (e) belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama, (f) pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaanya dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM, (g) belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif, (h) pengembangan masalah inquiri dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penggunaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan, (i) keterbukan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar, dan (j) PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.

c. Ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Ciri-ciri utama pembelajaran berbasis masalah yang dikemukakan Hamruni (2011: 107-108) adalah sebagai berikut: (1) pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, (2) aktivitas pembelajaran

commit to user

(28)

diarahkan untuk menyelesaikan masalah, dan (3) pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Baron (dalam Rusmono, 2012:74) menyatakan ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah, yaitu: (1) menggunakan permasalahan dalam dunia nyata, (2) pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian masalah, (3) tujuan pemblajaran ditentukan oleh siswa, dan (4) guru berperan sebagai fasilitator.

Amri dan Iif Khoiru Ahmadi (2010: 72) menguraikan ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah. Ciri-cirinya antara lain: (a) guru harus menerapkan pengajaran yang menitikberatkan pada siswa (suatu dukungan untuk memperkaya inquiri dan pertumbuhan intelektual siswa), (b) peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah menyodorkan masalah-masalah otentik, memfasilitasi penyelidikan siswa dan mendukung pembelajaran siswa, (c) guru harus menciptakan lingkungan kelas yang mendukung agar terjadi pertukaran dan pembagian ide secara terbuka, tulus dan jujur, dan (d) meskipun sulit tetapi keterampilan berpikir tingkat tinggi tetap harus diajarkan.

Selain ciri di atas, Amri dan Iif Khoiru Ahmadi (2010: 72) juga memaparkan mengenai ciri khusus pembelajaran berbasis masalah, yaitu: (1) mengajukan pertanyaan atau masalah, (2) berfokus pada interdisiplin, (3) penyelidikan otentik, (4) menghasilkan karya nyata dan memamerkan, dan (5) kolaborasi.

d. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah, seperti yang dijelaskan oleh Aqib (2013: 22) antara lain: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran.

Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas commit to user

(29)

pemecahan masalah yang dipilih, (b) guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dan lain-lain), (c) guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, dan pemecahan masalah, (d) guru membantu siswa dalam merencanakan, menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya, dan (e) guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

Sama halnya dengan Aqib, Sugiyanto (2009: 159) mengemukakan lima tahapan pembelajaran berbasis masalah. Tahapan-tahapan itu sebagai berikut.

Tabel 1. Sintaksis PBM

Fase Perilaku Guru

Fase 1: Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa

Guru membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan dan memotivasi siswa untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.

Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk

Meneliti

Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang terkait dengan permasalahannya.

Fase 3: Membantu investigasi mandiri dan kelompok

Guru mendorong siswa untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4: Mengembangkan dan mempresentasikan hasil

Guru membantu siswa dalam melaksanakan dan menyiapkan hasil-hasil yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan model-model dan membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain.

Fase 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah

Guru mambantu siswa untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.

commit to user

(30)

Amir (2010: 24-25) menyebutkan tujuh langkah proses pembelajaran berbasis masalah, yakni: (1) mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas, (2) merumuskan masalah, (3) menganalisis masalah, (4) menata gagasan dan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam, (5) memformulasikan tujuan pembelajaran, (6) mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (di luar diskusi kelompok), dan (7) mensintesis (menggabungkan) dan menguji informasi baru dan membuat laporan untuk kelas.

Lebih lengkap, Wena (2012: 90-91) menguraikan tahapan pembelajaran berbasis masalah. Selain kegiatan guru, Wena juga menjelaskan kegiatan siswa.

Tahapan-tahapan itu dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 2. Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah Tahap

Pembelajaran Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Identifikasi Masalah

Memberikan permasalahan. Memahami permasalahan secara umum.

Membimbing siswa memahami aspek-aspek permasalahan.

Mencermati aspek-aspek yang terkait dengan permasalahan.

Membimbing siswa

mengembangkan/menganalisis permasalahan.

Mengembangkan/menganalisis permasalahan.

