• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian yang sesuai adalah deskriptif analitis. Penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek dan peristiwanya.36

Penelitian ini bersifatdeskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan keagenan sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai perlindungan hukum perjanjian kerjasama keagenan tiket online.

2. Metode pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normative atau yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).37

36

Sutrisno Hadi,Metodologi Research,Andi Offset, Yogyakarta, 1989, hlm. 3.

37

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 34.

Di dalam penelitian yuridis normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum, yang merupakan patokan-patokan berperilaku.38 Penelitian yuridis normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan “justifikasi” preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Sehingga penelitian yuridis normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana

adalah sistem kaidah atau aturan.39

Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Penelitian yuridis normatif meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian yuridis normatif akan mengkaji objek tersebut dan dikaji dari sistematika berdasar ketaatan pada struktur hukum secara hierarkis.40

Jadi penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum tentang perlindungan hukum perjanjian kerjasama yang dibuat antara PT. KAI (Persero) dengan CV. Anugerah Cirebon sebagai agen resmi dari penjualan tiket

online.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari penelitian kepustakaan adalah data yang didukung dengan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan

38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Loc. Cit, hlm. 62.

39

Ranuhandoko,Terminologi Hukum, Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 419.

40

data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.41 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.

c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

23/MPM/Kep/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1998 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian.

f. Keputusan Direksi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor KEP.D6/LL.702/X/KA-2010 tentang Penetapan Petunjuk Pelaksanaan Sistem KeagenanOnline.

g. Kontrak Perjanjian Kerjasama Keagenan Tiket Online antara PT. KAI (Persero) DAOP III Cirebon dengan CV. Anugerah.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik).42 Bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu

41

berupa karya tulis para ahli di bidang hukum dan bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan yang diteliti, jurnal dan makalah yang diperoleh melalui studi kepustakaan.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum

yang digunakan yaitu majalah, ensiklopedia, kamus dan internet. 4. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam peneltian ini dilakukan dengan cara:

1. Studi dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terkait dengan perlindungan hukum perjanjian kerjasama keagenan tiket online.

2. Wawancara

Agar memperoleh data yang relevan dengan objek yang akan diteliti, maka instrument utama yang digunakan adalah wawancara. Wawancara dilakukan dengan tehnik wawancara tidak terstruktur atau lebih sering dikatakan sebagai pertanyaan langsung, yang memungkinkan narasumber untuk memberikan tanggapannya tentang apapun yang berkaitan dengan pertanyaan yang di

42

Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,hlm. 83.

ajukan pada saat wawancara.43 Pertanyaan itu bersifat pertanyaan terbuka atau pertanyaan tersebut bisa terus berlanjut dengan melakukan wawancara satu lawan satu. Ideal dengan narasumber yang ingin berbicara terus terang dengan tidak ada batasnnya,44antara lain dengan:

a. Pegawai PT. KAI (Persero) Daerah Operasi III Cirebon, sebanyak 2 (dua) orang, yaitu:

1. Manager Divisi Hukum PT. KAI PT. KAI (Persero) Daerah Operasi III Cirebon.

2. Manager Divisi IT PT. KAI (Persero) Daerah Operasi III Cirebon. b. Perwakilan dari Pemilik CV. Anugerah yaitu Direktur CV. Anugerah. 5. Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh dari penelitian pustaka dan lapangan diklasifikasikan dan disusun secara sistematis. Data tersebut kemudian dianalisis sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif-induktif yaitu dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

43

Bruce W. Tuckman,Conducting Educational Research, Harcourt Brace Jovanovich, Inc., United States of America, 1978, hlm. 200.

44

John W. Creswell, Educational Research Planning, Conducting, And Evaluating Quantitative And Qualitative Research,Pearson Education, Inc., New Jersey, 2008, hlm. 225.

A. Perjanjian Kerja Sama Keagenan

Kata ”Perjanjian” berasal dari kata Janji, yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia1 diartikan sebagai ”perkataan yang menyatakan kesudian hendak berbuat sesuatu”; sedangkan arti perjanjian adalah ”persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu”. Maka perjanjian juga suatu persetujuan karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Setuju berarti sepakat, mufakat atau akur.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian2 adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Menurut Sri Soedewi Masychun Sofwan, perjanjian3 adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang atau lebih orang.

Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian dari para sarjana yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian harus ada para pihak

1

W. J. S Poerwadarminta,Op. Cit., hlm. 402.

2

Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, hlm. 78. (selanjutnya disingkat Abdul Kadir Muhammad-I).

3

Pojok Hukum, “Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya Dengan Perjanjian Baku (Standard Contract)”, oleh Muliadi Nur, http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html, diakses 30 Juni 2011.

yang berjanji dan kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam setiap perjanjian adalah:

1. Ada pihak yang saling berjanji. 2. Ada persetujuan.

3. Ada tujuan yang hendak di capai.

4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan atau kewajiban untuk melaksanakan objek perjanjian.

5. Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis).

6. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek perjanjian serta syarat tambahan atau pelengkap.

Selanjutnya dilihat dari bentuk perjanjian4 dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. Perjanjian Tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan.

2. Perjanjian Lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, ketentuan ini dapat dibuat lisan atau tertulis lebih kepada sifatnya sebagai alat bukti semata apabila dikemudian hari terjadi perselisihan

4

Salim HS,Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak,Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 26. (selanjutnya disingkat Salim HS-I).

antara pihak-pihak yang membuat perjanjian. Akan tetapi ada beberapa perjanjian yang ditentukan bentuknya oleh peraturan perundang-undangan dan apabila bentuk ini tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut menjadi batal atau tidak sah.

Perjanjian secara umum diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1313 yaitu:

suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatakan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.

Dalam perjanjian bisnis yang diadakan agen dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut. Kontrak atau perjanjian hanya dapat dibuat untuk tujuan yang sah (halal). Suatu tujuan dipandang sah, kalau tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.5 KUHPerdata memakai istilah sebab (causa) yang sah, sebenarnya yang dimaksudkan adalah tujuan, yaitu tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang membuat kontrak, melalui kontrak itu.6 Yang dipersoalkan adalah tujuan, dan tujuan itu tidak boleh melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal 1337 KUHPerdata, yang berbunyi:

Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlainan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Adapun yang merupakan prinsip-prinsip utama dari hukum kontrak menurut KUHPerdata adalah sebagai berikut:

1. Kebebasan berkontrak.

5

Janus Sidabalok,Pengantar Hukum Ekonomi,Bina Media, Medan, 2000, hlm. 83.

6

Yang dimaksud dengan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of making contract) adalah prinsip yang mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga tidak kebebasan untuk mengatur isi kontrak tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku yang bersifat memaksa.7 Kebebasan ini merupakan perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.8 Mengenai kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Kata ”semua”, menunjuk pada perjanjian yang dikenal dalam hukum, baik diatur dalam undang-undang maupun belum ada diatur. Jadi, orang tidak dibatasi hanya membuat kontrak atau perjanjian yang sudah dikenal oleh undang-undang saja.9 Inilah yang memungkinkan lahirmya jenis-jenis kontrak atau perjanjian baru. Jika kontrak atau perjanjian itu dibuat secara sah, apa yang diperjanjikan berlaku bagi para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Dengan demikian, kontrak atau perjanjian itu bersifat mengikat dan harus dipenuhi dengan baik.

7

Munir Fuady-I, Loc. Cit., hlm. 50.

8

Mariam Darus Badrulzaman, dkk.,Loc. Cit., hlm. 1

9

Sutan Remi Sjahdeini yang dikutip oleh Agus Yudha Hernoko10 kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend).

Sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh dalam satu sistem, maka penerapan kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dalam substansi Pasal 1338 (1) KUHPerdata harus juga dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain:

a. Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak).

b. Pasal 1335 KUHPerdata, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa atau dibuar berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan.

10

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm. 95.

c. Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

d. Pasal 1338 (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.

f. Pasal 1339 KUHPerdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal 1339 KUHPerdata bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.

g. Pasal 1347 KUHPerdata mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak

(bestanding gebruiklijk beding).

Dengan demikian yang harus dipahami dan perlu menjadi perhatian, bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata tersebut hendaknya diinterpretasikan dalam kerangka pikir yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang atau proporsional.11 Kebebasan berkontrak secara filosofis menabukan apabila dalam suatu perjanjian terdapat ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat sebelah dan lain-lain, yang pada intinya menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang lain. Apabila hal itu terjadi, maka justru merupakan pengingkaran terhadap kebebasan berkontrak itu sendiri.

