• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN KONTRAK

A. Hambatan Dari Aspek Perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Hal ini adalah merupakan suatu gambaran saja yang nantinya diwujudkan kedua belah pihak secara bersama-sama. Maka dalam pelaksanaan perjanjian tidak jarang timbul persoalan yang pada saat perjanjian diadakan belum terlihat dengan jelas atau masing-masing pihak memberikan penafsiran sendiri-sendiri mengenai maksud perjanjian yang mereka buat.

Secara tradisional berlandaskan asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang mempunyai kedudukan yang seimbang dan kedua belah pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan yang diperlukan bagi terjadinya perjanjian itu melalui suatu proses negoisasi di antara mereka.1 Namun pada dewasa ini kecenderungan makin memperlihatkan bahwa banyak perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negoisasi yang seimbang di antara para pihak. Perjanjian itu biasanya terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama

1

Sutan Remi Sjahdeini, “Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia” (Disertasi Tidak Diterbitkan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia), hlm. 122.

sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negoisasi atas syarat-syarat yang disodorkan.

Sluitjer2 dalam karangannya De Standard Contract, De Grenzen Van De Pertuculiere Wetgever yang dikutip oleh Amrul Partomuan Pohan, menyatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta (Legio Particuliere Wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian.

Untuk melaksanakan perjanjian lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut. Dengan kata lain apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Orang-orang yang mengadakan perjanjian tanpa mengatur dan menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak dengan jelas. Tentu akan menemukan kesulitan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Urgensi pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsung secara proporsional bagi para pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan saling menguntungkan. Bukan sebaliknya, merugikan salah satu pihak atau bahkan pada akhirnya justru merugikan para pihak yang berkontrak.

Dalam perjanjian kerja sama yang dibuat antara PT. KAI (Persero) dengan CV. Anugerah formatnya bersifat baku, tetapi dalam pembuatannya pihak agen

2

Amrul Partomuan Pohan,“Penggunaan Kontrak Baku (Standard Contract) Dalam Praktek Bisnis Di Indonesia”, Majalah Hukum Nasional, 1994, hlm. 64.

dengan PT. KAI (Persero) terdapat adanya negosisasi isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan Direksi PT. KAI (Persero) Nomor. KEP.D6/LL.702/X/2/KA-2010 tentang Penetapan Petunjuk Pelaksanaan Sistem Keagenan Online. Dalam prakteknya yang lebih sering terjadi, banyak agen yang tidak mau menegoisasikan isi perjanjian tersebut. Banyak agen yang lebih suka dengan klausula baku yang langsung disodorkan oleh pihak PT. KAI (Persero).3

CV. Anugerah sebagai agen mengatakan bahwa pada saat memulai perjanjian kerja sama keagenan dengan PT. KAI (Persero) pada tahun 2005, beliau mengatakan bahwa tidak ada negoisasi isi kontrak dalam melakukan perjanjian kerja sama tersebut. Antara PT. KAI (Persero) dengan agen hanya sekedar membahas hal-hal yang harus dipenuhi agen selama melaksanakan perjanjian keagenan tersebut. Selama proses perpanjangan kontrak perjanjian yang dilakukan setiap tahun tidak ada negoisasi juga untuk pembaruan kontrak perjanjian yang akan dibuat selanjutnya. Agen hanya menerima bentuk baku dari kontrak yang diberikan PT. KAI (Persero) untuk selanjutnya di tanda tangani.4

Keterangan yang diberikan oleh PT. KAI (Persero) dengan yang diberikan oleh agen tentu sangat berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kontrak kerja sama yang diberikan PT. KAI (Persero) kepada agen termasuk kontrak yang bersifat baku yang isinya telah ditetapkan. Tentunya kontrak ini bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, di mana agen hanya menerima bentuk baku suatu kontrak yang telah

3

Hasil wawancara dengan Syahriwal, Manager Hukum PT. KAI (Persero) Daerah Operasi III Cirebon, Juni 2011.