Membimbing siswa mengkaji hubungan antardata.

Melakukan pengkajian hubungan antardata.

Membimbing siswa dalam memetakan masalah.

Melakukan pemetaan

permasalahan.

Membimbing siswa

mengembangkan hipotesis.

Mengembangkan hipotesis.

Mendefinisikan Masalah

Membimbing siswa melihat data/variabel yang sudah diketahui maupun belum diketahui.

Mencermati data/variable yang sudah diketahui maupun belum diketahui.

Membimbing siswa mencari dan menelusuri berbagai informasi dari berbagai sumber.

Mencari dan menelusuri berbagai informasi dari berbagai sumber.

commit to user

(31)

Tahap

Pembelajaran Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Mendefinisikan Masalah

Membimbing siswa melakukan penyaringan berbagai informasi yang telah terkumpul.

Melakukan penyaringan berbagai informasi yang telah terkumpul.

Membimbing siswa melakukan perumusan masalah.

Merumuskan masalah.

Mencari Solusi

Membimbing siswa mencari berbagai alternatif pemecahan masalah.

Mencari berbagai alternatif pemecahan masalah.

Membimbing siswa mengkaji setiap alternatif pemecahan masalah dari berbagai sudat pandang.

Melakukan pengkajian terhadap setiap alternatif pemecahan masalah dari berbagai sudut pandang.

Membimbing siswa mengambil keputusan untuk memilih satu alternatif pemecahan masalah yang paling tepat.

Memutuskan memilih salah satu alternatif pemecahan masalah yang paling tepat.

Melaksanakan Strategi

Membimbing siswa

melaksanakan pemecahan masalah secara bertahap.

Melakukan pemecahan masalah secara bertahap.

Mengkaji Kembali dan Mengevaluasi

Pengaruhnya

Membimbing siswa

melihat/mengoreksi kembali cara-cara pemecahan masalah.

Melihat/mengoreksi kembali cara-cara pemecahan masalah.

Membimbing siswa

melihat/mengkaji pengaruh strategi yang digunakan dalam memecahkan masalah.

Melihat/mengkaji pengaruh strategi yang digunakan dalam memecahkan masalah.

Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah seperti yang diungkapkan oleh Amri dan Ahmadi (2010: 74) antara lain sebagai berikut.

Pertama, perencanaan dalam pembelajaran berbasis masalah memiliki peran yang sangat penting dan memerlukan upaya yang lebih banyak. Kedua, guru harus menetapkan terlebih dahulu tujuan umum dan khusus pembelajaran, kemudian mengkomunikasikannya dengan siswa.

Ketiga, pembelajaran berbasis masalah didasarkan pada premis bahwa situasi masalah yang mengundang pertanyaan dan belum terdefinisikan dengan

commit to user

(32)

jelas akan membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan diharapkan melibatkan mereka dalam inquiri. Keempat, situasi masalah yang terpilih hendaklah otentik, terdefinisikan secara longgar, bermakna dan selaras dengan tingkat intelekrual siswa dan menguntungkan bagi kelompok.

Kelima, siswa harus dilatih agar menjadi peneliti aktif dan terampil menggunakan berbagai metode pengumpulan informasi. Keenam, penyelidikan sebaiknya dilakukan secara pribadi, berpasangan atau berkelompok. Ketujuh atau yang terakhir adalah guru harus merespon positif semua ide siswa dan selalu memantau pengembangan hipotesis mereka.

e. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya: (a) siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik, (b) siswa dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain, dan (c) dapat memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber.

Kelemahannya ialah: (a) untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai, (b) membutuhkan banyak waktu dan dana, dan (c) tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini (Ahmadi dkk, 2011: 57).

Sanjaya (2008: 220-221) menyatakan pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulan pembelajaran berbasis masalah antara lain: (a) pemecahan masalah merupakan teknik yang bagus untuk lebih memahami isi pelajaran, (b) pemecahan masalah dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan

commit to user

(33)

pengetahuan baru bagi siswa, (c) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa, (d) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, (e) dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, (f) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa bukan hanya belajar dari guru atau dari buku-buku saja, (g) dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa, (h) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru, (i) dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata, dan (j) dapat mengembangkan minat siswa meskipun pendidikan formal telah berakhir.