11

2. Prinsip Konsensual.

Dengan prinsip konsensual yang dimaksudkan adalah bahwa jika suatu kontrak dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh tanpa memerlukan persyaratan lain, kecuali jika undang-undang menentukan lain.12 Bahwa suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan melawan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.13Secara tegas bahwa pihak-pihak telah menyetujui adanya perjanjian itu dengan suatu konsensus, baik secara lisan atau kemudian diikuti secara tertulis.

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata terkandung prinsip yang esensial dari hukum perjanjian yaitu azas ”konsensualisme” yang menentukan adanya perjanjian.14 Di dalam azas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Azas kepercayaan (vertrouweleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.15

Azas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan azas kebebasan berkontrak dan azas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata. Hal ini yang mendasari pendapat Subekti16 yang menyatakan bahwa azas konsesualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata. Pelanggaran

12

Munir Fuady-I, Op. Cit., hlm. 50.

13

A. Qiram Syamsudin Meliala,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 20.

14

Mariam Darus Badrulzaman, dkk.,Op. Cit., hlm. 82.

15

Mariam Darus Badrulzaman,Perjanjian Kredit Bank,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 108-109.

16

terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan tidak juga mengikat sebagai undang-undang.17

3. Prinsip Obligatoir.

Prinsip obligatoir adalah suatu prinsip yang mengajarkan bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata dan haknya belum beralih sebelum dilakukannya penyerahan (levering).18 Diperlukan perjanjian kebendaan untuk memindahkan hak milik yang sering disebut penyerahan.

4. Prinsip Pacta Sunt Servanda.

Prinsip pacta sunt servanda secara harafiah berarti ”janji itu mengikat”. Yang dimaksudkan adalah bahwa jika suatu kontrak sudah dibuat secara sah oleh para pihak, maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak. Bahkan, mengikatnya kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut sama kekuatannya dengan mengikatnya sebuah undang-undang yang dibuat oleh pemerintah.19 Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan azas kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan didalamnya.20

Menurut Niewenhuis yang dikutip oleh Agus Yudha Hernoko21menyatakan

17

Agus Yudha Hernoko,Op. Cit.,hlm. 106.

18

Munir Fuady-I, Op. Cit., hlm. 50.

19 Ibid 20

Agus Yudha Hernoko,Op. Cit.,hlm, 111.

21

bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul sering dengan azas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan dan kemandirian kepada para pihak, pada situasi tertentu daya berlakunya dibatasi. Kekuatan mengikat perjanjian yang pada prinsipnya mempunyai daya kerja

(strekking)sebatas para pihak yang membuat perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa hak yang lahir merupakan hak perorangan(persoonlijk)dan bersifat relatif.22

Adakalanya antara prinsipal dan agen dibuat suatu perjanjian yang sederhana yang memuat pokok-pokok tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak. Tetapi tidak sedikit yang membuat perjanjiannya dengan ketentuan-ketentuan secara terperinci. Tentu saja membuat perjanjian secara terperinci tidaklah mudah, tetapi dengan perjanjian yang terperinci akan semakin kecil kemungkinan untuk salah menafsirkan isi perjanjian.

Sebelum melakukan perjanjian kerja sama dengan PT. KAI (Persero), calon agen harus memenuhi salah satu syarat yang utama tercantum dalam Pasal 5 Ayat 1

Keputusan Direksi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor:

KEP.D6/LL.702/X/2/KA-2010 tentang Penetapan Petunjuk Pelaksanaan Sistem KeagenanOnline (Revisi II), yaitu lembaga atau badan usaha yang berbadan hukum. CV. Anugerah sebagai salah satu agen yang bekerja sama dengan PT. KAI (Persero) merupakan sebuah badan hukum yang berbentuk Perseroan Komanditer.

22

Akta Pendirian Perseroan Komanditer CV. Anugerah Nomor: 121 yang dibuat secara Notariel oleh Notaris Dwi Rina Handayani, SH, Notaris di kota Cirebon, pada tanggal 29 (dua puluh Sembilan) Juni 2005 (dua ribu lima). Dalam Pasal 2 huruf a Akta Perseroan Komanditer CV. Anugerah tersebut menyebutkan maksud dan tujuan perseroan ini adalah menjalankan usaha dalam bidang Pemesanan Karcis Kereta Api/Instalasi Sinyal dan Telekomunikasi.