4

ditetapkan oleh prinsipalnya. Sekedar menyoal ketidakseimbangan kontraktual berdasarkan bunyi klausul kontrak justru bertentangan dengan esensi hubungan kontraktual yang dibangun para pihak. Pada kontrak bisnis komersial, tujuan para pihak lebih ditujukan membangun hubungan bisnis yang berlangsung proporsional.

Suatu perjanjian terdiri atas serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk menetapkan isi perjanjian perlu dilakukan dengan jelas maksud para pihak dalam perjanjian. Menurut A. Joanne Kellermann5, penafsiran perjanjian adalah penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian dan akibat-akibat hukumnya.

Perjanjian yang lahir dari kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian. Kata sepakat tersebut dapat mencerminkan kehendak para pihak. Menafsirkan perjanjian bermakna mencari apa sebenarnya maksud para pihak. Maksud para pihak tersebut tidak lain adalah apa yang disepakati bersama. Dengan demikian, menafsirkan perjanjian sebenarnya adalah mencari kehendak para pihak.6

Pasal 1342 KUHPerdata menentukan bahwa kalau kata-kata persetujuan jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang dengan jalan penafsiran. Ada dua hal yang harus diperhatikan dari isi Pasal 1342 KUHPerdata. Pertama, kata-kata ”suatu persetujuan”, bahwa menafsirkan persetujuan adalah mencari kehendak para pihak yang dinyatakan oleh satu kepada pihak yang lain, wujud pernyataan kehendak itu

5

Jurnal Hukum Bisnis,Loc. Cit., hlm. 39.

6

J. Satrio, Hukum Perikatan. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 279.

dapat dengan tegas atau diam-diam. Pernyataan yang tegas dapat dikemukakan secara lisan, tertulis atau melalui tanda-tanda.7

Kedua, kata-kata yang menyatakan ”jika kata-kata persetujuan sudah jelas, tidak diperkenankan menyimpang dengan jalan penafsiran”. Hal ini memberi kesan bahwa ada kalanya kata-kata dalam suatu perjanjian sudah jelas, tidak diperlukan penafsiran.8 Hal ini memberikan kesan bahwa Pasal 1342 KUHPerdata di atas hanya berlaku bagi pernyataan tertulis saja dan tidak berlaku bagi kehendak yang dinyatakan dengan tanda-tanda.9

Pasal 1343 KUHPerdata menentukan bahwa jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan berbagai tafsir harus dipilih penafsiran yang meneliti maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut daripada sekedar memegang teguh kata-kata tersebut secara literal (letterlijk). Dengan demikian, perjanjian harus diberi tafsir yang paling sesuai dengan kehendak para pihak, walaupun artinya menyimpang dari kata-kata yang terdapat dalam perjanjian.10

Metode penafsiran kontrak di dalam sistem hukum kontrak Indonesia masih didasarkan pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1346 KUHPerdata. Sedangkan metode penafsiran kontrak menurut sistem hukum Belanda saat ini tidak lagi menggunakan pasal-pasal tersebut. Di Belanda, penafsiran kontrak menggunakan dasar itikad baik yang mengacu kepada kerasionalan dan

7

Jurnal Hukum Bisnis,Op. Cit.,hlm. 40.

8 Ibid 9

J. Satrio,Op. Cit.,hlm. 262.

10

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 218.

kepatutan.11

Sebagaimana dipahami bahwa pemahaman substansi itikad baik dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa itikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak. Itikad baik harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual, artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual dan pelaksanaan kontraktual.12 Dengan demikian fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 (3) KUHPerdata mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.