Kelemahan metode pembelajaran berbasis masalah antara lain: (a) manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba, (b) membutuhkan cukup waktu untuk persiapan, dan (c) tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka inginkan.

commit to user

(34)

f. Penerapan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah pada Pembelajaran Menulis Teks Berita

Pembelajaran berbasis masalah menurut Rusman (2011: 229) merupakan model pembelajaran yang dapat memacu semangat siswa untuk secara aktif ikut terlibat dalam pengalaman belajarnya dan memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dalam memecahkan masalah.

Pembelajaran menulis teks berita sangat memerlukan keterampilan berpikir siswa, selain itu dalam menulis berita akan lebih baik apabila siswa ikut terlibat secara langsung dalam kejadian atau peristiwa yang ditulisnya menjadi sebuah berita. Kalaupun tidak, siswa dapat menuliskan berita dari masalah- masalah yang ditemukan sesuai dengan pendapat Wena (2012: 91) yang mengungkapkan bahwa siswa belajar melalui permasalahan-permasalahan.

Pembelajaran berbasis masalah ini menghadapkan siswa kepada permasalahan-permasalahan yang ada dan menuntut siswa untuk bisa menemukan pokok-pokok permasalahan yang ada sekaligus cara pemecahannya. Dengan demikian, siswa sudah memiliki bahan atau dasar untuk mengembangkannya menjadi sebuah berita.

Berdasarkan pada langkah-langkah metode pembelajaran berbasis masalah, maka penerapan metode pembelajaran masalah pada pembelajaran menulis teks berita adalah sebagai berikut. Pertama, siswa dihadapkan dengan permasalahan yang ada, misalnya siswa diberi sebuah bacaan ataupun tontonan yang mampu membuat seolah-olah siswa ikut berada dalam permasalahan

commit to user

(35)

tersebut. Kedua, siswa diminta untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada, hal ini sekaligus untuk menentukan pokok-pokok berita.

Ketiga, siswa diminta untuk mencari pemecahan masalah yang telah ditemukan, misalnya dengan memberikan saran-saran yang bermanfaat untuk menghindari agar permasalahan tersebut tidak muncul. Keempat, siswa dinimta untuk mengembangkan permasalahan dan pokok berita yang telah ditemukan menjadi teks berita yang utuh, termasuk pemecahan masalah yang dikemukakan siswa.

4. Hakikat Pendidikan Multikultural a. Pengertian Pendidikan Multikultural

Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif Naim dan Sauqi (2011: 8). Crow (dalam Mahfud, 2008: 34) menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.

Pendapat lain dikemukakan oleh Hasbullah (2005: 5), bahwa pendidikan merupakan proses terhadap anak didik yang berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Bila anak didik sudah mencapai pribadi dewasa susila, maka sepenuhnya mampu bertindak sendiri bagi kesejahteraan hidupnya dan masyarakatnya.

commit to user

(36)

Darmaningtyas (2004: 1) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Dengan demikian, tidak semua usaha memberikan bekal pengetahuan kepada anak didik dapat disebut pendidikan jika tidak memenuhi kriteria yang dilakukan secara sadar dan sistematis.

Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III pasal 4, menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan Pendidikan Nasional di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan dalam masyarakat dengan pendidikan multikultural.

Seorang pendidik dalam pendidikan multikultural ini tidak hanya dituntut untuk menguasai tetapi mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkannya. Selain itu, pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikulturalisme seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme. Dengan demikian, peserta didik bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama.

Pendidikan Multikultural adalah pendidikan untuk/tentang keberagaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (Yamin, 2011: 187).