Apabila yang melakukan kontrak adalah badan hukum, yang mewakili adalah siapa yang ditentukan dalam undang-undang untuk mewakili badan hukum tersebut atau siapa yang ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut. Dalam persekutuan komanditer (CV) yang berhak mewakili persekutuan tersebut dalam membuat kontrak adalah para sekutu pengurusnya.23

PT. KAI (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sebelumnya berbentuk Perusahaan Jawatan (PERJAN) dan selanjutnya mengalami perubahan menjadi Perusahaan Umum (PERUM) dan pada akhirnya berubah bentuk menjadi badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Yang dibuat Akta Notarielnya tentang Pendirian PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Nomor: 14, pada tanggal 14 (empat belas) September 1999 (seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan) di hadapan Notaris Imas Fatimah, Notaris di Kota DKI Jakarta.

Dalam sebuah perjanjian terdapat para pihak yang melakukan perjanjian. Para pihak yang melakukan Perjanjian Kerja Sama Keagenan TiketOnline, yaitu PT. KAI

23

Ahmadi Miru,Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 8.

(Persero) dan CV. Anugerah sebagai agen. Yang dimaksudkan dengan pihak-pihak dalam perjanjian di sini adalah tentang siapa-siapa yang mengadakan suatu perjanjian. Menurut Pasal 1315 KUHPerdata, disebutkan:

Pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.

B. Pengaturan Umum Tentang Kerja Sama Keagenan

Lembaga keagenan bukan merupakan lembaga baru dalam dunia perdagangan di Indonesia, hanya saja undang-undang yang secara khusus mengatur lembaga keagenan belum ada. Dengan demikian bukan berarti lembaga keagenan beraktivitas tanpa aturan.

Dilihat dari sejarah lahirnya lembaga keagenan di Indonesia dapat dilihat dari pelaksanaan Undang-Undang No. 6 Tahun 1977 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing Dalam Bidang Perdagangan. Yang menentukan bahwa perusahaan yang telah berakhir masa kegiatannya dapat terus melakukan kegiatan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan nasional sebagai penyalur atau agen dengan membuat surat perjanjian.

Dengan adanya peraturan pemerintah ini, lembaga keagenan baru berkembang dalam dunia perdagangan di Indonesia. Peraturan yang bersifat administratif lainnya dikeluarkan oleh Mentri Perindustrian yaitu SK Menteri Perindustrian No.

pengangkatan/penunjukkan perusahaan nasional oleh prinsipal asing wajib dilakukan dengan suatu perjanjian yang bersifat eksklusif untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan sifat dan tujuan penggunaan barang-barang industri yang menjadi obyek perjanjian. Selain peraturan tersebut masih ada beberapa peraturan administratif lainnya.

Agen atau keagenan tidak diatur secara tegas dalam KUHPerdata maupun KUHDagang. Dengan demikian dilapangan hukum perdata dan hukum dagang, perjanjian keagenan ini merupakan suatu bentuk perjanjian atau lembaga khusus yang timbul dalam praktek seperti halnya lembaga-lembaga yang timbul dalam praktek lembaga keagenan ini memperoleh dasar yuridis yang diterima eksistensinya melalui asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh hukum perjanjian dalam KUHPerdata. Dengan demikian ketentuan-ketentuan perjanjian pada umumnya yang bersifat memaksa dalam KUHPerdata berlaku pula untuk perjanjian keagenan.

Pijakan yuridis untuk aktivitas keagenan, pranata dagang ini yang disebut agen ini dapat dilihat dari:

1. KUHPerdata, yang didalamnya terkandung asas Kebebasan Berkontrak (yang diatur dalam Pasal 1338).

2. KUHPerdata yang berisi tentang sifat pemberian kuasa (yang diatur dalam Pasal 1792-Pasal 1799).

3. KUHDagang yang mengatur mengenai Makelar (Pasal 62-Pasal 73). 4. KUHDagang yang mengatur mengenai Komisioner (Pasal 76-Pasal 85).

5. Dalam peraturan administratif, misalnya peraturan dari departemen perdagangan dan perindustrian.

Sekilas analisa mengenai dasar hukum yang digunakan dalam keagenan seperti tersebut diatas. Perihal sifat pemberian kuasa, lazimnya pemberian kuasa dalam keagenan berupa pemberian kuasa secara khusus yaitu pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agen hanya diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu saja, misalnya dalam hal melakukan transaksi.

Dokumen terkait