Hakikat dari kontrak pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan hukum pelaku bisnis, dalam arti tidak sekedar mengatur namun lebih dari itu memberi keleluasaan dan kebebasan sepenuhnya kepada para pelaku bisnis untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Hal ini karena para pelaku bisnis yang lebih paham dan mengetahui seluk beluk berbagai kebutuhan dalam kegiatan bisnisnya. Sebagaimana diketahui dalam dunia bisnis yang mempertemukan para pelakunya dalam aktivitas bisnis, kontrak merupakan instrumen yang penting yang senantiasa membingkai hubungan hukum dan mengamankan transaksi mereka. Hampir tiada satu pun aktivitas bisnis yang mempertemukan para pelaku bisnis dalam pertukaran kepentingan mereka tanpa kontrak.

Dalam hubungannya dengan kegiatan bisnis, kontrak berfungsi untuk mengamankan transaksi. Hal ini karena dalam kontrak terkandung suatu pemikiran

11

Jurnal Hukum Bisnis,Op. Cit,. hlm. 33.

12

(tujuan) akan adanya keuntungan komersial yang akan diperoleh para pihak. Apabila ditinjau dari aspek perancangan kontrak (drafting), kontrak bisnis komersial merupakan dokumen hukum (legal document) yang menetapkan prosedur dan syarat dalam suatu transaksi bisnis yang lebih rinci dibandingkan dengan kontrak konsumen. Menurut Elmer Doonan dan Charles Foster13, dengan dituangkannya prosedur serta syarat-syarat suatu transaksi bisnis dalam kontrak, para pihak bermaksud:

1. Untuk menyediakan bukti tertulis mengenai transaksi yang mereka lakukan. 2. Untuk mencegah terjadinya penipuan.

3. Untuk menetapkan hak dan kewajiban para pihak.

4. Untuk mengatur secara rinci transaksi bisnis yang komplek, demi mencegah hambatan dalam melaksakan kontrak yang mereka buat.

J. Beatson14 mengemukakan beberapa fungsi kontrak bisnis komersial yang mempunyai karakteristik pertukaran kepentingan melibatkan pelaku bisnis (business people and companies), yaitu:

1. Kontrak menjamin harapan yang saling diperjanjikan di antara para pihak akan terpenuhi, atau akan tetap pada kompensasi yang dibayarkan apabila terjadi wanprestasi.

2. Kontrak mempermudahkan rencana transaksi bisnis masa depan dari berbagai kemungkinan yang merugikan.

3. Kontrak menetapkan standar pelaksanaan dan tanggung jawab para pihak.

13

Ibid, hlm. 16.

14

4. Kontrak memungkinkan pengalokasian resiko bisnis secara lebih tepat (meminimalisir resiko bisnis para pihak).

5. Kontrak menyediakan sarana penyelesaian sengketa bagi para pihak.

Kontrak baku ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari kontrak baku tersebut lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih sederhana, serta dapat ditanda tangani pada saat itu juga oleh para pihak. Kelemahan dari kontrak baku tersebut adalah bahwa karena kurangnya kesempatan bagi pihak lawan untuk menegoisasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk terjadi klausula yang berat sebelah.

Banyak ahli hukum menilai klausula baku sebagai perjanjian yang tidak sah, cacat dan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Namun demikian klausula baku sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis karena para pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya dan waktu. Selain itu klausula baku berlaku di masyarakat karena kebiasaan.15 Oleh karena itu penggunaan klasula baku dalam berbagai transaksi maupun perjanjian merupakan polemik dalam lapangan hukum perjanjian, karena klausula baku itu sendiri mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Di dalam praktek dapat diindentifikasi mengenai berbagai macam perjanjian standar baku atau perjanjian baku dan perjanjian baku tersebut umumnya dipergunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam

15

Mariam Darus Badrulzaman, ”Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku”, Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Bina Cipta, Jakarta, 1986, hlm. 64.

mengadakan transaksi bisnis. Bahwa jenis perjanjian baku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sangat banyak. Masing-masing jenis perjanjian baku itu adalah berbeda para pihaknya. Macam-macam perjanjian baku tersebut antara lain:16

1. Perjanjian Standar Sepihak

Yang lazim disebut pula dengan istilah Adhesi Kontrak yaitu suatu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya atau kedudukan ekonominya lebih kuat dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian demikian, lazim pembuat perjanjian atau pihak ekonomi yang kuat (pihak kreditur), lebih banyak menentukan kewajiban-kewajiban kepada pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian yang lazimnya merupakan pihak ekonomi lemah (pihak debitur). Klausula yang bersifat demikian dinamakan Klausula Eksonerasi atauExemption Clause.