Senada dengan hal tersebut, Andersen dan Chusher (dalam Mahfud, 2008: 175), commit to user

(37)

dijelaskan bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Mahfud, 2008: 75). Pendapat lain diungkapkan Aly (2011: 104), bahwa istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan dan multikultural. Kata “pendidikan” diartikan sebagai proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara yang mendidik. Sementara itu, kata multikultural merupakan kata sifat yang dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata, yaitu multi dan culture. Secara umum, kata multi berarti banyak, ragam, atau aneka.

Masih menurut pendapat Aly (2011: 104) bahwa pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya para peserta didik. Definisi ini mendeskripsikan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan dalam implementasi pendidikan multikultural adalah keragaman budaya siswa, karena siswa memiliki latar belakang budaya yang berbeda.

Berbedanya budaya siswa ini perlu dipahami oleh seorang guru agar siswa memiliki kepribadian yang mampu saling menghargai budaya mereka.

Hampir sama dengan Aly, Baidhawy (2005: 8) menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu cara untuk mengajarkan keragaman

commit to user

(38)

(teaching diversity). Pendidikan multikultural menghendaki rasionalisasi etis, intelektual, sosial dan pragmatis secara inter-relatif, yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme, pluralisme, dan saling menghargai semua orang. Pendidikan multikultural menginginkan siswa dapat tumbuh dalam suatu dunia yang bebas dari prasangka, bias dan diskriminasi agama, gender, ras, warna kulit, kebudayaan, kelas, dan sebagainya untuk mencapai suatu tujuan dan merasakan bahwa apapun yang dikehendaki untuk dapat terlaksana dalam kehidupan ini menjadi mungkin.

Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah (Yaqin, 2005: 25). Senada dengan pendapat di atas, seorang pakar pendidikan dari Amerika Serikat, Prudence Crandall seperti yang dikutip oleh (Hasyim dan Yudi Hartono, 2008: 28), dikemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperlihatkan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaan), dan budaya (kultur).

Banks dalam (Mahfud, 2008: 175), mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of colour. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi kebudayaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). Lain halnya dengan Maslikhah (2007: 48), yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultural merupakan proses yang dapat diartikan sebagai suatu

commit to user

(39)

proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan dan cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Hampir sama dengan pendapat Maslikhah, Hasyim dan Yudi Hartono (2008: 30) mengartikan pendidikan multikultural sebagai sebuah proses pendidikan yang memberi peluang yang sama kepada seluruh warga bangsa, menghargai keragaman, mengembangkan seluruh potensi warga bangsa dalam upaya memperkuat jalinan hidup bersama.

Disebutkan oleh Yaqin (2005: 26), pendidikan multikultural mempunyai dua tujuan. Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa ilmu pendidikan maupun umum. Pendidikan multikultural diharapkan mampu untuk menjadi trasformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada peserta didiknya.

Adapun tujuan akhir dari pendidikan multikultural adalah agar peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran akan tetapi juga mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan mengenai penanaman keragaman kebudayaan peserta didik dengan tujuan agar peserta didik memiliki karakter kuat dalam menghargai perbedaan.

commit to user

(40)

b. Urgensi Pendidikan Multikultural di Indonesia

Negara Indonesia merupakan negara yang majemuk atau pluralis, bahkan kemajemukan itu menjadi ciri khas Indonesia. Hal itu karena masyarakatnya yang sangat beragam baik dari kebudayaan, ras, atau agama. Kemajemukan ini dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif horizontal dan perspektif vertikal. Pada perspektif horizontal, kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, dan budayanya, sedangkan dalam perspektif vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat sosial budayanya.

Kemajemukan masyarakat, cenderung menimbulkan adanya prasangka yang berpengaruh terhadap interaksi sosial. Berbagai prasangka sosial tersebut, umumnya tidak bersifat langgeng melainkan dapat berubah menuju interaksi sosial yang lebih baik atau lebih buruk. Hasyim dan Yudi Hartono (2008: 8) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik dengan tujuan untuk menciptakan hubungan lebih serasi dan kreatif diantara berbagi golongan penduduk.