2. Perjanjian Baku Timbal Balik

Yakni perjanjian standar yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian.

3. Perjanjian Standar Yang Dibuat Oleh Pemerintah

Yaitu misalnya perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah di dalam melakukan ikatan atau di dalam melakukan perjanjian dengan pihak lain. Misalnya perjanjian yang obyeknya hak-hak atas tanah, perjanjian pemborongan atau perjanjian-perjanjian lain di mana pemerintah ikut sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut dan sebagainya.

4. Perjanjian Baku Yang Berlaku Atau Ditentukan Bagi Di kalangan Tertentu

Misalnya perjanjian yang dilakukan atau berlaku di kalangan notaris dan pengacara yaitu perjanjian yang sejak semula konsepnya telah disediakan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan kepada notaris atau pengacara. Perjanjian baku demikian dikenal denganContract Model.

Perjanjian ini dilakukan dalam bentuk tertulis yang tertuang dalam sebuah kontrak kerja sama. Kontrak kerja sama ini termasuk dalam kontrak bisnis (komersial). Dimensi kontrak bisnis komersial yang lebih menekankan pada aspek penghargaan terhadap kemitraan dan kelangsungan bisnis (efficiency and profit

16

Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya Di Indonesia. Dimuat Dalam Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan), Alumni, Bandung, 1981, hlm. 50.

oriented), tidak lagi berkutat pada keseimbangan matematis.17 Konstruksi hubungan para pihak dalam kontrak bisnis komersial justru lebih menekankan pada proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban di antara pelaku-pelakunya.

Diterimanya prinsip-prinsip universal seperti itikad baik dan transaksi yang adil dan jujur dalam praktek bisnis, membuktikan bahwa yang diutamakan adalah memberikan jaminan bahwa perbedaan kepentingan di antara para pihak telah diatur melalui mekanisme pembagian beban kewajiban secara proporsinal, terlepas berapa proporsi hasil akhir yang diterima para pihak.

Berdasarkan hasil penelaahan pada Kontrak Perjanjian Kerja Sama Keagenan TiketOnlinesalah satu contoh yang dapat diamati adalah penggunaan istilah ”Agen”. Pada Pasal 1 Huruf C disebutkan bahwa Agen adalah perusahaan yang berbadan hukum bertindak atas nama perusahaan dalam upaya memasarkan, mempromosikan dan melayani pemesanan karcis. Di sini agen yang bertindak atas nama PT KAI (Persero) dimaksudkan melakukan pelayanan publik yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan tiket kereta api atas jasa transportasi kereta api.

Kerja sama yang dilakukan PT. KAI (Persero) dengan agen bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik. Dengan memuaskan keinginan masyarakat atau pelanggan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai antara harapan dan keinginan masyarakat. Kualitas pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan. Hakikat dari pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan

17

perwujudan kewajiban PT. KAI (Persero) sebagai penyedia jasa transportasi kereta api.

Pelayanan publik dalam perkembangannya timbul dari adanya kewajiban sebagai sebuah proses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan baik yang bersifat individual maupun kelompok. Dalam pemberian pelayanan tidak boleh tercipta perlakuan yang berbeda sehingga menimbulkan diskriminasi pelayanan bagi masyarakat. Selain itu, manajemen pelayanan perlu pula mendapat pembenahan melalui keterbukaan dan kemudahan prosedur, penetapan tarif yang jelas dan terjangkau, keprofesionalan apartur dalam tehnik pelayanan dan tersedianya tempat pengaduan keluhan masyarakat (public complain), serta tersedianya sistem pengawasan terhadap pelaksanaan prosedur.

Dokumen terkait