Hasyim dan Yudi Hartono (2008: 8-9) menyatakan bahwa melalui pendidikan multikultural siswa yang datang dari berbagai latar belakang dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka, adat istiadat, kebiasaan, memahami aspirasi-aspirasi mereka, serta untuk mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak untuk menyatakan diri menurut cara masing-

commit to user

(41)

masing. Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik.

Pendapat lain diungkapkan oleh Maslikhah (2007: 159) bahwa pendidikan multikultural sebagai alternatif patut dikembangkan dan dijadikan model pendidikan di Indonesia dengan berbagai alasan. Pertama, realitas bahwa Indonesia adalah negara yang dihuni oleh beragam suku, bangsa, etnis, agama, dan membawa budaya serta tradisi yang heterogen. Kedua, pluralitas tersebut secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada.

Ketiga, masyarakat menentang pendidikan yang berorientasi bisnis, komersialisasi, dan kapitalis yang mengutamakan golongan. Keempat, masyarakat tidak menghendaki kekerasan dan kesewenang-wenangan pelaksanaan hak setiap orang. Kelima, pendidikan mulltikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan, dan kesewenang-wenangan. Keenam, pendidikan multikultural memberikan harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat. Ketujuh, pendidikan multikultural sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, sosial, kealaman, dan keTuhanan.

Urgensi pendidikan multikultural yang dijelaskan Mahfud (2011: 215) dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) pendidikan multikultural berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, (2) dengan pelajaran berbasis multikultural, siswa diharapkan tidak tercabut dari akar budayanya, dan (3) pendidikan multikultural relevan dengan demokrasi seperti saat ini.

Pendidikan multikultural sebagai sarana alternatif pemecahan konflik maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan

commit to user

(42)

diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, pendidikan multikultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial dan budaya.

Penyelenggaraan pendidikan multikultural dapat dikatakan berhasil bila terbentuk pada diri siswa, sikap hidup saling toleran, tidak bermusuhan dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat atau lainnya. Maka, dalam konteks dunia pendidikan Indonesia sudah saatnya pendidikan multikultural diselenggarakan dan mendapat perhatian yang besar.

Secara tidak langsung, hal itu dapat memberikan solusi bagi sejumlah permasalahan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia, sehingga dapat mendorong terciptanya kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya.

Pendidikan multikultural diajarkan supaya siswa tidak tercabut dari akar budaya pada era globalisasi saat ini, pertemuan antarbudaya tidak dapat dihindarkan. Untuk menyikapi realitas global tersebut, siswa hendaknya diberikan penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan.

Siswa perlu diberikan materi tentang pemahaman banyak budaya atau pendidikan multikulturalisme. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak tercabut dari akar budayanya.

Pendidikan mulitikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan

commit to user

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan skripsi ini merencanakan sekolah balap motor di Bengkulu Selatan yang mendukung dan berintegrasi pada pendidikan balap sebagai pusat pendidikan dan

Tahun 2011 akan dilakukan persiapan intensif untuk uji kompetensi, yaitu dengan fokus untuk penyusunan soal-soal uji yang berstandar nasional. Hal ini akan

BAB II LANDASAN TEORI DAN METODE PENELITIAN A Kerangka Teori 1 Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan identifikasi dari berbagai faktor untuk merumuskan strategi suatu organisasi Analisis

Apabila seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik maka akan menciptakan nilai tambah bagi perusahaan sehingga dapat meningkatkan

Dalam hal bakal calon yang dapat ditetapkan menjadi calon Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) lebih dari 5 (lima) orang, panitia menunda penetapan bakal

Proses terbentuknya laut berawal dari proses pembentukan bumi yang mana, menurut Laplace, bumi terbentuk 4 miliar tahun yang lalu, karena pembentukan bumi

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada peneliti, sehingga penulis dapat menyekesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh

Berdasarkan hasil pengukuran dengan surveymeter pada titik-titik yang telah ditentukan diperoleh data-data laju dosis paparan radiasi seperti pada tabel 1 untuk pengukuran